PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Senin, 25 Mei 2009

Naskah Lakon:



JAMBO "Inong Balee"
Karya: Wiko Antoni/Sulaiman Juned
Sutradara:Sulaiman Juned
Asisten Sutradara: Elvira Anggraini




Penokohan:

Zakiah
Azizah
Hamidah
Hayati





Sinopsis:
Menggendong peradaban luka
dalam babakan sejarah merindui
peruntungan jiwa di sudut hening
kita bergelut memungut wajah
yang terpasung ritus topeng.




Catatan Filosofi ’Inong Balee':
dalam sansai nyeri
di sukma. Menghitung timbunan tanah
sementara kita saling memangsa
Ah!














JAMBO (INONG BALEE)
Karya: Wiko Antoni/Sulaiman Juned



JAMBO (DANGAU). DI SILHUET DUA PENARI SEUDATI DENGAN GERAK PEULOT MANOK. SAYUP-SAYUP TERDENGAR LAGU SEULANGA KARYA RAFLI. AZIZAH DUDUK DI JAMBO SAMBIL MENGANYAM TIKAR, MATANYA SESEKALI MEMANDANG LEPAS KE BALIK BUKIT- TANPA DISADARI AIRMATANYA TELAH MEMBASAHI PIPI. AZIZAH MASUK.

01. Azizah
Kaseb! Sudahlah Zakiah. Biarkan suamimu menemukan kedamaian disisi yang kuasa. Tak ada guna membasahi bumi dengan air mata. Cukup isak, jadi komposisi musik duka lara tanah rencong. Api tak padam oleh air mata.

02. Zakiah
Api dihati tentu tak padam. Luka tak reda sakitnya bila menahan nyanyian kematian.

03. Azizah
Nyanyian kematian, milik yang kuasa. Kita dilarang mendendangkannya. Hentikan simponi airmata, nadanya terasa sangat sumbang. Kurasa kita harus segera menentang badai, rapatkan barisan menyongsong maut, menegakkan sendi kebenaran demi Aceh tercinta.

04. Zakiah
Piyoh Dilee. Tunggu dulu. Hanya dengan kekuatan wanita, apa yang dapat kita lakukan. Jangan bermimpi melakukan perlawanan bila tak memiliki kekuatan.

05. Azizah
Mimpi adalah kesadaran dalam ketidaksadaran. Sekarang waktunya mengakhiri mimpi buruk yang bertahun-tahun menidurkan bangsa ini dalam kepedihan. Kita harus bangkit menemukan kesadaran.

06. Zakiah
Kesadaran macam apa yang kau inginkan. Kematian bukan kesadaran tapi akhir sebuah perjuangan. Kurasa masih ada cara menghindari pertumpahan darah, dan sabit suatu saat pasti purnama. Bersabarlah.

07. Azizah
Saba! Kesabaran dan pengecut, sedikit bedanya. (MENGEJEK) Kurasa kau bukan pengecut yang lari dari maut. Kita harus segera menyongsong kenyataan, bukankah sejak dari endatu kita perang suci tidak hanya dilakukan oleh kaum Adam saja.


08. Zakiah
Berani dan gegabah, sedikit bedanya. Aku tak punya suami lagi, bila aku mati siapa yang mengurus anak-anakku.

09.Azizah
(CEPAT MEMOTONG SAMBIL TERTAWA). Untuk apa anak-anak kita diurus. Sebentar lagi mereka juga mati oleh peluru tak bermata.

10. Zakiah
(MENAHAN GERAM). Peluru memang tak bermata, tapi manusia punya kaki untuk lari dari maut.

11. Azizah
Lari. (TERTAWA LEPAS). Lari katamu, langit tak ada tangganya. Hanya ada dua pilihan, mati terhormat atau mati menjadi pengkhianat.

12. Zakiah
Terlalu mudah mengambil keputusan bukan ciri manusia bijaksana.

13. Azizah
Pengecut juga bukan sikap bijaksana.

14. Zakiah
Berpikir dan bertindak merupakan ciri kebijaksanaan. Sementara bertindak tanpa pikiran adalah kesia-siaan.

15. Azizah
Hidup ini adalah rangkaian keniscayaan. Siapa yang dapat menebak nasibnya. Siapa yang tahu kemalangan akan menimpa. Aku tak pernah menduga suamiku direnggut nyawanya oleh paskukan upah. Padahal saat kejadian ia pergi menjual hasil kebun, diiperjalanan kaum Ateuh meminta mengantar dagangan ke pinggir hutan. Saat kembali ia disekap oleh pasukan Upah, dipaksa mengaku kemudian dipukuli. (MENANGIS) Sejak itu, ia sakit-sakitan dan akhirnya meninggal. Memang, tetangga iri padanya, orang itu ingin membeli hasil kebun kami dengan murah, tapi suamiku menjual kepada orang lain. Orang itu melaporkan suamiku pada Upah. Sudah sering Upah menanyakan persembunyian kaum Ateuh padanya, ia memang tidak tahu apa yang harus ia jelaskan. (MARAH) Pasukan Upah itu seolah-olah Tuhan, apa yang diperintahkan harus diikuti, apa yang ditanya wajib dijawab. Aku harus membalas mereka, harus!

16. Zakiah
Itu kesalahan-pahaman, bukan. Jadi, orang yang iri kepada suamimu itu yang harus kau balas. Upah hanya melaksanakan tugas memburu kaum Ateuh.

17. Azizah
(KAGET. MARAH) Suamimu dibunuh Upah kan. Mengapa malah membela Upah. Kau lihat Upah-Upah itu menjadikan dirinya Tuhan dinegeri ini. Mencabut nyawa siapapun yang ia kehendaki, memukul orang yang tidak bersalah, memperkosa. Aku pernah jadi korban kebiadaban nafsu mereka, (MARAH BERCAMPUR SEDIH) bila upah-upah itu aku temukan tanpa pandang bulu, berkeinginan aku untuk membalas dendam. Mereka harus mati. (MENATAP ZAKIAH) apakah perlakuan merampas kehormatanku dihadapan suami saat dia sakit, dapat dibenarkan.

18. Zakiah
Itu tidak dapat dibenarkan. Mereka hanya orang suruhan, diperintah untuk melakukan intimidasi kepada siapa saja. Begitulah cara mereka mengorek informasi tentang keberadaan kaum Ateuh. Mereka hanya menjalankan tugas sesuai perintah atasan, bila diperintah memperkosa, ia pasti lakukan, dapat perintah membunuh itupun musti dilakukan.

19. Azizah
Prak Laju. Omong kosong. Aku tak mengerti jalan pikiranmu, kau terlalu lemah dan pengecut!

20. Zakiah
Meunoe. Begini maksudku, kita masih bisa berharap para Upah itu meninggalkan negeri ini tanpa memperbanyak korban. Kurasa sama dengan hukum berburu, pemilik anjing harus kita paksa mengikat anjingnya.

21. Azizah
(JENGKEL) Sabar, sampai kapan! Terlalu sabar membiarkan dirimu menjadi korban.

22. Zakiah
Terlalu pemarah akan dikorbankan. Seperti suamiku dan iparnya, tak mampu menahan diri dari kemarahan, terpaksa jadi korban kegegabahannya. Sementara perjuangan masih panjang, ia sudah buru-buru menuju surga.

23. Azizah
(MARAH) Terlalu! Kau menghina mereka yang mengorbankan nyawa untuk masa depan negeri ini. (MENATAP TAJAM) apa kau sudah tidak waras.

24. Zakiah
(TERSENYUM MIRIS). Cobalah berpikir sehat. Jangan memperturutkan amarah.

25. Azizah
(MENGGERUTU). Dasar bodoh! Pengecut!

26. Zakiah
Membiarkan diri masuk perangkap lebih bodoh lagi. Para Upah memasang jaring di setiap sudut, bila salah melangkah selesailah riwayatmu.
27. Azizah
(MARAH) Beu kah! Pengecut kau! Tidak berani menghadapi kenyataan.

28. Zakiah
Kau yang berjiwa kerdil. Bertindak tanpa pertimbangan, pergi sana! Angkat senjatamu, lawan M-16 itu dengan rencong, serang tank dan panser dengan sabit pembabat rumput. Ayo, tunggu apa lagi.

29. Azizah
(GAGAP). Setidaknya aku punya semangat. Semangat, senjata untuk mengalahkan apa saja, satu lagi aku punya keyakinan dan iman. Iman tameng menyongsong maut.

30. Zakiah
Semangat hanya berguna sebagai senjata bagi orang yang cerdas. Sementara iman untuk penyeimbang bagi orang yang berakal. Kita tak bisa mempergunakannya tanpa perhitungan. Bila salah dalam memakai kita sendiri yang hancur tanpa mendapatkan apa yang diingini.

31. Azizah
(MENATAP DENGAN JENGKEL) Kurasa kau tak pantas hidup dijaman seperti ini. Kau tak belajar pada alam, semut saja bila dinjak pasti menggigit.

32. Zakiah
Aku bukan semut.

33. Azizah
Kau lebih bodoh dari semut. Membiarkan diri jadi korban penindasan.

34. Zakiah
Manusia berbeda dengan semut. Semut sekali menggigit setelah itu mati oleh orang yang digigitnya. Manusia memiliki pikiran sementara semut tidak, jadi aku tidak mau belajar pada semut.

35. Azizah
Pengecut! Pandai membalikan kata-kata. Bilang saja kau takut mati, ya kan.

36. Zakiah
Semua yang bernyawa pasti mati. Aku tak mau mati konyol, sedangkan perjuangan masih panjang. (BERPIKIR) cobalah bedakan pengecut dengan berpikir agar tahu beda berani dengan gegabah.

37. Azizah
Pengecut selalu jadikan berpikir sebagai alasan untuk menghindari perlawanan.



---------------------------------------------------------------------------------
HAYATI MUNCUL SAMBIL MENYANYIKAN LAGU SEULANGA KARYA RAFLI SESEKALI DIIRINGI TAWA DAN PEKIKAN HISTERIS. AZIZAH DAN ZAKIAH MEMPERHATIKAN HAYATI.
---------------------------------------------------------------------------------
38. Hayati
(ASYIK DENGAN RAMBUT KUSAMNYA) Cut bang. Pulang bang, cut dek rindu sekali padamu. Wah gagah sekali kau pakai baju itu. Ini senjata ya, bisa untuk menembak rusa bang. Kalau sewaktu-waktu berburu, Cut dek ikut bang. Bang jangan ikut-ikutan mereka lagi ya bang, Cut dek takut, pasukan Upah itu sering tanyai Cut bang sama Cut dek. Jangan ke hutan lagi ya bang, kalau mereka bunuh Cut bang siapa yang mengurus anak kita nanti.....(MENANGIS).

39. Azizah
Kasihan sekali, sudah banyak perempuan seperti ini di kampung kita. Ini akibat kesabaran yang berlebihan.

40. Zakiah
Bukan. Ini akibat tak mampu membedakan makna keberanian dengan kegegabahan. Para lelaki menganggap mereka pemberani bila mati di medan perang. Mereka kira para wanita bangga bila suaminya gugur. Nyatanya, kita menderita tanpa mereka. Menahan kerinduan dan kesedihan serta sendiri mengurus anak-anak. Perlawanan tanpa pehitungan akan menambah korban.

41. Azizah
Dasar egois! Tak mau menerima pendapat orang lain.

42. Zakiah
Kau yang keras kepala tak mau diajak berpikir jernih.

43. Azizah
(MARAH). Kau memang....

44. hayati
(MEMOTONG CEPAT) Hei! Kenapa kalian bertengkar. Dengar! Kata orang kaum Ateuh turun gunung, suami kita kan pulang. Nah, sekarang temani aku ke pinggir hutan. Aku mau jemput suamiku. Ayo temani aku, aku takut jika ada suara tembakan senjata.

45. Zakiah
Tenanglah, siapa namamu.

46. Hayati
(MENYAHUT DENGAN LUGU). Hayati.

47. Zakiah
Pulanglah, nanti suamimu pasti susul kau ke rumah. Aku kenal dia, anaknya Cut Maryam tapi aku tak kenal suaminya. Kata orang suaminya tewas di Sigli, namun tak sekalipun orang kampung lihat suaminya. Mungkin karena pulang malam hari, barangkali.

48. Azizah
Tak penting! Ada yang lebih penting, bagaimana caranya agar dia berkenan untuk pulang agar tak terlibat kontak senjata.

49. Zakiah
Pulanglah, nanti suamimu susul kau ke rumah.

50. Azizah
Jangan dengar dia. Orang bilang suaminya sudah lama gugur di medan perang.

51. Zakiah
(MARAH) Kau menambah beban penderitaannya.

52. Azizah
Kurasa ia sembuh jika mengetahui kenyataan.

53. Zakiah
Kenyataanya adalah dirinya. Kau harus pahami itu.

54. Azizah
Memahami orang gila. (TERTAWA SINIS) kurasa kau sudah mulai gila pula.

55. Zakiah
Jaga mulutmu!

56. Azizah
O, marah rupanya. Kukira kau orang yang penyabar, tadi kau mengajariku tentang kesabaran. Kenapa baru segitu saja sudah marah.

57. Zakiah
(KESAL. MENGANCAM DENGAN RENCONG). Kurang ajar, kubunuh kalau masih berani menghinaku.

58. Hayati
(TERTAWA). Mengapa kalian bertengkar, jangan begitu. Aku mau minta tolong, temani aku menjemput suamiku (MENARIK TANGAN AZIZAH) Aku sangat rindu padanya.

59. Azizah
(MENGHARDIK) Percuma! Suamimu mati ditangan Upah. Pulang sana, aku tak mau terlibat mengurusmu kalau ditempat ini kontak senjata.

60. Hayati
Kontak senjata (TERTAWA GIRANG). Wah! Bila ada kontak senjata disini, pasti suamiku salah satu dari mereka yang bertempur. Aku akan kejar dia, memeluknya. Wah pahlawanku, gagah sekali dia di medan perang. Akan kutumpahkan segala kerinduanku padanya. Semoga itu semua cepat terjadi.

61. Azizah
Dasar orang gila, tak mengerti kenyataan.

62. Zakiah
Sudah aku katakan. Kenyataannya adalah dirinya sendiri. Kau tak pernah bisa memaksa masuk pada kenyataannya.

63. Azizah
Kenyataan yang gila. Ya, sudah! Kurasa aku tak perlu menjelaskan bagaimana kenyataan yang sebenarnya kepada orang gila.

64. Zakiah
Pulanglah Hayati. Berikan anakmu kasih sayang.

65. Azizah
(TERTAWA MENGEJEK). Anaknya baru saja tewas, saat rumah dibakar orang tak dikenal seminggu yang lalu.

66. Zakiah
(MENGHARDIK). Diamlah! Kau selalu mencampuri urusanku. Aku sedang membujuknya agar ia pulang. Aku tak mau dia mati konyol.

67. Hayati
(BERLARI. MENUNJUK PENONTON DENGAN MARAH). Tidak! Kalian bohong semua. Suamiku tidak mati. Suamiku masih hidup, sebelum berangkat ia berjanji cepat kembali. Dia tidak bohong, suamiku bukan lelaki pendusta, ia pasti kembali. Selama hidup dengannya tak sekalipun membohongiku. (MENANGIS). Tidak! Jangan katakan ia mati, ia masih hidup (MENGELUARKAN RENCONG). Kubunuh kau bila bilang suamiku telah mati.

