PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Senin, 30 Maret 2009

Kolom Refleksi dan Detak Jam Gadang

TULISAN KOLOM INI TELAH DI MUAT DI
HARIAN UMUM HALUAN SUMATERA BARAT.


SUAP DAN WAKIL RAKYAT
Oleh: Sulaiman Juned

Suap atawa menyuap terus saja mengalir bagaikan tetesan air yang tak pernah habis-habisnya. Jika pada masa Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba), jarang sekali menyaksikan kasus suap-menyuap muncul di ruang publik, baik lewat televisi maupun surat kabar. Kasus-kasus seperti itu sepertinya sengaja ditutupi. Maka tidaklah heran jika korupsi pada masa itu sangat banyak terjadi, sementara rakyat yang merasa sebagai pemilik sah Republik ini tidak pernah tahu. Namun dewasa ini, sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai dibentuk, masyarakat menonton para koruptor dilayar kaca atau membaca di koran sama hebohnya dengan menyaksikan pertandingan sepakbola dalam event piala dunia.
Aktor-aktor pelaku korupsi satu persatu ditemukan, masuk bui, tetapi bermunculan juga aktor-aktor baru dalam dunia suap-menyuap. Pekerjaan suap dan menyuap terus saja terjadi, perilaku ini sepertinya sudah mendarah-daging dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri Indonesia tercinta. Mereka tak gentar dengan tuntutan hukum, apalagi bagi yang beragama Islam, pelaku suap atawa yang menyuap hukumannya sama saja. Di mahkamah Tuhan juga nanti akan dimintai pertanggungjawaban. Pertanyaannya mengapa tak pernah habis, laksana ekor tikus sambung menyambung menjadi satu. Masya Allah!
Rata-rata yang tertangkap tangan oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nota bene adalah oknum wakil rakyat. Wakil rakyat yang pesangon dan fasilitas hidupnya ditanggung rakyat, masih juga memanipulasi rakyat. Padahal ketika ingin duduk di kursi dewan, mengumbar sekian janji akan setia berjuang untuk kepentingan rakyat. Setelah menempati posisi mengapa lupa kepada rakyat. Malahan oknum-oknum tersebut sangat suka mengerat laci, menghabisi segala isi, membuat istana pribadi. Seharusnya berkaca diri buat apalagi menerima suap, sedangkan gajinya saja cukup untuk disimpan buat beberapa keturunan.
Di musim ini, rakyat-bangsa dan negara ini membutuhkan para wakil yang berkenan memikirkan kemajuan bangsa dan negara, bukan yang hanya menebalkan kantong jas sapari atau menggemukakan rekening di bank. Penulis menampilkan puisi Taufik Ismail yang berjudul ”Kita Adalah Pemilik Sah Republik Ini” secara utuh untuk tempat kita bercermin, begini isinya; //Tidak ada pilihan lain. Kita haru/ Berjalan terus/ Karena berhenti atau mundur/ Berarti hancur// Apakah akan kita jual keyakinan kita/ Dalam pengabdian tanpa harga/ Akan maukah kita duduk satu meja/ Dengan para pembunuh tahun yang lalu/ Dalam setiap kalimat yang berakhiran/ ”Duli Tuanku”// Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus/ Berjalan terus/ Kita adalah manusia yang bermata sayu, yang di tepi jalan/ mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh/ kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara/ Di pikul banjir, gunung api, kutuk dan hama/ Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka/ Kita tidak punya kepentingan dengan seribu slogan/ Dan seribu pengeras suara yang hampa suara// Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus/ Berjalan terus//. (Dari Himpunan Puisi Taufik Ismail ”Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit).
Apakah para calon wakil rakyat yang sekarang sedang menjual ”dagangan”nya kepada rakyat pernah membaca puisi ini tempat berkaca melihat diri—agar tak menjual kenyakinannya—berkubang dalam kemunafikan. Semoga para calon wakil rakyat berkenan melihat wajahnya untuk memakmurkan negeri ketika mendapatkan kursi. ***




