Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com
Sabtu, 20 September 2008
58 Tahun ‘Si Binatang Jalang’ Chairil Anwar Menutup Mata:
Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn *)
Abstrak
Chairil Anwar penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namun pada usia 26 tahun ketika ajalnya mau di jemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan, sebelum pada akhirnya ia menyerah’ ia mati muda. Tidak terasa telah 58 tahun lamanya penyair revolusioner itu menghadap khalikNya, tapi semangat kepenyairannya tetap hidup sampai sekarang sekaligus menggugah penyair-penyair sesudahnya.
Kata Kunci: Keseriusan‘menyair’ menjadikan
dirinya pelopor pembaharu dalam
kesusasteraan Indonesia.
Pendahuluan
Chairil Anwar si `Binatang Jalang` merupakan pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil sejak dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi menjadi teks books bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Rasanya tak habis pembicaraan tentang Chairil Anwar baik secara individu maupun mengenai sajak-sajaknya. Hari meninggalnya selalu saja diperingati baik oleh lembaga pendidikan maupun seniman-seniman yang berdomisili di Indonesia. Mengenang setiap tahun meninggalnya diadakan lomba cipta puisi, lomba baca puisi, salah satu puisi wajib adalah puisi karya Chairil Anwar. Juga sangat sering di kampus maupun sanggar-sanggar seni setiap tahun mengadakan diskusi, sarasehan mengenai penyair yang mati muda itu. Tak terasa 58 tahun lamanya penyair revolusioner ini menghadap sang Khalik. Tepatnya pukul 14.30 WIB pada tanggal 28 April 1949 di RSUP CBZ (Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), setelah enam hari dirawat. Menurut catatan rumah sakit, Chairil muda diserang typhus. Sementara dari keterangan teman dekatnya ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Bahkan yang membuat nyawanya terengut adalah radang ususnya pecah. Chairil telah tiada, namun setiap tanggal 28 April seluruh seniman memperingatinya, beberapa waktu yang lalu Universitas Bung Hatta Padang melaksanakan kegiatan itu dengan mengadakan lomba musikalisasi puisi karya-karya Chairil Anwar. Penulis ketika menuliskan tulisan ini, juga untuk memperingatinya, meski agak terlambat melalui Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (12 Mei 2007) melakukan diskusi tentang ‘semangat kepenyairan Chairil Anwar’, Setidak-tidaknya telah merekam semangat kepenyairan yang singkat tetapi akhirnya terpilih sebagai pelopor angkatan 45. Hal ini memang tidak mudah karena Chairil Anwar sering melakukan pemeberontakan-pemberontakan dalam dunia sastra dengan resiko menerima berbagai macam tudingan. Akhirnya hari ini sampai besok dan nanti ‘setelah ia mati’ dikenang oleh Indonesia.
Boen S. Oemarjati (1983: 215) mengungkapkan, “Chairil Anwar bukanlah orang yang meratapi nasib diri sendiri, apalagi nasib orang lain. Ia mengagumi kehidupan yang dipertentangkannya dengan kematian. Ia mengagumi orang-orang yang berani dan mempunyai vitalitas, ia sangat berani menempuh hidup sekalipun selalu dalam kesadaran akan maut mengancam”.
Chairil : Sekali Berarti Sudah itu Mati.
Chairil merupakan penyair yang serius ia sangat bersungguh-sungguh dalam menciptakan sajaknya, pernah ada berita untuk mencari kata-kata yang tepat dalam satu baris sajaknya sampai berminggu-minggu, wajar saja bila akhirnya karya cipta puisinya berkualitas. Bagi Chairil menulis harus melalui perencanaan dan memikirkan kata-kata yang tepat dengan perenungan dan proses pengendapan (kontemplasi). Sementara para penyair dewasa ini improvisasi menjadi utama sehingga sajak yang muncul adalah spontanitas serta penulisan `automatic` sering menganggap menulis sajak adalah pekerjaan gampangan, disamakan dengan undian, semangat nasib-nasipan siapa tahu kata-kata tersusun menjadi larik dapat disebut sajak. Sementara seleksi kualitatif dari sang penyair itu sendiri tidak dilakukan. Semangat semacam ini banyak dihinggapi oleh penyair-penyair Indonesia dewasa ini, sehingga tidak memungkinkan untuk menuntut keyakinan puitika dari sang penyair seperti yang telah dilakukan Chairil Anwar.