68. Azizah
Berisik! Hei orang gila. Walaupun kau berteriak setinggi langit suamimu tak akan kembali. Ia sudah terkubur di bumi.

69. Zakiah
Diamlah!

70. Azizah
Ia harus mengerti kenyataan. Kita tak boleh membiarkannya dibayangi harapan-harapan.

71. Zakiah
Setidaknya ia masih dapat menikmati alamnya sendiri.

72. Azizah
Alamnya itu, mimpi yang tak pernah nyata.

73. Zakiah
Lebih baik ia bermimpi daripada tersiksa oleh kenyataan.

74. Azizah
Kenyataan itu, sakit. Ia harus menerima bahwa hidup rangkaian kesakitan-kesakitan. Jadi berhentilah membiarkannya berpimpi. Berikan kesadaran dan biarkan ia nikmati kenyataan sebagaimana mestinya.

75. Zakiah
Membuka kenyataan untuknya, membawa dia hidup dalam kematian. Seperti yang kita rasakan sekarang (MENARIK NAFAS PANJANG). Biarkan dia. Aku tak rela ia ikut tersiksa oleh kenyataan

76. Azizah
Justru kau yang tak kasihan, membiarkannya terus-terusan bermimpi.

77. Zakiah
Mimpi itu, kenyataan dirinya.

78. Azizah
Kenyataan tak pernah ada.

79. Zakiah
Ada dan tiada, tergantung bagaimana memandangnya.

80. Azizah
Persepsi orang gila. Memandang hidup dengan gila. Kegilaan yang paling gila ketika menyakini sesuatu ke-ada-an yang sebenarnya tidak ada.

81. Hayati
(HAYATI TERTAWA KERAS. MEMAINKAN RENCONG SEPERTI MENIMANG ANAK). Oh, Cut bang. Kapan kau pulang. Apa? Kau pandai sekali membuat hatiku bahagia. Bang anak kita sudah lahir, sejak Cut Bang pergi aku urus semua sendiri, tapi tak mengapa yang penting kau sudah pulang sekarang bang. Lihat ini bang (MENINABOBOKKAN ANAK DENGAN SYAIR DODA IDI ACEH) Siapa kau beri nama anak kita bang. Aku beri nama Brahim, Cut bang setuju kan? Ini bang (MENYERAHKAN RENCONG) Apa?! Kau tak mau menggendongnya. Kenapa kau bang, tidak ingin memeluknya, apa tak suka padanya. (MENELITI) Bang mengapa hanya diam. (MENANGIS) Kau mau ke hutan lagi, jangan bang. Tinggallah dulu barang dua hari dikampung, aku masih rindu padamu. Jangan pergi bang, jangan tinggalkan aku (HISTERIS) jangan! Aku belum puas bermanja denganmu.

82. Azizah
(MENANGIS) Aku tak tahu harus berbuat apa kalau sudah begini. (ZAKIAH HANYA MENATAP KOSONG. AIR MATANYA MENGALIR DI PIPI). Zakiah, aku bicara padamu. (ZAKIAH MENYEKA MATANYA YANG BASAH). Zakiah! Kau dengar aku.

83. Zakiah
(TERSENTAK. MARAH) Aku dengar! Tidakkah bisa berhenti menggerutu. Aku bosan dengan plintat-plintutmu.

84. Azizah
Baiklah, aku diam.

85. Hayati
(GEMBIRA. TERTAWA) lihat. Itu suamiku pulang. Cut bang! Cut Bang! (BERLARI KE SILHUET. AZIZAH MENGEJARNYA ).

86. Azizah
Tenanglah hayati. Itu hanya sebatang pohon mati, tenanglah. (HAYATI MERONTA-RONTA).

87. Hayati
Lepas! Itu suamiku. Dia datang dengan sepasukan anak buahnya, gagah sekali kelihatannya. Kau tak melihatnya, apa sudah buta, jelas aku melihatnya. Cut bang! Cut Bang! Aku disini.

88. Azizah
Tidak ada apa-apa hayati.

89. Hayati
Wah! Sudah benar-benar buta. Lihat disana, yang memimpin pasukan itu kan suamiku. Cut bang! Cut Bang! Kesini bang.

90. Azizah
Yang kau tunjuk itu, pohon mati.

91. Hayati
Bukan! Itu suamiku. Minggir kau (MERONTA MELEPASKAN PEGANGAN AZIZAH). Kau menghalangiku menyongsongnya.

92. Azizah
Tidak ada apa-apa. Zakiah, tolong aku. Bujuk dia agar tidak berlari.

93. Zakiah
Lepaskan saja dia.

94. Azizah
Kau sudah kehilangan kewarasanmu rupanya. Kalau dia lari ke pohon kering itu, ia akan jatuh ke jurang. Bukankah kau tahu di balik pohon itu ada jurang yang sangat dalam.

95. Zakiah
Biarkan saja dia jatuh agar terlepas dari penderitaannya.

96. Azizah
Kau memang sudah gila, kalau dia jatuh dia pasti mati.

97. Zakiah
Itu yang kau mau, kan. Kalau dia mati tentu berakhir semua deritanya.

98. Azizah
Tolong aku. Ayo! Aku tak kuat menahannya.

99. Zakiah
(MEMBENTAK) Lepaskan saja. Kalau dia jatuh usailah mimpi dan penderitaannya.

100. Azizah
Kau yakin.

101. Zakiah
Yakin apa.

102. Azizah
Yakin dia akan bebas dari mimpi-mimpinya.

103. Zakiah
Kalau tak percaya, pegang saja dia sampai bosan.

104. Azizah
Pergilah. (HAYATI TERSENYUM). Aku tak menghalangimu. (TERTAWA) kenapa kau menertawaiku. Ayo pergi sana!

105. Hayati
Aku membohongimu. Aku tak melihat apa-apa disana. (ZAKIAH TERTAWA).

106. Azizah
(JENGKEL). Ek leumo kah. (HAYATI TERTAWA LIRIH) Dasar perempuan gila.

107. Hayati
(SERIUS). Aku tidak gila. Kau yang gila.
108. Azizah
Beraninya kau menghinaku. Aku waras, kau yang gila.

109. Hayati
(MENYEKAP AZIZAH. LALU MENGANCAM DENGAN RENCONG). Kau perempuan gila. Mengakulah kalau kau gila atau kutusuk urat lehermu dengan rencong.

110. Azizah
Zakiah, tolong aku.

111. Zakiah
Turuti saja kemauannya.

112. Azizah
Tapi aku tidak gila.

113. Zakiah
Pilih waras tapi mati atau pilih gila tetap hidup.

114. Azizah
(BERPIKIR. GAGAP) ya, kuakui. Aku memang gila.

115. Hayati
(MENDORONG AZIZAH. TERTAWA BANGGA). Sudah aku duga. Kau memang gila. Tak perlu kau ulangi lagi. Orang gila memang tak mampu melihat siapa yang sebenarnya waras. Orang waras selalu saja menumpang kenikmatan pada kegilaan orang gila. (HAYATI TERTAWA PANJANG).

TERDENGAR SUARA HELIKOPTER, BERHENTI.LALU SUARA TEMBAKAN MENGGELEGAR SALING BERSAHUTAN.

116. Azizah
Zakiah, ayo kita tinggalkan tempat ini.

117. Zakiah
Mengapa musti pergi. Aku menunggu laporan anak buahku.

118. Azizah
Apa maksudmu. Kau pemimpin pasukan Inong Balee. (TERSINGGUNG). Enak saja menunggu anak buah, memangnya siapa kau. Ayo tinggalkan tempat ini. (KEPADA HAYATI) hei orang gila, ayo kita pergi.

119. Zakiah
(TENANG. MENAHAN KEMARAHAN). Bukankah kau mau melawan. Ayo pergi ke balik bukit itu, disana anak buahku sedang kontak senjata dengan para Upah (MENGELUARKAN PISTOL DARI BALIK BAJUNYA. DAN IA MENGAMBIL SENJATA LARAS PANJANG, DIBAWAH NTIKAR YANG SEDANG DIANYAMNYA). Ini ambil, kau tak mungkin melawan mereka dengan rencong. Mereka pakai panser dan tank.

120. Azizah
Kau panglima Inong Balee.

121. Zakiah
Tak perlu aku katakan padamu. Apa yang kau anjurkan telah lama aku perjuangkan. Aku tak suka banyak omong, persoalan tak selesai dengan omong kosong seperti itu. (MENATAP JAUH) Siapa yang sedang berjalan kemari.

122. Hayati
(TENANG). Aku mau cerita padamu Zakiah. Tentang seorang lelaki tanah rencong yang bekerja sebagai Upah. Terkapar di tengah jalan tanpa kepala. Orang-orang mengenalinya karena nama dan alamat kesatuan yang melekat dipakaian.

123. Zakiah
Apa maksudmu?

124. Hayati
Istri perempuan itu adalah.........(HAMIDAH MUNCUL DISAMPING ZAKIAH)

125. Zakiah
Siapa kau?

126. Hamidah
Tak perlu kau tanyakan (SINIS). Kau berhutang nyawa padaku (MELUDAH) perempuan pembunuh!

127. Zakiah
(MEMANDANG) Oya, benarkah kau cuak. Pengkhianat negeri ini.

128. Hamidah
Aku berjuang untuk bangsa juga almarhum suamiku.

129. Zakiah
Pengkhianat. Sudah, aku lepaskan kau kalau memang aku berhutang nyawa atas kematian suamimu. Kini aku tebus nyawa itu dengan membebaskanmu, tapi jangan kau ulangi perbuatanmu.

130. Hamidah
Akun inginkan kepalamu seperti yang kau lakukan pada suamiku. Kau harus kupenggal.



131. Zakiah
(MARAH). Aku tahu rasanya kehilangan suami. Makilah aku sepuasmu, aku tak membencimu. Sebagai manusia aku mengerti seberapa besar marahmu padaku. Satu yang harus kau ingat, suamimu mengkhianati negerinya sendiri. Bekerja sebagai Upah dan membunuh banyak kaum kita.

132. Hamidah
Suamiku seorang pahlawan. (LAGU INDONESIA RAYA TERDENGAR SAYUP). Berjuang demi bangsa dan negara yang dicintai. (MENANGIS) suamiku berjuang menyelamatkan cinta dalam sebuah rumah.

133. Zakiah
(MARAH). Jadi karena suamimu bagian dari Upah itu kau anggap kami musuh. Tidakkah kau tahu betapa Upah-upah itu, berenang dalam darah dan airmata kaum kita. Coba kau pikirkan, betapa banyak penderitaan yang terjadi akibat ulah para Upah dinegeri ini.

134. Hamidah
(MENENTANG) Justru darah itu harus tumpah, karena kalian tidak mau menebus dendam dengan cinta.

135. Zakiah
Jangan mengajari aku. Kau ada disini juga karena dendam.

136. Hamidah
Aku akui, setidaknya aku tetap mempertahankan sebuah rumah yang akan kau hancurkan. Kau membuat rumah baru yang belum tentu memberikan kedamaian kepada kita.

137. Zakiah
Pergi kau dari hadapanku, sebelum aku berubah pikiran. Kita semua memang sedang kehilangan, tapi tak guna saling bunuh antara sesama kaum kita. Aku mengampunimu karena kau masih kaumku sendiri. Aku berharap kau menyadari pentingnya perjuangan ini. Jadi jangan menghancurkannya.

138. Hamidah
Kau kira perjuanganku tidak penting bagi diriku. Aku berjuang demi bangsaku, bangsa yang kucintai.

139. Zakiah
Bangsa apa. Bangsa yang kau perjuangkan itu tidak menegakkan syariat. Bangsa itu kafir.

140. Hamidah
Menegakkan syariat dengan paksa tidak pernah diajari dalam agama kita.

141. Zakiah
Kita diperintahkan menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan tangan kita.

142. Hamidah
Itulah kalian berkeras dengan kebenaran. Sedangkan kami tidak pernah diberikan untuk berpendapat. Bila tak keras kepala, tak akan ada peperangan ini. Tak menjamur janda-janda di kampung ini. Anak-anak yatim tak sebanyak sekarang. Aku masih berharap suatu ketika perang ini usai dan dapat hidup tenang, tanpa letusan senjata.

143. Zakiah
Kami akan menuntut hak dengan segala kemampuan. Meski sedikit lelaki tersisa, para wanita mengangkat senjata melanjutkan perjuangan suami mereka.

144. Hamidah
Lihatlah, yang kau hadapi itu bangsa sendiri. Sungguh mengerikan. Saling bunuh dalam sebuah rumah untuk tujuan yang tidak jelas.

145. Zakiah
Apanya yang tidak jelas. Perjuangan ini menegakkan sendi kebenaran.

146. Hamidah
Kebenaran yang diracuni dendam. Tidak adakah jalan berdamai. Berkali-kali Upah menawarkan perdamaian, tapi kalian menolak. Lihatlah di luar sana para oportunis asyik berenang dalam airmata dan darah kita. Mereka dengan gembira mengirim berita penderitaan sebagai dagangan yang laku di luiar negeri.

147. Zakiah
Jangan kau gurui aku. Memang cara pikir kita berbeda. Tak mungkin menyatukan sesuatu yang berbeda. Kita berbeda menatap dunia, dan berbeda pula menyimpulkannya.

148. Azizah
Piyoh Dilee. Tunggu dulu. Zakiah, bukankah kau pernah mengatakan bahwa Upah itu hanya suruhan. Ibarat anjing yang ditugaskan untuk berburu, kini mengapa kau menolak tawaran perdamaian. Bukankah bila jurangan anjing tidak lagi ingin menangkap buruannya, anjing itu tidak lagi berbahaya. (TERDENGAR SUARA HELIKOPTER)

149. Zakiah
Inikah perdamaian. Tawaran macam apa ini, mereka menawarkan perdamaian sementara kita terus diburu dan dibunuh. Lihatlah sekeliling, anjing-anjing itu sangat jelas salakannya dan buruannyapun semakian ramai berkeliaran. Perdamaian macam apa yang diharapkan saat kontak senjata terus terjadi. Aku berharap bila mereka ingin berdamai, mereka harus ikat dulu anjig-anjing yang mereka pelihara. (MENCARI-CARI). Mana si gila tadi.



150. Hamidah
Barangkali pergi mengikat anjing.

151. Zakiah
Apa maksudmu?

152. Hamidah
Pikirkan sendiri. O ya, kami bangsa kalian sendiri dan sebagian lagi adalah kaum kalian.

153. Zakiah
Perdamaian ini memakai metode berburu. Mereka semua sama dengan kita manusia juga. Bila aku anggap mereka benar-benar anjing, sudah kupenggal lehermu karena mengambil anjing sebagai suami. Perburuan di tanah rencong inilah yang kami sebut metode melepas anjing. Oya, apa yang kau maksud dengan kata-kata mengikat anjing tadi.

154. Hamidah
Lihat sekeliling Zakiah. Siapa yang mengepung kita. Anak buahmu atau anjing pemburu.

155. Zakiah
Mereka banyak sekali. Mundur ke jambo dua. (LAMPU PADAM. TERDENGAR BUNYI SENJATA BERSAHUT-SAHUTAN. TERLIHAT SILHUET HIDUP DAN DUA LELAKI DENGAN GERAKAN SEUDATI PEULOET MANOK. TERDENGAR SYAIR LAGU SEULANGA MILIK RAFLI).