MENGGAULI TEATER
Oleh: Sulaiman Juned

Menyambut hari teater dunia (27/3) nanti. Mari sejenak mengenang jaman Yunani Klasik, tempat awal mula teater itu muncul. Teater masa itu, untuk menghormati dewa anggur dan kesuburan (Dewa Dionysus). Orang Yunani Klasik sangat menghargai aspek keagamaan. Kehadiran mitos Dionysus tidak terlepas dari pengaruh dewa Osiris yang berasal dari cerita orang-orang Mesir. Dewa Osiris cerita kehiduapannya yang mengalami penderitaan-kematian-kemudian bangkit kembali.
Dionysus, putra dewa Zeus penguasa alam dengan semele, ketika Dionysus terbunuh, Zeus menghidupkannya kembali. Mitos Dionysus merupakan simbol kehidupan manusia; lahir-tumbuh-berkembang-mati. Masyarakat Yunani Klasik mengaitkan cerita Dionysus dengan peristiwa alam, seperti; musim semi-musim panas-musim gugur dan musim salju. Jadi ritual pemujaan kepada Dionysus adalah keabadian perubahan alam, dan yang paling penting adalah perubahan terhadap nasib manusia. Festival terhadap pemujaan dewa Dionysus menjadi peristiwa dramatis.
Berangkat dari peristiwa itu pula, teater yang kini kita kenal mulai dimainkan di seluruh dunia. Dalam ritual Yunani Klasik, diadakan sayembara naskah drama. Pemenang dalam pelaksanaan pertama sekali diadakan adalah Thespis. Kemudian diikuti olrh Sphokles dengan naskah dramanya yang dikenal seluruh dunia, yakni Trilogi Yunani: Oedipus Rex- Oedipus Dikolonus- Antigone.
Naskah-naskah drama ciptaan Thespis dan Sphokles itu dipertunjukan dalam ritual tersebut dengan dialog-koor-tarian dan nyanyia. Para aktor waktu itu di sebut thespian. Demikianlah awal mula teater muncul di dunia ini. Sementara pengarang drama Yunani Klasik yang paling terkenal, diantaranya; Thespis, Aeschylus, Sphokles, Euripides, Aristophanes, dan Manander.
Inilah masa awal perkenalan menuju dunia teater modern. Teater masa itu hanya sebagai media upacara. Ternyata teater sudah sangat tua usianya, setua jaman Yunani Klasik dan Mesir Kuno ternyata. Sebagai tokoh teater, kita bukanlah orang baru yang melakukan pembaharuan, tak ada yang baru di atas dunia ini. Namun yang ada adalah inovasi atawa kebaruan.
Atas dasar itu, mari kita berkaca, sebab teater membutuhkan proses penciptaannya. Menciptakan bentuk lakon sekaligus menafsirkannya menjadi pengalaman pentas. Merancang konsep dasar, menata artistik; menganalisis/ menyajikan karakter tokoh serta menstransformasikan karakter lewat laku, serta menciptakan sudut pandang dramatik lakon sepanjang pertunjukan berlangsung, cakap dalam menghadirkan penciptaan ruang teatral yang esensial.
Mengenang teater-memperingati kemunculannya. Mari mengaplikasikan kenyataan teater dalam proses kreatif secara benar. Teater membutuhkan kerja kolektif yang didalamnya ada sastra-musik-tari-senirupa-dramaturgi. Kolektifitas kerja ini membutuhkan pikiran, tenaga, dan waktu. Teater merupakan karya yang kreatif, berteater itu tak gampang, dibutuhkan pengetahuan, keahlian dan kemauan. Ia menjadi produk empiris yang mencakup wilayah gagasan-emosi dan prilaku. Pertunjukan teater akan ditonton jika memiliki identitas. Hal ini akan tercapai tidak hanya lewat transformasi sastra di pentas, tetapi mampu menhadirkan peristiwa teater ke atas pentas. Begitu! Maka berteater itu harus digauli. ***



