Cantoi sedang mengintip kedatangan pendekar, pertunjukan teater 'Hikayat Cantoi' Karya/Sutradara: Sulaiman Juned
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com
Sabtu, 22 September 2007
Foto Pertunjukan Teater 'Hikayat Cantoi'
Cantoi sedang mengintip kedatangan pendekar, pertunjukan teater 'Hikayat Cantoi' Karya/Sutradara: Sulaiman Juned
Sulaiman, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy, dalam dunia kepenulisan di kenal dengan nama; Sulaiman Juned, lahir di dusun kecil Usi Dayah-Kecamatan Mutiara-Kabupaten Pidie- Aceh (Sekarang Nanggroe Aceh Darussalam), pada tanggal 12 Mei 1965. Lahir dari lingkungan keluarga pedagang. Abi (ayah) bernama M. Juned Said dan Emak (ibu) bernama Juhari Hasan (Keduanya sudah almarhum). Anak kelima dari enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan, tapi sayang ketika masih berusia tujuh tahun tanpa ada penyakit, abang saya yang lelaki bernama Jubir meninggal dunia sekitar tahun 1960. Sulaiman kecil telah terbiasa dengan kedisiplinan, ajaran mengenai disiplin diturunkan dari Abi (ayah) yang berprofesi sebagai tukang jahit (saya bangga menjadi anak si tukang jahit). Disiplin yang diajarkannya kalau menjahit tidak boleh ada benang atau kain yang terbuang sia-sia. Semenjak dari usia tujuh tahun telah diajarkan berjualan (berdagang), sekaligus bertani kebun kopi (membersihkan rumput dan memetik biji kopi yang merah). Abi (ayah) sangat keras dalam mendidik kami. “Anak laki-laki harus memiliki keahlian khusus, kalau tidak nanti tak akan dapat menghidupi dirinya dan keluarga” Begitu salah satu ajaran Abi (ayah) kepada saya dan saudara-saudara yang lain. Keluarga kami merupakan keluarga yang demokratis, Abi (ayah) juga Emak (ibu) meminta kepada kami untuk memilih “Apa mau pilih melanjutkan pendidikan atau menjadi pedagang” Begitu ungkap Abi (ayah). Makanya abang lelaki yang persis di atas saya bernama Zulkifli Juned setamat SMP Negeri Pegasing-Takengon Aceh Tengah memilih untuk menjadi tukang jahit, lalu beliau di beri modal dan diberikan kebun kopi, sampai sekarang tetap menjadi penjahit meneruskan usaha orang tua. Sedangkan saya memilih untuk melanjutkan pendidikan. Sementara darah seni yang mengalir pada diri Sulaiman kecil diturunkan dari Abua (Kakak dari ibu) bernama Abdullah, beliau di panggil Syech karena beliau pimpinan grup tari seudati, nama senimannya Syech Lah Jarum Meueh. Pada saat berumur 12 tahun sambil membantu orang tua menjaga toko H.S.D Tailor di Biespenantanan-Takengon Aceh Tengah, secara diam-diam sering menonton kesenian Didong (Teater Tradisional Gayo) di daerah Takengon Aceh Tengah. Kesenian ini kekuatannya terdapat pada syair yang diciptakan Ceh-nya secara spontanitas. Pertunjukan didong dipertunjukan semalam suntuk, sejak dari usai shalat Insya (Pukul 20.00 WIB) sampai dengan memasuki sembahyang subuh (Pukul 5.30 WIB). Ceh yang paling digemari adalah To’et (sekarang sudah almarhum) dari grup Sinar Pagi berasal dari kampung Gelelungi Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. Ketika berusia 15 Tahun sempat belajar Didong dengan To’et. Sulaiman kecil juga paling keranjingan menonton Sandiwara Keliling Gelanggang Labu yang dipentaskan di lapangan SD Negeri Biespenantanan. Gelanggang Labu merupakan Sandiwara Keliling Tradisional Aceh yang memiliki kesamaan dengan ‘Komedi Stamboel’nya August Mahieu. Serta sangat keranjingan menonton tari Seudati. Didong dan Gelanggang Labu serta tari Seudati menjadi kesenian yang paling disenangi untuk ditonton, makanya tidak heran jika sering bolos mengaji di Pesantren Teungku Muhammad apabila ada pertunjukan Gelanggang Labu maupun Didong, walau resikonya mendapatkan pukulan di kaki dengan Rotan dari Abi (Ayah) karena sering melakukan kesalahan dari instruksi orang tua.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Biespenantanan pada tahun 1979, Sulaiman melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Takengon Aceh Tengah. Ketika di Sekolah inilah atas bimbingan Ibu Guru Siti Aisyah seorang guru Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang sering menemukan catatan buku harian bahasa Indonesia penulis yang penuh berisikan puisi. Beliau tidak marah, malahan menganjurkannya untuk mengirim karya-karya puisi tersebut ke Koran Harian dan Majalah. Motivasi yang diberikan Ibu Guru tersebut, maka puisi saya ketik dan mengirimkannya ke Harian Atjeh Post (Aceh), Harian Waspada dan Majalah Dunia Wanita (Medan), puisi tersebut ternyata di muat, dan saya mendapat honor pertama sebesar Rp. 1500,- (Seribu Lima Ratus Rupiah), honor sebesar itu pada tahun 80-an sudah sangat besar.
Selesai studi di SMP, Sulaiman melanjutkan studi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Beureunuen- Pidie, dan memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Bahasa (IPB) sebagai jurusannya. Di SMA inilah pada tahun 1983 ikut mendirikan Kelompok Teater SMA 431 bersama rekan Ade Ibrahim DY. Kampi, (Almarhum) Nurdin AR, Abu Bakari, Oesman Ali, Syarifah Aini, Nurhayati. Sementara menulis puisi sudah saya anggap sebagai pekerjaan waktu itu, karena dapat menghasilkan uang, puisi saya sudah mulai di muat di Koran nasional seperti; Kompas dan Media Indonesia. Tahun itu juga pertama sekali menulis naskah lakon dengan judul “Perjuangan Putroe di Bihei” yang sekaligus saya sutradarai dan melakukan pementasan di Gedung Serba Guna Kecamatan Beureunuen dalam Rangka acara Perpisahan dengan kakak kelas III, dan pentas di Lapangan Sepakbola Mutiara Beureunuen dalam rangka upacara 17 Agustus 1983. Inilah pengalaman pertama berteater.
Setamat dari SMA Negeri Beureunuen-Kabupaten Pidie, di terima sebagai mahasiswa melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh pada tahun 1985. Tahun 1986 aktif menjadi Redaktur Budaya dan Sekretaris Penyunting di Penerbitan Kampus “Warta Unsyiah” yang diterbitkan Seksi HUMAS Universitas Syiah Kuala, dan Pimpinan Redaksi Bulletin mahasiswa ‘Ceurana’ FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UNSYIAH. Pada tahun itu juga membuat Forum Diskusi Sastra “Warung Kopi” di Kantin Cempala FKIP UNSYIAH bersama penyair kampus Zab Bransah, Tomi Fajar, Win Gemade, Inal Fromi, Ade Ibrahim DY. Kampi, Nurdin AR, Musfida Kasturi, Muharizal, Jarwansah, A.R. Haris, dan Anshor Tambunan, serta Anhar Sabar. Forum Diskusi ini melakukan bedah buku sastra baik puisi, cerpen dan novel serta drama. Selain itu juga membicarakan karya sastra dari anggota yang di muat di Koran dan Majalah setiap Sabtu sore. Sulaiman juga mulai berkecimpung di Sanggar Gemasastrin FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UNSYIAH baik sebagai pemeran dan sutradara. Sejak tahun 1987-1993 menjabat ketua UKM. Kesenian UNSYIAH Banda Aceh. Tahun 1990 mendirikan UKM. Teater NOL UNSYIAH Banda Aceh yang melakukan pementasan di Taman Budaya Aceh dan TVRI- Stasiun Aceh. Tahun 1990 Bersama rekan-rekan Forum Diskusi Sastra mendirikan Sanggar Cempala Karya Banda Aceh, tepatnya tanggal 12 Mei 1990 bertepatan di hari Ulang Tahun Sulaiman yang ke-25. Sanggar Cempala Karya Banda Aceh Soel membawa keliling raga teater dengan menyutradarai 102 pertunjukan teater baik di Taman Budaya Aceh maupun melakukan pentas keliling; Aceh-Medan-Riau-Jambi-Bengkulu-Lampung-Palembang-Jakarta dan Bali. Tahun 1990 dipercayakan menjadi Redaktur Budaya di SKM. Peristiwa Aceh di Banda Aceh. Sedangkan pada tahun 1992-1997 bekerja sebagai Redaktur Budaya Majalah Kiprah di Kanwil DEPDIKBUD D.I. Aceh. Cempala Karya sejak tahun 1995-1997 rutin mengisi acara Sinetron setiap bulan di TVRI. Stasiun Aceh. Juga bersama T.Yanuarsyah, dan Nurmaida Atmaja serta Din Saja ikut mendirikan Teater Kosong Banda Aceh pada tahun 1993. Ketika aktifitas berkeseniannya sedang berada di puncak, Sulaiman dapat kabar dari kampung bahwasannya Abi (ayah) yang merupakan kebanggaan hidup yang saya miliki dalam memberikan suri tauladan di panggil pulang oleh yang kuasa (meninggal dunia) pada pertengahan tahun 1993, Sulaiman sangat terpukul.
Ketika rekan-rekan seniman Aceh sibuk mempersiapkan diri mengikuti acara 50 Tahun Indonesia Merdeka di Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta pada tahun 1995, Sulaiman Juned malah memilih mempersunting seorang dara berdarah Aceh-Jawa (ayahnya berasal dari Klaten-Jawa Tengah, dan ibunya berasal dari Aceh) bernama Iswanti menjadi istrinya pada tanggal 17 Agustus 1995. Pada tahun 1995-2000 dipercayakan sebabagai Sekretaris Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh, saat itu mempopulerkan Pengadilan Puisi ala Aceh bersama (Almarhum) penyair M. Nurgani Asyik. Kegiatan itu akhirnya menjadi program Dewan Kesenian Aceh. Sulaiman banyak terlibat dalam kegiatan sarasehan, worshob teater, juri baca puisi dan teater, pengamat, pemakalah, penatar maupun sebagai panitia.
Sulaiman yang oleh rekan-rekan seniman Aceh dipanggil dengan nama kecil Soel, namun di rumah keluarganya (orangtua) ia di panggil dengan nama kesayangan Nyak Leman. Tahun 1997 hijrah ke Padangpanjang Sumatera Barat dan masuk menjadi mahasiswa di jurusan Teater Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang (Sekarang STSI). Saat menjadikan mahasiswa sebagai penggagas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Kampus di ASKI Padangpanjang, sekaligus dipercayakan sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiswa “Laga-Laga” STSI Padangpanjang, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater STSI padangpanjang. Di tahun itu juga mendirikan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang yang masih dipimpinnya sampai sekarang dan telah menyutradarai 57 kali pertunjukan teater. Aktif juga membantu mahasiswa yang sedang ujian baik jurusan teater, tari, karawitan dan musik. Dalam berbagai pentas selain sebagai aktor dan sutradara juga ikut berperan sebagai pemusik dan penari. Sulaiman Juned juga menulis narasi sekaligus sebagai narator dalam pertunjukan musik berjudul Desain Struktur “Renungan” Karya/komponis Drs. Wisnu Mintargo (pentas di Teater Tertutup STSI Surakarta, Jawa Tengah 1998), Menulis narasi dan narator dalam pertunjukan musik dengan judul Signal Lima, Karya/ Komposer I. Dewa Supenida, S.Skar., Juga sebagai Skenografi “Opera Simarantang” dalam Orkestra STSI Padangpanjang (Festival Kesenian Indonesia III, di STKW Surabaya 2003). Skenografi monolog Marsinah Karya Ratna Sarumpaet disutradarai Leni Efendi (Auditorium STSI Padangpanjang, 2002), Skenografi pertunjukan teater Mesin Hamlet dengan sutradara Ika Trisnawati (Gedung Teater STSI Padangpanjang, 2003).