Kepenyairan adalah yang utama dan segala-galanya. Sikap kepenyairan Chairil Anwar tidak luar biasa, wajar saja bila seorang penyair menggantungkan kepenyairannya hanya pada sajak. Tidak perlu merasa aneh, seharusnya penyair memang begitu. `sekali berarti sudah itu mati` motto Chairil Anwar masih dapat dijadikan teladan dalam suasana perpuisian Indonesia. (Sutarji Cholzum Bahri, 1983: No. 5)
Semangat sekali berarti sudah itu mati yang menjadi moto dalam hidup serta menjalani kehidupan ini, barangkali dengan semangat itulah ia benar-benar berarti pada kehadirannya yang hanya sekali itu sehingga dijuluki sang pendobrak sistim konvensi lama dalam perpuisian Indonesia.
A. Teuw (1983: 217) mengungkapkan, “…Setelah runtuhnya penjajahan Belanda bukan hanya terjadi revolusi politik yang menjelma kemerdekaan negara Indonesia, namun terjadi juga revolusi sastra yang yang dirintis oleh penyair Chairil Anwar”. Betapa besar sumbangan yang telah diberikan Chairil Anwar bagi perkembangan perpuisian. Hal ini terlihat jelas dampaknya hingga sekarang. Di Indonesia tidak ada satupun penyair setelah Chairil Anwar yang tidak terpengaruh oleh sajak-sajaknya Chairil. Ada memang yang melakukan pemberontakan setelah mengunyah dan menangkap `roh` semangat Chairil. Ia ingin bebas dari kungkungan kata, sehingga puisinya disebut `puisi gelap` yang mementingkan tipografi (bentuk), ia berusaha meninggalkan konvensinya Chairil sehingga disebut `presiden penyair` Sutardji Colzum Bahcri. Namun itupun tak bertahan lama walaupun ia sangat mempertahankan kredonya.
Kesusastraan Indonesia mencatat, karya sastra dalam bentuk puisi (bukan puisi lisan) hanya karya Chairil Anwar yang benar-benar membumi dan berakar di negeri ini. Barangkali hanya puisi lisan (Kaba Minangkabau, Hikayat di Aceh, dan lain-lainnya yang mampu melampaui kekuatan masa pakai puisi Chairil Anwar. Menurut HB. Jassin, (1983: 112) “…Cahiril Anwar menghasilkan karyanya sejak 1942 sampai 1949 hanya 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 sajak saduran, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan, 94 tulisan. Sungguh sedikit yang dihasilkan dalam waktu enam tahun setengah. Ada juga karya plagiat sebagai terjemahan dan saduran, namun yang membesarkannya adalah 70 sajak aslinya”.
Mengapa penyair `besar` Chairil ada karyanya yang plagiat, apakah ini tidak memalukan. Apa yang sedang terjadi dengan diri Chairil. Barangkali berjuta pertanyaan akan muncul dibenak kita, barangkali beribu sumpah serapah akan tertumpah seandainya Chairil masih hidup. Begini, mungkin ini hanya sebuah anekdot atau katakanlah pembelaan terhadap kepenyairannya. Chairil Anwar hidup dalam situasi dan kondisi Indonesia sedang mengalami transisi, mencari kerja sangat sulit. Cahiril terlalu sering merasa lapar dan menderita, jadi untuk cepat mendapat honor maka ia menyadur sajak orang. Sementara surat kabar dan majalah selalu saja memberikan honor setiap Chairil mengantarkan karyanya. Beberapa redaktur koran dan majalah yang menyediakan ruang budaya berhasil di tipu Chairil. Kalau masalah tipu menipu memang Chairil sangat lihai yang terpenting ia dapat makan. Pernah ketika ia bertamu ke tempat seorang teman, dan temannya sedang sibuk menerjemahkan buku yang berbahasa Belanda dan beberapa bahasa Asing lainnya. Sang teman meminta Chairil untuk menerjemahkannya, ia bersedia asalkan diberikan uang makan. Temannya menyanggupi, Chairil menerjemahkan buku yang tidak begitu tebal hanya dalam waktu dua jam. Setelah mendapatkan uang seperti yang dijanjikan dengan bersiul-siul Chairil pergi. Si teman sempat heran menyaksikan kecepatan Chairil dalam menerjemah. Ia mulai memeriksa pekerjaan Chairil, lembar pertama sampai dengan kelima belas sangat bangus hasilnya, tapi seterusnya Chairil hanya menyalin saja. Begitu Chairil ‘si binatang jalang itu’, yang seperti ini jangan di tiru. Ia menerjemahkan serta menyadur karya penyair asing dengan mudah, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk mengisi perut.