TEMU KARYA TAMAN BUDAYA SE-INDONESIA
Oleh: Sulaiman Juned

Tiga puluh utusan Taman Budaya Se-Indonesia bertemu di Taman Budaya Sumatera Barat (27-30/7) Mendatang. Kegitan ini memunculkan tema ” Penajaman kearifan lokal melalui nilai-nilai edukasi dalam legenda nusantara”. Ini bermaksud agar masyarakat budaya di setiap daerah mampu menjadikan kekuatan budaya lokal sebagai salah satu identitas lokalitas. Penegasan hidup dalam pluralitas budaya yang berorientasi pada nilai-sikap dan tingkah laku. Kearifan lokal dalam bentuk ekspresi budaya yang mempersoalkan eksistensi budaya di tengah keragaman budaya bangsa Indonesia. ’Perbenturan’ budaya dalam ruang dan waktu seakan menjadi pertukaran dan saling mengisi ke dalam budaya masing-masing etnis yang terlibat pada event itu. Sehingga tidak terjadi perasaan etnosentris (mengagung-agungkan nilai budaya satu etnis saja).
Kesadaran akan pluralitas dianggap mampu menciptakan pemikiran terhadap masa depan kesenian dan budaya Indonesia yang sangat beragam. Selain itu, dapat pula mendorong para pemikir seni untuk membicarakan kajian lintas budaya (Cross Culture) dengan multi disiplin ilmu yang nantinya mampu melahirkan; etnomusikolog-etnolog tari-dramawan-dramatug-kritikus seni.
Tawaran panitia dengan tema ’Penajaman Kearifan Lokal melalui Nilai-nilai Edukasi dalam Legenda Nusantara’ mampu menjawab kekayaan ragam budaya. Jadi dalam relasi antara budaya, hendaknya menghindarkan diri dari pemutlakan orientasi lokal yang mengutamakan warna satu kebudayaan tanpa menghargai eksistensi tradisi seni etnis lainnya. Tradisi seni suatu etnis yang sangat kecil sekalipun tak dapat dilecehkan oleh suatu kebudayaan yang lebih besar. Itulah salah satu hal yang sangat penting, dan harus disadar, serta dibicarakan dalam temu karya para kepala Taman Budaya Se-Indonesia nanti. Bangsa Indonesia yang sangat plural, memiliki keberagaman budaya tentu harus bercermin pada alam demokrasi, agar kreator-pemerhati-para ahli dan praktisi seni mampu menjawab tantangan ’kearifan budaya lokal’ yang hidup di alam pluralistik.
Disamping itu, temu karya ini juga membicarakan tentang peran strategis Taman Budaya dalam menjalankan fungsinya sebagai fasilitator-mediator-labor-etalase kebudayaan daerah masing-masing. Jika fungsi ini benar-benar terealisasi dalam kerja-karya dan karsa pihak Taman Budaya Se-Indonesia, betapa besar sumbangsih buat kemajuan seni dan budaya bangsa. Semoga ini tidak hanya sebagai slogan.
Melalui kesadaran ruang dan waktu antar Taman Budaya tersebut, melahirkan konsepsi nilai sosio-budaya. Pengungkapan seni dan budaya yang berada dalam frame lokal diciptakan menjadi global. Akhirnya, kekuatan seni budaya yang sangat beragam di Indonesia, dapat menjadi suatu kekuatan budaya baru. Berangkat dari kekuatan budaya lokal, terciptalah budaya global Indonesia. Luar biasa jika hal ini dapat terjadi di Indonesia.
Masyarakat Indonesia dari dahulu kala telah hidup dalam pluralitas budaya. Pluralitas budaya tentu berorientasi kepada relasi budaya, juga memiliki wawasan dalam orientasi nilai-sikap-tingkah laku secara terus menerus. Menyikapi pluralitas haruslah saling lakukan, kenapa tidak. Para sesepuh negara ini telah pernah melakukannya melalui simbolik ”Bhinneka Tunggal Ika” walau bercerai-berai tapi tetap bersatu termasukermasuk seni dan budaya. Mari kita belajar saling menhargai budaya lokal. ***



