PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Minggu, 25 Januari 2009

Hikayat Cantoi: Cantoi Tetaplah Cantoi

Hikayat Cantoi: Cantoi Tetaplah Cantoi

Oleh: Asril Muchtar, pemerhati seni Pertunjukan, pengajar STSI Padangpanjang

Terinspirasi PMTOH Sulaiman Juned sebagai Sutradara
menjadi realita pertunjukan oleh Azhadi Akbar sebagai aktor
menghadirkan Hikayat Cantoi ke atas panggung resitasi atau monolog?

“Aku ingin tetap menjadi Cantoi. Cantoi tubuhku-pikiranku. Maka Cantoilah namaku-tak lebih tak kurang. Namun bila mencari duri dalam tumpukan jerami kenapa ladang yang harus dibakar. Cantoi tetap tidak sepakat, sekali Cantoi tetap Cantoi”
Sepenggal teks di atas dibawakan dalam logat Aceh dengan sangat kocak, mengelitik dan ekspresif oleh Azhadi Akbar, nahasiswa jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Azhadi yang berasal dari Aceh memerankan tokoh imajiner Cantoi, karya/sutradara Sulaiman Juned (Soel) yang dipentaskan awal agustus lalu, di Gedung teater Mursal Esten STSI Padangpanjang. Karya yang dipersiapkan untuk tugas akhir S-2 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, menyuguhkan sebuah tawaran kreativitas yang terinspirasi dari seni resitasi PMTOH Aceh.
Panggung tertata demikian: sebuah jambo (pos ronda) di tengah bagian belakang pentas. Di kiri dan kanan depan panggung terdapat dua layar putih berukuran 2 X 1 meter yang berfungsi sebagai layar siluet. Di belakang jambo juga terpasang sebuah layar lebar. Sementara di lantai panggung di taburi tanah dan sekam, seperti hendak menggambarkan areal sawah-ladang di tanah rencong . Karya ini dicitrakan untuk waktu malam hari.
Di layar siluet bagian kanan duduk dua orang pemusik, sementara di layar kiri duduk seorang pemusik. Dan pada layar siluet belakang, duduk beberapa orang pemusik. Para pemusik ini sewaktu-waktu berperan sebagai mitra dialog tokoh utama.
Karya ini diawali dengan nyanyian prang sabi (perang suci). Kemudian dipertengahan cerita dilanjutkan dengan lagu Aceh Tanoh Loen Sayang yang dibawakan oleh pemusik di layar depan sambil melakukan gerak-gerak guel dan dilanjutkan dengan lagu sebuku (ratapan).
Azhadi Akbar sebagai pemeran utama, dengan kostum ala peronda malam, tampaknya sangat menjiwai naskah dan peran demi peran dengan karakter yang berbeda-beda. Ia melakoni dengan sangat baik dan “cair”, walaupun nafas agak tersenggal-senggal Azhadi mampu mengartikulasikan belasan karakter peran Cantoi, yang didukung oleh ekspresi dan akting yang kuat. Ekspresi dan akting yang kontras, seperti menangis-kecewa, marah-sedih, benci-sayang, dan sebagainya sering dilakukan tanpa antara, sehingga membangun sisi kontras yang tajam. Kemudian bloking atau movement mampu ia jelajahi di setiap lini ruang pentas. Disinilah sentuhan teater modern itu menyemburat.
Selain itu, Azhadi juga membawakan dengan kocak, sehingga kadang-kadang terkesan seperti komedian, kendatipun ia berperan sendirian. Untuk membangun suasana interaktif ia segaja “mengganggu” penonton dan pemusik yang berada di layar depan, sehingga terjadi semacam dialog-dialog pendek. Intonasi kata demi kata banyak diwarnai oleh logat Aceh. Cantoi itu seperti tokoh unik dibeberapa teater rakyat. Seperti peran Malanca dalam randai di Minangkabau, atau Kabayan di Jawa Barat. tokoh ini sebenarnya adalah orang cerdik, pintar tetapi berpura-pura bodoh. Ia tidak dapat dikatakan bodoh atau pandir.