TAMAT
Padangpanjang, 21 April 2009.
Hasil rivisi Ulang
Salam Kreatif.
(Wiko Antoni/Sulaiman Juned)

PERTUNJUKAN AMAL BUAT BENCANA

PERTUNJUKAN AMAL:
GALODO 30 KOLABORASI TARI-MUSIK-TEATER
Oleh: Muhammad Subhan *)


Sebuah pertunjukan kolaborasi teater, musik dan tari, bertajuk ”Galodo 30”, dipentaskan di tapak bekas Balai Losa (Pekan Selasa), Pasie Laweh, Kecamatan Sungai Tarab, Tanah Datar (05/04/2009) yang lalu, di atas batu dan lumpur yang diturunkan lahar dingin dari Gunung Merapi. Daerah-daerah yang kini ditumpuki batu dan lumpur, dipadati manusia yang ingin menyaksikan musibah terbesar di Tanah Datar Sumatera Barat menjelang Pemilu tahun ini. Pertunjukan ini atas gagasan tiga orang seniman Eljun Fitra Pimpinan Sanggar Seni Gugun Batuah Pasie Laweh, dan Jumaidi Syafe’i Komposer yang dosen jurusan Musik STSI Padangpanjang, didukung pemusik dari anggota Resimen Mahasiswa (MENWA) Batalyon 105 STSI Padangpanjang, serta Sulaiman Juned Penyair dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang.
Sulaiman Juned yang juga dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang dengan lantang tanpa mikrofon membacakan puisi yang berjudul ”Jika Air Berumah di Pasie Laweh”, ini petikan puisi hasil karyanya; //jika air berumah/ di kampung-di pasar-di sawah-di ladang langit menangis renyah/ galau bulan mandi galodo/ Gerimis menari-nari angin jalang memekatkan jiwa/ rupa hilang dalam kelam waktu// jika air berumah/ di rumah gadang-di toko-di mushalla-di masjid langit menangis rinai/ matahari risau mengeram galodo/ Tarian sukma memabukkannya selepas bertarung menempuh badai//.
Teriakan-teriakan Sulaiman Juned dengan teknik vokalnya yang luar biasa, bagaikan gemuruh longsor mencekam hati para penonton mampu menghamburkan tangis sekitar 10 ribu penonton yang datang dari seluruh pelosok Sumatera Barat. Pembacaan puisi secara teaterikal didukung oleh 7 penari yang digarap secara kontemporer oleh Eljun Fitra, gerakan-gerakan di atas batu laksana orang-orang yang dirundung kecemasan, ketakutan, dan sedang berjuang untuk memperpanjang hidup sehingga mengeluarkan pekikan-pekikan menyayat. Kolaborasi ini juga didukung dengan musik yang serasi dikomandoi Jumaidi Syafe’i, S.Sn., M.Sn (Dosen Jurusan Musik STSI Padangpanjang) mendukung penggambaran suasana bencana alam tersebut, seperti; efek bunyi gemuruh dengan gendang tambur, efek bunyi dihadirkan lewat alat musik tasa, bansi dan saluang memunculkan suasana sedih dan miris. Ditambah dengan koor Laailaahaillallah dari seluruh pemain ketika penyair Sulaiman Juned membacakan puisi ”Doa Galodo” dalam menutup pertunjukan. Pertunjukan itu mampu menghipnotis penonton.
Pertunjukan yang berdurasi satu jam itu, membuat kami terharu sekaligus menjadi tempat kami berkaca. Seni memang mampu menjadi media transformasi moral sekaligus pendidikan kepada masyarakat. Ini buktinya, pertunjukan yang membuat kami terhanyut lalu kami belajar untuk instropeksi diri, mengapa Tuhan menguji kami dengan bencana ini. Mungkin ada hikmah dibalik itu semua. Pertunjukan seni di atas bekas pasar yang telah jadi ladang batu ini mengingatkan kami kepada kemahabesaran Allah. ”Luar biasa penampilan ’Galodo 30’ itu,” tutur Syarif Hayatullah, salah seorang pemuda Pasie Laweh sambil menyeka air matanya, ketika ditemui seusai pertunjukan.
Jumaidi Syafe’i menyatakan, pertunjukan ini untuk menggugah nurani manusia terkait derita yang dialami masyarakat Pasie Laweh. Namun masyarakat diharapkan jangan melupai Tuhan, jangan terlalu lama larut dalam kesedihan, mari bangkit untuk menatap masa depan yang masih panjang, tuturnya.
Sementara Eljun Fitra Koreografer yang asli putra Pasie Laweh mengatakan, pertunjukan kolaborasi ini untuk memancing perhatian massa, yang secara kebetulan pula hari ini minggu, pengunjung sangat ramai lalu kami (Eljun, Jumaidi Syafei, Sulaiman Juned) sepakat untuk mengadakan pertunjukan amal. Di atas puing-puing Galodo kami melakukan pertunjukan, agar para pengunjung termotivasi pula untuk beramal lewat kotak-kotak amal yang telah disediakan panitia, ujarnya.
Anggra Putra, salah seorang korban galodo yang rumah orangtuanya dipenuhi lumpur berbau, dan mengalami rusak parah disela-sela kesibukannya menjalankan kotak amal kepada pengunjung mengatakan, terimakasih kepada seniman yang peduli kepada kami. Saya sangat terharu menonton pertunjukan ”Galodo 30” tadi. Pertunjukan itu, seperti rekaman ulang dari kejadian yang menimpa kami masyarakat Pasie Laweh. Sekaligus kami berharap dengan adanya pertunjukan seni seperti ini pengunjung terketuk hatinya untuk menyumbang, sehingga kami tidak dijadikan objek wisata semata-mata. Jika perlu setiap hari minggu selalu ada pertunjukan seni seperti ini, ujarnya.
Sulaiman Juned menambahkan, Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang bersama Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, siap untuk melakukan pertunjukan amal setiap minggu di Pasie Laweh, jika masyarakat menginginkannya. Kami kemari tidak perlu dibayar, biarlah kami membiayai diri kami, termasuk konsumsi. Pertunjukan tersebut benar-benar sebagai amal, dan mudah-mudahan ada manfaatnya.
Martarosa, S.Sn., M.Hum, Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, dalam kesempatan itu menyatakan siap untuk mengkoordinir seluruh mahasiswa seni pertunjukan yang ada di kampusnya untuk melakukan pertunjukan amal. Mahasiswa seni memang sangat peduli terhadap pekerjaan-pekerjaan humanis seperti itu. Kapanpun siap untuk melakukannya, paparnya.
Seni tidak hanya berpungsi sebagai media hiburan. Seni memang mampu memberi dukungan moral kepada masyarakat yang sedang dirundung nestapa. Sebagai seniman, melakukan tugas suci itu sudah merupakan kewajibannya. Seniman melakukan perubahan dan kebaruan hanya melalui karya-karyanya, termasuk karya seni yang bermuara untuk kegiatan amal. Oleh karena itu, seniman dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bravo seniman, pengabdianmu kami perlukan. ***

*) Penulis adalah penyair, tinggal di Padangpanjang-Sumatera Barat.

Catatan :
Musibah longsor (orang Minang sering menyebutnya galodo—pen) yang terjadi di Pasie Laweh, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar terjadi pada tanggal 30 Maret 2009, empat hari paska musibah Situ Gintung di Tanggerang. Puluhan rumah masyarakat hancur, begitu juga dengan sejumlah fasilitas umum, seperti jalan, rumah ibadah, sekolah, dan pasar. Satu orang warga meninggal dunia, dan belasan lainnya mengalami luka-luka. Longsor Pasie Laweh bukan saja mendatangkan air bah dan tanah dari kaki Gunung Merapi, namun juga batu-batu gunung yang ukurannya cukup besar.

KISAH MASA KECIL dan DISKUSI SASTRA BERSAMA PENYAIR ACEH WIN GEMADE

Kisah Masa Kecil:
SULAIMAN JUNED SEJAK KECIL SUDAH SUKA MENULIS

Oleh: Sisca Oktri Santi (Yeyen)

Adik-adik sayang, jumpa lagi dengan masa kecil. Bagaimana kabarnya? Ujian berhasil dilalui dengan baikkan? Kalau rajin belajar, tentu menjalani ujian tidak perlu takut, karena sudah terbiasa dengan pelajaran. Memang mengiulang-ulang pelajaran dan banyak membaca merupakan salah satu kunci keberhasilan kita dalam menuntut ilmu.
Masa kecil kali ini, mengajak adik-adik untuk mengetahui kisah masa kecil seorang sastrawan asal Aceh yang sekarang aktif di Padangpanjang. Beliau adalah Sulaiman Juned. Puisi, cerpen, esai, artikel, reportase budaya, kolom, kritik sastra dan teater sering dimuat oleh media, seperti; Atjeh Post, Aceh Ekspres, Serambi Indonesia, Santunan, Harian Aceh, Rakyat Aceh, Aceh Indefendent, Aceh Kita, Kiprah, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Gema Baiturrahman, dan Ceurana (Di Aceh). Waspada, Analisa, Dunia Wanita (Medan). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Lampung Post, Riau Post, Metro Expres, Indefendent, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Bahasa dan Sastra di Malaysia dan Brunei Darussalam, Jurnal Aswara Malaysia, Media Indonesia, Suara Karya Minggu, Republika, Kompas, Koran Tempo, dan Seputar Indonesia. Banyak karya sudah ia hasilkan. Bagaimana bisa ya adik-adik? Hm, hebat ya?
Ngomong-ngomong, bagaimana sih awal mulanya Sulaiman Juned berkarya? Ternyata, ia sudah memulai sedari kecil, lho! Itu juga diawali dengan sifat disiplin yang sudah tumbuh dan dididik sedari kecil oleh keluarganya, yang membuat ia berkembang hingga suka berkarya. Ngak percaya? Yuk kita simak ceritanya!
Sulaiman Juned dilahirkan di Gampong Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie-Aceh, pada tanggal 12 Mei 2965. Kedua orangtua, yang ia panggil Abi dan Emak, M.Juned Said Oesy dan Juhari Hasan (Kedua-duanya sudah tiada), telah membiasakan kedisiplinan tumbuh dalam jiwa anak-anak mereka, termasuk Sulaiman, sebagai anak kelima dari enam bersaudara.
Ayahnya, yang seorang penjahit, mengajarkan kepada Sulaiman kecil untuk pandai menjahit dan tidak boleh ada benang atau kain yang terbuang sia-sia. Kebiasaan inilah salah satunya kemudian memupuk jiwa disiplin dalam diri Sulaiman.
Semenjak usia tujuh tahun, ia telah diajarkan berjualan, juga bertani yaitu berkebun kopi. Tugasnya bersama-sama saudara adalah membersihkan rumput dan memetik biji kopi yang merah. Di tahun 1976, terjadi pengalaman yang paling berharga dan tak pernah terlupakan. Terjadi dimasa paceklik di kampungnya. Dagangan Abi bangkrut, kebun kopi yang berada di Biespenantanan Takengon, Aceh Tengah tidak berbuah karena terserang hama, sehingga Sulaiman bersama saudara-saudaranya tidak mampu membeli ikan-beras dan sayur.
“kami sekeluarga hanya merebus pisang muda, lalu ditumbuh oleh emak. Pisang muda itulah yang menjadi makanan pokok kami sekeluarga” kenang Sulaiman.
Sepulang sekolah, Sulaiman beternak kambing dan ayam. Setiap pagi berangkat sekolah sekaligus membawa telur ayam untuk di jual di warung kopi. Hasil penjualan itu digunakan untuk membeli beras. Baju sekolah hanya satu pasang, yang sudah robek-robek pula. Dua kali sehari baju itu dicuci karena harus di pakai lagi.
Buku tulis pernah hanya ada dua buah, sehingga mencatat seluruh mata pelajaran di sana. Untuk membeli buku paket, Sulaiman juga tidak mampu. Sehingga di jam istirahat tidak ada waktu untuk bermain, namun digunakan untuk membaca di Pustaka. Meski demikian, keinginan Sulaiman kecil untuk terus belajar dan bersekolah tinggi tetap ada.
Sastra sudah berkembang dalam dirinya sejak ia duduk dibangku SMP. SMP Negeri 3 Takengon. Waktu itu, dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Soel remaja suka sekali menulis puisi, hingga buku catatannya hanya berisi puisi-puisi hasil karyanya. Begitu guru bahasa, ibu Siti Aisyah (yang juga ternyata penyair Aceh seangkatan Rosni Idham) meminta para siswa mengumpulkan buku catatan Bahasa dan Sastra Indonesia, Sulaimanpun cemas, karena ia tak banyak mencatat, dan buku catatannya hanya berisi puisi-puisi yang ia buat.
Namun tanpa disangka, setelah memeriksa catatan Sulaiman, ibu guru malah menyuruh agar Sulaiman segera mengetik puisi itu dan mengirimkannya ke media massa. Setelah itu, ia pun mengirim karya-karya puisi tersebut ke Koran-koran dan majalah. Puisinya ternyata dimuat, dan ia mendapat honor sebesar Rp. 1.500,- yang waktu itu sangat besar nilainya bagi Sulaiman.
Sastrawan, dramawan dan teaterawan yang juga Dosen tetap di Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat ini, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy mengaku, sejak saat itu semakin bersemangat untuk berkarya. Ia sadar, ternyata keberanian untuk mengirimkan karya ke media cetak dapat membuat seseorang semakin ingin berkarya, terlebih lagi bila ternyata karya tersebut kemudian dimuat.
Dosen luar biasa di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB-Padangpanjang, yang juga Pimpinan Komunitas Seni Kuflet yang 12 Mei lalu merayakan Ulangtahunnya yang ke 12 sekaligus ulangtahun Sulaiman Juned yang ke-34 mengadakan DIKLAT Karya Tulis Ilmiah dan Lomba Baca Puisi memiliki tekad yang kuat dalam meraih cita-cita. Ia berpesan kepada adik-adik agar memberanikan diri untuk berkarya. Tidak boleh minder atau merasa rendsah diri, apalagi demi mencapai keberhasilan. Sulaiman Juned telah membuktikan hal ini. Dari SD di Takengon hingga Magister Pascasarjana ISI Surakarta di Jawa Tengah, Sulaiman tidak pernah mau untuk berhenti berkarya. Tidak mau bergantung kepada orang lain, begitulah salah satu prinsip hidupnya. Begitu juga harusnya dengan adik-adik semua, tidak pernah malas ataupun malu dan rendah diri untuk berkarya, dan mengandalkan diri sendiri untuk meraih kemajuan. (TULISAN INI DIMUAT DIRUBRIK MASA KECILKU, HARIAN UMUM HALUAN, Minggu, 17 Mei 2009).