Karya puisi terkumpul dalam antologi; Podium (Kriya Artistika, Banda Aceh, 1990), Bunga Rampai Pariwisata Nasional (Pustaka Komindo, Jakarta, 1991), Kumpulan Penyair Banda Aceh (DCP. Production, Aceh, 1993), HU (Teater Kuala Banda Aceh, 1994), Teriak Merdeka (F.H. UNSYIAH, 1995), TTBBKJ (IMSPP, Medan, 1995), Ole-Ole (Antologi Baca Puisi Keliling Aceh, Ceka, bersama Penyair Mustafa Ismail, 1995), Piala Maja I (Aceh Production, 1995), Surat (Kuflet, Padangpanjang, 2000), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002), Kumpulan Esai “Takdir-Takdir Fansuri” (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2002), Tiga Drama Jambo ( Antologi naskah Lakon, Kuflet Padangpanjang, 2005), Mahaduka Aceh (Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Jakarta, 2005), Aceh 8,9 Skala Richter Lalu Tsunami (Aceh Bangkit, Jakarta, 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Lagu Kelu (Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan – Aceh Net, Tokyo, 2005), Syair Tsunami (Balai Pustaka, Jakarta 2005), Piala Maja VII (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2006), Antologi Puisi Surat: Catatan Merah Putih (Kuflet Studio dan Pury Padangpanjang, 2007) serta Antologi Puisi Tungggalnya berjudul ‘Riwayat’ sedang dalam proses terbit. Baca puisi tunggal/diskusi dalam antologi puisi Riwayat di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (18 September 2006). Kolaborasi “BROEH” ( Tari; Koreografer Alfira O’Sullivan/Australia. Musik; Komposer Deny/ Yogyakarta. Teater/Sastra; Aktor/Penyair Sulaiman Juned/Aceh, pentas di Festival Seni Pertunjukan Internasional, Pasar Seni Gabusan, Bantul-Yogyakarta, 13 Nopember 2006. Serta di Festival Seni Pertunjukan Asia, Asiatri di Mesium Jawa Kaliurang, Yogyakarta, 19 Nopember 2006. Cerpennya juga terkumpul dalam Antologi Cerpen Joglo (Unit Dok. Sastra Taman Budaya Jawa Tengah kerjasama Komunitas ruangsastra bumimanusia dan Sketsa Kata, Solo, 2006). Sulaiman juga banyak menulis cerpen, esai, artikel, kolom, reportase budaya yang di muat di media, seperti; Santunan, Serambi Indonesia, Peristiwa, Kalam, Gema Baiturrahman, Warta Unsyiah, Panca, Kiprah, Ceurana, Wawasan, Ar-Raniry Post, Aceh Post, Aceh Express (ACEH). Analisa, Waspada, Dunia Wanita (MEDAN). Riau Post, Bahana, Majalah Sastra Menyimak (RIAU). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekpres, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni, Majalah Laga-laga (SUMATERA BARAT). Lampung Post (LAMPUNG). Independent (JAMBI). Sriwijaya Post (PALEMBANG). Suara Karya Minggu, Pelita, Republika, Media Indonesia, Kompas, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Dewan Bahasa dan Sastera (MALAYSIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Juga menulis skenario Sinetron, pragment dan drama remaja untuk TVRI. Stasiun Aceh yang disutradarainya bersama Sanggar Cempala Karya Banda Aceh. Sambil kuliah pada tahun 1999 ditetapkan sebagai asisten dosen (Dosen Luar Biasa) di Jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Redaktur Ahli di Jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2003), dan Dewan Redaksi di Jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2004-Sekarang). Sulaiman juga mengajar Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia/ Pendidikan Seni di SMA Sore Padangpanjang (1998-2005), Dosen yang mengasuh mata kuliah; Analisis puisi, Analisis fiksi, Analisis Drama, Sejarah Kesusasteraan Indonesia dan Jurnalistik serta Sanggar Bahasa dan sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto-Sumatera Barat.
Setelah tamat dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang pada tahun 2002, langsung diangkat menjadi Dosen dialmamaternya pada tahun itu juga, dan merupakan alumni pertama yang diangkat di jurusan teater STSI Padangpanjang. Lagi-lagi belum sempat membalas ‘perhatian-harapan-kasih sayang dan cinta’ yang pernah dengan tulus diajarkan oleh Emak (ibu) yang sampai kini membekas dalam sukmaku sepanjang usia, beliau juga di jemput oleh yang Kuasa (meninggal dunia) di bulan Ramadhan 2004. Aku pun ikhlaskan beliau pergi dengan cinta karena setiap yang hidup pasti mati, kita hanya menunggu waktu. Sulaiman masih dalam keadaan berduka di kampung kecil Usi Dayah pada tanggal 26 Desember 2004 bertepatan dengan peringatan 44 hari Almarhumah Emak tercinta, juga merasakan gempa yang berkekuatan 8,9 Skala Richter lalu Tsunami. Musibah ini juga menjemput beberapa saudara sepupuku. Yang tak kalah memuncaknya kedukaanku turut juga hilang beberapa seniman Aceh dan keluarga menjadi salah satu dari lebih 150 ribu jiwa korban tragedi gempa dan air raya terbesar abad ini seperti; di Banda Aceh Almarhum Maskirbi (Penyair dan teaterawan), Almarhum M. Nurgani Asyik (Penyair, Perupa, teaterawan dan Dosen FKIP UNSYIAH), Versevenny (satu-satunya pelukis wanita Aceh). Di Meulaboh almarhumah penyair Siti Aisyah, Almarhum penyair Mustiar. AR, dan Almarhum Syarifuddin Aliza. Di Lhoukseumawe almarhumah penyair Pinta J. Siddiq yang silaturrahmi diantara kami sama seperti saudara kandung, belum lagi beberapa daerah yang menjadi kenangan hilang dari peta membuat hati remuk-redam.
Sulaiman melanjutkan studi S-2 pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Program Studi Penciptaan Seni, minat Teater. Selama kuliah S-2 banyak menerima materi seperti konsep-konsep Analisis Karya Teater Nusantara I dan II, Isu dalam Pertunjukan Teater Nusantara I dan II, Bimbingan Praktek Teater Nusantara I, II dan III, Garap Teater Nusantara I dan II, dan Seminar Karya Teater Nusantara I, II serta beberapa materi yang penulis serap selama mengikuti perkuliahan. Ketika sedang berproses latihan “Hikayat Cantoi” untuk ujian akhir Program Magister pada tanggal 18 Juli 2007 Nenekda tercinta meninggal dunia di Banda Aceh. Penulis proses latihan teater bersama duka, penulis berprinsip siapa kita pasti menghadap-Nya, kita pun hanya menunggu waktu. Jadwal Ujian sudah ditetapkan dari Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, lagi-lagi penulis mendapat berita duka, mertua laki-laki penulis bernama; Kapten Purnawirawan TNI Soepardi berpulang kerahmatullah pada tanggal 26 Juli 2007 di Banda Aceh. Segala ujian yang penulis hadapi diserahkan denga tulus kepada sang pencipta, mungkin ini semua ada hikmahnya. Atas dasar itu, penulis menggarap Karya teater monolog yang berangkat dari teater tutur Aceh P.M.T.O.H dengan judul ‘Hikayat Cantoi’.
RIWAYAT
antologi puisi
RIWAYAT
karya: sulaiman juned
R I W A Y A T
Kumpulan Puisi Sulaiman Juned
Penyunting/Pengantar
Prof. DR. Soediro Satoto
Tata Letak
Jumaidi Syafei, S.Sn
Cover
Komunitas Seni Kuflet
September 2006, taman budaya surakarta
kerjasama komunitas seni kuflet padangpanjag-sumatera barat
Hak cipta puisi ada pada penyair
Daftar Isi ‘Riwayat’------------------------------------@
Daftar Isi, i
Prasasti ‘riwayat’ setangkai mawar, ii
Pengantar Penulis ‘riwayat’, iii
‘Riwayat’ Di antar oleh: Prof. DR. Soediro Satoto, iv
1980—1989
Ritus Kelahiran Luka anak Adam, 1
Tragedi Kehidupan, 2
Ko-Pe-an, 3
Perempuan Setengah Baya, 4
Menghitung, 5
Pelabuhan Kutaraja, 6
Nyanyian Bagi Perempuan, 7
Perpisahan Di Terminal Stuei, 8
Semalam Di Pulau Kapok, 9
Taubat Nasuha, 10
Bening Matamu-Nada,11
Kematian, 12
Ajal, 13
Tikus, 14
Cempala, 15
Langkah-Jiwa-Sunyi, 16
Setetes Rindu, 17
Ikrar Para Penganggur, 81
Surat Bekas Mahasiswa Kepada Aktivis Mahasiswa, 19
Kemerdekaan: Kesaksian seorang Penyair, 20
Lebaran di Rantau, 21
Aba-Aba, 22.
I1. 1990--1994
Laut Tawar, 23
Perempuan I, 24
Nyanyian Luka, 25
Menjemput, 26
Luka I, 27
Satu Penundaan Lagi, 28
Merampas Subuh, 29
Sebuah Catatan, 30
Laporan Gaduh Seorang Bekas Mahasiswa Di Kuburan Bekas Aktivis Mahasiswa, 31.
Perkawinan, 32
Keputusan, 33
Senandung Kecil Buat Titin, 34
Di Meunasah Tua Aku bertadarus, 35
Lebaran Malam itu, 36
Bulan, 37
Titin Sebuah Mawar Mewangi, 38
Pahamilah Kekasih, 39
Pada Bekas Rel Kereta Api, 40
Meditasi, 41
Beureunuen Kota Kecil Itu, 42
Tuhan Terimalah Daku, 43
Kutengadah Isi Kalbu, 44
Haruskah Kugadai Ladangku, 45
Ziarah, 46
Catatan Rindu Seorang Lelaki, 47
Peluklah Aku Wahai Kekasih, 48
Dialtarmu Kutaraja Kutemui Cinta, 49
Celoteh Kecil Manusia Kecil, 50
Sepucuk Surat Dari Bunda Kuterima Tadi Pagi Ketika Gerimis Jatuh Di Atas Gubukku, 5 1
Senyum Bulan, 52
Pertemuan, 53
Perempuan II, 54
Cinta, 55
Biarlah, 56
Perjalanan Malam, 57
Tumpah Sepiku Dalam Laut, 58
Desir Angin, 59
Catatan Kaki, 60
Detak jantung Perempuan Tua, 61
Sabar, 62
Rindu I, 63
Blok M, 64
Rasa, 65
Mu, 66
Kusaksikan Bulan Sepenggal, 67
Akulah Debu, 68
Lewat Tengah Malam, 69
Memotret Diri, 70
II1. 1995—2006
Kutacane, 71
Lanskap Hati I, 72
Langsa, 73
Episode Gurita Tua, 74
Apa Yang Kau Cari Kawan, 75
Mesjid, 76
Semalam Di Kuala Jeubet, 77
Brastagi, 78
Cerita, 79
Surat, 80
Suara, 81
Gumam: Situs Bagi Istriku, 82
Nota: Ulang Tahun Sulaiman Juned; Diriku, 83
Peradaban, 84
Siasat, 85
Rindu II, 86
Mata, 87
Gumam: Catatan 1989-1998, 88
Jakarta, 89
Berita, 90
Surat: Gusdur, Ini Yang Sempat Kucatat Ketika Pulang Menjenguk Tanah Kelahiran Dalam Gerimis Malam Kuraba Darah Bertuliskan Perintahmu, 91
Isman: Dimana Engkau Sembunyi, 92
Jiwa, 93
Mak: Puisi ini Kutulis Setelah Kematian Abi, 94
Sekali, 95
Luka-Cinta, 96
Lelaki, 97
Hilang, 98
Mengalir Luka Di Jiwa Senja, 99
Rekomendasi, 100
Pulang, 101
Bunga Api, 102
Bung: Mengenangmu Gerimis Tempias Di Sajadah, 103
Cerita: Tanah air-Tanah mata,104
Bunga Api-Bunga Hujan, 105
Menuai Api, 106
Kamar, 107
Pengaduan, 108
Asap, 109
Sawah Lunto Erat Sekejab, 110
Lagu, 111
Penjara, 112
Luka II, 113
Senyum Beku, 114
Aceh 1, 115
Aceh 2, 116/117
Aceh 3, 118
Aceh 4, 119
Aceh 5, 120
Aceh 6, 121
Potret Diri, 122
Mak: Bulanku Hilang, 123
Dialog, 124
Mak: 360 Hari Kepergianmu, 125
Percuma, 126
Lanskap Hati 2, 127
Perjamuan, 128
Ziarah Hening, 130
Lanskap Hati 3, 131
1427-H, 132
Biodata penulis, 133
Prasasti ‘ Riwayat’ Setangkai Mawar--------------@
Bagi Abi dan Emak:
Rindu Tertumpah hanya lewat ziarah-Yang kini sukmanya
tinggal bersamaku; mendampingiku
sepanjang usia.
Abangku-kakak-adikku:
Cupo Karmini-(Alm) Adoen Jubir-Cupo Miyah
Adoen Don dan Adoe Rasidah.
Selalu terkenang masa kecil kita yang diasuh dalam ajaran
cinta dan kasih sayang.
Bagi Titin Istriku:
Ini catatan hati. Persembahkan dengan segala rindu-cinta dan
do’a.
Bagi Soeryadarma Isman Anakku:
Ini catatan untuk kau ingat-kenang dalam hidup. Kuwariskan
padamu dalam meneruskan hidup dengan
cinta-damai
Bagi Prof. DR. Soediro Satoto
yang berkenan mengantar ‘riwayat’ menjadi cacatan
untuk dikenang-diingat-disimpan
jadi rembulan.
Bagi Aceh-Tanah Kelahiranku:
Ini aku tuliskan riwayatmu-ku-kita sebagai bukti aku ikut mendengar, merasakan
kepedihan Acehku yang tak pernah reda dari sengketa.
Pengantar Penulis ‘Riwayat’-------------------------@
Ini Aku Tuliskan Riwayatku-mu
Riwayat tertulis dalam tiga periode. Periode I tahun 1980-1989. Periode II Tahun 1990-1994 dan Periode III Tahun 1995-2006. Riwayat yang terkumpul dalam antologi ini berangkat dari realita sosial menjadi realita sastra.
Riwayat ini bisa jadi milik pembaca yang hidup dan tumbuh dilingkungan masyarakat. Riwayat ini bisa jadi hanya milik penulis yang terekam lewat pengalaman emperik menjadi realita sastra. Selebihnya siapa dalam hidup ini yang tidak memiliki riwayat, semua kita pasti ada masa lalu. Terlepas masa lalu itu berangkat dengan manis atau pahit. Aku mencatat segala manis dan pahit, sakit dan senang, sedih dan bahagia-milikku-mu-kau-kami-kita-kalian agar menjadi catatan yang abadi untuk diwariskan kepada anak dan cucu.