Bermula dari DOM
Soel menyiapkan naskahnya sendiri. Idenya bermula dari realitas kehidupan yang melanda Aceh semasa dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Konflik vertikal dan horizontal tidak terhindarkan. Pemeran utamanya adalah militer RI dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Korban dari kalangan rakyat sipil setiap saat dapat dijumpai di berbagai kawasan di Aceh. Efek psikologis dari peristiwa ini, memunculkan trauma yang mendalam bagi mereka yang masih hidup. Banyak keluarga yang sengsara, bahkan menjadi lepas kontrol. Namun di balik tekanan dan rasa takut itu, timbul semangat untuk melawan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya, berpura-pura bodoh untuk mengelabui pihak-pihak yang mencurigakan dan yang sedang melakukan patroli.
Untuk menyimbolisasikan peran seperti ini, Soel menghadirkan tokoh imajiner dengan nama cantoi. Agar Cantoi tidak dijadikan sasaran atau lawan oleh pihak-pihak yang berkonflik, maka ia harus mampu berperan multi-faces dengan berbagai karakter, jika perlu berpura-pura bodoh. Berbagai tindasan sosial yang terekam dari konflik di atas, dimunculkan lewat tokoh Cantoi.
Untuk menuang naskah ini, Soel mencoba mengombinasikan teater tutur PMTOH Aceh dengan teater modern. PMTOH sebagai teater monolog, biasanya membawakan naskah hikayat, dari Aceh, yang pengertian lebih luas dari batasan hikayat sesungguhnya. Selain itu, PMTOH lebih menitikberatkan pada aspek ekspresi yang beragam dan ditunjang oleh berbagai proferti yang sederhana, tidak memerlukan penataan panggung yang lebih artistik, serta pemeran utamanya lebih cenderung diam di tempat.
Sementara aspek teater modern dihadirkan antara lain melalui bloking dan movement aktor di pentas dan penajaman ekspresi serta kekuatan akting. Tokoh dapat menjelajahi semua lini yang ada diruangan pentas. Teks disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa simbolik. Untuk memperkuat dan memperkaya aspek khazanah budaya Aceh. Di hadirkan gerak-gerak imitasi tari Seudati, didong, guel dan ketip jari. Dari aspek musikal, dimunculkan pula tepuk dada, tepuk perut, tepuk paha dan tepuk tangan.
Melalui Hikayat Cantoi, Soel telah mencoba menawarkan suatu pembaharuan terhadap PMTOH-teater tutur tradisional Aceh dengan sentuhan kreativitas teater modern.











g

Kliping Sastra, Sisa Kebakaran Rumahku:

Kliping karya sastra/teater sisa dari puing-puing kebakaran:

Sesungguhnya banyak kliping-kliping koran semenjak saya mengawali pekerjaan sebagai penulis. Saya mulai aktif menulis sejak tahun 80-an. Sehingga kliping saya ada lima buah kliping yang masing-masing kliping bersisi 50 ribu lembar kertas HVS. Kalau dulu jika ada tulisan saya rajin membuat kliping. Maklum dahulu kan belum ada internet. Kami biasakan melakukan dokumentasinya melalui kliping untuk dapat membaca sejarah, dan ini diikuti oleh beberapa anggota sanggar Cempala karya seperti Ucok Kelana TB, J.kamar Farza, Deny Pasla, Hamzah Zaiby, Win Gemade, Tomy Fajar, Zab Bransah, jarwansah. Namun kliping saya terlengkap, baik tulisan saya maupun tulisan orang lain yang menuliskan tentang saya. Sayang kliping itu kini hangus terbakar ketika terjadi musibah kebakaran rumah kami di Pincuran Tinggi, Jumat, 18 Januari 2008, pukul 16.00 WIB, Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh buku, dokumentasiku habis dilalap si jago merah. Pakaianpun hanya tersisa di badan, waktu itu. aku bersyukur Iswanti “titin” istriku dan Soeryadarma Isman buah hati kami selamat dari maut. Hanya merekalah permata hatiku. Ini aku pungut sisa-sisa kliping dari rongsokan bara, adik-adik di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang membantu mengeringkan klipingku-sekaligus membantu mengetik ulang, juga keponakanku Ipunk (puji Nurani), terimakasih. Akhirnya aku masukkan ke blog agar tak hilang lagi, selamat membaca:
1). MENCIPTA KARYA SASTRA
Oleh: Sulaiman Juned