DISKUSI SASTRA BERSAMA PENYAIR WIN GEMADE
Oleh: Vivi Astari

Genap sudah Komunitas Seni Kuflet berusia dua belas tahun. Kuflet didirikan pada tanggal 12 Mei 1997, di Padangpanjang Sumatera Barat. Komunitas Seni ini merupakan organisasi nirlaba, dengan para pendiri: (Almarhum) Prof. Dr. Mursal Esten, Sulaiman Juned, Maizul, Netti Herawati, Leni Efendi, dan Wiko Antoni. Bergerak dalam bidang teater, sastra, musik, dan artistik, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dengan cara mengadakan Seminar/Diklat baik sastra dan teater, juga melaksanakan pelatihan sastra dan teater kepada siswa dan siswi dari SD sampai SMA.
Sesuai ucapan yang dilontarkan oleh Sulaiman Juned yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan Kuflet bahwa, Kuflet harus terus, terus dan terus. Tak ada kata berhenti untuk berkarya, tidak ada titik dan tidak ada koma, terus dan terus. Pada tanggal (13/5) yang lalu, Kuflet didatangi penyair nasional yang berasal dari Aceh, Win Gemade. Ia memberikan materi sastra dengan tema ”Sastra kemarin, Hari ini dan Esok” dalam diskusi rutin mingguan, setiap hari Rabu Pukul 14.00 di Sekretariat Komunitas Seni Kuflet, Jl. DR> A.Rivai No. 146 RT. 11, Kampung Jambak, Kelurahan Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Padangpanjang Sumatera Barat.
Penjelasan Win Gemade sangat menarik, dalam berkarya tidak terlepas dari berpikir. Membaca adalah modal utama dalam melahirkan karya-karya besar. Sastra dapat menjadi mediasi sejarah, dibuat hari ini dapat menjadi referensi untuk esok. Melalui karya sastra seseorang terus hidup sepanjang zaman. Win mwncontohkan Hamka dan Chairil Anwar yang telah tiada, namun karya-karyanya tetap hidup sampai abad dua puluh satu ini. Melalui sastra dapat juga menjadi media didaktik yang dapat mendorong seseorang untuk bersikap. Jika dalam karya sastra terdsapat unsur-unsur yang baik maka kita dapat mencontohkannya, sebaliknya jika terdapat norma yang buruk kita tidak boleh menirunya.
Win gemade juga menyinggung proses kreatifnya. Ia lebih suka mengeluarkan ide-ide yang ada diotaknya ketika berada dalam kamar mandi. Kebiasaan membaca Win yang telah tumbuh sejak kecil tidak kalah pentingnya. Ketika ia duduk di Sekolah Dasar ia sangat menyenangi pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia, dan sangat menggemari sebuah cerpen yang berjudul ”Sang Juara” ini sebuah cerpen yang mendorong Win untuk menulis. Ketika Win SMP, ia sering jatuh cinta, namun tidak berani mengungkapkannya. Perasaannya dilampiaskan melalui tulisan. Ketika SMA kreativitas Win belum tersalurkan sepenuhnya karena keberadaan media yang masih minim. Setelah kuliah barulah Win merambah ke berbagai media, apalagi setelah bergabung dengan Sanggar Cempala Karya Banda Aceh pimpinan Sulaiman Juned, disana setiap sekali dalam seminggu melakukan diskusi sastra dan bedah buku.
Ternyata penyair yang berasal dari Aceh ini suka keluyuran untuk mencari gagasan-gagasan yang dikembangkan menjadi sebuah karya. Win Gemade memberikan kesimpulan terhadap proses kreatifnya melalui tiga hal yakni; ngintip yaitu melihat dan mengamati suatu persoalan. Nguping yaitu dengan mendengarkan orang-orang yang berbicara, hal tersebut akan dapat menjadi masukan baginya dalam berkarya. Melakukan langsung, yaitu dengan mendatangi secara langsung hal yang akan diterjemahkan melalui tulisan. Lalu tulis apa saja selanjutnya kirim ke media masa.
Sastra sangat besar pengaruhnya terhadap diri seseoramng, seseorang dapat berubah karena sastra. Sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seni, tergantung bagaimana dia dapat mengontrol seni tersebut. Sebuah karya sastra kita dituntut untuk melihat karyanya tanpa melihat siapa yang menciptakannya. Sesungguhnya karya sastra tidak terlepas dari unsur instrinsik dan ekstrinsik, namun kita tidak perlu berspekulasi panjang mengenai hal tersebut. ”Lihatlah apa yang telah diciptakan seseorang, jangan lihat siapa yang menciptakannya”. Jelas Win Gemade (DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG, 24 MEI 2009).

*) Penulis adalah mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB, Padangpanjang dan bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat.

KOLOM REFLEKSI dan DETAK JAM GADANG

REMAJA DAN SITUS PORNO
Oleh: Sulaiman Juned


Teknologi internet jika ditilik dari satu sisi memudahkan untuk menambah ilmu pengetahuan. Manusia tidak perlu lagi berada di Amerika, Arab atau Eropa untuk mengetahui tentang antropologi dan sosiologi budayanya. Cukup mampir di Warnet lalu membuka situs tersebut otomatis pula kita sudah berdiwana ke negeri tersebut.
Siswa dan mahasiswa yang diberikan tugas oleh guru dan dosennya, juga mudah mengakses literature tentang apa saja, ada di internet. Bahkan di zaman ini, ada siswa dan mahasiswa hanya melakukan copy paste saja dari internet setiap tugas yang dintruksikan oleh guru dan dosennya. Sungguh suatu kemudahan yang tak terpikirkan sebelumnya.
Begitu juga, diinternet bertebaran situs-situs ilmu pengetahuan, seperti; ilmu teater-sastra-filsafat-agama-hukum-ekonomi-sosiologi-antropologi-politik-psikologi-kependidikan dan bahkan sampai ke situs porno. Luar biasa!
Situs porno! Ini yang menggelisahkan banyak kalangan, baik orangtua-guru-tokoh pendidikan sampai dengan pakar psikologi. Surat kabar dan televise beberapa waktu yang lalu menyiarkan berita menyedihkan ini. Remaja kita yang sedang belajar di sekolah, masih memakai celana biru dongker pendek, dan bahkan ada pelajar yang masih memakai celana berwarna merah pendek sudah keranjingan situs porno.
Wah, ini penyakit masyarakat yang membahayakan dunia pendidikan, apalagi menurut laporan NRC Report yang dilansir hareian Haluan beberapa waktu lalu, 90 persen remaja kita mengkonsumsi situs porno. Awalnya memang tidak sengaja, namun pada akhirnya menjadi ketagihan.
Jika remaja yang belum memiliki pendidikan seksual secara benar, menyaksikan situs-situs porno. Maka dalam imaji mereka setiap waktu berhayal dan bermimpi ingin melakukan aksi seperti apa yang mereka saksikan di situs tersebut. Nah! Andaikan benar, apa yang dipublikasikan tersebut, apa jadinya mentalitas dan psikologis generasi pelurus bangsa dan negara ini. Dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan, negara dan bangsa ini akan digawangi oleh remaja yang hari ini keranjingan situs porno.
Teknologi internet, memang suatu yang tak dapat dielakkan atau ditinggalkan, jelas sangat banyak faedah dan manfaatnya disamping ada juga mudharatnya. Pemerintah Indonesia sudah saatnya melakukan tindakan terhadap dampak negative situs porno.
Mungkin dengan membentuk tim internet sehat nasional, yang dapat menerima laporan dari masyarakat untuk melakukan tindakan hokum secara teknologi. Boleh juga dengan mengontrol atau mengunci situs-situs porno shingga tidak sembarangan orang boleh membuka. Seperti yang dilakukan Negara Arab-Turki-Mesir-Iran. Mereka mengunci situs porno, barangsiapa yang ingin membuka situs porno harus menuliskan data secara lengkap di internet beserta umurnya, lalu tim internet sehat mengecek sampai ke rumah-rumah, apa benar nama yang tertera itu berusia dewasa? Atau seperti di Swedia barangsiapa yang ditemukan sedang menontopn situs porno langsung digiring ke pengadilan sekaligus di hokum kurungan penjara. Ini sangat menarik untuk menjadi pembelajaran buat bangsa kita.
Tidak salahnya kita mencontoh mereka demi kebaikan anak bangsa yang nanti akan menjadi pemimpin masa depan negeri tercinta. Jika hal ini dilakukan otomatis situs porno tidak dapat diakses secara serambangan, selalu dikontrol oleh tim internet sehat nasional. Sekaligus pula remaja kita tidak terkontaminasi pikiran-pikiran ‘aneh’ yang mengantar mereka kepada mimpi-mimpi panjang tentang hayalan. Selanjutnya pendidikan seks harus diberikan kepada para remaja gaar mengetahui untung ruginya. Semoga kita mampu mengontrol remaja Indonesia, menjadi remaja yang cerdas dan cemerlang. Semoga. (DIMUAT HARIAN UMUM HALUAN, KAMIS 16 APRIL 2009)




BENARKAH SASTRAWAN SUMBAR PEMALAS (?)
Oleh: Sulaiman Juned

Luar biasa trik yang disampaikan Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi beberapa waktu lalu dibeberapa surat kabar, tentang “Sastrawan Sumatera Barat Malas Berkarya”. Ini sebuah gelinjang yang menohok dirinya sendiri atau menepuk air didulang?
Ada tanggapan Fatris Mohammad Faiz, dan Alee Kitonanma dimuat salah satu Koran harian terbitan Padang (3/5) lalu. Ada bantahan dari Muhammad Subhan dimuat Haluan, dikolom detak jam gadang (5/5). Kesemua tulisan tersebut menolak pernyataan Gubernur yang salah menilai tentang sastrawan Sumatera Barat. Pernyataan itu, barangkali sengaja diketengahkan Gamawan untuk memancing kreativitas para sastrawan, atawa dana yang telah disediakan gubernur sebesar Rp. 5 Juta itu untuk penerbitan buku tidak pernah diambil oleh para sastrawan.
Lantas, sang bapak kita itu menilai, sastrawan Sumatera Barat pemalas. Dana sebesar itu, memang tidak berarti apa-apa untuk sebuah penerbitan, buku apa yang dapat dihasilkan dengan dana sebesar itu. Sedangkan desain cover buku saja biayanya mencapai Rp. 5 Juta.
Namun para sastrawan seperti yang telah diungkapkan pleh Fatris Mohammad Faiz, Alee Kitonanma dan Muhammad Subhan, tetap saja menerbitkan karya-karyanya selain berbentuyk buku juga di media massa, seperti Majalah Horison, Majalah Bahasa dan sastra Indonesia di Brunei Darussalam dan Malaysia, majalah Gong, Republika, kompas, media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Solo Pos, Jawa Pos banyak karya sastra sastrawan Sumatera Barat dipublikasikan di sana, pernahkah bapak baca (?)
Baru-baru ini tanggal 25 April 2009 yang lalu, Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMA-BASINDO) FKIP-UMSB Padangpanjang dalam rangka memperingati mengadakan Seminar Sastra Nasional. Yang paling mengharu biru, mereka tanpa dana dari PEMDA menerbitkan buku Antologi Puisi ‘Lautan Sajadah’. Kebahagian itu menjadi lengkap, sebab dari 46 penyair mayoritas penyair perempuan. Karya-karya mereka sebagai penyair pemula memang telah menampakkan kualitasnya. Lalu apakah ini juga masih berani kita sebut, sastrawan Sumatera Barat pemalas?
Sastrawan Indonesia baik yang senior maupun yang yunior mayoritas pula dikuasai oleh sastrawan yang berasal dari Sumatera Barat apalagi bila berbicara masalah eksistensi kesenimanannya, lalu atas dasar apa sang gubernur kita membuat pernyataan yang bombastis itu. Barangkali untuk mencari sensasi, pak gubernur yang mulia, sastrawan itu bekerja dengan hati nurani selain selain membaca realita social untuk dimamahnya dalam proses perenungan.
Jadi bapak gubernur yang terhormat, jika ingin mengaduk ‘lado kutu’ dalam makanan para sastrawan tentu boleh-boleh saja. Namun hendaknya datangi dulu ‘rumah-rumah’ tempat sastrawan itu berproses kreatif, seperti; di Padang ada Komunitas Seni Pelangi pimpinan Yusrizal KW, di Payakumbuh ada Komunitas Seni Intro pimpinan Iyut Fitra, sementara di Padangpanjang ada Komunitas Seni Kuflet. Mereka setiap hari berdiskusi (membaca dan menulis) tentang sastra, bahkan tanpa danapun mereka masuk ke sekolah-sekolah mengajar siswa membaca dan menulis karya sastra. Apa bapak pernah tahu itu (?) Mari berkaca pada wajah kita agar tak salah melihat bopeng orang

DIKLAT KARYA TULIS ILMIAH DAN LOMBA BACA PUISI KOMUNITAS SENI KUFLET

DIKLAT KARYA TULIS ILMAIH DAN LOMBA BACA PUISI KUFLET:

Menulis agar dikenang Sepanjang Masa
Oleh: Vivi Astari *)

Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang yang beralamat di jln. Dr. A.Rivai no. 146 Kampung Jambak, Kelurahan Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Sumatera Barat, memperingati hari jadinya yang ke-12. Serangkaian acara dilakukan anatara lain Diklat Karya Tulis Ilmiah dengan tema ‘Meningkatkan Kecintaan Menulis bagi Guru” juga melaksanakan Lomba Baca Puisi. Acara tersebut bertempat di gedung teater STSI Padangpanjang, pada tanggal 10-11 Mei 2009.
Acara pada hari pertama. Dimulai pada pukul 9.00 Wib dibuka oleh Adirozal. Adirozal secara gamblang menjelaskan, bahwa setiap orang harus menulis dan menulis, karena melalui tulisan seseorang dapat dikenang sepanjang masa. Ia mencontohkan Buya Hamka dan Chairil Anwar yang telah tiada, namun mereka tetap disebut-sebut melalui tulisannya. “Semoga semua peserta yang datang adalah karena ingin menambah ilmu dan ingin menulis bukan karena mengejar sertifikat, serta DIKLAT yang dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2009 dapat menjadi modal yang berharga dalam menulis” ujarnya.
Harapan senada juga diampaikan Ketua Komunitas Seni Kuflet, Sulaiman Juned dalam sambutannya. Menurutnya, siapa saja harus selalu menulis, terutama bagi guru harus mampu menulis dan mengaktualisasaikannya. Sulaiman Juned juga menyinggung kiprah Kuflet dalam membina anak-anak, khususnya dalam bidang sastra dan teater, antara lain pelatihan menulis dan membaca puisi bagi siswa Sekolah Dasar (SD) di Kota Padangpanjang, Kuflet juga pernah melatih anak-anak Sekolah Dasar di Kota Sawahlunto dan pernah meraih juara 1 tingkat Asiang Tenggara. Semoga pemerintah memberikan perhatian terhadap-hal tersebut” Ujarnya. Disamping itu, Sulaiman Juned yang ikut serta mendirikan Kuflet bersama (Almarhum) Prof. DR. Mursal Esten, pada tanggal (12/05) nanti akan mengadakan renungan mengenang Almarhum.
Materi pertama diberikan oleh Asril Muchtar yang merupakan dosen STSI Padangpanjang dengan judul makalahnya “Teknik Penulisan Karya Tulis Ilmiah” dan materi kedua diberikan oleh Muhammad Subhan yang merupakan wartawan Haluan dengan judul makalahnya “Kiat Menembus Tulisan Di Media massa”. Acara tersebut tidak hanya diikuti oleh para guru tetapi juga diikuti oleh mahasiswa dari berbagai Universitas, seperti FKIP-UMSB, Padangpanjang, STSI Padangpanjang, STKIP Bangko, Jambi, Universitas Iskandar Muda Aceh. Universitas Negeri Padang, Universitas Bung Hatta Padang.
Acara kedua pada tanggal 11 Mei yang merupakan acara lomba baca puisi tingkat umum, penampilan mereka dinilai oleh dewan juri yang berkompeten di bidangnya, antara lain; Iyut Fitra (Penyair Indonesia asal Payakumbuh), Win Gemade (Penyair Indonesia asal Aceh), dan Edi Suisino, S.Sn., M.Sn (Dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang). Peserta yang berhak menyandang gelar juara antara lain; Rahmad Romi juara satu yang berasal dari RRI Bukittinggi, Suci Rahmadhoni juara dua yang berasal dari SMP N.1 Padangpanjang, dan juara tiga Sinta Rastiti yang berasal dari SMA 4 Bukittinggi.
Anggra Putra yang merupakan ketua panitia, berharap dengan diadakannya acara DIKLAT karya Tulis Ilmiah dapat menambah pengetahuan guru dalam menulis, apalagi pada saat sekarang guru dituntut untuk mampu menulis dalam rangka kenaikan pangkat misalnya. Tidak kalah penting, ilmu menulis bermamfaat bagi guru untuk proses pengajaran sebagai orang yang harus digugu dan ditiru. Peserta DIKLAT secara keseluruhan berasal dari Padang, Padangpanjang, Tanah Datar, Dharmasraya, Bukittinggi, Agam, Jambi dan Riau serta Aceh. Sementara melalui Lomba Baca Puisi, diharapkan dapat meningkatkan baik pelajar maupun umum di bidang sastra, khususnya puisi. Anggra juga mengucapkan terimakasih kepada segala pihak yang telah membantu, Pemda Kota Padangpanjang, DPRD Kota Padangpanjang, Rumah makan pak Datuak, Rumah makan Delima, Amia Batusangkar, Coca Cola Padang, Rumah Makan Gumarang, dan Gunung Saiyo. Terimakasih atas partisipasinya, juga kepada jurusan teater STSI Padangpanjang atas kerjasamanya yang sangat baik. (DIMUAT DI HARIAN UMUM SINGGALANG, 17 MEI 2009).