Chairil sangat gandrung dan menyenangi karya penyair asing diantaranya; Marsman, Lorca, Aiten, T.S Eliot. Mari kita simak sajak Chairil yang pernah menaruh curiga orang sepertinya terjadi persamaan dengan sajak karya Lorca yaitu ‘Cardoba’. Judulnya Cintaku Jauh di Pulau : // Cintaku jauh dipulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri/perahu melancar, bulan memancar,/dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membatu, laut terang, tapi terasa/aku tidak kan sampai padanya// Diair yang tenang, diangin mendayu/diperasaan penghabisan segala melaju/ Ajal bertahta, sambil berkata:/ “Tujukan perahu kepangkuanku saja”// Amboi jalan sudah bertahun kutempuh!/ perahu yang bersama kan merapuh!/ mengapa ajal memanggil dulu/sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?/ manisku jauh dipulau,/ kalau ku mati, dia mati iseng sendiri//. Sementara itu mari kita simak karya Lorca dengan judul Cordoba: //sayub-sayub dan sepi/ kudaku zanggi, bulan purnama/ dan buah zaitun di kantong pelana/ walau kukenal jaring jalannya/ berasa, tak lagi kucapai Cordoba// Memutus padang, menjuang angin/ kudaku zanggi, bulan purnama./ Maut mengeram, mengintai didepan/ dari menara kota Cordoba// Cordoba/ sayub-sayub dan sepi//.
Memang beberapa sajak Chairil jelas-jelas merupakan sajak saduran sperti; ‘Rumahku’ karya Slauerhoff, ‘Woninglooze’, kepada peminta-minta karya Alsschot, ‘Catetan th 1945 dari karya Donald Bain War Poet’, ‘Datang Dara Hilang Dara terjemahan sajak Hsu Chih-Mo’ dan lain-lain. Begitulah Chairil, namun dengan 70 sajak aslinya ia telah menjadikan dirinya pilar utama, pelopor dan pembaharu kesusasteraan Indonesia. Ia telah meletakkan kepercayaan kepenyairannya pada kualitas sajak-sajaknya serta turut menyemangati penyair sesudahnya. Luar biasa, yang harus kita teladani adalah keseriusannya serta siap sedia berkeringat dalam menyair.
Sajak-sajak Chairil Anwar dipenuhi dengan perenungan yang mendalam karena dilakukannya melalui kontemplasi yang mengkristal. Kekuatan pengalaman spiritual serta kepekaan intelektualitasnya semua itu dapat di raih. Betapa tidak, Chairil selalu saja secara langsung mengalami kehidupan malam di kota Jakarta. Ia tidak sekedar mengalami, merasakan serta meraba objek tersebut melainkan ia turut menikmatinya. Kapasitas dirinya seluruhnya ia serahkan dan masuk untuk larut dalam suasana itu, sehingga suasana itu akhirnya masuk ke dalam dirinya. Kemelaratan, kepedihan, kesengsaraan, derita ia gumuli dengan kekaguman untuk menantang hidup. Mari kita simak sebuah puisi yang berangkat dari hasil pengalaman spritualnya yang bersifat individual dengan pemilihan kata ambiguitas ketika ia mengungkapkan cinta dan rindu. Sajaknya berjudul Pemberi Tahu : // Bukan makdsudku mau berbagi nasib,/ nasib adalah kesunyian masing-masing/ kupilih kau dari yang banyak, tapi/ sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring,/ Aku pernah ingin benar padamu,/ Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,/ kita berpeluk ciuman tak jemu,/ rasa tak sanggup kau kulepaskan./ Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,/ Aku memang tak bisa lama bersama/ ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!//.
Sajak ini sepakat kita menganggapnya sajak cinta kepada seseorang gadis, gadis itu menerima Chairil. Mereka kabarnya sering bersama bersepeda. Menurut pengakuan gadis itu, setiap mereka bertemu dan bersepeda, Chairil selalu saja memakai pakaian yang sama namun ia tak pernah mencium bau badan Chairil. Suatu ketika Chairil bertamu ke rumah gadis itu, dan bertemu dengan ayah si gadis dengan maksud melamar. Si ayah langsung menjawab; “Nak Chairil, carilah kerja tetap dahulu”. Chairil hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, ia langsung pergi dan tentu dengan berjalan kaki karena sepeda yang sering dikayuhnya adalah milik si gadis itu. Barangkali dari pengalaman spiritual itu lahirlah puisi dengan judul Pemberi Tahu. Menilik lebih mendalam pada sajak itu ada semacam keluhan duka yang digambarkan dengan kata berbagi nasib, lalu di ulang pada larik kedua nasib, yang menciptakan ambiguitas dan ini adalah tipu muslihat (kecerdasan) penyair untuk mengatakan lebih banyak dari apa yang dikatakan dengan kata-kata. Membaca sajak di atas harus dimengerti dengan cara yang intuitif.