Aku juga tidak lupa kenangan di Gayo-sebab peristiwa bahkan kata jadi syair dalam puisiku berawal dari sana bersama ibu guru Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Takengon-Aceh Tengah. Lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Beureunuen-Pidie, di kampung asalku juga membuat riwayat ini semakin lengkap-di sini aku coba berkontemplasi dengan diri. Aku teruskan pendidikan di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengantarkanku pada pertemuan/dialog sastra serta bermuara pada diskusi sastra ‘warung kopi’ di kantin Cempala UNSYIAH sekaligus mendirikan komunitas seni bernama ‘Sanggar Cempala Karya’ Banda Aceh yang membuat aku bersentuhan dengan seniman-seniman Aceh. Pada tahun 1997 aku hijrah ke Padangpanjang-Sumatera Barat sekaligus mendirikan Komunitas Seni ‘Kuflet’ yang sampai sekarang aku pimpin, di negeri ini aku juga bergumul pimikiran dengan seniman-seniman Minangkabau. Semuanya aku khabarkan dalam ‘riwayat’ sebagai perjalanan budaya.
Aku catatkan juga peristiwa yang mengurung ruang pemikiran, peristiwa yang sangat banyak menguras airmata—luka-hati dan darah bagi siapa saja yang merindui cinta damai. Hingga bermuara pada 26 Desember 2004; gempa dengan kekuatan 8,9 Skala Richter-klimaksnya Aceh disapu air raya bernama Tsunami sehingga tempat-tempat kenanganku-mu-kita-kami-kalian hilang dari peta. Aku dengar Penyair/teaterawan Aceh Maskirbi dan sekeluarga hilang dalam bala itu, sementara sekitar tanggal 24 Desember 2004, tepatnya hari Jum’at sekitar pukul 9.00 saya bersama Maskirbi sempat minum kopi pancung (kopi yang isinya setengah gelas) di Kantin Seniman Taman Budaya Aceh (TBA), dan kami punya niat suci untuk melaksanakan pertunjukan kesenian/pameran dalam tajuk “Jak Saweue Gampoeng” di Taman Budaya Aceh oleh masyarakat Aceh yang berdomisili di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang. Kebetulan adik-adik mahasiswa mempercayai saya untuk mengurus rencana kegiatan itu dengan pihak Taman Budaya Aceh yang diwakili Maskirbi, rencana itu sebenarnya sudah pasti tapi apa hendak di kata musibah gempa dan Tsunami membuat rencana itu batal. Begitu juga dengan penyair/teaterawan M.Nurgani Asyik sekeluarga yang berdomisili di Punge-hilang dalam peristiwa itu. Bang Nur begitu aku sering memanggilnya-beliau salah seorang seniman Aceh yang sangat dekat dengan saya, kemana-mana kami sering berdua (Sebelum aku hijrah ke Kota Padangpanjang-Sumatera Barat). Setiap aku pulang ke Aceh selalu saja menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya. Lalu pada tanggal 23 Desember 2004, aku tilpun Versevenny (Pelukis Wanita Aceh) yang juga Istrinya Nurgani Asyik-waktu itu baru kutahu Bang Nur dalam kondisi Stroke-Langsung saja aku pacu motor menuju Punge ke rumah bang Nur. Jumpa pak Hasan Basri (mertua bang Nur) yang juga dalam kondisi sakit-sakitan, Versevenny-kami banyak cerita dan M.Nurgani Asyik hanya memandangku dengan mata nanar. Aku ajak bang Nur berkeliling Ulee Lhee-Ulee Kareng-Darussalam tempat yang penuh nostalgia; tempat-tempat ini sering menjadi tempat diskusi-latihan alam (teater)-Latihan baca puisi dan latihan mencipta puisi (bersama adik-adik Sanggar Cempala Karya Banda Aceh-Nurgani Asyik juga sering saya ikutkan, sebab beliau adalah penasehat Sanggar) yang saya pimpin. Terkadang Bang Nur Almarhum berkaca-kaca matanya ketika aku singgah ditempat yang membuat kenangannya berbicara. Hari Kamis itu sengaja aku tunggu shanset turun di tepi Pantai Ulee Lhee sambil minum kopi dan memasukkan kacang tojin ke dalam kopi pancong hangat itu. Begitulah kebiasaan kami kalau sudah bertemu lalu berteriak saling membacakan puisi-puisi terbaru. Ada rasa haru dimata Bang Nur ketika beliau tahu aku sudah diangkat jadi Dosen Teater di STSI Padangpanjang. Sementara dengan Versevenny (pelukis wanita Aceh) ada yang belum terjawab-rencana melaksanakan kerjasama pertunjukan teater-perupa dalam tajuk ferpormance art “instalasi patung’. Begitulah kenangan yang tersisa dengan tiga seniman Aceh. Itupun tertuang dalam riwayat-kehilangan mereka sama pilunya hatiku dengan hilangnya sepupuku dalam gempa dan tsunami. Sekarangpun sering aku minum kopi lalu memasukkan kacang tojin ke dalam gelas kopi-untuk mengenangmu M.Nurgani Asyik.
Begitulah riwayat-aku coba catat segalanya di sini.
Salam kreatif penulis
Pengantar ‘Riwayat’ Diantarkan-------------------@
Riwayat:
Sulaiman Juned Menyuarakan Kematian, Kekerasan, Ketidakadilan, Kelicikan, Perbedaan dan Konflik dengan cinta kasih
Soediro Satoto *)
Antologi puisi Riwayat ini ditulis oleh Sulaiman Juned. Meskipun orangnya tampak pendiam, low profile, ia seorang nasionalisme, moderat (bukan, separatisme, atau provokator) berkat hasil didikan kedua orang tuanya yang ketat berdisiplin, gigih, demokratis, dan religius sejak kecil. Ia pernah memakai nama samaran Soel’s J. Said Oesy ( ‘nunggak semi’ dengan nama ayahnya). ‘Juned kecil’ adalah anak kelima dari enam bersaudara buah cinta dari Abi/ayahnya, M. Juned Said, dengan Emak/ibunya, Juhari Hasan, (keduanya sudah almarhum dan almarhumah). Si Sulaiman Juned kecil tersebut dilahirkan di desa kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Aceh, 12 Mei 1965. Jadi, ia adalah salah seorang warga asli Aceh menjadi warga Indonesia dan juga warga dunia yang menjadi saksi hidup sekaligus pelaku sejarah terjadinya konflik di Aceh, dan diperburuk dengan bencana alam gempa dengan skala ricther 8,9 dan tsunami yang telah banyak makan korban: baik waktu, fisik, psikis, finansial, material, fasilitas, nyawa, dan jika tidak segera diakhiri, juga generasi penerus penduduk Aceh (sekarang Nangroe Aceh Darussalam).
Penyair, teaterawan, dramawan yang wartawan dengan segudang pengalaman di berbagai profesi dan kegiatan seni, budaya, dan pariwisata, antara lain: sebagai jurnalis, baik sebagai penulis di berbagai surat kabar, majalah, maupun sebagai redaktur budaya atau editor majalah atau jurnal di berbagai kota. Di samping sebagai penulis puisi, naskah lakon, atau skenario sinetron, Soel (begitu rekan-rekan seniman Aceh dan Sumatera Barat memanggilnya) juga berperan sebagai aktor, sutradara – ia telah menyutradarai 102 pementasan teater di Taman Budaya Aceh dan di Sumatera Barat, serta melakukan pentas keliling: Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Palembang, Jakarta dan Bali. Bersama Sanggar Cempala Karya yang ikut didirikannya di Banda Aceh, serta bersama Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang yang dipimpinnya, Sulaiman Juned kecil sejak tahun 1995-1997 tiap-tiap bulan secara rutin mengisi acara sinetron di TVRI Stasiun Aceh. Sekali-kali di TVRI Stasiun Sumatera Barat dan Jakarta.
Ada beberapa faktor pendukung yang significant sehingga bisa menghantarkan Soel kecil menulis antologi puisi Riwayat. Antologi tersebut terdiri dari 132 puisi yang ditulis dalam kurun waktu tahun 1980-2006 (25/26 tahun). Dibagi ke dalam tiga periode. Periode I, Tahun 1980-1989; Periode II, Tahun 1990-1994; dan Periode III, Tahun 1995-2006. Periode I terdiri dari 22 buah puisi; Periode II 48 buah puisi; dan Periode III 62 buah puisi.
Beberpa faktor pendukung yang dimaksud di atas, antara lain: (1) Secara keseluruhan, antologi puisi Riwayat ini melukiskan respon seorang jurnalis, sastrawan (sebagai teaterawan, dramawan yang penyair) terhadap drama konflik beserta pahit manisnya kehidupan di Aceh sebelum, sesaat, dan sesudah ditandatangani MOU oleh kedua belah pihak yang berkonflik belum lama ini di Swis, dan berbagai bencana alam, termasuk tsunami, dan berbagai dampaknya. Sedangkan Sulaiman Juned kecil yang meriwayatkan peristiwa tersebut adalah warga dunia kelahiran Aceh. Kini ia sudah berkeluarga, beristri dan beranak hasil perkawinannya dengan dara idamannya Iswanti yang sering di sebut Titin, gadis peranakan Jawa-Aceh (Bapaknya dari Jawa Tengah, dan ibunya dari Aceh). Jadi, sebagai saksi dan pelaku sejarah, didukung oleh pengalamannya sebagai jurnalis, ia paham dengan berbagai permasalahan di Aceh; (2) Menurut pengakuannya, atas motivasi dan bimbingan Siti Aisyah, ibu gurunya di bidang studi Bahasa dan Sastra di SMP Negeri 3 Takengon, Aceh Tengah, tempat Sulaiman Juned kecil bersekolah, ia semakin PD (Percaya Diri) menulis puisi. Apalagi setelah puisinya, sejak tahun 80-an, dimuat di berbagai Koran harian dan majalah; (3) Di samping darah seni yang diturunkan dari Abua (abang/kakak dari ibunya) bernama Abdullah, yang biasa dipanggil Syech, Syech Lah Jarum Meueh, pemimpin grup tari Seudati, Sulaiman Juned kecil juga berpendidikan formal sebagai mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia pada Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh. (1985); (4) Setelah berhasil menyelesaikan studinya, ia juga menjadi dosen di almamaternya, STSI Padangpanjang di Jurusan Teater, di samping dosen luar biasa di berbagai Perguruan Tinggi dan guru SMA dalam bidang studi Bahasa, Sastra, dan Teater Indonesia; (5) Di samping mengajar, Juned kecil (Sulaiman Juned) juga sering sekali mengikuti seminar, diskusi, dan workshop, terutama yang berkaitan dengan dunia sastra (puisi, novel, drama) dan teater. Kini ia sedang mengikuti studi lanjut di Program Pascasarjana STSI Surakarta, Program Studi Penciptaan Seni, dengan Minat Utama Seni Teater.
Faktor-faktor tersebut di atas jelas mendukung hadirnya Antologi Puisi Riwayat yang diharapkan, bukan saja menambah wawasan dan apresiasi seni puisi, riwayat seorang anak bangsa beserta keluarganya di tengah-tengah konflik dan bencana tsunami, serta dampaknya bagi warga Aceh, tetapi juga menambah wawasan pembaca antologi puisi ini terhadap respon dan sikap penulis dalam menghadapi fakta sejarah tersebut dengan tabah, meskipun dendam masih tersisa, dan hatinya sangatlah luka. Terutama dalam hal masih adanya kekerasan, kelicikan, ketidakadilan, banyaknya pengangguran dan kematian sia-sia. Mengapa perbedaan dan konflik tidak diselesaikan dengan toleransi dan cinta kasih? Selamat dan mari kita nikmati karya puisi penyair asal Aceh ini yang layak kita mamah bersama. Salam!
Kartasura, 12 Mei 2006
*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Sastra di Universitas Sebelas Maret
Surakarta – Jawa Tengah.
RIWAYAT: 1980 – 1989
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’1
KELAHIRAN LUKA ANAK ADAM
telah berbondong-bondong luka di kalbu
antar tradisi warisan purba. Hitam
tertanam lekat di sisi jantung
kubur-leburkan kuburan dendam
mengalir jua lewat pori-pori
ohoi! Tak sanggup melawan titipan anak Adam.
Banda Aceh, 1980
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 2
TRAGEDI KEHIDUPAN
kalau ditanya kekasih
bilang aku telah pergi.
kalau ditanya polisi
bilang aku telah mati.
kalau ditanya emak
bilang aku pasti kembali.
Banda Aceh, 1980
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 3
KO-PE-AN
meringankan beban orang tua.
Banda Aceh, 1985
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 4
PEREMPUAN SETENGAH BAYA
perempuan setengah baya
menenteng keranjang, berbaju kumal
tersaruk-saruk di terminal
jemari kerut dan gemetar.
perempuan setengah baya
menenteng keranjang berbaju kumal
berlaksa kepedihan terukir di raut wajah
penderitaannya-derita dari sepotong kalbu
terkurung penjara kepapaan.
perempuan setengah baya
menenteng keranjang berbaju kumal
lukanya-luka perempuan desa
yang memecah tabir kepalsuan dunia
terkuliti kancah debu nista. Tersenyumlah
rembulan setia memberi secarik sinar
suatu ketika.