*) Penulis adalah mahasiswa FKIP/PBSID, UMSB, Padangpanjang dan anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat.



UMSB PADANGPANJANG;
SEMINAR SASTRA, LOUNCHING ANTOLOGI PUISI
Oleh: Vivi Astari *)

Padangpanjang-Seminar sastra nasional yang dilaksanakan di gedung perkuliahan FKIP UMSB Padangpanjang (25/4) berlancar lancar, walau salah satu pemateri yang direncanakan tidak dapat hadir yakni Taufik Ismail. Namun hal itu tidak membuat peserta kecewa, kerena permintaan maaf beliau divisualkan yang sekaligus sastrawan nasional itu membacakan beberapa puisinya.
Kegiatan seminar tersebut merupakan program dari dari Himpunan Mahasiswa Bahasa dan sastra Indonesia dalam rangka menyambut Bulan sastra. Acara yang dimulai pukul 09.00 WIB dibuka oleh Ketua DPRD Kota Padangpanjang. Acara itu kental dengan nuansa sastranya. Ini jelas terlihat dari makalah yang dituliskan Taufik Ismail tentang “Generasi yang Nol Membaca Lumpuh Menulis” yang dibacakan oleh Muhammad Subhan. Gus tf Sakai menyampaikan tentang “Proses Kreatif Penulisan Prosa” dan Sulaiman Juned menyampaikan tentang “Proses Kreatif Menulis Puisi” Peserta seminar berasal dari berbagai kalangan seperti dosen, guru, mahasiswa dan pegawai yang berasal dari berbagai Universitas dan instansi.
Pada kesempatan tersebut mereka dapat bertanya secara langsung kepada pemateri yang merupakan sastrawan nasional tentang masalah sastra yang meraka hadapi selama ini.
Selain berhasil dengan acara seminar nasional, Hima Basindo juga berhasil lounching antologi Puisi “Lautan sajadah” . ini merupakan antologi puisi pertama FKIP UMSB Padangpanjang, namun telah dapat menunjukkan kecintaan yang mendalam bagi mahasiswa, khususnya Jurusan bahasa dan sastra Indonesia terhadap sastra.
“Semoga kegiatan yang bermanfaat itu tetap berkelanjutan untuk menunjukkan eksistensi Hima Basindo ke tingkat nasional” Ujar Immatul Jannah yang merupakan ketua Hima Basindo.
Selain itu, ucapan terimakasih juga dilontarkan oleh Sandy Octaria yang merupakan ketua panitia kepada semua pihak yang telah mendukung acara ini. Semoga disusul oleh antologi berikutnya yang merupakan harapan seluruh mahasiswa UMSB FKIP-Padangpanjang.(DIMUAT HARIANG SINGGALANG, 3 MEI 2009)

*) Penulis adalah Mahasiswa FKIP-UMSB, juga Anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat.
LAUTAN SAJADAH DILUNCURKAN

Padangpanjang, Singgalang

Antologi Puisi bertajuk Lautan Sajadah diluncurkan Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMA-BASINDO), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat (UMSB). Selain Lounching (peluncuran) ‘Lautan Sajadah’ itu, penyelenggara juga akan menggelar seminar sastra dengan nara sumber terdiri dari budayawan, sastrawan dan penyair nasional.
“Kegiatan ini dilaksanakan Sabtu, 25 April 2009. Insyaallah akan dimulai pukul 09.00 WIB di kampus FKIP UMSB, komplek Kauman Padangpanjang” terang Ketua Panitia Pelaksana Sandy Octaria, kepada Singgalang, Selasa (14/4) di Padangpanjang.
Dikatakan, kegiatan yang dilakukan dalam rangka menyambut Bulan Sastra itu, diagendakan bakal dihadiri Budayawan Nasional DR. Taufik Ismail dengan pembahasan seputar ”Paradigma baru Kesusasteraan Indonesia”. Sastrawan Nasional Gus tf Sakai dengan bahasan ”Proses Kreatif dalam Menulis Prosa”. Sementara Penyair Indonesia/ Sutradara/ Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn membahas ”Proses Kreatif Penulisan Puisi”.
Ketua HIMA-BASINDO FKIP-UMSB, Immatul Jannah menjelaskan, Seminar nasional tentang sastra ini dihadiri oleh guru Bahasa dan Sastra Indonesia, se-Sumatera umum. (006/ Sumber: Harian Singgalang, 15 April 2009).



HIMA BASINDO ADAKAN SEMINAR SASTRA dan LOUNCHING ANTOLOGI PUISI ’LAUTAN SAJADAH’

Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMA BASINDO) FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Kauman Padangpanjang, Sumatera Barat, akan melaksanakan acara Seminar Sastra Nasional dan Launching Antologi Puisi Lautan Sajadah, pada hari Sabtu, 25 April 2009. Ketua Panitia Sandy Octaria menyebutkan, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menyambut bulan sastra. Acara Seminar Nasional berencana menghadirkan pembicara para sastrawan nasional, seperti; DR. (HC) Taufik Ismail dengan judul makalahnya Paradigma Baru Kesusasteraan Indonesia, Gus Tf Sakai (sastrawan nasional) dengan materi, Proses Kreatif dalam menulis Prosa, dan Sulaiman Juned (Penyair, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet) dengan makalah bertajuk, Proses Kreatif Penulisan Puisi. ”Kegiatan ini memacu dan meningkatkan kreativitas guru Bahasa dan Sastra Indonesia dalam proses belajar mengajar di sekolah, serta memacu semangat rekan-rekan mahasiswa unutuk berproses kreatif, “ tambahnya.
Ketua HIMA BASINDO Immatul Jannah menuturkan, acara seminar sastra nasional ini peserta diharapkan dari kalangan guru, mahasiswa, siswa dan masyarakat umum. (Sandy Octaria/Sumber: Padang Ekpres, 19 April 2009).




HIMA BASINDO FKIP UMSB GELAR SEMINAR SASTRA

PADANG, Haluan

Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (HIMA BASINDO) FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Kauman Padangpanjang, akan melaksanakan Seminar Sastra Nasional dan Launching Antologi Puisi “Lautan Sajadah”, pada Sabtu, 25 April 2009 di Gedung FKIP Kauman Padangpanjang.
Ketua Panitia Sandy Octaria kepada Haluan kemarin mengatakan, kegiatan ini dilaksanakan dalam rangka menyambut bulan sastra. Acara seminar nasional berencana menghadirkan pembicara para sastrawan nasional, seperti; DR. (HC) Taufik Ismail dengan judul makalahnya” Paradigma Baru Kesusasteraan “, Gus Tf Sakai (sastrawan nasional) dengan materi “ Proses Kreatif dalam menulis Prosa “, Sulaiman Juned (Penyair, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet) dengan makalah bertajuk “Proses Kreatif penulisan Puisi”.
Disebutkan, kegiatan ini untuk memacu dan meningkatkan kreativitas guru Nahasa dan Sastra Indonesia dalam proses belajar mengajar di sekolah, serya memacu semangat rekan-rekan mahasiswa untuk berproses kreatif.
Ketua HIMA BASINDO Immatul Jannah menambahkan, seminar sastra nasiona ini, peserta diharapkan dari kalangan guru, mahasiswa, siswa dan masyarakat umum. Selain seminar sastra, juga dilaksanakan Launching perdana antologi puisi berjudul “Lautan Sajadah”. Antologi ini berisikan 104 puisi religius penyair asal mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB.
”Antologi puisi ini dieditori oleh Penyair Sulaiman Juned dan Muhammad Subhan, “ tuturnya. (aan/Sumber: Haluan, 15 April 2009)



TAUFIK ISMAIL DI KAMPUS FKIP UMSB
GENERASI MUDA BANYAK RABUN

Padangpanjang, Singgalang

Indonesia memiliki generasi muda yang rabun membaca dan pincang menulis dalam jumlah yang memprihatinkan. Bangsa ini memiliki penerus estafet yang berstatus nol buku. Tragedi demikian telah berlangsung lebih dari 56 tahun.
Demikian pokok-pokok pikian budayawan dan sastrawan nasional, Dr. Taufik Ismail, saat menjadi pemakalah pada seminar sastra nasional, Sabtu (25/4), yang dilaksanakan Himpunan Mahasaiswa Bahasa Indonesia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (FKIP UMSB), di Komplek Muhammadiyah Kauman, Padangpanjang.
”Tragedi nol buku, rabun membaca dan pincang menulis bermula pada awal 1950. ketika seluruh aparat pemerintahan sudah sepenuhnya ditangan sendiri, demi mengejar ketertinggalan sebagai bekas negara jajahan yang mesti membangun jalan raya, gedung-gedung, rumah sakit, jembatan, pertanian, perkebunan, kesehatan, perekonomian dan sejenisnya.
Yang diunggulkan dan disanjung-sanjung adalah teknik, kedokteran, pertanian, farmasi, ekonomi dan hukum”, tegasnya.
Pendiri Rumah Puisi di Aia Angek Tanah Datar itu menegaskan, kebijakan wajib baca 25 buku sastra dan bimbingan menulis yang pernah diterapkan penjajah belanda digunting habis, karena dipandang tidak perlu. Ini, tandas Taufik, menjadi kesalahan peradaban luar biasa besar.
Dikatakan, lantaran menelusuri lorong waktu selama 56 tahun, maka generasi nol buku di Indonesia kini berada pada kisaran usia 35 hingga 70 tahun.
Mereka inilah yan g kini menjadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara hari ini diseluruh strata, baik pemerintahan maupun swasta. Beberapa sebab amburadul Indonesia, bagi Taufik, mungkin sekali karena dalam fase pertumbuhan intelektual mereka, orang-orang buku membaca nol buku disekolah.
Dengan sangat sedikit kecualian sebut Taufik yang baru saja dilewakan gelar Datuak Panji Alam Khalifatullah dari Panghulu Nan Sapuluah Suku Koto Sungai Gurah Pandai Sikek, kita semua berbekal nol buku ketika bersekolah, tidak mendapat kesempatan untuk ditanamkan rasa ketagihan membaca buku, kecintaan pada buku, keinginan bertanya pada buku dalam semua aspek kehidupan dan kebiasaan mengunjungi perpustakaan sebagai tempat merujuk sumber ilmu, dan konsekuensi membiasakan menulis sebagai ekspres perasaan serta pernyataan kecendiakiaan.
Selain Taufik seminar nasional yang diikuti ratusan peserta itu juga menghadirkan dua narasumber lainnya, yakni budayawan dan penulis sastra nasional Gus Tf Sakai serta Dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang yang juga pimpinan Komunitas Seni Kuflet Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn.(006/Sumber: Singgalang, 27 April 2009).



BACA KARYA SASTRA DAPAT HALUSKAN BUDI BAHASA

Padangpanjang, Haluan

Ketua DPRD kota padangpanjang H. Hamidi mengatakan membaca karya sastra merupakan salah satu sarana yang mendapat menghaluskan budi dan bahasa. Orang yang hobi membaca karya sastra jiwanya akan halus dan peka terhadap berbagai keadaan sosial masyarakatnya.
”Sepantasnya buku sastra menjadi bacaan yang harus dibaca kalangan generasi muda guna memekakan perasaan mereka,” ujar Hamidi ketika membuka seminar sastra sekaligus Launching Buku Antologi Puisi Lautan Sajadah karya 46 penyair muda kota Padangpanjang, Sabtu (25/4), di FKIP Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah kota Padangpanjang.
Menurut Hamidi, banyak generasi sekarang yang di dalam pergaulannya keluar dari norma-norma, baik norma dari masyarakat maupun agama. Perilaku muda-mudi yang semakin menghawatirakan itu, melukiskan keadaan mereka dimasa depan.” Jika moral generasi muda telah rusak alamat negeri ini bisa binasa,” katanya.
Karena itu jelas Hamidi, buku sastra memuat banyak memuat pesan-pesan moral yang disampaikan. Pesan itu, jika dimaknai secara mendalam akan dapat membentuk karakater generasi muda di dalam pergaulannya sehari-hari.
Hamidi yang juga alumni UMSB Muhammadiyah Padangpanjang ini mengatakan, dirinya merasa bangga atas lahirnya buku antologi puisi ”Lautan sajadah” karya 46 penyair muda kota Padangpanjang. Sepentasnya dikota Serambi Mekah Padangapanjang ini terus lahir sastrawan-sastrawan muda yang akan mengangkat nama baik Padangpanjang di tingkat nasional.
”Saya sangat mendukung penerbitan buku-buku sastra seperti ini, dan semoga akan lahir buku-buku lainnya,” harap Hamidi.
Seminar sastra dan Launching Antologi Puisi itu mulanya akan dibuka Walikota padangpanjang, namun Walikota tidak berkesempatan hadir pada saat itu.
Namun demikian seminar yang dihadiri 200 an peserta itu, berjalan sukses dan meriah. Tampil sebagai pembicara sastrawan nasional asal kota Payakumbuh Gus Tf Sakai dan penyair Sulaiman Juned.(aan/Sumber: Haluan, 27 April 2009).