Membaca Pemberian Tahu didalamnya menemukan amanat keluhan dengan penuh kedukaan sementara dalam puisi ‘ajakan’ Chairil melukiskan kemesraannya dengan seorang gadis yang bernama Ida, barangkali gadis ini yang ayahnya menolak lamaran Chairil. Begini puisinya; ‘Ajakan: Ida’ //Menembus sudah caya/ udara tebal kabut/ kaca hitam lumut/ pecah pencar sekarang/ di ruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan/ Ria bahagia/ tak acuh apa-apa/ gembira girang/ biar hujan datang/ kita mandi basahkan diri/ tahu pasti sebentar kering lagi//.
Peristiwa kecilpun Chairil menyerahkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Daya kontemplasinya memang sangat kuat sehingga ia dengan sempurna menangkap objek menjadi buah karyanya. Walaupun sebuah peristiwa kecil yang menjadi pengalaman emperik yang dirasakan dan dinikmatinya, akhirnya dijadikan sebuah sajak. Ia selalu saja menyeleksi sendiri karyanya. Ia begitu tegar dalam pencaharian, tidak pernah mau menyerah apalagi kalah. Hanya saja sesekali kesal andaikan ada karyanya dianggap belum maksimal. Chairil melakukan selektifitas individual terhadap sajak-sajaknya. Ia pernah mengirim surat kepada HB. Jassin yang isinya begini; “Jassin. Yang kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya” (Chairil Anwar, 1996). Ini suatu bukti ia sangat selektif. Memang benar ada beberapa sajak Chairil terjadi perubahan walaupun sudah diterbitkan. Lihat saja antologi Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Yang terhempas dan yang putus, Tiga Menguak Takdir, ada beberapa sajaknya terjadi perubahan.
Chairil Anwar etnis Minangkabau yang dilahirkan di Medan 26 Juli 1922. pernah mengecap pendidikan MULO tapi tidak tamat, mantan redaktur Gelanggang, siasat, dan Gema Suasana. Merupakan manusia yang kutu buku. Buku apa saja ia pasti baca walaupun totalitasnya berada dalam dunia kepenyairan. Pergaulannya juga sangat luas, ia bergaul dengan seniman dalam bidang apapun sehingga ia banyak dikenal orang bahkan ia bergaul dengan pengemis, gelandangan, tukang becak serta pelacur. Pergaulannya digunakan untuk kepentingan proses kreatif kesenimanannya.
Chairil manusia yang tidak tahan kalau kehabisan bahan bacaannya, ia konon kabarnya rela mencuri disebuah toko buku. Buku yang dicuri tentunya dalam bahasa asing. Barangkali semangat membacanya boleh ditiru tetapi semangat mencurinya jangan. Chairil memang luar biasa, wajar dia mendapat anugerah ‘Pelopor Angkatan 45’ tapi alangkah lebih bahagianya ia kalau anugerah itu diberikan ketika ia masih hidup. pastilah ia merasa bangga dan bahagia hasil peras keringatnya yang menetes menjadi larik puisi dapat dinikmatinya. Sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap walau usianya baru 26 tahun, sajak itu berjudul Derai-Derai Cemara: //Cemara menderai sampai jauh/ Terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap rapuh/ dipukul angin yang terpendam.// Aku sekarang orangnya bisa tahan,/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu memang ada suatu bahan,/ yang bukan dasar perhitungan kini.// hidup hanya menunda kekalahan,/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah,/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,/ sebelum pada akhirnya kita menyerah//.
Penutup
Penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namu pada usianya 26 tahun ketika ajalnya mau dijemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah’. Sajak ini diungkapkan dengan sikap yang sudah mengendap, inilah yang dinamakan proses kreatif yang memisahkan dari masa lampau. Proses itu begitu cepat. Chairil mengamsalkan suara deraian cemara sampai dikejauhan yang menyebabkan hari terasa akan jadi malam. Sementara dahan yang ditingkap merapuh itu pun dipukul angin yang terpendam. Chairil memilih kata merapuh, ditingkap, dipukul, terpendam untuk menyatakan aku lirik (akunya penyair). Ia menyadari bahwa sepenuhnya hari belumlah malam, tapi akan terjadi malam (maksudnya; usianya masih muda tetapi ia berfirasat semakin dekat dengan ajal). Benih perenungan semakin matang dalam sajak ini, Chairil mengungkapkan rahasia kehidupannya dengan teknik persajakan yang telah dikuasainya dengan baik. Chairil lebih menonjolkan sosok yang penuh dengan semangat hidup serta sikap kepahlawanan. Ia merupakan penyair yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.