(Antara Lampung-Jakarta, 1987)
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 5
MENGHITUNG
berulang kali menghitung
malam-pekat. Menusuk-nusuk
jiwa. Mengalir dendam
di kalbu-coba berkiblat memberi
arti. Belum juga sampai pada makna
hakiki-kapan langkah tua pecah
berdarah
mati.
Banda Aceh, 1988
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 6
PELABUHAN KUTARAJA
ombak bergulung
membawa berita duka
suara peluit kapal
mengoyakkan hati.
Krueng Raya, 1989
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 7
NYANYIAN BAGI PEREMPUANKU
deru ombak nyanyikan suara batin
tentang luka yang pernah ada
senja itu,
tercatatlah legenda cinta yang purba
jadi sejarah pada bebatuan
barangkali bulan tembagaku
lenyap di telan
kabut.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 8
PERPISAHAN DI TERMINAL STUEI
I
debu berterbangan
menbawa berita duka.
II
terhenyak
klakson mobil
mengoyak hati
tak sempat berjabat tangan
tak sempat ucapkan selamat jalan
setetes air bening
mengalir di sela mata.
III
dalam sepi
seribu kunang-kunang terngiang kembali
seutas tikar-setali jangkar, kita
mengarungi masa remaja. Kudengar
kau bahagia
aku suka
perjalanan masih panjang
teruskan-teruskan kasih.
Seutuei Aceh, September 1989
Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 9
SEMALAM DI PULAU KAPOK
I
angin-petir-hujan menemani
gigil. Menggigit bibir
jasad basah-tetap membimbing
menuntun renungan.
II
hujan belum reda
dingin menyucuk tulang
tak ada yang beranjak dari renungan malam
walau diri tak kuasa melangkah
seutas senyum tersungging
gelora jiwa menyatu. Di sini
aku mengenal diri begitu kecil dihadapan-Mu
Tuhan.
III
kabut membias turun di pasir putih
ombak bergulung bercumbu mesra
ada yang tertinggal di dalam jiwa
di tungku perapian segala tertumpah
kasih adalah indah-cinta adalah anugerah
(peliharalah setali kasih kita).
Lhoknga, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 10
TAUBAT NASUHA
di tikar sajadah
hati tenggelam dalam khusuk
untuk menemui-Nya
Allah
Allah
Allahuakbar.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 11
BENING MATAMU- NADA
simpan berjuta rahasia
dibalik indahnya bola mata
coba kuakkan berlaksa gita
dari sana.
jangan ragu suatu saat bulan cerita
tentang arti kehidupan
buka rahasia
yang tersimpan di bening matamu.
Darussalam, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 12
KEMATIAN
ah!
sudah siapkah
kita melangkah menghadap Ilahi.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 13
AJAL
tiada lagi yang tersisa
dalam denyut nadi sekalipun
semua terpahat
di dinding kemuning senja.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 14
TIKUS
mentari rebah
memeluk bumi. Malam
menjelma hadirkan sunyi
tikus beraksi mengerat laci
melenyapkan segala isi
membuat istana pribadi.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 15
CEMPALA
cericit cempala berkicau
bulu halus mulai tumbuh
mengepak sayap –tinggi terbang
menentang badai meraih cita.
walau bulu sekerat masih
cempala tetap menyeruak, wahai!
menentang segala yang menghadang.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 16
LANGKAH-JIWA-SUNYI
I
hujan membasahi alis
bertengger indah di kening
kekasih. Dara manis mengalunkan syair;
kembalilah kanda.
II
jiwa bertalu-talu
bagai gendang ditabuhkan
bergolak memecah tebing
luka bernanah.
III
malam mati
mencari jejak diri
di telan bayang.
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 17
SETETES RINDU
ranting cemara bergerak
melantunkan syair kerinduan
rindu kian terpendam
pada akar menghitam. Senja itu
ranting cemara menggeliat
membenam diri berpaut. Ombak
bercumbu seperti dulu masih
membawa malam. Suluh itu tak
datang lagi, wahai!
Sarah-Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 18
IKRAR PARA PENGANGGUR
lepaskan belenggu pengangguran
menjerat jiwa semakin parah
melahirkan wajah-wajah kepalsuan
pembawa wabah penyakit menular.
kami dari sekian penganggur
kumpulan rakyat jelata terbuang
tersisih dalam kemelut zaman
dininabobokkan janji-janji semu
terombang-ambing masa menikam.
kami selaksa penganggur
terdampar diemper-emper pertokoan
terkurung dalam tong-tong sampah
terkuliti kancah debu nista
membawa rasa kadangkala dosa.
kami sah-sah saja disebut gelandangan
penganggur tak beratap-tak bertepi
tak hendak berpacu dalam penyelewengan
kami ikhlas saja dicap-cip-copkan
dengan nama orang-orang tak berguna
tapi;
bila kebenaran kami dapatkan, kenyanglah kami
bila kebenaran diselewengkan, laparlah kami
o, terkutuklah kau jahanam
yang membuat tangan pendek menjadi panjang
yang membuat air mata membasahi jalan berliku
yang membuat lorong putih menjadi hitam
yang membuat hati nurani menjadi iri
yang membuat surga jadi neraka
yang menghadirkan berjuta-juta nafas kepalsuan
“lepaskan belenggu pengangguran”
Itulah ikrar kami.
(Jakarta-Banda Aceh, 1989)
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 19
SURAT BEKAS MAHASISWA KEPADA AKTIVIS MAHASISWA
-bagi aktivis mahasiswa UNSYIAH
inilah suratku
kukirim kepada yang mengaku aktivis
catatan pada selembar daun kering di tangan
kukirim juga kepada saudaraku yang tertindas peradaban
kota. Hingga bulan pecah berdarah
turun kepelukan bunda, matahari tersangkut di ujung
ketidakadilan.
inilah suratku
kukirim kepada yang mengaku aktivis
melantunkan nyanyian dan koor panjang tentang keadilan
katanya berani membela hak yang berhak. Membela orang-orang
terjajah. Kejujuran berdiri atas nama
keadilan.
inilah suratku
kukirim kepada yang mengaku aktivis
mari simak-nikmati manisnya gula-gula. Agar tak sakit
bila merasakan luka-kemarin ada yang di gusur;
di ganyang-di giring seperti kelinci dikeluarkan dari kandang
kemarin ada yang meratap-menangisi nasib tersebab tak tahu
kemana menggantungkan harap, maka:
jadilah langit sebagai atap
jadilah bumi sebagai lantai
jadilah gunung sebagai dinding
jadilah angin sebagai selimut
mengantar mimpi tidur malam.
inilah suratku
kukirim kepada yang mengaku aktivis
mana ceritamu beterbangan seperti burung walet
mengantar kedamaian. Mana ceritamu menembus awan
seperti anak panah melesat dari busur jatuhkan bintang-gemintang
menjanjikan seribu harap direlung nurani rakyat. Wahai
engkau yang mengaku aktivis
dipekarangan rumahmu ada seulanga mengharumkan seisi rumah
diberanda kau duduk menikmati sepotong kue dan segelas kopi
sementara dipelupuk mata-jerit tangis saudaramu bergelimang
bersama darah. Mereka tak lagi berumah-entah diselokan mana
merajut mimpi-terasing di tanah sendiri-hati tersayat
(Berapa harga kelicikan-kebiadabanmu dapat kubeli).
Banda Aceh/CeKa, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 20
KEMERDEKAAN: KESAKSIAN SEORANG PENYAIR
kemerdekaan adalah
ketika kita bebas berbicara
tentang hak yang berhak
ketika kita bebas dari pasungan
tidak sembunyi dari ketiak ibu
dan lari dalam ketiak bapak.
kita sekarang mengeja kemerdekaan
dengan gedung mewah menyundul langit
bersama perempuan-perempuan dipanti pijat
perekonomian melarat, kemiskinan sekarat
kita sekarang membaca kemerdekaan
dengan luka. Darah dan laras senapan-menyerahkan
ini punya nyawa-memberikan ini punya harta
(kita belum mampu mengartikan malam).
ibu, aku menyaksikan air mata darah tertumpah
pada dada memerah. Aku menyaksikan para badut
menggenggam niat busuk-melakonkan pesta canda mengobral
gelisah. Segala perencanaan tersangkut di kantong jas sapari
kolam susu negeriku terkuras habis-membuat istana pribadi
sambil menghitung kekayaan hasil korupsi-naik haji hasil
kolusi-memperbanyak isteri hasil manipulasi;
ibu, berpuluh-puluh tahun kupahat namamu
pada air mengalir
pada batu membeku
pada hati membisu
dan ombak senantiasa menghapusnya.
ibu, subuh berkabut tersangkut di pucuk rambut
ada luka teramat menyiksa tak teraba. Bunga-bunga
bangsa berkunang airmatanya-terpaksa diyatimkan. Kekuasaan bermata
gelap-memaknai keadilan dan akal sehat; mengapa ledakan peluru
menghukumnya-kuburan sebagai penjara seumur hidup
inilah kesaksian seorang penyair kecil. Kesaksian peradaban menuntun perubahan
(Indonesia! Dari sudut manakah wajahmu kupandang tak jemu)
Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 21
LEBARAN DI RANTAU
itu malam petasan dan mercon diledakkan
degup jantung melambai-lambai
mengikuti nyanyian takbir;
Allahuakbar
Allahuakbar
Allahuakbar walillahilhamdz.
ya Allah aku hilang di telan keramaian
satu-satu terbayang keluarga di kampung
bapak duduk bersimpuh sambil memilin rokok daun
ibu menyulam baju hadiah lebaran untuk cucu
Idah adikku manis menangis bila tak dibelikan sepatu
O, lebaran di rantau semakin kencang degup jantung
(kutumpahkan rindu ke laut sepi).
Banda Aceh, 1989
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 22
ABA-ABA
bersiaplah!
gali liang, kuburkan luka
di tanah yang memerah.
Beureunuen, 1989
RIWAYAT: 1990-1994
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 23
LAUT TAWAR
tak ada lagi cerita puteri Bensu dan Malem Dewa
juga tentang Banta Ahmad yang jadi batu
tak juga Pukes yang menyesalÿÿdiriÿÿengan tangis
tetapi coba tenggelamkan lukaku yang kian menjadi.
Takengon/CeKa, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 24
PEREMPUAN I
-sebuah kenangan di Pantai Mepar
adalah pengantin yang di tanam batu perkawinan
memandang ke belakang menjilat denting canang
tak lagi menyandingkan ikan-ikan di tepi Laut Tawar.
Takengon/CeKa, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 25
NYANYIAN LUKA
I
berpuluh-puluh rencong
berikan salam hadirkan malam
bulan tembaga tertusuk runcing ilalang.
II
berpuluh-puluh rencong hujani dadaku
tikam diam jadikan diam
tikam rindu jadikan diam
tikam sepi jadikan diam
tikam hati jadikan diam
diam berdarah diam.
III
berpuluh-puluh rencong tikam diam
antar hati keperkuburan waktu
mari gendong luka agar terasa nikmat.
Banda Aceh, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 26
MENJEMPUT
ini laut tak bertepi
entah angin apa- riak apa-ombak apa
tak kuketahui. Semua hilang ingatku
yang ada melambai-lambai dari jauh
sebuah angin-sejentik rasa-segumpal rindu
dari jauh memandang jauh mendekat segala hati
itu laut terarungi lewat badai jemput amukan kalbu.
Banda Aceh, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 27
LUKA I
malam membuat lupa segalanya
karena bulan tembaga
tertusuk runcing ilalang.
Banda Aceh/CeKa, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 28
SATU PENUNDAAN LAGI
tak bisa menancapkan rindu
ladang berdebu. Sawah
kering dan terpecah-pecah
terpaksa kita tak bisa menikah lagi.
Banda Aceh/CeKa, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 29
MERAMPAS SUBUH
itu subuh koyak-monyak di rampas
dari tangan ke tangan. Hitam
tergambar pada wajah yang tak mengerti
mengapa diterlantarkan.
Banda Ace/CeKa, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 30
SEBUAH CATATAN
-bagi Titin Calon Istriku
catatan bercerita tentang keberadaan
membumbung dalam sukma. Senja
itu bersamamu telah banyak yang terpahat
di hati. Moga bukan mimpi.
Banda Aceh/ CeKa, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 31
LAPORAN GADUH
SEORANG BEKAS MAHASISWA
DI KUBURAN BEKAS AKTIVIS MAHASISWA
kawan!
susah hidup dikotamu
segala hati dikuasai kekuasaan.
Banda Aceh, 1990
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 32
PERKAWINAN
-kepada penyair Nurdin F. Joes
Allah telah menyaksikan
lewat perantara penghulu
sampailah pada pelaminan
menyandingkan anak-anak rindu. Itu tali
mengikat serat serabut kalbu
meniti sekian kasih. Itu tali
kuat ikatannya pada dermaga
agar tak goyang di hempas ombak
biar wangi mawar semerbak melintasi
negeri leluhur-menjanjikan sekian cinta
(perkawinan catatkan lewat untaian mutu manikam).