. BERBICARA masalah puisi atau karya sastra, sampai saat ini tak seorangpun dapat mendefinisikan secara mutlak. Proses kelahiran puisi bagaimana? Andai kita mau jujur, puisi atau karya sastra lahir karena manusia dan gagasannya pun tumbuh dan hidup di realitas sosial juga. Ia ada sebagaimana air yang dituangkan ke kolam yang berisi berbagai zat berwarna. Apabila air tersebut dituangkan ke dalam gelas yang berwarna merah akan merah pula hasilnya. Tentang mutu (kualitas) sebuah karya bergantung kepada penciptanya atau mood yang mampu direbutnya. Karya sastra merupakan manifestasi dari pemikiran manusia, karena itu pula menghasilkan warna yang berbeda-beda.
Manusia sebagai makhluk budaya, setiap saat dihadapkan dengan formulasi rasa, dari daya ciptanya yang kemudian menjadikan sikap terhadap lahirnya karya sastra. Disisi lain adapula pencipta karya sastra yang menyatakan proses kelahiran sebuah karya sastra adalah hasil ilham . Sastrawan bukan Nabi atau Rasul yang mungkin mendapatkan wahyu atau ilham dari Tuhan, sangatlah disayangkan jika pendapat ini dirujuk oleh sastrawan. Pencipta karya setiap hari haruslah merebut ide/gagasan bukan menunggu wahyu/ilham. Terlepas dari itu semua karya sastra memiliki sifat relatif, artinya tergantung penciptanya dalam meletakkan filosopi berkesenian. Jadi proses penciptaan karya sastra berasal dari akal pikiran, mematangkan diri dengan kontemplasi (perenungan) bukan semata-mata lewat hasil berhayal.
Kreativitas dari pencipta diharapkan untuk mampu melahirkan produk yang berkualitas. Sastrawan juga harus mampu memberikan sentuhan keindahan juga keselarasan makna melalui sintesis. Berkarya itu memang tidak gampang, tetapi juga tidak sulit. Tergantung bagaimana kita memacu diri, untuk menjadi penulis yang baik haruslah terlebih dahulu menjadi pembaca yang sangat baik. Jika kita menjadi pembaca yang sangat baik pasti mampu menjadi pembicara yang baik, yang muara akhirnya menjadi penulis terbaik. Jika tidak percaya mari kita coba. Terpenting cobalah menulis!
(tulisan ini dimuat di harian waspada, Rabu, 15 Mei 1991).