Boen S. Oemarjati (1983:215) mengatakan, “Sebuah sajak selalu mengatakan lebih dari hanya kata-kata dalam arti yang leksikografis saja. Dan sebuah analisa lingguistik adalah pengembalian penggunaan kata-kata kepada arti-arti leksikografisnya, dan susunan gramatika yang biasa”. Jadi, sebahagian besar sajak Chairil Anwar merupakan masa lampau dirinya yang ia kontemplasikan menjadi larik dalam puisinya, sehingga masa lampaunya Chairil dapat menjadi masa kini dan masa depan. Ia bergerak begitu cepat ke depan semua dicapainya hanya dengan bakat dan kemauan yang keras, semangat serta kecerdasan yang tinggi. Penyair memang harus cerdas sehingga dapat melahirkan puisi-puisi yang lebih cerdas ketimbang dirinya. Sajak Chairil memang nyata terlihat melebihi dari sekedar kata-kata, makna katanya selalu memiliki makna yang ambiguitas seperti ketika ia mengungkapkan rasa kemesraannya kepada gadis Ida dalam sajak berjudul ‘Ajakan’ //…..diruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan//. Bagaimana Chairil memilih kata sehingga maknanya meluas, tidak hanya menjadi masalah individualisme, seolah hal itu milik semua orang. Betapa cerdas Chairil dalam menyembunyikan objek dirinya menjadi objek siapa saja yang membaca karyanya. Bagi penyair semangat dan kerja keras Chairil mari kita teladani, walau siapa saja tetap terasa akan jadi malam. 58 tahun ia telah tiada, puisinya tetap hidup dan lantang menggema. Chairil masih hidup dalam puisinya, hidup sekali dan memang harus berarti. Sekali berarti sudah itu mati. Begitulah seharusnya penyair.
*) Penulis adalah penyair- Sutradara teater dan dosen
Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang, Serta
dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teeuw, 1983. Tergantung pada Kata, Jakarta: PT. Gramedia
Chairil Anwar, 1996. Antologi Puisi Aku ini Binatang Jalang, Jakarta: Gramedia Utama
HB.Jassin, 1985. Kesusasteraan Modern dalam Kritik Esai II, Jakarta: Gramedia
------------, 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia
------------, 1996. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Sutardji Calzoum Bahri, 1983. majalah Horison, no: 5, Jakarta.
58 Tahun ‘Si Binatang Jalang’ Chairil Anwar Menutup Mata: Sekali Berarti Sesudah Itu Mati
Sekali Berarti Sesudah Itu Mati
Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn *)
Abstrak
Chairil Anwar penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namun pada usia 26 tahun ketika ajalnya mau di jemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan, sebelum pada akhirnya ia menyerah’ ia mati muda. Tidak terasa telah 58 tahun lamanya penyair revolusioner itu menghadap khalikNya, tapi semangat kepenyairannya tetap hidup sampai sekarang sekaligus menggugah penyair-penyair sesudahnya.
Kata Kunci: Keseriusan‘menyair’ menjadikan
dirinya pelopor pembaharu dalam
kesusasteraan Indonesia.
Pendahuluan
Chairil Anwar si `Binatang Jalang` merupakan pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil sejak dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi menjadi teks books bagi pelajaran bahasa dan sastra
Boen S. Oemarjati (1983: 215) mengungkapkan, “Chairil Anwar bukanlah orang yang meratapi nasib diri sendiri, apalagi nasib orang lain. Ia mengagumi kehidupan yang dipertentangkannya dengan kematian. Ia mengagumi orang-orang yang berani dan mempunyai vitalitas, ia sangat berani menempuh hidup sekalipun selalu dalam kesadaran akan maut mengancam”.
Chairil : Sekali Berarti Sudah itu Mati.
Chairil merupakan penyair yang serius ia sangat bersungguh-sungguh dalam menciptakan sajaknya, pernah ada berita untuk mencari kata-kata yang tepat dalam satu baris sajaknya sampai berminggu-minggu, wajar saja bila akhirnya karya cipta puisinya berkualitas. Bagi Chairil menulis harus melalui perencanaan dan memikirkan kata-kata yang tepat dengan perenungan dan proses pengendapan (kontemplasi). Sementara para penyair dewasa ini improvisasi menjadi utama sehingga sajak yang muncul adalah spontanitas serta penulisan `automatic` sering menganggap menulis sajak adalah pekerjaan gampangan, disamakan dengan undian, semangat nasib-nasipan siapa tahu kata-kata tersusun menjadi larik dapat disebut sajak. Sementara seleksi kualitatif dari sang penyair itu sendiri tidak dilakukan. Semangat semacam ini banyak dihinggapi oleh penyair-penyair Indonesia dewasa ini, sehingga tidak memungkinkan untuk menuntut keyakinan puitika dari sang penyair seperti yang telah dilakukan Chairil Anwar.