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 33
KEPUTUSAN
-bagi penyair-penyair Aceh
yang menemui kebuntuan
dalam mengepak sayap berderap
lalu sepakat pada perjanjian
anak sampan itu; semestinya ditenggelamkan
biar terdampar di pantai tak bertuan.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 34
SENANDUNG KECIL BUAT TITIN
telah kita ukir sebuah kesetiaan
pada pasir kuburkan rindu hati
berbondong-bondong janji
kita ikat pada waktu tak henti
: Kapan pelaminan terisi.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 35
DI MEUNASAH TUA AKU BERTADARUS
ini malam
adalah juga malam sebelumnya
duduk bersimpuh dan bertadarus
berjuz-juz lafalkan ayat-Mu
menadah makrifat-Mu
aku semakin kecil dan kerdil dihadapan-Mu.
ini malam
tak habis-habis kueja nama-Mu
dalam ratebku semalam suntuk
di Meunasah tua.
lain malam
adalah juga malam sebelumnya
di Meunasah tua beratap rumbia
sebayaku mengaungkan puja-puji
seperti juga aku:
Alhamdulillah
Laillahaillallah
Allahuakbar
malam itu
meunasah tua ketika kecilku dulu
mengeja juz Amma
menghafal Al-Qur’an
meneliti Kitab Kuning
mengikat batin.
meunasah tua
aku rindu bersamamu lagi
aku rindu Petua Syik berkutbah lagi
aku rindu melafal lagi nama-nama-Mu
Allah ya Allah-Allah ya Allah.
Usi Dayah 17 Ramadhan 1412 H.
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 36
LEBARAN MALAM ITU
setiap sudut takbir menggema
di meunasah beratap rumbia canangpun bertalu
semua orang harus menanggalkan permusuhan
separah apapun bentuk luka pernah di perbuat;
mari kita ikat pada tiang silaturrahmi
bulanpun menari-nari di atas perahu
lebaran malam itu.
Takengon/CeKa, 1412 H.
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 37
BULAN
ini kalbu rindu rembulan
bertengger di atap rumah tetangga
meremas kata-merekah kasih
sementara di pucuk cemara
ada camar menyeruak kepak mengantar rasa
Ohoi! Mari tabuh benih agar bertebar harap.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 38
TITIN; SEBUAH MAWAR RINDU MEWANGI
belum dapat-dapat menyergap wangi itu
telah pula dikembalikan pada cerita usang
mengharuskan buka jendela luka
adinda,
angin selalu setia mendoidangkan jerat-jerat rindu.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 39
PAHAMILAH KEKASIH
pahamilah getar rumput sepanjang alis
matamu. Menjanjikan keikhlasan daun-daun
tersenyum di tampar angin-jerit musim
gugur dari rahasia langit. Pahamilah
kesepian bukan milik kita.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 40
PADA BEKAS REL KERETA API
sepasang insan
menggadaikan negeri atas nama
cinta.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 41
MEDITASI
usah resah engkau hatiku
sebentar lagi pagi menjelang
usah gundah duhai kalbuku
sabit pasti berubah purnama. Bersabarlah
seperti laut menerima tumpahan dengki.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulailaiman Juned--------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 42
BEUREUNUEN KOTA KECIL ITU
sibuk
menata tubuh bernanah
di tepi krueng baranom.
Beureunuen, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 43
TUHAN TERIMALAH DAKU
air suci
basuh muka dari nanah
aku tadah
telapak tangan menemui-Mu.
Banda Aceh/CeKa, 1991
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 44
KUTENGADAHKAN ISI KALBU
biar ini kalbu memangut rindu
mengirim setiap luka biru. Tak mengada-ada
biarlah setiap lembah terjamah menyimpan
sekian rasa. Belum ada yang memberi madu
semuanya menumpahkan duka.
Banda Aceh, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 45
HARUSKAH KUGADAIKAN LADANGKU
bergumul debu hitam di terik matahari
garis-garis cinta hangus terbakar
rupa tersebar dipepohonan mati
berapa ku hargai sepetak ladangku.
Banda Aceh, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 46
ZIARAH
-di pusara Abi tercinta
ada angin
tertinggal di atas tanah tumpukan
kadang meruncing menembus dada
bila mengingat peristiwa lalu.
Usi Dayah, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 47
CATATAN RINDU SEORANG LELAKI
perjalanan malam terikat waktu, manis
seperti Adam cintakan Hawa. Rela
memamah khuldi untuk sebuah kesetiaan.
perjalanan matahari terikat waktu, manis
membuat kaki langit kehilangan tepi. Entah
kapan sampai pada garis tuju.
Banda Aceh/CeKa, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 48
PELUKLAH AKU WAHAI KEKASIH
peluk mesrai aku wahai kekasih
yang berjalan sendiri bersama kelam
tanpa suluh di tangan, tanpa apa-apa
semuanya hitam melekat pada raga.
peluk mesrai aku wahai kekasih
yang menghempas ombak mengarungi samudera
tanpa nakhoda-tanpa petunjuk
kehaluan mana kemudi harus kuputar.
peluk mesrai aku wahai kekasih
dalam alam saban hari terjerang kehausan
seperti hidup sesungguhnya bukan lagi hidup
laksana mati sebelum dimatikan.
peluk mesrai aku wahai kekasih
agar dapat hidup lebih mesra di negeri lain
negeri yang dimeriahkan tetari bidadari
dan mengalungkan bunga sebagai janji bakti.
peluk mesrai aku wahai kekasih
agar aku tak lagi melihat perseteruan
agar aku tak lagi menyaksikan peperangan
yang mengalirkan air mata, darah dan dendam
(O, Allah damaikanlah hati saudaraku dari kebencian)
Banda Aceh/CeKa, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 49
DIALTARMU KUTARAJA KUTEMUI CINTA
dialtarmu Kutaraja kutemui cinta
ketika memandang lekat gunongan
peninggalan purba
mengajarkan kasih sayang
seorang hamba.
dialtarmu Kutaraja kutemui cinta
ketika mesjid Baiturrahman mengalunkan kalam-Mu
O, Allah betapa agung tanah Iskandar Muda
mengajarkan kejujuran-keadilan dan kesetiaan
hatikupun bermesraan didalamnya.
Banda Aceh, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 50
CELOTEH KECIL MANUSIA KECIL
belum dapat-dapat merebut bulan
lari dari ketiak ibu. Sembunyi
di balik ketiak bapaknya
sementara anak sampan menghempas ombak
dalam malam-malam buta tanpa bulan.
Banda Aceh/CeKa, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 51
SEPUCUK SURAT
DARI BUNDA KUTERIMA TADI PAGI
KETIKA GERIMIS JATUH DI ATAS GUBUKKU
itu surat tetap kusimpan dalam lipatan benak
pakaian kebesaran belum juga lengket di badan
entah dapat-entahpun melayang
(Ibu, berikan selendang, kuatkan ikat pinggangku).
Banda Aceh, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 52
SENYUM BULAN
-kepada pelukis Versevenny
ada gundah berombak di dada
lambungkan harap pada sepucuk hati
tumpahkan sekian resah-gauli gelisah.
ada gundah berombak di dada
tiang mana ikatkan tali
biar kapal dapat merapat melabuhkan rasa
pendam dalam laut nurani.
ada gundah berombak di dada
ketika terik hari bergasing atas kepala
O, jangan biarkan gerimis tempias ke wajah
O, jangan biarkan nyeri membungkus luka
(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan).
Banda Aceh, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 53
PERTEMUAN
-bagi Titin Calon Istriku
krueng peusangan menebar segala rindu
mempertemukan Malem Dewa dengan Bensu puteri
izab kabulpun berlaku di gubuk Mak Ni tua
negeri antara di goyang canang semalam suntuk.
krueng peusangan menebarkan rindu
kabut beruntai seperti rambut sang puteri
mengelus-elus dada telanjang.
krueng peusangan mengantarkan rindu
telah pula kukabarkan pada leluhur
tentang tulang rusuk telah kutemukan
kutaburkan harum renggali dipelaminan
agar perjalanan waktu menjadi catatan kebudayaan.
Takengon, 1992
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 54
PEREMPUAN II
rasa menggeliat tangis pecah di gunung sepi
ada yang belum terjawab, manisku
perjalanan malam sering menghalau rindu
hentikan ombak pada pantai tak bertepi
riak terkurung dalam gelombang hati
tumpah sunyi ke nurani diri.
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 55
CINTA
-bagi Titin Calon Istriku
entah bagaimana menerjemahkan kesucian
terhidang dari nikmatnya sakit
bungkus gelisah
obati luka batin
antar hati keperkuburan rindu
lewat setetes air jatuh dari keningmu.
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 56
BIARLAH
biar lepas urat nadiku, biarlah
asal aku masih dapat bertasbih
biar remuk tulang sum-sumku, biarlah
asal ratebku masih terdengar nyaring
biar hilang bentuk ujudku, biarlah
asal aku masih punya segumpal iman.
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 57
PERJALANAN MALAM
Banda Aceh
gerimis mengantar malam
sementara hujan membasuh rindu
tumpah ke samudera hati.
Saree
sunyi mengantar gigil
pada mimpi tak berujung
perjalanan ini mestikah diteruskan.
Sigli
segumpal kalbu jatuh
kadang meruncing menikam-nikam
hingga beranak duri dalam daging.
Beureunuen
melewati tanah kelahiran
hilang rasa dalam pekat malam
segala petuah dan cinta terkuburkan.
Biruen
tak ada lagi yang melantunkan syair
seperti awan di tiup angin
terburai entah kemana.
Takengon
sepucuk rindu menggelegak
ingin cepat bertemu Emak
melepas segala galau menyesak.
Indonesia
berpuluh tahun kuukir nama itu dengan cinta
dan laut senantiasa menghapusnya.
Aceh-Jakarta, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 58
TUMPAH SEPIKU DALAM LAUT
kutumpahkan sepi dalam laut
ketika mengingatmu menggalaukan jiwa
hati kecil berkejaran bersama riak
mengajari aku bersabar
tentang kesetiaan yang hakiki.
Banda Aceh/CeKa, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 59
DESIR ANGIN
desir itu angin nelusup
belai mesra kecil hatiku kecil
antar sepi ke pucuk-pucuk daun
(menjanjikan kesetiaan berlabuh di muara hati).
Banda Aceh/CeKa, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 60
CATATAN KAKI
dari sudut yang paling sunyi
ingin kuceritakan luka kita
tiba-tiba ingat aku tentang laut
menerima tumpahan kecewa ke perutnya
lalu lahir kesabaran abadi.
dari sudut yang paling sunyi
ingin kuceritakan tentang buah cinta
tergadai diatasnamakan peradaban kampung
segumpal hati mati
tajam pisau tikam rindu jadi sepi.
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 61
DETAK JANTUNG PEREMPUAN TUA
detak jantung perempuan tua itu
adalah detak jantung tujuh nyawa
meratapi nasib dipertaruhkan bersama badai.
detak jantung perempuan tua itu
adalah detak tangis tujuh nyawa
tak bisa menggoyang empang untuk nafas.
detak jantung perempuan tua itu
adalah goyang empang dalam nafas
diperpanjang oleh asinnya garam.
Pantai Ceumara-Aceh,1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 62
SABAR
telah terlalu sering belajar bersabar
pada laut. Bersedia menerima sampah
segaja di buang ke dasar hati.
telah terlalu sering belajar bersabar
pada ombak. Setia memukul pantai
terkadang pasir terjilati bersama hempasan riak
entah kapan sampai pada garis tuju.
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 63
RINDU I
biarkan rindu mengalir
menyembuhkan luka batin
dari warisan dendam anak Adam.
biarkan rindu mengalir
seperti angin bebas nelangsa
kirimkan salam pada dedaunan.
biarkan rindu mengalir
seperti air pembawa rahmat
membasuh muka bersihkan segala khilaf.
biarkan rindu mengalir
seperti penyair menyalin kata
jadikan doa dalam tahajud hamba
(Ya, Allah berbasah-basah aku datang mengetuk pintu-Mu)
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 64
BLOK M
tersesat dalam meriahnya kotamu Jakarta
matahari membakar ubun-ubun
bulan menari-nari di atas kepala
semuanya diatasnamakan angka
O, Allah di sini banyak kemudi patah
terombang-ambing di lautan pencaharian.
Jakarta, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 65
RASA
-kepada Titin Calon Istriku
kalaupun ini bernama sunyi, adikku
ketika gerai rambut tersangkut di pucuk malam
gerimis tempias ke pipi, hujan tersungkur di jalan-jalan
ada yang akan terjadi manisku.
kalaupun ini bernama sunyi, adikku
perkenankan aku melepaskan Tanya
siapa suruh bongkar lemari
hingga terlihat seluruh isi
siapa suruh berindu-dendam
membuat rasa gundah-gulana
siapa suruh menjaring mimpi
membakar diri dalam api cinta
siapa suruh cinta datang merangkul hati
menyimpul tali ikatan janji.
kalaupun ini bernama sunyi, adikku
ketika angin menjilat ujung rambutmu
tetap datang aku walau penuh luka
lalu sama-sama menyulam jadikan rindu
menempel di dinding hati agar mudah mengingat kembali.
Banda Aceh, 1993
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 66
MU
bagaimana menerjemahkan sayang
bila gincu menggores langit
jatuhkan bulan bersanding dibaris kening.
bagaimana menerjemahkan sayang
bila rindu putus tak putus
tersangkut di gerai rambut
(jadilah aku debu melekat di kulit).
Banda Aceh, 1994
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 67
KUSAKSIKAN BULAN SEPENGGAL
kusaksikan bulan sepenggal atas kepala
tangis pecah tertimpa daun cemara
jadikan tembang menemani perjalanan malam.
kusaksikan bulan sepenggal atas kepala
memandang langit sebagai langit
memanyungi keyatimanku
memandang bumi sebagai bumi
merasakan angin sejuk membelai pucuk rambut
melewati selat bernama kesedihan
seperti usapan jemari ibu.
kusaksikan bulan sepenggal atas kepala
aku rindu ayah; perjumpaan hanya lewat ziarah
hingga bersujud aku di kamar kebebasan
mata air turun di nurani menetes di sajadah
O, kecil hatiku kecil teriris pedih
seperti gerombolan awan kelabu
di urai angin buyar berkeping-keping
(kutumpahkan rindu ke gunung sepi).