2). SASTRA BUKAN KEGIATAN KAUM PUBER
Oleh: Sulaiman Juned

SESUNGGUNHYA penulis sangat berbangga hati bila diantara seniman (sastrawan) sering berkumpul membicarakan masalah sastra. Penulis merasa nikmat apabila sedang melahap kupasan tentang sastra yang akhir-akhir ini semakin digandrungi oleh masyarakat Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya.
Namun ada sedikit rasa kecewa menyemburat ketika membaca tulisan dengan judul “penyair muda di kampus” buah pemikiran Tohans yang disiarkan (Harian Waspadan, 8/5/91). Saya melihat ada kesenjangan antara penyair muda (kampus menurut Tohans) dengan penyair tua (senior mungkin). Pada akhir tulisannya ia berucap mari kita simak: “mungkin penyair muda kita sedang mencari sesuatu. Maklumlah mereka belum tua” (baca Waspada).
Jika itu yang Tohans tekankan tentang keberadaan penyair kampus, sungguh ia telah membuat suatu kesalahan besar, karena beusaha untuk mengkotak-kotakkan penyair. Barangkali dalam benak seseorang akan timbul suatu tanda tanya. Saya kembalikan kepada Tohans, apakah benar faktor usia dapat menentukan ia menjadi penyair, atau faktor usia pula yang membuat sebuah karya sastra pasti berkualitas? Lalu pada usia berapakah seseorang itu dapat dis sebut penyair?. Siapa yang menabalkan nama penyair kepada penulis puisi?. Sungguh memalukan bila pertanyaan itu timbul. Sepertinya Tohans tidak berkenan mengakui bila seorang penyair itu masih berada di kampus atau masih anak SLTA. Pelekatan nama penyair bukanlah komunitas sastrawan tua yang harus memberi nama, kalau penyair tua sudah mengakui kepenyairan seseorang barulah sah seseorang menjadi penyair, bukan begitu. Masyarakat pencinta (penikmat) sastra juga dapat mengetahui sebuah karya sastra bermutu atau tidak, jika karya sastra yang kita hasilkan bermutu pastilah disenangi dan disukai oleh pembaca terlepas tua atau tidaknya penulis tersebut.
Andai dihadapkan pada kualitas sebuah tulisan, tak pernah terjadi dalam dunia sastra untuk mengapresiasi faktor usia. Analisis terhadap puisi yang pertama harus dilakukan adalah membedah unsur Instrinsiknya terlebih dahulu. Kemudian barulah unsur yang lainnya. Sebuah karya sastra bermutu atau tidak semuanya berangkat dari hasil kontemplasi penyairnya, sejauhmana ia mampu merekam realitas dilingkungannya untuk jadi gagasan/ide lalu lahirlah puisi. Hal ini tidak ada hubungannya dengan faktor usia agar harus menjadi tua terlebih dahulu barulah puisinya berkualitas. Tohans harus membaca sejarah, Chairil Anwar dalam usia yang relatif sangat muda telah menghasilkan karya sastra yang sangat berkualitas, jadi tidak harus menunggu untuk menjadi tua dahulu agar dapat disebut penyair. Penyair-penyair yang sudah berusia tua itu, belum tentu karya-karya berkualitas. Jangan munafiklah.
Sekarang atau pada masa yang akan datang, agaknya sastra modern Indonesia semakin mapan, kegiatan bersastra bukanlah kegiatan kaum puber. Siapapun orangnya bila sudah berani masuk ke dalam golongan kaum penyair maka ia akan bersungguh-sungguh. Penyair tidak ada yang gadungan, sebab para kaum penyair, ketika ingin menjadi penyair itu adalah pilihan nurani. Kegiatan menyair dianggap sebagai sebuah tuntutan dari bakatnya. Jadi anda tidak berhak untuk melarang bagi siapapun memilki keinginan untuk menjadi penyair.
“Karya yang baik adalah karya yang mampu berkomunikasi dengan penikmat, tentunya melalui intuisi dan sintetik yang di banguun sang penyair” (baca: Penyair dan Problematikanya, Anshor Tambunan, 8/5/91: Waspada). Dari ungkapan Anshor Tambunan itu, dapat kita gali maknanya, seorang penyair harus dapat memberikan yang terbaik kepada pembacanya. Saya rasa tidak ada seorang penyair pun yang membuat puisinya asal jadi. Kepada Tohans, semestinya tak perlu ada kecurigaan yang terlalu berlebihan kepada para penyair kampus yang katanya tidak mempunyai keberanian, kejujuran, dan seember kecurigaan lainnya. Seharusnya Tohans melihat dengan jeli, bukan dengan kaca mata yang rusak sehingga dia temui yang sebenarnya. Penyair-penyair yang telah ternama kini, awalnya berangkat dari penyair kampus. Saya juga berawal dari kampus, anda juga tentunya kan? Juga belajar di kampus?
Penyair sebagai mahasiswa tidak pernah merasa dirinya dipecundangi oleh rasa kemahasiswaannya. Tidak pula ingin di sebut hebat, tetapi penyair yang berada di kampus juga memiliki rasa yang sama dengan penyair di luar kampus. Ia hadir karena bakat, lalu mencintai sastra dengan sungguh-sungguh, mereka ingin bernafas dengan puisi, salahkah mereka?
Begitulah, siapapun di atas bumi Tuhan ini berhak menyandang nama penyair apabila dia mampu. Ini catatanku yang terakhir buatmu Tohans; janganlah sekali-kali mematahkan kaki anak-anakmu yang sedang belajar berjalan dan berlari. Sudah selayaknya kita yang menunjukkan kebenaran cara berlatih berjalan dan berlari karena kita sudah memiliki pengalaman empirik untuk itu. Atau Tohans takut kepada anak-anak yang sedang belajar berjalan dan berlari? Takut jangan-jangan Tohans akan dikalahkan oleh mereka, tak perlu takut karena cara berjalan dan berlari kita berbeda, tidak ada yang sama. Kenapa mesti takut. Mari kita tuntun mereka berjalan dulu, lalu kita bawa berlari. Toh akhirnya kesusasteraan kita yang berkembang, benarkan? (Tulisan ini telah pernah dimuat di Harian Waspada, 13 Mei 1991).