Kepenyairan adalah yang utama dan segala-galanya. Sikap kepenyairan Chairil Anwar tidak luar biasa, wajar saja bila seorang penyair menggantungkan kepenyairannya hanya pada sajak. Tidak perlu merasa aneh, seharusnya penyair memang begitu. `sekali berarti sudah itu mati` motto Chairil Anwar masih dapat dijadikan teladan dalam suasana perpuisian Indonesia. (Sutarji Cholzum Bahri, 1983: No. 5)
Semangat sekali berarti sudah itu mati yang menjadi moto dalam hidup serta menjalani kehidupan ini, barangkali dengan semangat itulah ia benar-benar berarti pada kehadirannya yang hanya sekali itu sehingga dijuluki sang pendobrak sistim konvensi lama dalam perpuisian
A. Teuw (1983: 217) mengungkapkan, “…Setelah runtuhnya penjajahan Belanda bukan hanya terjadi revolusi politik yang menjelma kemerdekaan negara
Kesusastraan Indonesia mencatat, karya sastra dalam bentuk puisi (bukan puisi lisan) hanya karya Chairil Anwar yang benar-benar membumi dan berakar di negeri ini. Barangkali hanya puisi lisan (Kaba Minangkabau, Hikayat di Aceh, dan lain-lainnya yang mampu melampaui kekuatan masa pakai puisi Chairil Anwar. Menurut HB. Jassin, (1983: 112) “…Cahiril Anwar menghasilkan karyanya sejak 1942 sampai 1949 hanya 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 sajak saduran, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan, 94 tulisan. Sungguh sedikit yang dihasilkan dalam waktu enam tahun setengah. Ada juga karya plagiat sebagai terjemahan dan saduran, namun yang membesarkannya adalah 70 sajak aslinya”.
Mengapa penyair `besar` Chairil ada karyanya yang plagiat, apakah ini tidak memalukan. Apa yang sedang terjadi dengan diri Chairil. Barangkali berjuta pertanyaan akan muncul dibenak kita, barangkali beribu sumpah serapah akan tertumpah seandainya Chairil masih hidup. Begini, mungkin ini hanya sebuah anekdot atau katakanlah pembelaan terhadap kepenyairannya. Chairil Anwar hidup dalam situasi dan kondisi Indonesia sedang mengalami transisi, mencari kerja sangat sulit. Cahiril terlalu sering merasa lapar dan menderita, jadi untuk cepat mendapat honor maka ia menyadur sajak orang. Sementara surat kabar dan majalah selalu saja memberikan honor setiap Chairil mengantarkan karyanya. Beberapa redaktur koran dan majalah yang menyediakan ruang budaya berhasil di tipu Chairil. Kalau masalah tipu menipu memang Chairil sangat lihai yang terpenting ia dapat makan. Pernah ketika ia bertamu ke tempat seorang teman, dan temannya sedang sibuk menerjemahkan buku yang berbahasa Belanda dan beberapa bahasa Asing lainnya. Sang teman meminta Chairil untuk menerjemahkannya, ia bersedia asalkan diberikan uang makan. Temannya menyanggupi, Chairil menerjemahkan buku yang tidak begitu tebal hanya dalam waktu dua jam. Setelah mendapatkan uang seperti yang dijanjikan dengan bersiul-siul Chairil pergi. Si teman sempat heran menyaksikan kecepatan Chairil dalam menerjemah. Ia mulai memeriksa pekerjaan Chairil, lembar pertama sampai dengan kelima belas sangat bangus hasilnya, tapi seterusnya Chairil hanya menyalin saja. Begitu Chairil ‘si binatang jalang itu’, yang seperti ini jangan di tiru. Ia menerjemahkan serta menyadur karya penyair asing dengan mudah, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk mengisi perut.
Chairil sangat gandrung dan menyenangi karya penyair asing diantaranya; Marsman, Lorca, Aiten, T.S Eliot. Mari kita simak sajak Chairil yang pernah menaruh curiga orang sepertinya terjadi persamaan dengan sajak karya Lorca yaitu ‘Cardoba’. Judulnya Cintaku Jauh di Pulau : // Cintaku jauh dipulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri/perahu melancar, bulan memancar,/dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membatu, laut terang, tapi terasa/aku tidak kan sampai padanya// Diair yang tenang, diangin mendayu/diperasaan penghabisan segala melaju/ Ajal bertahta, sambil berkata:/ “Tujukan perahu kepangkuanku saja”// Amboi jalan sudah bertahun kutempuh!/ perahu yang bersama kan merapuh!/ mengapa ajal memanggil dulu/sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?/ manisku jauh dipulau,/ kalau ku mati, dia mati iseng sendiri//. Sementara itu mari kita simak karya Lorca dengan judul Cordoba: //sayub-sayub dan sepi/ kudaku zanggi, bulan purnama/ dan buah zaitun di kantong pelana/ walau kukenal jaring jalannya/ berasa, tak lagi kucapai Cordoba// Memutus padang, menjuang angin/ kudaku zanggi, bulan purnama./ Maut mengeram, mengintai didepan/ dari menara kota Cordoba// Cordoba/ sayub-sayub dan sepi//.