Banda Aceh, 1994
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 68
AKULAH DEBU
akulah debu
sendiri merasakan sakit
tersebab banyak yang hilang
tak sanggup menjemput pulang
(sepi kembali kepelukan hati).
Banda Aceh, 1994
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 69
LEWAT TENGAH MALAM
ada, tak sampai dari malam
katakanlah tentang angin
berpusing atas ubun-ubun
menjilat pucuk rambut.
ada, tak sampai dari malam
katakanlah tentang api
membara dalam hati-membakar nurani jadi debu
(ternyata aku hanya pejalan malam tanpa suluh).
Banda Aceh, 1994
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 70
MEMOTRET DIRI
dalam sepi melihat diri
menerjemahkan isyarat-Mu
masih banyak khilafku
(aku hanya debu mampir di pipi).
Banda Aceh, 1994
RIWAYAT: 1995-2006
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 71
KUTACANE
Kutacane kupandang erat
adalah perawan terpanggang matahari
mengawini pepohonan mati
adalah bocah berjalan telanjang
mandi di kali bersuka-ria
adalah pengembala-mengembara
mencari tempat tambatan ternak
adalah jantung dicincang-cincang
seperti Si Layar dibunuh karena iri dan dengki.
Kutacane kupandang erat
desau angin membisikkan suara ganda
gunung leuser kering kerontang
permainan badut memperkaya diri
sungai Alas berkecipak menggelegak murka
seamsal Pihir memendam dendam
luka yang sangat dalam
seamsal Dihe malam pengantin meriah
rela memamah tuba
(Aku baca hati sendiri-menyaksikan luka diri).
Aceh Tenggara, 1995
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 72
LANSKAP HATI I
puisi adalah hati
diri bersemanyam di pucuk daun
puisi adalah rasa
luka bersemedi di samudera pikiran
biarlah puisiku menjadi prasasti
terpahat di batu
melekat di dinding
terbentang di langit
di bumi
di gunung
berkelana bersama angin
(biarlah puisiku kusimpan dalam kamar sepi)
Langsa, 1995
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 73
LANGSA
dari sudut yang paling sunyi
dalam sepi gelap mata
angin nelusup menorehkan luka.
dari sudut yang paling sunyi
dalam kabut nanar mata
berpuluh rencong berhulu di dada.
dari sudut yang paling sunyi
kabulkan doa hamba menyalin kata
menyampaikan kebenaran hakiki.
dari sudut yang paling sunyi
maaf terbuka selebar langit
bagi siapapun yang pernah memberikan getir.
Losmen Bali, 1995
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 74
EPISODE GURITA TUA
menyambut ramadhan
di sunyi gelap malam. Angin menusuk-nusuk
sukma. Gerimis tempias ke wajah semesta
satu mil mendekati Sabang. Tercatat sejarah
luka beribu anak-anak melautkan tangis
kehilangan penyangga. Beratus orang tua
melautkan darah-kehilangan cahaya mata.
menyambut ramadhan
di sunyi gelam malam. Aku berkaca
pada air mata menyaksikan Jimmy kehilangan kekasih
Dollah kehilangan ayah-ibunya
Brahim kehilangan Siti biji mata satu-satunya
(o, Allah entah di sudut mana batu nisannya).
menyambut ramadhan
di sunyi gelap malam. Angin mendesaukan isyarat
Allah menegur kita
agar tak angkuh
Allah mengingatkan kita
agar tak sombong
Allah meminta kita
kembali pada garis-Nya
(Kita ternyata tak mampu membaca alam).
Banda Aceh, 1996
Catatan: Gurita adalah kapal motor penyeberangan antara Banda Aceh-Sabang
yang tenggelam dan menelan jiwa 3.350 jiwa korban meninggal dan
hilang.
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 75
APA YANG KAU CARI KAWAN
-kepada penyair M.Nurgani Asyik
kebahagian yang bagaimana lagi
mesti kau dekap. Hingga aroma memabukkan
menghantui samudera pikiran.
kepuasan yang bagaimana lagi
mesti kau mesrai. Tenggelam dalam laut keserakahan
demi cinta harga diri tergadaikan.
Banda Aceh, 1996
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 76
MESJID
bersujud
dalam rumah-Mu. Meleburkan
hati melihat diri-aku ternyata tak sebesar
kemiri. Apalah seorang penyair rangkai
kata jadi puisi
(aku mohon rahmah dan makrifah-Mu).
Banda Aceh, 17 Ramadhan 1416 H
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 77
SEMALAM DI KUALA JEUBEUET
bulan menari-nari di kepala
ombak menjilat pucuk hati
angin mengurung segala ingin
: ikatkan saja kapal itu di dermaga
atau biar saja berlayar tanpa nakhoda.
Lho’ Geulumpang, 1996
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 78
BRASTAGI
sampai juga pada pendakian itu
dingin mengantar gigil-bongkar seluruh rasa
gerimis tenggelamkan mimpi dalam kabut rahasia
(berapa dapat kubeli kesetiaanmu).
Brastagi, 1996
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 79
CERITA
ini cerita luka
tentang diri dimangsai ketidakadilan
tentang rasa dimangsai kebiadaban
tentang sikap dimangsai keserakahan
tentang hati dimangsai kekuasaan
(ke sudut mana menyepi menyembuhkan luka).
Banda Aceh, 1996
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 80
SURAT
-bagi Titin Istriku
(bagi bulan menanti matahari
dalam rindu-kangen tak berbatas).
dik, ini surat kutulis
biar kau tahu kesetiaanpun harus di beli
di sini siapa peduli pada rasa
tergagap mengucapkan kata
di sini siapa peduli pada hati
terbius aroma menggigilkan
di sini siapa peduli pada jiwa
terbungkus kabut rahasia
di sini siapa peduli pada kita
sunyi-sepi dalam keramaian
ketika membayang wajahmu
wajah kenangan. Lepaskan aku pergi
dengan segala puja bernama doa
wajah keikhlasan. Lepaskan aku pergi
dengan segala petuah bernama cinta
apalagi membayang saat bersama
meniti hari bernama kedamaian.
dik, ini kutulis-ejakan nyanyian luka
sedang di luar kabut mengental. Menyusup nadi
bergantung di pucuk hati. Mengurung samudera pikiran
kemana tuangkan duka-tumpahkan gelisah
hingga gerimis tempias ke pipi;
o, hati yang resah bersabarlah
pucuk angin pasti membelai dada
o, hati yang gundah bersabarlah
sebentar lagi sabit pasti purnama
(menjemput segala senyum di kening bulan).
Padangpanjang, 1997
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 81
SUARA
ada suara
berbisik resah di hati
gerimis mengurung wajah. Di stasiun
mana aku harus berhenti melepas lelah.
Jakarta, 1997
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 82
GUMAM: SITUS BAGI ISTRIKU
ada yang lupa kuingatkan
tentang lipstik pewarna bibir
pemakna getir kehidupan.
ada yang lupa kukatakan
tentang laut beriak tenang
sedia menerima rindu-dendam
walau luka menghias jendela rumah kita.
ada yang lupa kupesankan
tentang gunung setia menanti waktu
terbaca isyarat lewat rateb leluhur
jadi lukisan berwarna rindu-bungkus hati kita.
Padang, 1998
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 83
NOTA: ULANG TAHUN SULAIMAN JUNED; DIRIKU
itu lilin tetap kupasang
walau tak ada yang meniup. Untuk
mengenang saja. Sesekali menghadap kaca
melihat diri renta dalam perjuangan musim
senasib dengan negeriku hamil tua
dirasuki roh jahat gugur dipersimpangan
(Tuhan! Mungkin aku terlalu rindu).
itu lilin tetap kupasang
walau tak ada yang meniup. Untuk
mengenang saja. Membaca hati sepi sendiri
di rantau jauh dari kekasih-ada yang hilang
meja makan sunyi berdebu-pot tak terisi kembang
yang paling nyeri kurindu; aku kehilangan rengek dan omelanmu.
Padang, 1999
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 84
PERADABAN
aku menyaksikan peradaban
dipenuhi kisah oportunistik
pasukan iblis membakar ladang
mencari duri dalam tumpukan jerami
apa arti hukum dan pengadilan
bila kuburan dijadikan penjara.
aku menyaksikan rakyat dipelototi moncong
senapan. Peluru berdesing menembus dada
beralamatkan tanah leluhur-setiap derap sepatu
mendekati kampung-ada bulan diperkosa
sementara matahari dimalamkan. Aku padamkan
asap yang mengepul di hati agar tak jadi api.
Banda Aceh, 1999
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 85
SIASAT
-pesan bagi para wakil rakyat
tak-tik-tuk
tik-tuk-tak
tuk-tak-tik
tak-tik, oye!
hidup di sini menunggu bom waktu
tiap saat siap meledak
bla-bla-bla. Oye!
tak-tik-tuk
tik-tuk-tak
tuk-tak-tik
tak-tik, oye!
200 juta lebih penonton
menyaksikan pertunjukan tablo maha dasyat
691 aktor berakting. Lakonkan pesta canda
Bla-bla-bla. Oye!
tak-tik-tuk
tik-tuk-tak
tuk-tak-tik
tak-tik, oye!
pentas disesaki bau amis
permainan aktor liar tak terkendali
sutradara terpaksa menghibur diri
kawan! kata demokrasi hanya
ada dalam kantong jas sapari
bla-bla-bla. Oye!
Jakarta, 1999
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 86
RINDU II
di dera ketakutan pada kesepian
aku tak lelah taburkan benih penuh cinta
diladang maha subur. Kemarau tetap saja menjelang
tanah kering terpecah-pecah. Sendiri bersihkan
lurah alirkan air. Rindu pohon tempat berteduh melepas lelah
(kesepian lebih mengerikan dari maut).
Padang, 1999
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 87
MATA
anak panah tertancap
dalam bunga api. Penglihatan menyandera
jiwa. Rasa terpenjara di beku senyummu
(Tuhan, jangan butakan mata-hatiku).
Padangpanjang, 1999
Sulaiman Juned-------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 88
GUMAM: CATATAN 1989-1998
aku menyaksikan sejarah hitam bangsa ini
menulis di atas angin antar ke seluruh penjuru
mengisi ruang pemikiran tentang Aceh
tersekap dalam gudang senjata tak berpintu.
aku mencatat matahati tak berjelaga
merelakan matahari tumpah ke muara tanpa
cinta. Bocah-bocah menggantungkan perut
perempuan-perempuan janda mengusung
sepi-sakit di hati. Anak-anak bangsa mengasah dendam
membakar dalam zikir Lailahaillallah.
aku meneriakkkan gumam masa lalu
pasukan iblis setiap waktu memakai topeng
mengubah wujud menutup kesalahan
(aku menulis kesaksian pada selembar daun).
Banda Aceh-Padangpanjang, 1999
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 89
JAKARTA
terkurung keramaian Jakarta
mengepul asap di hati jadi api
aku ingat kampung; masa kecil yang indah
selepas ngaji. Membaca hikayat prang sabi
memaknai penyerahan diri-merindui Allah.
Masa remaja penuh gairah; memilih rumah tempat berteduh
membawa pulang mawar-membagi keluh
kesah. Bercermin pada kesetiaan Adam-Hawa
(terasa hidup tak ingin cepat kumati).
terkurung keramaian Jakarta
mengepul asap di hati jadi api
aku menyaksikan; badut-badut mempertontonkan gelisah
di gedung ber-AC tapi gerah-bermuara pada dendam
melemparkan bara jadi ambisi tak terkendali
(nurani tersimpan di kantong jas sapari).
Jakarta, 1999
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 90
BERITA
merpati putih
terbang mengitari malam tanpa bintang
mengirim keluh-kesah bersama darah
ini kepak terakhir;
terkulai jatuh di atas tungku jadi bara
(siapa sanggup memamah luka-cinta tak teraba).
Padang, 1999
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 91
SURAT: GUSDUR, INI YANG SEMPAT KUCATAT
KETIKA PULANG MENJENGUK TANAH KELAHIRAN
DALAM GERIMIS MALAM KURABA DARAH BERTULISKAN
PERINTAHMU
mestikah aku rabakan darah
untukmu yang mengalir dari saluran
tak henti atas nama kekuasaan.
mestikah aku bukakan mata
untukmu agar tersaksikan ratusan
juta nyawa dilipat senapan di camp-camp
pengungsi-bahkan dirumah sepi dalam ruang kematian.
mestikah aku hapus negeri ini di hati
tersebab ngeri-pilu masa lalu
membekam di jiwa
tak mau pergi-walau dihukum mati.
mestikah aku mengajarimu Alif Lam Mim
sementara kau masih punya waktu memberi
arti kepada yang sia-sia merelakan nyawa
(berapa harga kelicikanmu mesti kubeli).
Banda Aceh, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 92
ISMAN: DIMANA KAU SEMBUNYI
senja hampir selesai
begini jauh perjalanan. Aku
berangkat melukiskan hujan di halaman
berbaur sekerat rindu sepanjang rambutmu
meski harumnya tak sempat kunikmati.
senja hampir selesai
alangkah jauh perjalanan. Aku
berangkat melukiskan keraguan di gugur daun
angin mengantarnya kepemakaman
(sepi lebih mengerikan dari maut).