3). SEKILAS SASTRA DI RADIO AMATIR BANDA ACEH
Oleh: Sulaiman Juned

SEBUAH karya sastra walau ditempel di gedung-gedung, di tembok, di gubuk reot sekali pun masih tetap kita sebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan karya sastra yang dipublikasikan di radio-radio amatir di Banda Aceh. Karya yang dipuublikasikan di radio, di koran atau majalah yang membedakannya hanya kualitas dari karya itu, bukan tempat publikasinya yang menentukan kualitas karya.
Lintasan perkembangan yang berkumandang di radio-radio, selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatan masih tepat bertahan. Walau tidak semarak pada kisaran 1980-1989, tapi masih tetap membuat para pecinta sastra cukup senang dengan adanya ruang pembacaan puisi. Hal ini dapat membawa dampak positif bagi penyair-penyair pemula. Selain menjadikan radio amatir sebagai guru, juga tempat memacu kreativitas. Mereka dapat belajar banyak dari ulasan-ulasan yang disampaikan oleh pengasuh ruang sastra budaya.
Sebagai contoh, radio Roland Nuansa. Mereka mengudarakan acara sastra budaya pada setiap malam selasa dari pukul 22.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, memang radio amatir yang menyuarakan acara sastra dan budaya di Banda Aceh, sampai saat ini masih dapat dihitung dengan jari, seperti: Roland Nuansa, Kharisma 70, yang di asuh Cerpenis Nani HS mengudara setiap malam sabtu. Radio Baiturrahman yang berkoar-koar setiap malam Kamis, Duta Kencana yang mengisi lintasan buadaya dengan syair-syair Aceh, asuhan Bung Yan.
Memang ada yang sangat disayangkan. Dua tahun lalu, radio Flamboyan FM juga sempat mengudarakan acara sastra budaya tapi sekarang mandek. Entah apa sebabnya, selain itu acara sastra budaya disiarkan juga di radio Cindelaras, Nikoya, Bandar Jaya, bahkan UKM- radio kampus Universitas Syiah Kuala yang sastra dan budayanya digawangi oleh Sulaiman Juned.
Sementara beberapa radio amatir lain, bahkan tidak memperdulikan sama sekali tentang ruang lintasan budaya, sungguh disayangkan, seharusnya ini tidak terjadi di negeri yang memiliki kebudayaan tinggi. Aoalagi memasuki tahun 1992n ini, Gubernur Ibrahim Hasan ketika Coffe Morning dengan dengan para wartawan di Banda Aceh mengatakan, tahun monyet ini sebagai “tahun budaya” itu merupakan angin segar yang dihembuskan Gubernur Aceh kepada seniman Aceh. Atas dasar itu, kita berharap kepada radio amatir di seluruh Aceh hendaknya berkenan membuka ruang sastra budaya. Juga kepada Gubernur kita meminta agar memperhatikan nasib para seniman Aceh sekaligus mengeluarkan peraturan daerah agar seluruh radio amatir di Aceh wajib membuka ruang sastra dan budaya, sehingga tahun budaya yang digaungkan Pemerintah Daerah Aceh benar-benar terlaksana, beuek lageue su’um-su’um ek manok ciret. Semoga! (Tulisan ini dimuat diharian Serambi Indonesia, tanggal-bulan dan tahun tidak saya ketahui lagi, ini tulisan saya pungut dari puing-puing kebakaran rumah saya di Pincuran Tinggi, 18-1-2008. Banyak kliping tulisan saya di koran sudah tidak berbentuk lagi)