Memang beberapa sajak Chairil jelas-jelas merupakan sajak saduran sperti; ‘Rumahku’ karya Slauerhoff, ‘Woninglooze’, kepada peminta-minta karya Alsschot, ‘Catetan th 1945 dari karya Donald Bain War Poet’, ‘Datang Dara Hilang Dara terjemahan sajak Hsu Chih-Mo’ dan lain-lain. Begitulah Chairil, namun dengan 70 sajak aslinya ia telah menjadikan dirinya pilar utama, pelopor dan pembaharu kesusasteraan
Sajak-sajak Chairil Anwar dipenuhi dengan perenungan yang mendalam karena dilakukannya melalui kontemplasi yang mengkristal. Kekuatan pengalaman spiritual serta kepekaan intelektualitasnya semua itu dapat di raih. Betapa tidak, Chairil selalu saja secara langsung mengalami kehidupan malam di
Sajak ini sepakat kita menganggapnya sajak cinta kepada seseorang gadis, gadis itu menerima Chairil. Mereka kabarnya sering bersama bersepeda. Menurut pengakuan gadis itu, setiap mereka bertemu dan bersepeda, Chairil selalu saja memakai pakaian yang sama namun ia tak pernah mencium bau badan Chairil. Suatu ketika Chairil bertamu ke rumah gadis itu, dan bertemu dengan ayah si gadis dengan maksud melamar. Si ayah langsung menjawab; “Nak Chairil, carilah kerja tetap dahulu”. Chairil hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, ia langsung pergi dan tentu dengan berjalan kaki karena sepeda yang sering dikayuhnya adalah milik si gadis itu. Barangkali dari pengalaman spiritual itu lahirlah puisi dengan judul Pemberi Tahu. Menilik lebih mendalam pada sajak itu ada semacam keluhan duka yang digambarkan dengan kata berbagi nasib, lalu di ulang pada larik kedua nasib, yang menciptakan ambiguitas dan ini adalah tipu muslihat (kecerdasan) penyair untuk mengatakan lebih banyak dari apa yang dikatakan dengan kata-kata. Membaca sajak di atas harus dimengerti dengan cara yang intuitif.
Membaca Pemberian Tahu didalamnya menemukan amanat keluhan dengan penuh kedukaan sementara dalam puisi ‘ajakan’ Chairil melukiskan kemesraannya dengan seorang gadis yang bernama Ida, barangkali gadis ini yang ayahnya menolak lamaran Chairil. Begini puisinya; ‘Ajakan: Ida’ //Menembus sudah caya/ udara tebal kabut/ kaca hitam lumut/ pecah pencar sekarang/ di ruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan/ Ria bahagia/ tak acuh apa-apa/ gembira girang/ biar hujan datang/ kita mandi basahkan diri/ tahu pasti sebentar kering lagi//.
Peristiwa kecilpun Chairil menyerahkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Daya kontemplasinya memang sangat kuat sehingga ia dengan sempurna menangkap objek menjadi buah karyanya. Walaupun sebuah peristiwa kecil yang menjadi pengalaman emperik yang dirasakan dan dinikmatinya, akhirnya dijadikan sebuah sajak. Ia selalu saja menyeleksi sendiri karyanya. Ia begitu tegar dalam pencaharian, tidak pernah mau menyerah apalagi kalah. Hanya saja sesekali kesal andaikan ada karyanya dianggap belum maksimal. Chairil melakukan selektifitas individual terhadap sajak-sajaknya. Ia pernah mengirim
Chairil Anwar etnis Minangkabau yang dilahirkan di Medan 26 Juli 1922. pernah mengecap pendidikan MULO tapi tidak tamat, mantan redaktur Gelanggang, siasat, dan Gema Suasana. Merupakan manusia yang kutu buku. Buku apa saja ia pasti baca walaupun totalitasnya berada dalam dunia kepenyairan. Pergaulannya juga sangat luas, ia bergaul dengan seniman dalam bidang apapun sehingga ia banyak dikenal orang bahkan ia bergaul dengan pengemis, gelandangan, tukang becak serta pelacur. Pergaulannya digunakan untuk kepentingan proses kreatif kesenimanannya.