Padangpanjang, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 93
JIWA
merpati
putih
menyerahkan hati mengatub luka
kematian diletakkan pada tangan
dingin. Aku benci jiwa yang gelisah
berkeluh-kesah dimalam nyeri-sunyi. Aku
catatkan sengketa biar matahari pergi dari sisi.
Padangpanjang, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 94
MAK: PUISI INI KUTULIS
SETELAH KEMATIAN ABI
mak,
sepuluh tahun kesepian menyeri di hati
lelaki yang sering duduk bersimpuh
sambil memilin rokok daun di rangkang. Kita
tak lagi menikmati omelan dan petuahnya.
mak,
suluh di tangan semakin meredup
sendiri berjalan dalam senja
mengalirkan air bagi anak-cucu-cicit
kita pun menunggu giliran-Tuhan
tentukan waktu.
mak,
sepanjang usia melekat di jiwa
ada angin tertinggal ditumpukan
kadang meruncing menembus dada
bila mengingat peristiwa lalu. Sepanjang
usia melambai dalam nyawa-rindu menusuk
menyiksa. Bersama kita ziarahi pusara-bersihkan
hati dari luka. Alirkan doa agar tak tersiksa
-damailah disisi-Nya, Abi!
Aceh, 2000
Catatan: Abi (bahasa Aceh) = Ayah atau bapak.
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 95
SEKALI
jangan biarkan cinta
mengembara dalam rimba sunyi
bangun saja rumah di hati
hidup-mati-kawin hanya sekali. Sebisa
apapun luka tak perlu mempertontonkannya.
Padang, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 96
LUKA-CINTA
keindahan. Cinta terpatah-patah
jatuh berserakan di ladang berdebu. Siksa
tersimpan di hati lusuh. Langit
mendung luruh jadi hujan-jiwa misteri
tak terungkap-maut harus ditanggalkan
(ditepian ini sempurnalah segala kisah).
Padang, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 97
LELAKI
senja
di danau camar berkejaran. Kaki
langit kuning keemasan-lelaki
berkelahi dengan ombak dikelap-kelip
waktu. Nafas pesakitan tersirat di wajah
penderitaan.
Solok, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 98
HILANG
kebenaran diam-diam mati. Kisah
luka-duka tersimpan bawah bantal
cinta hilang disisi penderitaan
sebab warna di luar selalu hitam
(aku membunuh karena kematian).
Banda Aceh, 2000
Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 99
MENGALIR LUKA DI JIWA SENJA
datang juga senja di jiwa
sepi. Kepastian tersimpan di lengang
ingatan. Selebihnya ketidakpastian
menghantui samudera pikiran. Di sini
luka tak teraba mengalirkan perih
bermuara di dasar hati.
Padang, 2000
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 100
REKOMENDASI
kulalui malam sejuta nikmat
ketika gerimis tempias ke sajadah. Mencair
juga sepi dipucuk rambut-bila gincu menggores
langit jatuhkan bulan bersanding di baris kening
membungkus luka dengan kertas baru. Kita
menulis kata demi kata diatasnya.
kulalui malam sejuta nikmat
dimatamu aku hanya sebiji kemiri. Mencari
catatan rekomendasi dari birokrasi matahari.
Padang, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 101
PULANG
-bagi penyair Mustafa Ismail
sudah waktunya kita pulang. Mengetuk
pintu menata pekarangan rumah dengan cinta
gerimis masih mengurung perjalanan.
sudah waktunya kita pulang. Mengusir
pipit sedang makan padi muda agar tak menghitung
nama-nama di koran pagi dalam warung kopi. Lalu
menggantikan dengan pertunjukan seudati selepas panen.
sudah waktunya kita pulang. Rakyat
di kampung menjawab keraguan sendirian. Kita
harus menggantikan warna hitam jadi putih antar ke pintu surga
(mari jemput waktu agar abadi segala kisah).
Padang, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 102
BUNGA API
jiwa tenanglah jiwa
sebentar kita berjaga-janganlah tidur; mari
berangkat ke negeri yang memperjualbelikan
maut; Maluku-Ambon-Irian atau Aceh. Ayo
lebih jauh lagi ke pedalaman Pidie agar tambah
jauh dari kehidupan
di sana perubahan terang dan gelap meniadakan
keragaman dari ketiadaan.
jiwa tenanglah jiwa
mari berbenah pulang
menemukan kilatan bunga api
dari neraka.
Padanpanjang, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 103
BUNG: MENGENANGMU
GERIMIS TEMPIAS DI SAJADAH
membuka lembaran dua puluhan
tetes darah masih hangat mewarnai sejarah
dalam segala warna-cuaca, pemuda berdiri
paling depan. Dada belia terbakar
membakar semangat berkobar
mengobarkan api dua puluh-api dua delapan-api empat lima
tumbanglah tatanan usang renyuh-runtuh-rubuh
o, betapa engkau di sambut dentuman
yang bukan mercon. Mengikhlaskan kesempatan
menyandang titel hidup gemerlapan.
Bung: apakah arti kemewahan di atas penderitaan
apakah arti hidup-bila tak berarti sama saja mati
sebelum mati. Hidup berjaya atau mati sebagai
bunga bangsa dan agama.
Bung: telah kau titip bangsa dan negara ini
pada Soeharto; ia menggergaji bumi-bangun
istana pribadi tak mampu menerjemahkan peradaban.Bagi
Habibie; ia memberi ruang oportunis
untuk bermain-meruntuhkan kesatuan bangsa. Bersama
Gusdur; menyaksikan nusantara mengalirkan
darah dari saluran tak henti atasnama kekuasaan. Tjoet Nyak
Mega; mengumbar janji seperti biduan. Sementara
teroris mengerat negeri.
Bung! Bangsa yang besar
adalah bangsa yang pandai menghargai sejarah
tanpa pamrih-terlepas dari kurang dan lebih. Baca;
Aceh-Sriwijaya-Majapahit: Teuku Umar, Teungku Chik Di Tiro
Sisingamangaraja, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Patimura, Daoed Beureueh
Bung Karno, Hatta, Syahril dan sejarah yang hanya tercatat di kepala
betapa setiap jengkal tanah
adalah ajang juang
adalah makam pahlawan
bercermin kami berbuat
tak ada kata jera dalam perjuangan
(mengenangmu: pilu-luka-nyeri tumpah di sajadah).
Padang, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 104
CERITA: TANAH AIR-TANAH MATA
kadangkala hidup gumaman gebalau
di malam sunyi. Ingin sekali aku
menguburkan diri di tanah tumpah darah
tersebab tumpah air mata darah di tanah airku
(belukar dan kemenyan tumbuh berbunga di pusara).
Aceh, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 105
BUNGA API-BUNGA HUJAN
baju perang
semestinya kita rusaki
agar tak memukuli dada-kening
sendiri. Ganti dengan pakaian silaturrahmi
kembangkan sayab-sambut salam dalam genggaman
erat. Biar sirna api di ruang kepala
hujankan jiwa.
Padang, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 106
MENUAI API
memaknai kemerdekaan
gerimis mengurung rahasia mimpi
melahirkan derita jadikan tuba-sakit-pilu
menyayat ruang pemikiran-merubah peradaban
jangan pagari hati dengan perseteruan. Menuai
jembatan kasih sayang-meski datang malam
di jiwa. Aku tak tinggal diam
api sunyi-menyala menyilaukan mata. Kesetiaan
berkalang maut. Ini rumah kuberi nama cinta
baik dan buruk kutulis di kalbu.
Padang, 2001
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 107
KAMAR
inilah panggung
menciptakan pertunjukan sesuka hati
mencari kesalahan-mempertontonkan
kekuatan jadi penguasa tragedi maha dasyat
(aktor di sini suka jahil-berjiwa kerdil).
Aceh, 2002
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 108
PENGADUAN
merah
putih. Membagikan cinta dengan paksa
melahirkan sengketa. Orang-orang berdiang
pada bara-hujan tak mampu memadamkannya.
Padang, 2002
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 109
ASAP
debu
gelap menjemput kerinduan
sepanjang debaran rasa terkepung-terasing
asap kesepian.
Padang, 2002
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 110
SAWAHLUNTO ERAT SEKEJAB
sekejab larut di lembah-bukit memanjang
jauh. Semakin remang sayap malam
seperti kembali ke masa lalu
warisan sejarah abadi terjaga di perut kota;
lubang tambang batu bara
arsitektur kuno bernilai sejarah
lorong panjang meninggalkan
catatan tradisi keragaman budaya
melahirkan jejak perjuangan
hidup kuli-kuli tambang-tragis
penuh tragedi. Mereka adalah pahlawan.
sekejab larut di gerbang kota
lembah-bukit erat menyambut memanjang
jauh. Lepas tak lepas menatap lekat wajah kota
membayang perjalanan masa silam
rindu belum lagi mau sembuh
menyaksikan peninggalan sejarah
kota tambang-memasuki masjid agung
bekas gudang mesiu. Patung pekerja saksi
bisu. Angin lembut semilir turun
menari-nari di atap rumah
mengantar ke pucuk kenangan.
sekejab larut di lereng lembah-bukit memanjang
jauh. Silungkang menebar senyum kepada
pendatang. Selamat datang cinta
di sini ada songket di tenun jemari lentik
rasa hendak berpeluk erat tak mau pergi
dekapkan aku wahai kota yang dikalungi kawat
berduri ditubuhnya sejak abad dua puluhan.
sekejab bersamamu-semakin remang sayab malam
menyapu kota mungil jiwa berganyut. Sayub
terdengar tembang ninabobok menidurkan buyung di halaman
harum bunga kopi mengantar mimpi ke pintu surga
lembah-bukit memanjang jauh-izinkan aku sebentar
di sini merubah sabit jadi purnama.
Sawahlunto, 2002
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 111
LAGU
selamat petang luka
belati menggali terusan air mata
dalam kedalaman mata-seperti Tuhan
pada waktu subuh. Sembunyikan mimpi.
Padang, 2005
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 112
PENJARA
sejarah
mengajarkan kekerasan tak membawa
perdamaian. Rakyat terpenjara pertarungan
identitas. Di sini kebenaran sedang dipertaruhkan
ribuan cerita bertebaran-yang tersisa hanya doa.
Aceh, 2003
Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 113
LUKA 2
merah
putih. Terkoyak api dendam.
Padang, 2003
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 114
SENYUM BEKU
menghabiskan
malam dalam senyum-beku
waktu. Anak-anak belajar mengeja
cinta pada selembar daun-jadi cerita
di ruang pemikiran. Menjaring mimpi
bawa pulang
buat
anak
isteri
ah!
Banda Aceh, 2004
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 115
ACEH 1
:bagi yang hilang-kehilangan
sekejab larut di lembah-bukit memanjang
jauh. Luka bersimaharaja di hati
membayang perjalanan masa silam
rindu belum lagi mau sembuh: gunongan *)
bukti cinta seorang hamba. Kherkhoef**)
lorong panjang catatan sejarah menari di pucuk
kenangan. Gerimis masih mengurung perjalanan.
sekejap larut di lembah-bukit memanjang
jauh. Di rantau aku tatap tubuhmu di lilit duka
api-angin-batu bersenggama pada dingin
gigi. Bunyi lesung bersorak-sorai dalam
hutan-asap menyesak-tingkah kaki terusik
gelisah. Sudah waktunya kita pulang
menata pekarangan rumah dengan cinta
kita harus menggantikan warna hitam
menjadi putih antar ke pintu surga
(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan).
Aceh-Padangpanjang, 2003-2005
Catatan: *) Gunongan: Taman yang di bangun Sultan Iskandar Muda, peresembahan
Untuk puteri Pahang.
**) Kherkhoef: Perkuburan milik pemerintahan Kerajaan Belanda di Banda
Aceh.
Sulaiman Juned----------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 116/117
ACEH 2
-bagi penyair Maskirbi-Nurgani Asyik
dan pelukis Versevenny.
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Luka-duka
menari di samudera pikiran. Aku tatap kota
melesat dalam waktu berkalang maut
orang-orang menanggalkan hati
satu demi satu. Ini tubuh siapa punya
memanggil-manggil Tuhan di setiap
aliran nadi. Kami ini jiwa-hati mencatat
lara-tak bisa lari tak bisa sembunyi
orang-orang berkelahi bersama ombak
di kelap-kelip waktu. Orang-orang lalu-lalang diantara
aroma mayat-meski teramat pahit. Nafas
pesakitan tersirat di wajah penderitaan. Aku
tabur bunga di pusara bernama Aceh
(kapan usai hikayat bertopeng ini, duhai!).