PARADIGMA PEMBELAJARAN BAHASA HARUS DIUBAH

Padang, Haluan

Paradigma pengajaran bahasa disekolah, mulai dari sekolah dasar hingga lanjutin, harus diubah dengan guru memberikan porsi perhatian terhadap pembelajaran sastra, bukan hanya bahasa, karena sastra merupakan satu bidang pelajaran yang mampu menciptakan pembentukan moral yang akan mempengaruhi kepribadian putra putri bangsa.
Hal ini dikemukakan oleh sastrawan nasional yang memimpin Komunitas seni Kuflet dan juga merupakan salah seorang tenaga pengajar sekolah tinggi seni Indonesia (STSI) Padangpanjang Sumbar, Sulaiman Juned ketika dijumpai Haluan kemaren di Padang.
Menurut sastrawan lulusan Pascasarjana Institut Seni Indonesia Surakarta ini pengajaran sastra di sekolah sudah saatnya betul-betul mendapat porsi tersendiri dari guru bahasa.
”Dalam dunia pengajaran, keduanya harus berjalan seiring. Otomatis, porsinya keduanya harus diberikan seimbang, tidak hanya fokus pada bahasa dengan tata bahasanya saja. Ketika kita sudah memilih bahasa dan sastra menjadi mata pelajaran yang kita bina sebagai guru, maka keduanya harus diberi. Selama ini banyak guru yang mengabaikan hal tersebut. Pelajaran diberi semata-mata bahasa saja,” ungkap dia.
Padahal, menurut Sulaiman pengajaran sastra secara benar dan sesuai porsi akan mampu memberi nilai afektif yang luar biasa bagi anak didik. Cinta, budi luhur, dan karsa-karsa kemanusian yang penting akan bisa dipicu tumbuh dalam diri anak melalui sastra yang diajarkan dan dipelajari dengan baik dan benar. Sehingga nantinya diharapkan anak-anak didik akan mampu membentuk kebangsaan yang berbudi luhur.
Ketika harus menyampaikan muatan sastra, kebanyakan guru melewatkan saja bagian itu atau masih terika dengan buku teks, takut bereksperimen. Padahal, belajar sastra tidak bisa terpaku pada buku teks yang sesunggunhya hanya digunakan untuk pegangan. Guru harus kreatif dan inovatif, misalnya dengan membawa anak didik keluar kelas dan meminta mereka untuk bereksperimen, berapresiasi, atau berdiskusi, baik paradigma sastra lokal maupun dunia.
Sulaiman menegaskan perlunya diubah cara pengajaran bahasa dana sastra di sekolah.
”Beberapa sastrawan sudah ada yang menyampaikan saran kepada pemerintah. Pak Taufik Ismail, misalnya, sudah menyampaikan hal tersebut lewat Horizon. Kepada Diknas sudah pernah pula dismpaikan. Namun mereka masih sebatas mengiyakan. Belum ada tindak lanjut sampai sekarang,” kata dia.
Semestinya, pemerintah, dalam hal ini Diknas, mengundang para sastrawan untuk unjuk sumbang saran tentang bagaimana seharusnya kegiatan belajar mengajar Bahasa dan Sastra di sekolah, karena tidak sedikit guru bahasa dan sastra yang tidak mau mengajarkan sastra karena mereka sendiri tidak paham sehingga bagian pengajaran dilewatkan, padahal seharusnya ia disamapaikan.
”Mereka pikir bahasa saja, padahal sastra juga harus, karena bahasa tidak sama dengan sastra. Sedangkan muatan pelajaran bahasa di sekolah seharusnya adalah bahasa juga sastra. Tidak boleh dilupakan, karena sastra juga memiliki urgensi yang tinggi untuk diajarkan kepada anak didik demi menciptakan kepribadian anak bangsa yang seutuhnya.” tandas Sulaiman. (yyn/Sumber: Haluan, 28 April 2009).



DARI SEMINAR HIMA BASINDO UMSB PADANGPANJANG:
MEMBANGUN BANGSA DARI TULISAN

PADANGPANJANG, HALUAN.

Sebuah Seminar Sastra Nasional di gelar oleh Himpunan Mahasiswa Bahasa dan sastra Indonesia (HIMA BASINDO) Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat (UMSB) Padangpanjang, Sabtu (25/04). Seminar Sastra Nasional ini menyertakan beberapa pakar bertaraf nasional untuk memberikan materi dan pelatihan. Seminar ini mengangkat tema “Paradigma Kesusasteraan Indonesia” dengan pemateri antaranya Gus tf Sakai dan Sulaiman Juned yang merupakan penulis yang berkiprah di tingkat nasional asal Aceh yang kini tinggal di Sumatera Barat.
Latar belakang diadakannya seminar ini adalah kondisi dimana kurang berkembangnya penulis-penulis daerah Sumbar, padahal potensi yang ada cukup besar. Mengingat banyaknya tokoh pejuang ataupun sastrawan yang berasal dari Sumbar, tidak berlebihan kiranya dilakukan upayauntuk membangkitkan kembali kejayaan kepenulisan penulis Sumbar.
Ketua DPRD Padangpanjang, Hamidi menegaskan ketika membuka acara, upaya membangun bangsa juga bisa dilakukan dengan menulis, baik itu menulis prosa ataupun puisi. “Bahkan melalui dunia kepenulisan, kita bisa menghasilkan orang-orang yang bisa di contoh. Sementara salah satu penyakit bangsa yang kita hadapi sekarang adalah kurangnya orang-orang yang bisa dicontoh, demi kebaikan serta kemajuan bangsa dan negara ini” Kata Hamidi menjelaskan.
Dalam seminar itu pembicaraan difokuskan pada maslah menulis, misalnya tentang bagaimana tentang membangkitkan kemauan dan kreativitas untuk menulis.
Sastrawan Gus tf Sakai, menjelaskan beberapa hambatan yang dialami seseorang dalam menulis, padahal sebenarnya menulis itu bisa saja dilakukan oleh siapapun. Gus menekankan bahwa untuk menulis yang perli dimiliki pertama-tama adalah kemauan. Itu pula yang ditekankan oleh Sulaiman Juned, menulis itu mudah asal segera dilakukan.
Kepada penulis pemula, kedua sastrawan nasional ini menyarankan agar segera mengirimkan karya apa saja ke media massa, dan jangan berhenti dan berputus asa walau belum dimuat (dipublikasikan). Tidak menjadi pencontek, rajin membaca, dan menambah wawasan juga merupakan kunci untuk bisa menulis. Dengan menulis, bukan saja bakat dan ekspresi tersalurkan, bahkan bisa melakukan perubahan, terutama bagi bangsa.
Seminar nasional kali itu, dibarengi dengan peluncuran antologi puisi yang bertajuk “Lautan Sajadah”, yang merupakan karya gebrakan Mahasiswa Hima Basindo UMSB Padangpanjang, meski didalamnya juga memuat puisi penulis lain diluar Mahasiswa Hima Basindo yang sudah senior seperti, Sulaiman Juned dan Muhammad Subhan.
Dengan diterbitkannya antologi puisi “Lautan Sajadah” Hima Basindo UMSB Padangpanjang berhasil mengukir sejarah, ini mengingat ini merupakan gebrakan dalam menciptakan sebuah karya tulis yang kemudian akan dipasrkan secara nasional. Puisi-puisi yang dipublikasikan dalam buku “Lautan Sajadah” ada yang sudah diterbitkan oleh media lokal dan nasional, ada juga yang awalnya hanya merupakan tugas dalam mata kuliah Sanggar Bahasa dan Sastra Indonesia serta Menulis Kreatif.
Immatul Jannah, Ketua Hima Basindo FKIP-UMSB Padangpanjang mengatakan, bahwa dengan diterbitkannya buku yang berisi puisi buah karya mahasiswa Hima Basindo UMSB Padangpanjang ini diharapkan dapat menjadi titik tolak lahirnya karya-karya berikutnya yang berkualitas serta menunjang perkembangan kesusasteraan Indonesia modern di Minang dalam rangka membangkitkan kembali kejayaan penulis dari ranah Minang.
Dalam buku antologi yang memuat karya Empat Puluh Enam orang penyair ini, pembaca akan menemukan puisi-puisi yang beragam. Ada yang pendek namun padat makna, dan ada yang panjang dengan gaya bahasa yang puitik, menarik dan pilihan diksi yang unik. Buku yang patut mendapat apresiasi publik dicetak perdana sebanyak 1000 buku untuk dipasarkan secara nasional.
Acara seminar sekaligus Lounching Antologi Puisi Lautan Sajadah ini berakhir sekitar pukul lima sore. Peserta yang hadir sekitar 200 orang. Peserta tidak hanya dari Padangpanjang, namun juga dari Dharmasraya, Medan dan Aceh. Mereka sengaja menghadiri seminar sekaligus ivent peluncuran antologi puisi ini karena ingin menambah wawasan dan ilmu di bidang kepenulisan dan kesusasteraan. (yeyen/ Sumber: Harian Haluan, 3 Mei 2009).

Senin, 30 Maret 2009

Kolom Refleksi dan Detak Jam Gadang

TULISAN KOLOM INI TELAH DI MUAT DI
HARIAN UMUM HALUAN SUMATERA BARAT.


SUAP DAN WAKIL RAKYAT
Oleh: Sulaiman Juned

Suap atawa menyuap terus saja mengalir bagaikan tetesan air yang tak pernah habis-habisnya. Jika pada masa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba), jarang sekali menyaksikan kasus suap-menyuap muncul di ruang publik, baik lewat televisi maupun surat kabar. Kasus-kasus seperti itu sepertinya sengaja ditutupi. Maka tidaklah heran jika korupsi pada masa itu sangat banyak terjadi, sementara rakyat yang merasa sebagai pemilik sah Republik ini tidak pernah tahu. Namun dewasa ini, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai dibentuk, masyarakat menonton para koruptor dilayar kaca atau membaca di koran sama hebohnya dengan menyaksikan pertandingan sepakbola dalam event piala dunia.
Aktor-aktor pelaku korupsi satu persatu ditemukan, masuk bui, tetapi bermunculan juga aktor-aktor baru dalam dunia suap-menyuap. Pekerjaan suap dan menyuap terus saja terjadi, perilaku ini sepertinya sudah mendarah-daging dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Indonesia tercinta. Mereka tak gentar dengan tuntutan hukum, apalagi bagi yang beragama Islam, pelaku suap atawa yang menyuap hukumannya sama saja. Di mahkamah Tuhan juga nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Pertanyaannya mengapa tak pernah habis, laksana ekor tikus sambung menyambung menjadi satu. Masya Allah!
Rata-rata yang tertangkap tangan oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nota bene adalah oknum wakil rakyat. Wakil rakyat yang pesangon dan fasilitas hidupnya ditanggung rakyat, masih juga memanipulasi rakyat. Padahal ketika ingin duduk di kursi dewan, mengumbar sekian janji akan setia berjuang untuk kepentingan rakyat. Setelah menempati posisi mengapa lupa kepada rakyat. Malahan oknum-oknum tersebut sangat suka mengerat laci, menghabisi segala isi, membuat istana pribadi. Seharusnya berkaca diri buat apalagi menerima suap, sedangkan gajinya saja cukup untuk disimpan buat beberapa keturunan.
Di musim ini, rakyat-bangsa dan negara ini membutuhkan para wakil yang berkenan memikirkan kemajuan bangsa dan negara, bukan yang hanya menebalkan kantong jas sapari atau menggemukakan rekening di bank. Penulis menampilkan puisi Taufik Ismail yang berjudul ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini” secara utuh untuk tempat kita bercermin, begini isinya; //Tidak ada pilihan lain. Kita haru/ Berjalan terus/ Karena berhenti atau mundur/ Berarti hancur// Apakah akan kita jual keyakinan kita/ Dalam pengabdian tanpa harga/ Akan maukah kita duduk satu meja/ Dengan para pembunuh tahun yang lalu/ Dalam setiap kalimat yang berakhiran/ ”Duli Tuanku”// Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus/ Berjalan terus/ Kita adalah manusia yang bermata sayu, yang di tepi jalan/ mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/ Di pikul banjir, gunung api, kutuk dan hama/ Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka/ Kita tidak punya kepentingan dengan seribu slogan/ Dan seribu pengeras suara yang hampa suara// Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus/ Berjalan terus//. (Dari Himpunan Puisi Taufik Ismail ”Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit).
Apakah para calon wakil rakyat yang sekarang sedang menjual ”dagangan”nya kepada rakyat pernah membaca puisi ini tempat berkaca melihat diri—agar tak menjual kenyakinannya—berkubang dalam kemunafikan. Semoga para calon wakil rakyat berkenan melihat wajahnya untuk memakmurkan negeri ketika mendapatkan kursi. ***




MENGGAULI TEATER
Oleh: Sulaiman Juned

Menyambut hari teater dunia (27/3) nanti. Mari sejenak mengenang jaman Yunani Klasik, tempat awal mula teater itu muncul. Teater masa itu, untuk menghormati dewa anggur dan kesuburan (Dewa Dionysus). Orang Yunani Klasik sangat menghargai aspek keagamaan. Kehadiran mitos Dionysus tidak terlepas dari pengaruh dewa Osiris yang berasal dari cerita orang-orang Mesir. Dewa Osiris cerita kehiduapannya yang mengalami penderitaan-kematian-kemudian bangkit kembali.
Dionysus, putra dewa Zeus penguasa alam dengan semele, ketika Dionysus terbunuh, Zeus menghidupkannya kembali. Mitos Dionysus merupakan simbol kehidupan manusia; lahir-tumbuh-berkembang-mati. Masyarakat Yunani Klasik mengaitkan cerita Dionysus dengan peristiwa alam, seperti; musim semi-musim panas-musim gugur dan musim salju. Jadi ritual pemujaan kepada Dionysus adalah keabadian perubahan alam, dan yang paling penting adalah perubahan terhadap nasib manusia. Festival terhadap pemujaan dewa Dionysus menjadi peristiwa dramatis.
Berangkat dari peristiwa itu pula, teater yang kini kita kenal mulai dimainkan di seluruh dunia. Dalam ritual Yunani Klasik, diadakan sayembara naskah drama. Pemenang dalam pelaksanaan pertama sekali diadakan adalah Thespis. Kemudian diikuti olrh Sphokles dengan naskah dramanya yang dikenal seluruh dunia, yakni Trilogi Yunani: Oedipus Rex- Oedipus Dikolonus- Antigone.
Naskah-naskah drama ciptaan Thespis dan Sphokles itu dipertunjukan dalam ritual tersebut dengan dialog-koor-tarian dan nyanyia. Para aktor waktu itu di sebut thespian. Demikianlah awal mula teater muncul di dunia ini. Sementara pengarang drama Yunani Klasik yang paling terkenal, diantaranya; Thespis, Aeschylus, Sphokles, Euripides, Aristophanes, dan Manander.
Inilah masa awal perkenalan menuju dunia teater modern. Teater masa itu hanya sebagai media upacara. Ternyata teater sudah sangat tua usianya, setua jaman Yunani Klasik dan Mesir Kuno ternyata. Sebagai tokoh teater, kita bukanlah orang baru yang melakukan pembaharuan, tak ada yang baru di atas dunia ini. Namun yang ada adalah inovasi atawa kebaruan.
Atas dasar itu, mari kita berkaca, sebab teater membutuhkan proses penciptaannya. Menciptakan bentuk lakon sekaligus menafsirkannya menjadi pengalaman pentas. Merancang konsep dasar, menata artistik; menganalisis/ menyajikan karakter tokoh serta menstransformasikan karakter lewat laku, serta menciptakan sudut pandang dramatik lakon sepanjang pertunjukan berlangsung, cakap dalam menghadirkan penciptaan ruang teatral yang esensial.
Mengenang teater-memperingati kemunculannya. Mari mengaplikasikan kenyataan teater dalam proses kreatif secara benar. Teater membutuhkan kerja kolektif yang didalamnya ada sastra-musik-tari-senirupa-dramaturgi. Kolektifitas kerja ini membutuhkan pikiran, tenaga, dan waktu. Teater merupakan karya yang kreatif, berteater itu tak gampang, dibutuhkan pengetahuan, keahlian dan kemauan. Ia menjadi produk empiris yang mencakup wilayah gagasan-emosi dan prilaku. Pertunjukan teater akan ditonton jika memiliki identitas. Hal ini akan tercapai tidak hanya lewat transformasi sastra di pentas, tetapi mampu menhadirkan peristiwa teater ke atas pentas. Begitu! Maka berteater itu harus digauli. ***