Chairil manusia yang tidak tahan kalau kehabisan bahan bacaannya, ia konon kabarnya rela mencuri disebuah toko buku. Buku yang dicuri tentunya dalam bahasa asing. Barangkali semangat membacanya boleh ditiru tetapi semangat mencurinya jangan. Chairil memang luar biasa, wajar dia mendapat anugerah ‘Pelopor Angkatan 45’ tapi alangkah lebih bahagianya ia kalau anugerah itu diberikan ketika ia masih hidup. pastilah ia merasa bangga dan bahagia hasil peras keringatnya yang menetes menjadi larik puisi dapat dinikmatinya. Sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap walau usianya baru 26 tahun, sajak itu berjudul Derai-Derai Cemara: //Cemara menderai sampai jauh/ Terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap rapuh/ dipukul angin yang terpendam.// Aku sekarang orangnya bisa tahan,/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu memang ada suatu bahan,/ yang bukan dasar perhitungan kini.// hidup hanya menunda kekalahan,/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah,/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,/ sebelum pada akhirnya kita menyerah//.
Penutup
Penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namu pada usianya 26 tahun ketika ajalnya mau dijemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah’. Sajak ini diungkapkan dengan sikap yang sudah mengendap, inilah yang dinamakan proses kreatif yang memisahkan dari masa lampau. Proses itu begitu cepat. Chairil mengamsalkan suara deraian cemara sampai dikejauhan yang menyebabkan hari terasa akan jadi malam. Sementara dahan yang ditingkap merapuh itu pun dipukul angin yang terpendam. Chairil memilih kata merapuh, ditingkap, dipukul, terpendam untuk menyatakan aku lirik (akunya penyair). Ia menyadari bahwa sepenuhnya hari belumlah malam, tapi akan terjadi malam (maksudnya; usianya masih muda tetapi ia berfirasat semakin dekat dengan ajal). Benih perenungan semakin matang dalam sajak ini, Chairil mengungkapkan rahasia kehidupannya dengan teknik persajakan yang telah dikuasainya dengan baik. Chairil lebih menonjolkan sosok yang penuh dengan semangat hidup serta sikap kepahlawanan. Ia merupakan penyair yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.
Boen S. Oemarjati (1983:215) mengatakan, “Sebuah sajak selalu mengatakan lebih dari hanya kata-kata dalam arti yang leksikografis saja. Dan sebuah analisa lingguistik adalah pengembalian penggunaan kata-kata kepada arti-arti leksikografisnya, dan susunan gramatika yang biasa”. Jadi, sebahagian besar sajak Chairil Anwar merupakan masa lampau dirinya yang ia kontemplasikan menjadi larik dalam puisinya, sehingga masa lampaunya Chairil dapat menjadi masa kini dan masa depan. Ia bergerak begitu cepat ke depan semua dicapainya hanya dengan bakat dan kemauan yang keras, semangat serta kecerdasan yang tinggi. Penyair memang harus cerdas sehingga dapat melahirkan puisi-puisi yang lebih cerdas ketimbang dirinya. Sajak Chairil memang nyata terlihat melebihi dari sekedar kata-kata, makna katanya selalu memiliki makna yang ambiguitas seperti ketika ia mengungkapkan rasa kemesraannya kepada gadis Ida dalam sajak berjudul ‘Ajakan’ //…..diruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan//. Bagaimana Chairil memilih kata sehingga maknanya meluas, tidak hanya menjadi masalah individualisme, seolah hal itu milik semua orang. Betapa cerdas Chairil dalam menyembunyikan objek dirinya menjadi objek siapa saja yang membaca karyanya. Bagi penyair semangat dan kerja keras Chairil mari kita teladani, walau siapa saja tetap terasa akan jadi malam. 58 tahun ia telah tiada, puisinya tetap hidup dan lantang menggema. Chairil masih hidup dalam puisinya, hidup sekali dan memang harus berarti. Sekali berarti sudah itu mati. Begitulah seharusnya penyair.
*) Penulis adalah penyair- Sutradara teater dan dosen
Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang, Serta
dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Teeuw, 1983. Tergantung pada Kata, Jakarta: PT. Gramedia
Chairil Anwar, 1996. Antologi Puisi Aku ini Binatang Jalang, Jakarta: Gramedia Utama
HB.Jassin, 1985. Kesusasteraan Modern dalam Kritik Esai II, Jakarta: Gramedia
------------, 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia
------------, 1996. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Sutardji Calzoum Bahri, 1983. majalah Horison, no: 5, Jakarta.