GURU DITUNTUT KREATIF
Oleh: Sulaiman Juned

Kecerdasan intelelektual anak bangsa ini berada ditangan seorang guru. Murid dari kecerdasan seorang guru mampu menjadi presiden-gubernur-walikota-bupati-camat-ahli hukum-politikus-militer-wakil rakyat, dan lain sebagainya. Namun guru, sampai akhir hayatnya tetap menjadi guru. Sering pula kita menemukan guru yang tulus ikhlas mengajar, tanpa mengharap pamrih. Terlalu sering pula kita menyaksikan dan membaca guru di daerah terpencil hanya sendiri mengajar di setiap kelas. Luar biasa, bakhti seorang guru.
Namun apakah seorang guru pernah merasa bertanggungjawab terhadap generasi Indonesia yang dewasa ini kecerdasannya di bawah rata-rata. Apakah guru pernah melakukan introfeksi diri bahwa generasi yang sedang dibangunnya adalah generasi cengeng-manja-pemalas dan romantis. Guru laksana memakan buah simalakama, betapa tidak! Jika muridnya cerdas jasa seorang guru tak pernah disebut. Tetapi andaikan muridnya bersikap bengal apalagi tidak naik kelas atau malah tidak lulus Ujian Nasional, masyarakat beramai-ramai menyalahkan sang guru. Sekaligus mengklaim bahwasannya sekolah tersebut tidak berkualitas. Inilah fenomena seorang guru di negeri tercinta. Sesungguhnya, pendidikan seorang anak tidak hanya tanggungjawab guru. Orang tua di rumah menjadi penanggungjawab utama terhadap keberhasilan anak-anaknya, di sekolah guru dan anak didik hanya bertemu dua belas jam sementara di rumah prilaku anak harus dikontrol oleh orang tua. Jika guru dan orang tua mau bekerjasama, maka akan terciptalah nuansa pendidikan yang berkualitas.
Berdasarkan opini yang muncul di tengah masyarakatt, guru dituntut untuk kreatif di depan kelas. Memahami tugas pokok dan fungsinya sebagai guru. Tugas seorang guru tidak hanya menyuguhkan ranah kognitif semata, alangkah bangganya seorang guru jika mampu melahirkan generasi yang cerdas, tapi memiliki nilai afektif (sikap/moralitas) yang baik pula. Disamping itu, mampu menciptakan anak-anak yang memiliki psikomotorik (kemampuan atau keahlian). Contoh yang paling sederhana terjadi bagi guru bidang studi bahasa dan sastra Indonesia. Guru bidang studi ini, selain harus memiliki kecerdasan intelektual juga dituntut untuk kreatif sebab harus memiliki kemampuan/ keahlian khusus, misalnya; materi sastra, guru dituntut untuk mampu menulis puisi-cerpen-naskah drama sekaligus pula mampu membaca dan memainkannya. Pada akhirnya guru yang memiliki kemampuan khusus tentang itu, menjadi guru yang disenangi dan disegani di kelas, secara otomatis pula dapat melahirkan penulis-penulis muda berbakat. Guru seperti ini tentunya yang diharapkan, dan mampu menjadi penjaga gawang dalam mencerdaskan generasi pelurus bangsa ini.
Jadi, guru tentunya harus mampu menjadi suri tauladan bagi muridnya. Tidak perlu memasang wibawa yang berlebihan agar dihargai dan dihormati oleh muridnya. Menjadi guru yang dikagumi-disenangi-disegani, cobalah dengan memunculkan kreatifitas di dalam kelas agar belajar menjadi tidak monoton. Siswa tentu sangat bangga bila guru bahasa dan sastra Indonesianya, memiliki kemampuan untuk menjadi penyair-cerpenis-dramawan. Apalagi jika mampu menjadi pembaca puisi yang sangat baik, bahkan bila perlu menjadi aktor. Andaikan ini terjadi, pastilah sang guru menjadi orang yang digugu dan ditiru. Tak percaya, silakan coba.Marilah bersama-sama membangun pendidikan terbaik untuk menciptakan generasi yang kokoh dan intelek. Semoga!***