TEMU KARYA TAMAN BUDAYA SE-INDONESIA
Oleh: Sulaiman Juned

Tiga puluh utusan Taman Budaya Se-Indonesia bertemu di Taman Budaya Sumatera Barat (27-30/7) Mendatang. Kegitan ini memunculkan tema ” Penajaman kearifan lokal melalui nilai-nilai edukasi dalam legenda nusantara”. Ini bermaksud agar masyarakat budaya di setiap daerah mampu menjadikan kekuatan budaya lokal sebagai salah satu identitas lokalitas. Penegasan hidup dalam pluralitas budaya yang berorientasi pada nilai-sikap dan tingkah laku. Kearifan lokal dalam bentuk ekspresi budaya yang mempersoalkan eksistensi budaya di tengah keragaman budaya bangsa Indonesia. ’Perbenturan’ budaya dalam ruang dan waktu seakan menjadi pertukaran dan saling mengisi ke dalam budaya masing-masing etnis yang terlibat pada event itu. Sehingga tidak terjadi perasaan etnosentris (mengagung-agungkan nilai budaya satu etnis saja).
Kesadaran akan pluralitas dianggap mampu menciptakan pemikiran terhadap masa depan kesenian dan budaya Indonesia yang sangat beragam. Selain itu, dapat pula mendorong para pemikir seni untuk membicarakan kajian lintas budaya (Cross Culture) dengan multi disiplin ilmu yang nantinya mampu melahirkan; etnomusikolog-etnolog tari-dramawan-dramatug-kritikus seni.
Tawaran panitia dengan tema ’Penajaman Kearifan Lokal melalui Nilai-nilai Edukasi dalam Legenda Nusantara’ mampu menjawab kekayaan ragam budaya. Jadi dalam relasi antara budaya, hendaknya menghindarkan diri dari pemutlakan orientasi lokal yang mengutamakan warna satu kebudayaan tanpa menghargai eksistensi tradisi seni etnis lainnya. Tradisi seni suatu etnis yang sangat kecil sekalipun tak dapat dilecehkan oleh suatu kebudayaan yang lebih besar. Itulah salah satu hal yang sangat penting, dan harus disadar, serta dibicarakan dalam temu karya para kepala Taman Budaya Se-Indonesia nanti. Bangsa Indonesia yang sangat plural, memiliki keberagaman budaya tentu harus bercermin pada alam demokrasi, agar kreator-pemerhati-para ahli dan praktisi seni mampu menjawab tantangan ’kearifan budaya lokal’ yang hidup di alam pluralistik.
Disamping itu, temu karya ini juga membicarakan tentang peran strategis Taman Budaya dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator-mediator-labor-etalase kebudayaan daerah masing-masing. Jika fungsi ini benar-benar terealisasi dalam kerja-karya dan karsa pihak Taman Budaya Se-Indonesia, betapa besar sumbangsih buat kemajuan seni dan budaya bangsa. Semoga ini tidak hanya sebagai slogan.
Melalui kesadaran ruang dan waktu antar Taman Budaya tersebut, melahirkan konsepsi nilai sosio-budaya. Pengungkapan seni dan budaya yang berada dalam frame lokal diciptakan menjadi global. Akhirnya, kekuatan seni budaya yang sangat beragam di Indonesia, dapat menjadi suatu kekuatan budaya baru. Berangkat dari kekuatan budaya lokal, terciptalah budaya global Indonesia. Luar biasa jika hal ini dapat terjadi di Indonesia.
Masyarakat Indonesia dari dahulu kala telah hidup dalam pluralitas budaya. Pluralitas budaya tentu berorientasi kepada relasi budaya, juga memiliki wawasan dalam orientasi nilai-sikap-tingkah laku secara terus menerus. Menyikapi pluralitas haruslah saling lakukan, kenapa tidak. Para sesepuh negara ini telah pernah melakukannya melalui simbolik ”Bhinneka Tunggal Ika” walau bercerai-berai tapi tetap bersatu termasukermasuk seni dan budaya. Mari kita belajar saling menhargai budaya lokal. ***



GURU DITUNTUT KREATIF
Oleh: Sulaiman Juned

Kecerdasan intelelektual anak bangsa ini berada ditangan seorang guru. Murid dari kecerdasan seorang guru mampu menjadi presiden-gubernur-walikota-bupati-camat-ahli hukum-politikus-militer-wakil rakyat, dan lain sebagainya. Namun guru, sampai akhir hayatnya tetap menjadi guru. Sering pula kita menemukan guru yang tulus ikhlas mengajar, tanpa mengharap pamrih. Terlalu sering pula kita menyaksikan dan membaca guru di daerah terpencil hanya sendiri mengajar di setiap kelas. Luar biasa, bakhti seorang guru.
Namun apakah seorang guru pernah merasa bertanggungjawab terhadap generasi Indonesia yang dewasa ini kecerdasannya di bawah rata-rata. Apakah guru pernah melakukan introfeksi diri bahwa generasi yang sedang dibangunnya adalah generasi cengeng-manja-pemalas dan romantis. Guru laksana memakan buah simalakama, betapa tidak! Jika muridnya cerdas jasa seorang guru tak pernah disebut. Tetapi andaikan muridnya bersikap bengal apalagi tidak naik kelas atau malah tidak lulus Ujian Nasional, masyarakat beramai-ramai menyalahkan sang guru. Sekaligus mengklaim bahwasannya sekolah tersebut tidak berkualitas. Inilah fenomena seorang guru di negeri tercinta. Sesungguhnya, pendidikan seorang anak tidak hanya tanggungjawab guru. Orang tua di rumah menjadi penanggungjawab utama terhadap keberhasilan anak-anaknya, di sekolah guru dan anak didik hanya bertemu dua belas jam sementara di rumah prilaku anak harus dikontrol oleh orang tua. Jika guru dan orang tua mau bekerjasama, maka akan terciptalah nuansa pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan opini yang muncul di tengah masyarakatt, guru dituntut untuk kreatif di depan kelas. Memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai guru. Tugas seorang guru tidak hanya menyuguhkan ranah kognitif semata, alangkah bangganya seorang guru jika mampu melahirkan generasi yang cerdas, tapi memiliki nilai afektif (sikap/moralitas) yang baik pula. Disamping itu, mampu menciptakan anak-anak yang memiliki psikomotorik (kemampuan atau keahlian). Contoh yang paling sederhana terjadi bagi guru bidang studi bahasa dan sastra Indonesia. Guru bidang studi ini, selain harus memiliki kecerdasan intelektual juga dituntut untuk kreatif sebab harus memiliki kemampuan/ keahlian khusus, misalnya; materi sastra, guru dituntut untuk mampu menulis puisi-cerpen-naskah drama sekaligus pula mampu membaca dan memainkannya. Pada akhirnya guru yang memiliki kemampuan khusus tentang itu, menjadi guru yang disenangi dan disegani di kelas, secara otomatis pula dapat melahirkan penulis-penulis muda berbakat. Guru seperti ini tentunya yang diharapkan, dan mampu menjadi penjaga gawang dalam mencerdaskan generasi pelurus bangsa ini.
Jadi, guru tentunya harus mampu menjadi suri tauladan bagi muridnya. Tidak perlu memasang wibawa yang berlebihan agar dihargai dan dihormati oleh muridnya. Menjadi guru yang dikagumi-disenangi-disegani, cobalah dengan memunculkan kreatifitas di dalam kelas agar belajar menjadi tidak monoton. Siswa tentu sangat bangga bila guru bahasa dan sastra Indonesianya, memiliki kemampuan untuk menjadi penyair-cerpenis-dramawan. Apalagi jika mampu menjadi pembaca puisi yang sangat baik, bahkan bila perlu menjadi aktor. Andaikan ini terjadi, pastilah sang guru menjadi orang yang digugu dan ditiru. Tak percaya, silakan coba.Marilah bersama-sama membangun pendidikan terbaik untuk menciptakan generasi yang kokoh dan intelek. Semoga!***

Minggu, 22 Maret 2009

PUISI-PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI KOMUNITAS SENI KUFLET

MERAYAKAN ULANG TAHUN KOMUNITAS SENI KUFLET PADANG PANJANG YANG KE 12, PANITIA AKAN MENGADAKAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN (DIKLAT) KARYA TULIS ILMIAH KEPADA PARA GURU SE- SUMATERA, SERTA LOMBA BACA PUISI TINGKAT MAHASISWA DAN SISWA. INI KAMI PUBLIKASIKAN PUISI-PUISI YANG DIBACAKAN DALAM LOMBA. KEGIATAN INI BERLANGSUNG; 10 – 12 Mei 2009, BERTEMPAT DI GEDUNG TEATER MURSAL ESTEN, STSI PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT. (PANITIA).

PUISI WAJIB:
Karya: Taufik Iswmail

KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI

Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
”Duli Tuanku”

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus

1966

(Dikutip dari Himpunan Puisi Taufik Ismail, Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit).




PUISI WAJIB
KARYA: Sulaiman Juned

PULANG
-kepada penyair Mustafa Ismail

sudah waktunya kita pulang. Mengetuk pintu
menata pekarangan rumah dengan cinta, biar
gerimis masih mengurung perjalanan.

sudah waktunya kita pulang. Mengusir pipit
sedang makan padi muda agar tak menghitung
nama-nama di koran pagi dalam warung kopi. Lalu
menggantikan pertunjukan seudati selepas panen.

sudah waktunya kita pulang. Rakyat di kampung-kampung
menjawab keraguan sendirian. Kita ganti saja warna
hitam atau merah jadi putih antar ke pintu surga
(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan)

-Padangpanjang, 2001-

(Dikutip dari antologi puisi Riwayat, Sulaiman Juned)




PUISI PILIHAN
KARYA: M. Nurgani Asyik

KAU, NUN DI SUDUT SANA

saksikan burung-burung begitu riang dari satu pohon ke pohon lain
(ada sungging senyum di barat sana)
engkau di timur aku dengan anak-anak bumi
mengimpikan setaman mekar di balik kenestapaan para pengungsi
mari burai tentang kamboja putih
dan taman gersang yang masih sudi memangku.

saksikan mentari
mengusik tidur gelandangan pagi itu
mengantar mereka dalam tualang kehidupan
mencoba merajut kehidupan dari awal
setelah segala yang tertinggal jadi hilang tak berbekas
(aku masih berdoa agar sisa embun
yang basah nemani dahaga sehari-hari)
saksikan bunga-bunga rekahkan ceria
sedangkan kami senantiasa merindukan
tangan-tangan lembut yang segaja turun dari surga
ketika senyum ada di situ menjamah hari-hari

kau

Banda Aceh, 1998


PUISI PILIHAN
KARYA: Iyut Fitra

SELAMAT PAGI RARA

rara menangkap pagi
sisa embun lepas dari tangkai. kupu-kupu melesat mengejar awan
aku ingin terbang. lebih indahkah dunia dengan sayap terkepak
atau masih seperti debu jalan

bocah itu mengulurkan tangan di jendela. seolah ingin meraba
matahari,
dan bernyanyi, kupu-kupu yang lucu...
tapi kehidupan telah terpanggang, hutan hangus lebam
berlaksa prahara mengusir segala ke perih pengungsian,
tak ada kupu-kupu
adakah ia tahu

rara menagkap pagi
tapi pagi telah mati

Payakumbuh, Februari 2005

(Dikutip darim Antologi Puisi Dongeng-Dongeng Tua, Iyut Fitra)



PUISI PILIHAN
KARYA: D. Kemalawati

KOTA MATI

hari ini berjalan-jalan di jalan sepi
plong
dadaku, rasaku, sajakku
plong
terbang ke awan bebas
plong
bernyanyi bersama angin
plong

nyanyian ini nyanyian kami
yang lama sembunyi-sembunyi
nyanyian ini nyanyian bidadari
yang sembunyi-sembunyi menari
tarian ini tarian seudati
para lelaki menepuk dada memetik jari
lelaki di sini lelaki sejati
biarlah mati di negeri sendiri

4 Agustus 1999
(Dikutip dari Antologi Puisi Surat dari negeri tak bertuan, D. Kemalawati).

PENYAIR IYUT FITRA: Pembicara Atawa Pencerita

PENYAIR IYUT FITRA PEMBICARA ATAWA PENCERITA
Oleh: Sulaiman Juned *)