4). SENIMAN ACEH HARI INI DAN ESOK
Oleh: Sulaiman Juned

SENIMAN adalah manusia yang memiliki mata setajam mata elang. Wawasan berpikirnya luas tentang dunia kesenimanan. Seniman Aceh kini mempunyai prosfek yang cerah, betapa tidak! Baru-baru ini, ketika Coffe Morning dengan beberapa wartawan Banda Aceh, Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim hasan, MBA telah mencanangkan tahun monyet (1992) ini sebagai tahun budaya. Kini angin segar telah ditiupkan oleh orang nomor satu di Aceh, tinggal bagaimana cara seniman menyikapinya. Apakah mampu mempergunakan kesempatan tersebut. Wallahualam!
Menurut pantauan penulis selama ini, seniman Aceh mulai berbenah diri seperti baru-baru ini, diadakan pagelaran sastra dan seminar sastra yang dimotori oleh Lembaga Penulis Aceh (LEMPA). Jika mau bicara jujur, hal-hal seperti inilah yang diharapkan kehadirannya, apalagi di tanah rencong yang sejak dulu kala masyarakat Aceh sangat mengagungkan seni. Lebih-lebih rekan-rekan penyair muda atau penyair kampus sangat berharap kegiatan-kegiatan seperti ini dapat terus berlangsung.
Begitu juga dengan acara sastra di Pustaka Prof. A.Hasjmy. ada baca puisi, cerpen dan novel. Ada juga bedah karya sastra dan seminar. Hal-hal seperti ini yang harus diperbanyak untuk mengisi ruang intelektual bagi seniman-seniman Aceh. Pekerja sastra harus mengisi ruang pikir untuk menambah wawasannya. Mulai sekarang marilah kita galakkan dan budayakan ‘membaca dan diskusi’ di Aceh agar lahir pemikir-pemikir seperti masa kerajaan Aceh dahulu, semisal; Hamzah Fansury, Teungku Syik Pante Kulu, Nurruddin Ar-Raniry, Syeh Abdul Rauf dan Nurruddin As-Sumaterany dan banyak lagi yang lainnya.
Mulai sekarang hilangkan perseteruan pribadi antar seniman Aceh, tumbuhkan ruang-ruang diskusi untuk melahirkan konsepsi ideal berpikir kritis. Semoga Aceh mampu melahirkan kembali sastrawan-sastrawan besar. Semoga! (tulisan esai ini dimuat di SKM.Peristiwa, tempat saya mengasuh ruang sastra budaya namun tanggal-bulan dan tahunnya tidak diketahui lagi).
5). KINI GILIRAN PENYAIR SULAIMAN JUNED DIADILI
Oleh: Nani Hs

Pengadilan Penyair. Setelah M.Nurgani Asyik selesai “dipengadilankan” sekaligus puisi-puisinya di Laboratorium Seni FKIP Unsyiah. Kini (12/12) giliran penyair Sulaiman Juned masuk ke ruang pengadilan penyair ala Aceh.
Pada dasarnya, pengadilan penyair merupakan pertanggungjawaban konsep puitika puisi di hadapan para penyair lain dan partisipannya. Puisi-puisi tersebut, setelah di baca oleh penyairnya akan pula didiskusikan. Seperti kata penyair M.Nurgani Asyik, forum itu juga sebagai pembelajaran bagi penyair yang bersangkutan atau pun bagi penyair lainnya.
Dari kegiatan ini sebut Sulaiman Juned, diharapkan para penyair dapat memandang sejujur-jujurnya karya-karya penyair yang bersangkutan. Menurut rencana kegiatan ‘mengadili’ ini akan dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 1996 di Laboratorium Unsyiah Jalan Inong Balee (Diploma 3 Kesenian) Darussalam Banda Aceh.
Menurut rencana Penyair Sulaiman Juned akan membacakan sejumlah puisinya yang dibuat antara tahun 1993-1995. Sehubungan dengan itu, berita ini juga merupakan undangan resmi kepada penyair dan penikmat Kesusteraan di Daerah Istimewa Aceh.Penyair M.Nurgani Asyik dan Sulaiman Juned merupakan pelopor untuk kegiatan pengadilan penyair di Aceh (ni)
[tulisan ini dimuat di rubrik kantin, harian serambi indonesia, sabtu 30 Desember 1995]