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Pagi
yang bening jadi kelam. Gundah-gelisah-sakit
pilu menyatu dalam bingkai cinta-lara
telah aku kecup getir di kamar rahasia
menghabiskan malam dalam senyum-beku
waktu mengirim setangkai kembang meraih
bulan-gerimis masih berkelahi di halaman
siapa diantara kita terluka-padamu
pahatkan resah. Kabut-angin-api-air
mempersiang diri dalam sepi
secangkir kesedihan terceruk belati
menggali terusan air mata dikedalaman
mata air kami. Seperti Tuhan pada
waktu subuh menabur gelombang
sembunyikan getir-cinta terbunuh
udara kelabu-aroma kematian terhidang
diperjamuan menyekap pikiran
erat berpangut-berapa harga
kelicikan
harus
kubeli
(aku beli keluh-kesah itu selipkan di kain kafanmu).
luka membatu
hati berlagu
luka membiru
senyum membeku
kita bersulang menimang mimpi. Sudah
waktunya kita pulang-entah bagaimana
menerjemahkan kesucian terhidang
lewat nikmatnya sakit. Sesakali aku pulang
menyaksikan bungong jeumpa patah
tunasnya. Hanya pada bayang bercerita;
Maskirbi-baru saja kita poh cakra di keude khupi tentang Aceh
agar menyelesaikan konflik dengan cinta-seni biar
tak ada yang mati sia-sia. Memahami
luka dengan kasih sayang bukan dendam. Nurgani Asyik
terakhir kali kita keliling Darussalam-Ulee Kareng serta minum
kopi di pantai Ulee Lhee sambil menikmati shanset turun
memeluk malam-tempat kita berkelahi pikiran. Versevenny
dimana kau simpan kanvasmu-melukiskan ini kalbu
terbelah. Selamat malam cinta-aku hanya mampu mengirim
doa jadikan tembang menemani perjalanan malammu. Di pusara
tujuh bidadari menanti-menabur wangi mawar antar ke pintu surga
(hari ini kita berkabung-di tegur Tuhan untuk kenali diri).
Aceh-Padangpanjang, 2005
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’118
ACEH 3
hidup berbatas cahaya matahari. Malam
bukan lagi milik bersama-tak ada lagi
perempuan-perempuan menangkap belalang
di sawah dan tegalan dengan lampu minyak
kelap-kelip buat lauk besok pagi-tak ada lagi
lelaki menikmati isapan rokok bersama dingin
malam sambil jongkok buang hajat di pinggir
kali. Tak ada lagi nyala petromaks di rumah
kematian mengumandangkan ayat pengantar kepergian
abadi. Orang-orang harus memilih keselamatan dengan diam.
Solo, 2005
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 119
ACEH 4
titip sekian rindu. Siapa melewati
Seulawah masihkah bilik para datu
mengalirkan air kasih-Nya. Leluhur
membasuh dada bujang agar mampu menjalani
kerasnya hidup. Anak sampan belum siap
memutar haluan walau zikir sebaya sesekali
terdengar sayub. Biarkan dulu aku di sini menjaring
mimpi-mimpi yang pasti-bawa pulang buat anak
istri. Pergi ditepungtawari datu dengan doa-pulang
memandang luka memborok dalam kalbu.
Padang-Solo, 2005
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 120
ACEH 5
masa depan di sini
adalah masa depan air mata-darah-kematian
tumpah-rebah tanah tumpah darah. Darah
tumpah di tanah airku meninggalkan lebam
membekas di jiwa sepanjang masa. Aku
catat setiap sengketa sambil sempurnakan sabit
jadi purnama.
Solo, 2005
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 121
ACEH 6
kampung-kampung
masih terkepung sepi. Gerimis
memasuki rumah tanpa salam.
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 122
POTRET DIRI
-dari rantau kuziarahi makammu; mak.
entah dengan apa dapat melukiskan
kesetiaan. Bahasa yang bagaimana mampu
melahirkan sajak tentang keagungan
cinta. Mak, telah berton-ton ajaran
tersimpan di jiwa belum juga dapat
menyiram wangi seulanga ke dadamu
(aku ziarahi kuburmu dalam mimpi panjang).
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 123
MAK: BULANKU HILANG
demokrasi itu apa?
“kita bagi kacang harus adil”
keadilan itu apa?
“ketika kantong pribadi tebal”
ketebalan itu apa?
“ketika kekuasaan itu kebal”
kekuasaan itu apa?
“ketika yang kuat menginjak tengkuk si miskin”
(Mak! Bulanku hilang-bulanku terbang).
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 124
DIALOG
siapa
menitip luka-dendam tersisa.
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 125
MAK: 360 HARI KEPERGIANMU
mak
sampai juga waktu menjemput
di penghujung ramadhan-subuh
yang bening melepas kau pulang
walau getir terasa menusuk-nusuk
antar kepergianmu dengan zikir dan doa.
mak
sampai juga waktu menjemput
Tuhan sudah tentukan-siapapun menunggu
giliran. Yang paling nyeri-kurindu
ketika pakaian kebesaran lengket di badan
berkat ikat pinggang pemberianmu. Diam-diam
engkau menghadap-Nya
aku belum sempat memberikan ini jiwa-menghargai
sakitnya air susu yang kau berikan-yang lebih teriris
pedih-aku tak bersama menjalankan tradisi mengenangmu
(kutumpahkan senyum walau gerimis tempias ke pipi).
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 126
PERCUMA
percuma
membingkai hati. Andai pikiran
terkurung rahasia debu-mengeruh jauh
nurani mengumpal dengki dendam.
percuma
merenda hati. Andai perahu
terbuat atas nama kemarahan
mencipta topeng-melahirkan jiwa
pengecut jadi pahlawan
(kita adalah boneka dimainkan mimpi).
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 127
LANSKAP HATI 2
rentak tari guel hilang di sunyi
malam. Tepuk didong tenggelam di senyap Laut Tawar
sebuku tenggelam pilu di dada pengembara. Di rantau
aku mencium harum renggali mengurung ruang
kepala. Aku menyaksikan Bensu Puteri berkecipak
di kolam tenang memanggil Malem Dewa
pulang kembali ke kamar cinta
(biarkan sebentar aku di sini menggali hati).
orang-orang di sini berkelahi bersama ombak
biarkan sebentar aku semedi menyucikan kalbu.
Solo, 2006
Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 128
PERJAMUAN
ketika malam turun. Rasa luka-duka melaut
dihati. Cinta terbunuh udara kelabu
aroma kematian terhidang di perjamuan
menyekap pikiran erat berpangut
berapa harga kelicikanmu harus kubeli.
ketika malam turun. Aku-kau bersulang menimang
mimpi. Berpesta amis darah dan air mata
di atas meja bulanpun menari-nari menjenguk sepi-diri
dalam mabuk lupa-hati. Angin bergegas-gegas meninggalkan
dingin. Berapa harga kebiadabanmu dapat kubeli.
ketika malam turun. Mencair juga sepi
dikalbu. Aku harus melanjutkan pengembaraan ini
bersama langkah yang kehilangan cinta.
Padangpanjang-Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 129
RITUS TOPENG
aku
gendong
peradaban luka dalam babakan sejarah
merindui peruntungan jiwa-di sudut hening
: aku bergulat memungut wajah
kita terpasung ritus topeng.
Solo, 2006
Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 130
ZIARAH HENING
aku
ziarahi kebebasan. Terpenjara
diketerasingan melawan kemerdekaan
jiwa. Ruang hening mengoyak derita
mendirikan kemah pengungsian di hati.
aku
ziarahi peradaban menikam
kecemasan dan ketakutan
sebab sejarah ada ditangan raja
mengidungkan lagu pujian mengukir keabadian
(apakah kita mau menuhankan diri)
Solo, 2006
Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 131
LANSKAP HATI 3
jutaan
kepala-terbenam kuyub gerimis malam
antara Ulee Lhee-Lho’nga-Krueng Raya. Ombak
merebut suka jadi duka-sunyi pada gemertak gigil
(Aceh hilang dari peta jadi laut).
jutaan
kepala. Terbenam kuyub gerimis malam
aku tak berani memastikan apakah lorong itu
masih ada atau tinggal kenangan di samudera
pikiran. Meunasah tempat kita mengeja hidup
juga telah di lipat air raya
aku
sempat pulang menjenguk luka diri
ah!
Aceh, 2006
Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 132
1427 H.
pada
siapa mesti berbagi
kemiskinan-kekayaan, kebodohan-kecerdasan
kehancuran-keindahan. Allah
hijrahkanlah
hatiku.
Solo, 2006
Biodata penulis ‘riwayat’-----------------------------@
Sulaiman Juned, pernah memakai nama pena; Soel’s J. Said
Oesy. Lahir di dusun kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kab.
Pidie, Aceh 12 Mei 1965. Mulai menulis sejak duduk dibangku
SLTP. Karya puisi-cerpen-esai-artikel-reportase budaya- naskah
lakon-skenario sinetron, drama remaja dan fragment di muat di
majalah dan surat kabar; Santunan, Serambi Indonesia, Peristiwa
Kalam,Gema Baiturrahman, Warta Unsyiah, Kiprah, Atjeh Post, Panca, Ar-Raniry Post , Ceurana, Aceh Express, Kampiun, Wacana, Detak (ACEH). Hr. Analisa, Waspada, Majalah Dunia Wanita (MEDAN). Riau Post, majalah Membaca (RIAU).Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni, Majalah Laga-Laga (SUMATERA BARAT). Lampung Post (LAMPUNG). Independent (JAMBI). Sriwijaya Post (PALEMBANG). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Majalah sastra Horison (JAKARTA). Majalah Dewan Bahasa dan Sastera (MALAYSIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Karyanya juga terkumpul dalam antologi puisi; Podium (1990), Bunga Rampai Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta 1991), Kumpulan Penyair Banda Aceh (DCP. 1993), Hu (Teater Kuala, 1994), Telah Turun Burung-Burung Ke Irian Jaya (Medan, 1995), Suara Merdeka (Fak. Hukum Unsyiah 1995), Ole-Ole (antologi baca puisi keliling Aceh bersama penyair Mustafa Ismail, Ceka 1995), Surat (Kuflet, 1998), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002), Mahaduka Aceh (Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Jakarta 2005), Aceh 8,9 Skala Richter Lalu Tsunami (Aceh Bangkit, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Tiga Drama Jambo (Kumpulan naskah Lakon, Komunitas Seni Kuflet, Padangpanjang 2005), Lagu Kelu (Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan-Aceh Net 2005). Antologi Cerpen joglo (Taman Budaya Jawa Tengah, September, 2006). Antologi esai Takdir-Takdir Fansuri (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2000). Baca puisi tunggal/diskusi Pengadilan Puisi “Menjilat Bulan” (Cempala Karya, UNSYIAH, 1994). Dramatisasi puisi “Ikrar Para Penganggur” (Dialog Sastra, Aceh Utara, 1994). Teaterikal Puisi “Ka Kawin-kawin” (Aceh Tenggah, 1995). Baca Puisi Tunggal/Diskusi “Ole-Ole” (FKIP-Univ. Jabal Ghafur Kabupaten Pidie, 1996). Baca Puisi Tunggal/Diskusi “Surat” (Kuflet, Padangpanjang, 2000). Baca puisi Tunggal/Diskusi “Riwayat” di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJ, September 2006). Kolaborasi “BROEH” (Tari; Koreografer Alfira O’Sullivan/Australia. Musik; Komposer Deny/Yogyakarta. Teater/Sastra; Aktor/penyair Sulaiman Juned/Aceh), Pentas dalam Festival Seni Pertunjukan Internasional di Pasar Seni Gabusan, Bantul-Yogyakarta, 13 Nopember 2006. Serta di Festival Seni Pertunjukan Asia, Asiatri di Kaliurang, Yogyakarta, 19 Nopember 2006.
Pernah di undang ikut Pertemuan Sastrawan Nusantara, 1995 di Langsa Aceh dan di Kayutanam Sumatera Barat 1997. Pertemuan Teater Indonesia (Pekan Baru, 1997). Bersama Almarhum penyair M.Nurgani Asyik mempopulerkan pengadilan puisi ala Aceh yang menjadi acara rutin komite sastra Dewan Kesenian Aceh. Aktif di dunia teater sejak tahun 80-an. Pendiri UKM. Teater NOL Unsyiah (1990), Pendiri Sanggar Cempala Karya Banda Aceh (1987), ikut mendirikan Teater Kosong Aceh (1993), Pendiri Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (1997). Ia juga aktif dalam dunia jurnalistik; Sekretaris Redaksi/Redaktur Budaya Penerbitan Kampus Warta Unsyiah (1988-1995), Pemred Bulettin Ceurana (1989-1991), Redaktur Budaya SKM. Peristiwa (1989-1994), Redaktur Budaya Majalah Kiprah (1990-1997), Pemimpin Redaksi Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (1997-1999), Redaktur ahli Jurnal Expresi Seni Padangpanjang (2000-Sekarang). Pernah duduk sebagai pengurus Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1995-2000), Ketua Seksi Humas Lembaga Penulis Aceh (1998-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1995-1997). Ia juga menulis skenario sinetron, drama remaja dan fragment yang sekaligus disutradarainya untuk TVRI Sta. Aceh-TVRI Sta. Padang dan TVRI Pusat Jakarta. Pernah menjadi penyiar radio di UKM. Radio Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh, mengasuh ruang sastra dan budaya.
Soel, kini mengabdi sebagai dosen tetap di STSI Padangpangang-Sumatera Barat, mengasuh mata kuliah penyutradaraan. Dosen Luar Biasa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Guru Bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pendidikan Kesenian di SMA Sore Padangpanjang, Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat. Menetap di Padangpanjang bersama seorang istri dan seorang anak. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Penciptaan Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah.
Selain sebagai pembaca puisi yang handal juga di kenal sebagai sutradara yang sering membawa raga teater keliling Aceh- Medan-Padang-Riau-Palembang-Bengkulu-Jakarta-Yogyakarta-Solo-Bali. Begitulah ‘riwayat’ penyair-Penyiar-wartawan-dramawan-teaterawan yang kini telah mengabdikan dirinya menjadi dosen seni tersebut. (JARWANSAH).