Beberapa waktu yang lalu (14/3) Penyair nasional asal Payakumbuh Iyut Fitra melakukan Lounching antologi puisi Dongeng-Dongeng Tua setelah pada tahun 2005 meluncurkan buku puisinya yang pertama Musim Retak. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, bertempat di Gedung Teater Mursal Esten. Lounching ini dibuka dengan pertunjukan teaterikal puisi berjudul “Tangga” Karya Iyut Fitra yang digarap mahasiswa HMJ Teater STSI Padangpanjang lewat eksplorasi tubuh.
Yusril, S.S., M.Sn Ketua Jurusan Teater mengatakan, ini kali kedua penyair Iyut Fitra hadir di sini. Di awal pendirian jurusan teater pada tahun 1997, Iyut pernah baca puisi yang diiringi dengan musik orkestra. Lounching buku sastra seperti ini penting dilakukan oleh HMJ, sebab sastra sangat berhubungan dengan proses kreatif seorang pekerja teater. Jadi jurusan teater sangat terbuka dan dapat menjadi ‘rumah’ bagi seniman-seniman Indonesia, minimal seniman yang bermukim di Sumatera Barat. Para penyair, teaterawan, kreografer, komposer dan pelukis serta sinematografi silakan datang ke jurusan teater STSI Padangpanjang, kami akan sambut denga senang hati. Fasilitas ini milik kita untuk memajukan dunia kesenian.
Iyut Fitra mengatakan, saya sangat senang dan bangga serta tersanjung dijamu oleh adik-adik jurusan teater. Sedangkan mengenai puisi-puisinya, Iyut tidak mau menjelaskan makna hasil karyanya kepada pembaca, sebab puisi ketika sampai di tangan pembaca telah menjadi milik si pembaca. Puisi yang telah lahir, ia harus berjuang sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Puisi diumpamakan seorang anak, ibu telah berjuang melahirkannya tentu selanjutnya perjuangan sang anak pula agar mampu mempertahankan hidupnya. Begitulah, tugas penyair hanya menulis.
Penyair Iyut Fitra dalam puisinya menciptakan lawan bicara berupa manusia yang secara eksplisit disebutkan, atau manusia tertentu tetapi implisit. Kehadiran (identitasnya) dapat ditemui dalam teks, seperti dalam puisinya berjudul “Jamila” atau manusia umumnya dalam puisi “tangga” . Situasi bahasa yang ditawarkan penyair Iyut Fitra lewat engel naratifnya, merujuk pada persoalan pihak mana saja yang terlibat dalam komunikasi teks sastra? Siapa pembicara atau pencerita? Kepada siapa pembicaraan itu ditujukan? Siapa yang menjadi lawan bicara? Situasi bahasa merupakan sistem komunikasi dalam karya sastra berbentuk puisi.
Penyair adalah Writer: (penulis/ penyair/ pengarang). Identitas aku, kau, kita dalam teks puisi adalah narator. tuhan, mu, saya dan sebagainya dalam teks puisi adalah narratef. “Lawan bicara/ yang di ajak bicara/ pihak yang dituju”. Kita semua yang membaca teks dalam hal ini karya Iyut Fitra adalah real reader atau audience (pembaca/khalayak). Setiap pembicaraan di dalam puisi ditujukan kepada seseorang (lawan bicara). Semua genre puisi baik dialog, monolog maupun naratif selalu ada lawan bicara. Hanya saja penyair terkadang menghadirkan lawan bicara dalam puisinya secara eksplisit. Sesungguhnya secara implisit sosok si penyair itu hadir di dalam teks puisinya.
Pembicaraan tentang tife penyair dapat membantu pembaca puisi untuk mengenali identitas teks. Setiap teks puisi Iyut Fitra selalu hadir sebagai pencerita atau pembicara kepada lawan bicara (pembaca atau khalayak). Iyut, dalam teks puisinya kehadiran lawan bicaranya nyata. Disamping itu, yang diajak bicara tidak hanya terbatas pada manusia melainkan juga alam dan Tuhan.
Sahrul N. Dosen STSI Padangpanjang yang kritikus Seni itu, melakukan telaah puisi penyair Iyut Fitra lewat Romantisme Naratif dalam Puisi Iyut Fitra. memaparkan “Membaca puisi cinta adalah membaca kehidupan itu sendiri. Puisi yang baik akan selalu punya sihir kata yang mampu melibatkan perasaan pembaca. Ia membawa kita pada kembara tanpa batas. Iyut Fitra mengurai romantisme itu dalam narasi yang terukur dan tertata rapi. Narasi puisi Iyut terlihat ketika ia bercerita tentang cinta (cinta pada ibu, perempuan, negeri dan segala persoalan yang menyentuh rasa dan pikirannya). Ia menyampaikan sebuah cerita”.
Sahrul N membaca Dongeng-Dongeng Tua, yang berisi tujuh puluh puisi Iyut Fitra, lalu membagi tiga periode pemakaian diksi sang penyair. Tahun 2004; penyair berangkat dari semangat kehidupan yang liar dan kelam. Diksi yang dipakai lugas dan berani. Sang penyair masih berpacu dalam dinamika kehidupan tanpa kemapanan. Aspek puisinya yang berjudul Mabuk Luka: //......bukan penyair bika tak mabuk/ pada luka-luka dunia. kesintalan perempuan malam yang bergoyang//.
Tahun 2005; Romantisme pada tahun ini memperlihatkan tingkat kemapanan dalam memandang kondisi sosial. Kematangan jiwa seorang penyair dalam memandang kehidupan. Hidup tidak lagi menjadi beban. Diksi yang filosofis mulai menghiasi karya-karya Iyut Fitra. Bahasa pada periode tahun 2005, terasa ada ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis. Puisi-puisinya sangat puitik dengan bahasa emotif yang terjaga. Mari kita petik salah satu puisinya yang berjudul Sembilu: //hanya serasa awan terjahit untuk selimut// dalam gigil kesah betapa aku langit ingin menjemput/ waktu menjalar berubah bilang/ kau yang datang sebagai kupu-kupu/ jangan pernah menjelma sembilu//.
Tahun 2008; Romantisme dalam periode ini, merupakan periode kematangan bagi pencarian gaya kepenulisan dan pemilihan diksi. Persoalan budaya, moral, politik, adat dan sebagainya menjadi inspirasi dalam pertarungan imajinasinya. Romantisme tidak lagi sekedar cinta perempuan, tetapi menjadi romantisme adat, budaya, seni, agama, politik dan sebagainya. Mari kita simak petikan puisinya Hujan Telah Reda: ....//payakumbuh 15 maret. hujan telah reda, kotaku masih pucat/ tadi pagi telah kuterima sebuah lukisan/ bergambar batu nisan//.
Demikianlah ungkapan Sahrul N, ketika membahas dunia kepenyairan sekaligus karya-karyanya. Iyut Fitra tak ada keraguan, kesendatan dalam menuangkan diksi berbentuk puisi naratif. Termasuk komponen linguistik dan bahan kesasteraan terukir dalam bahasa puisi. Begitulah perkembangan kepenyairan seorang Iyut Fitra.
Acara sehari penuh itu, dihadiri oleh mahasiswa FKIP/ Bahasa dan sastra Indonesia Kauman Padangpanjang sebanyak 60 orang, mahasiswa STSI Padangpanjang. Juga dihadiri Tya Setiawati pentolan teater Sakata Padangpanjang, anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kegiatan itu ditutup dengan membacakan puisi-puisi Iyut Fitra. Turut membacakan puisi; Yusril (Ketua Jurusan teater/Pimpinan Komunitas Seni Hitam Putih), Tya Setiawati (Sutradara Teater Sakata), Dona Sangra Dewi (Sekretaris Komunitas Seni Kuflet), Immatul Jannah, Syarif Hayatullah, Erianto (Mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia), Zulkani Alfian dan Susandrro (Mahasiswa Jurusan Teater). Yang paling menarik dari acara baca puisi tersebut, ternyata penyair Iyut Fitra turut menilai para pembaca puisi, lalu diakhir acara menyerahkan bingkisan sebuah baju dan antologi puisi ’dongeng-dongeng tua’ kepada Tya Setiawati yang dianggap Iyut menjadi pembaca puisi terbaik. Luar biasa! Bravo Iyut Fitra!
*) Penulis adalah penyair, Sutradara teater, dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, serta dosen tetap jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang.

Kamis, 12 Maret 2009

Teater Modern di Aceh

TEATER MODERN DI ACEH: HIDUP SEGAN MATI TAK MAU

Oleh: Sulaiman Juned *)

Andaikan permasalahan dana yang membuat dunia seni pertunjukan teater agak tersendat-sendat, seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Begitulah amsal nafas kehidupan dunia teater di seluruh Indonesia. Berbicara masalah dana, komunitas-komunitas teater dimanapun ia berada tetap saja harus merogoh uang dari kantong sendiri untuk sebuah produksi teater. Biasanya sutradara harus mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai proses kreatif berteater. Jangankan di daerah, Jakarta saja masih mengalami fenomena seperti ini. Namun lain halnya dengan kondisi di Nanggroe Aceh Darussalam sekarang ini, dana melimpah baik dari pemerintah maupun NGO asing pasca tsunami. Dana tersebut ada yang dikhususkan untuk perkembangan dan kemajuan dunia seni di Aceh, bahkan ada yang lebih khusus lagi untuk kemajuan dunia teater di Aceh. Tapi alangkah sayang, jangankan untuk berkembang maju, jalan di tempat pun tidak.

Masa lalu Teater Aceh dan Pasca Tsunami.
Mari kita melirik hati, mengenang sekian puluh tahun ke belakang produktivitas teater modern Indonesia di Aceh. Masa itu, pendanaan sulit, kelompok teater ramai yang paling menyenangkan persaingan juga menjadi sehat. Antara tahun 1970-1997 Taman budaya Aceh yang digawangi Drs. Sujiman A.Musa, M.A memprogramkan pertunjukan teater pilihan tiap bulan. Program tahunan ini hanya dipilih lima kelompok teater yang dianggap berkualitas untuk pentas, dana didukung oleh Taman Budaya Aceh sekitar Rp.500.000,- per grup selebihnya ditanggung masing-masing kelompok teater tersebut jika kurang. Waktu itu, muncullah kelompok-kelompok teater independen seperti; Sanggar Kuala pimpinan Yun Casalona, Teater Mata pimpinan (Alm) Maskirbi, Teater Bola pimpinan (Alm) Junaidi Yacob, Teater Mitra Kencana pimpinan (Alm) Pungi Arianto Toweran, Kriya Artistika pimpinan Kostaman, Teater Peduli pimpinan (Alm), M.Nurgani Asyik, Sanggar Cempala Karya pimpinan Sulaiman Juned, Teater Alam pimpinan Din Saja, Sanggar Kuas pimpinan M.J. Seda, Teater Kosong pimpinan T. Yanuarsyah, teater Gita pimpinan Junaidi Bantasyam. Ada juga kelompok teater kampus yang masa itu ikut bernafas, seperti; Gemasatrin FKIP Unsyiah pimpinan Inal Fromi, Sanggar Kisnaka Unsyiah Pimpinan Zab Bransah, UKM-Teater Bestek-Fak. Ekonomi Unsyiah pimpinan Iwan Yacob, Sanggar Kita Fak. Hukum Unsyiah pimpinan J.Kamal Farza, UKM-Teater Nol pimpinan Jarwansyah. Denyut nadi perteateran di Aceh dalam kurun waktu tersebut memang terus berkembang dan mencapai puncak keemasannya. Ini dibuktikan setiap ada pertemuan teater Indonesia dimana saja, teater Aceh pasti ikut serta, seperti pertemuan teater Indonesia di Makasar 1990, di Jakarta tahun 1995, terakhir di Pekanbaru tahun 1997, setelah itu teater Indonesia pun tidak pernah lagi mengadakan pertemuan sekaligus tak memiliki isu.
Rekan-rekan seniman teater Sumatera cepat membaca kondisi ini, lalu memunculkan isu teater Indonesia kita tatap dari Sumatera. Isu ini ditangkap dan dilaksanakan oleh Jurusan teater STSI Padangpanjang dengan label Pekan Apresiasi Teater. Lagi-lagi Aceh hanya muncul satu kelompok teater, Teater Reje Linge Takengon Aceh Tengah pimpinan Salman Yoga. Sayang, merekapun datang hanya sebagai peninjau bukan mementaskan raga teater, menyedihkan memang. Bolehlah, alasan keterpurukkan teater di Aceh karena konflik yang berkepanjangan antara GAM dan TNI serta POLRI sehingga teater tidak diperbolehkan melakukan pementasan malam hari. Kita kenang masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang, kesenian dan seniman Indonesia di ikat ruang geraknya. Namun seni dan seniman tetap melakukan aktivitasnya, jadi alasan klasik tersebut hanya untuk menutupi ketidakmampuan dalam berproses kreatif.
Ada keinginan untuk menjadi lebih baik. Teater dijadikan media pembelajaran moralitas, dan rehabilitasi psikologis bagi anak-anak korban tsunami. Sesungguhnya ini awal yang sangat baik, namun sayang di Nangroe Aceh Darussalam dalam kurun waktu itu bermunculanlah teater-teater yang berjenis Lawakan. Setiap ada pertunjukan teater pasti pertunjukan tersebut menjadi lawak (bukan komedi), penonton hanya membawa pulang tertawa setelah menyaksikan pertunjukan. Begitulah kondisi teater di Aceh.
Selanjutnya tanggal 12 sampai 18 April 2008, di Taman Ratu Syafiatuddin Banda Aceh diadakan kegiatan budaya Diwana Cakradonya, dalam kegiatan tersebut juga muncul event festival teater se-Nanggroe Aceh Darussalam. Ada rasa bangga dan haru ketika mendengar kegiatan teater diberi ruang dalam pesta budaya Aceh tersebut. Namun penulis sangat renyuh menyaksikan teater dipertunjukan dalam pasar malam, dengan fasilitas pertunjukan di bawah standar. Warga dan Pemerintah Daerah Aceh belum menghargai seni teater, yang paling menyedihkan malah masyarakat seniman ikut pula merendahkan dirinya. Apalagi ketika penulis menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan, secara keseluruhan pekerja teater Indonesia di Aceh kurang mengerti konsepsi pemeranan, penyutradaraan dan artistik sehingga menggarap pertunjukan teater hanya mengandalkan pengalaman empirik semata. Teater dewasa ini, bukan lagi sekedar hobi, teater telah jadi bagian dari ilmu pengetahuan. Jadi berteater itu harus berguru bukan meniru. Tataran dunia perteateran di Aceh masih dalam taraf menirukan rutinitas kehobian dalam menggeluti teater. Festival teater Se-NAD itu, muncul dalam rutinitas ketimbang tak ada pertunjukan, makanya dilaksanakanlah kegiatan yang menghabiskan banyak uang dengan kualitas kegiatan rendah. Festival teater seharusnya dilaksanakan di gedung pertunjukan yang siap dengan fasilitas pendukung seperti lighting (cahaya), gedung pertunjukan yang memiliki akuistik bagus yang akhirnya berimbas pada kualitas pertunjukan.

Aceh Butuh Lembaga Pendidikan Tinggi Seni
Masyarakat teater Aceh memiliki budaya lokal berteater seperti; dalupa, guel, P.M.T.O.H, didong, dangderia, hikayat dan sebuku serta Gelanggang Labu. Teater-teater tradisi ini, mampu menjadi pemicu teaterawan Aceh dalam proses kreatifnya. Dewasa ini, generasi Aceh banyak yang tidak kenal lagi mengenai seni tradisi yang bernilai tinggi ini. Atas dasar inilah, tak ada salahnya penulis menggantungkan harapan kepada Pemerintah Daerah, Praktisi Keilmuan, Seniman, dan Seniman Akademis baik yang berada di Aceh maupun di luar Aceh untuk duduk bersama memikirkan dan merumuskan pendirian Lembaga Pendidikan Seni di Aceh. Andai Lembaga Pendidikan Seni ini berdiri, tidak hanya mampu mendokumentasikan seni teater tradisional Aceh, namun akan berada dalam cakupan seni yang universal menjadi laboratorium seni Islam Nusantara. Hal ini dapat terealisir karena Aceh kini memiliki hukum Islam sebagai landasan ideal dalam bermasyarakat melalui Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. Jika hal ini dikaji serius oleh masyarakat seniman dan PEMDA NAD, maka Seniman Aceh juga harus melahirkan Qanun (Hukum) tentang kesenian. Seni Aceh adalah seni yang berlandaskan Islam. Jadi lembaga pendidikan seni di NAD berbeda dengan kajian seni yang ada di IKJ Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Bali, STSI Bandung, STSI Padangpanjang, STKW Surabaya, AKMR Pekanbaru, Akademi Seni Papua. Lembaga Pendidikan Seni ini, selain mampu mengangkat martabat kesenian Aceh, juga mampu mendokumentasikan seluruh seni tradisi Aceh sekaligus mengkaji seni secara keilmuan tidak hanya sebagai hobi. Andaikan Lembaga Pendidikan Seni berdiri di Aceh, ia akan mampu menjawab tantangan jaman terhadap kualitas intelektual seniman Aceh, bukan kuantitasnya. Sekaligus menjadikan Aceh tempat kajian seni yang Islami di dunia selain Turki. Bagaimana (?) Semoga!



*) Penulis adalah Penyair, Sutradara dan pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, juga dosen jurusan teater STSI Padangpanjang asal Aceh.