.
6). ADA APA DENGAN PENYAIR MUDA ACEH
Oleh: Sulaiman Juned

KREATIVITAS, itulah yang selalu diinginkan oleh para makhluk yang menamakan dirinya penyair. Tetapi cukupkah dengan kreativitas saja? Tentu tidak, untuk dapat dikatakan karyanya berbobot harus ditunjang oleh faktor pengalaman, dan wawasan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penciptaan. Kita boleh bangga dengan hadirnya beberapa nama seperti; Nurdin F.Joes, NT. Fikar W.Eda, Wiratmadinata, dan lain-lain. Tetapi sunggung disayangkan penyair itu hilang setelah memperoleh pekerjaan tetap. Bahkan ada yang tidak pernah menerbitkan karyanya lagi, hanya Nurdin F.Joes kini masih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya. Terbukri dengan kumpulan puisinya “sengketa” yang diterbitkan tahun lalu, terlepas dengan tuduhan atas Nurdin puisi-puisi tidak berkembang, dan sengketa itu sendiri adalah sengketanya Nurdin, bukan sengketa para penikmat sastra. Seperti apa yang diungkapkan Hasyim Ks dalam Serambi Indonesia.
Di Aceh, para penikmat selalu dilanda problema “takut” , takut jika suatu ketika Adnan PMTOH atau To’et telah tiada, siapakah pengganti penjaga gawang terakhir kesenian tradisional kita, sementara kita tidak pernah mau membina generasi muda dapat mewarisi apa yang mereka miliki. Kita juga takut bila Hasbi Burman, Hasyim KS, Nurdin F.Joes, Maskirbi dan lain-lain, tidak produktif lagi, siapakah pengganti mereka?
Kita hanya bisa berkata “tidak ada” tapi di Jakarta maupun di tempat lainnya, mereka tidak takut kehilangan W.S. Renda, Sutardji, Taufik Ismail, dan juga sastrawan lainnya karena mereka memiliki seribu renda muda, tarji muda, taufik muda untuk menggantikan posisi mereka. Ini semua berkat kemauan membimbing dan membina para penyair-penyair muda.
Mari kita membuka mata, mengingat ke belakang. Tiongkok pada zaman Dinasty Tang (618-906) mereka mengawinkan lukisan dengan puisi, syair dibuat oleh penyair (sastrawan), lalu pelukis yang menuliskannya di bidang gambar.
Wang Wei, sastrawan yang juga pelukis itu mencoba melukis, ternyata lukisannya dahsyat, hingga banyak yang mengatakan karya Wang Wei ialah sastra yang dilukiskan. Rintisan Wang Wei ini lalu menyebar ke segala zaman, karena ia membina terus para generasinya sehingga sampai pada sastrawan yang juga pelukis Su Shi (1036-1101), Su Shi mengatakan dalam kata mutiara yang sangat berharga: “lukisan adalah syair yang digambarkan, dan syair adalah lukisan perkataan”. Nah, sekarang kalau kita mau melihat lukisan Cina, biasanya ada tulisan “Kanji” di sana, umumnya itulah syair dalam lukisan. Betapa hebatnya mereka, mempertahankan kesenian tradisional yang ditinggalakan para leluhurnya, dan setiap saat mereka dapat melahirkan beribu Wang Wei maupun Su Shi muda.
Kembali kepada kita, dimana para penyair muda dikalahkan oleh faktor kesempatan, akhirnya mengendorkan semangat mereka untuk berkarya. Banyak penyair-penyair muda kita setelah muncul, lalu menghilang tak tentu rimbanya, mereka seperti: C Harun Al-Rasyid, Burce Rialy, Pinta J.Sidiq, Anhar sabar, Ade Ibrahin Dy Kampi, Nurarly, Zab Bransah, dan banyak lagi yang lainnya. Bila sudah begini siapakah yang harus disalahkan, penyair yang tidak kreatif ataukah mereka tidak pernah di beri kesempatan untuk muncul, jawabannya ada pada hati nurani kita masing-masing.
Jadi faktor kesempatan yang menjadi problema, maka sampai kapanpun kesusasteraan di Aceh tak akan pernah maju, karena itu marilah mengoreksi diri kita masing-masing, siapa yang salah. Alangkah lebih baik antara senior dan yunior bahu membahu dalam membangun sastra dan budaya, sehingga sastra di Aceh akan bangkit kembali. Saya yakin beribu Hamzah Fansuri, Teungku Syik Pante Kulu muda ada di daerah kita. (tulisan ini dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu, 24 Pebruari 1991. tulisan ini pula menghadirkan polemik panjang antara penyair muda dengan penyair senior (tua). Sayang saya tidak dapat menghadirkan kliping tulisan polemik dari penulis lain karena kliping saya terbakar)