PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Kamis, 22 Januari 2009

Tragedi Cantoi: Sulaiman Juned

“TRAGEDI CANTOI” SULAIMAN JUNED:
EKSTERNALISASI AGROPHOBIA

Oleh : Wiko Antoni S.Sn*)


Pendahuluan

Struktur lakon adalah partitur bagi seorang sutradara dalam `konser` peristiwa yang akan dipentaskan. Sebagai seorang penulis lakon tanggungjawab utama yang terpenting adalah membangun konsep dasar yang menjadi tempat berdiru teguhnya struktur pertunjukan, dari drama yang baik lahirlah pertunjukan yang luar biasa. Memang seorang sutradara mestilah kreatif dalam membangun realitas panggung namun drama yang baik akan menjadi pijakan kreatifitas yang baik bagi seorang sutradara dalam mempersiapkan pertunjukan berkualitas.
`Cantoi` berbicara dengan bahasa estetis tentang peristiwa yang mencengkram rasa cinta Sulaiman juned kepada Aceh. Kenyataan demikianlah yang banyak dicoba ungkap oleh teori-teori sosial. Berbagai cara ditempuh untuk menganalisa fenomena karya seni. Teori social selama ini bagai `senjata` pamungkas yang bisa mengatasi segala persoalan tersembunyi dalam karya-karya seni. Menafikan kenyataan bahwa bahasa seni adalah bahasa jiwa yang universal. Semisal membicarakan `Cantoi`, selama ini akan segera dibahas sosiologi karya, sosiologi pengarang, dan sosiologi latar penciptaan karya. Memang sebagian fenomena akan terjawab, mungkin saja ada indikasi sebuah karya akan ipengaruhi oleh keadaan lingkungan terciptanya. Yang kerap dilupakan adalah karya seni sebagai arkhetipe yang di eksternalisasikan secara sublim.
Bila karya seni sebagai arkhetpe yang muncul sebagai proyeksi jiwa, teori social akan kehilangan kekeuatan mengungkap fenomena sebuah karya. Mustahil sekali menyimpulkan pribadi seniman yang sangat spesifik dalam kerangka regional budaya. Memang kita terlalu lama mempercayai antropologi mampu menjawab banyak hal dalam persoalan analisis seni padahal seiring semakin kompleksnya persoalan yang muncul dalam karya-karya seni saat ini sudah saatnya melirik ilmu jiwa bawah sadar sebagai factor terpenting dalam aktualisasi proyektif sebuah karya seni.
`Cantoi` bukan penggambaran sikap masyarakat Aceh terhadap fenomena sebuah perang saudara, barangkali kaum sosiolog akan bersikeras untuk menghubung-hubungkan imajinasi Sulaiman Juned dengan antropologi Aceh. Padahal kenyataan `si Cantoi` ini bisa saja menimpa setiap manusia di seluruh dunia dalam kondisi ketertekanan yang serupa. Selama bertahun-tahun drama yang monumental hadir dalam lingkungan transisi dengan ketidakjelasan konvensi. Misalnya masa peralihan dari kekuasaan kaum borjuasi menuju zaman realisme. Saat itulah A Doll House mendobrak ketertekanan kaum-kaum yang merasa tertindas haknya. Memang banyak gaya yang muncul dalam mengekspresikan ketertekanan tersebut. Kadang-kadang agresif, romantis (misalnya gaya Shakespeare) bahkan komedi seperti `Cantoi` Sulaiman Juned. Disini perlu ditegaskan bahwa teori social tidak sepenuhnya mampu menjawab `misteri` terciptanya sebuah `karya emas` seorang seniman. Saatnya mempertimbangkan materi symbol yang dikemukakan oleh Freud dan Jung. Freud sangat percaya inspirasi gemilang muncul dari pengalaman yang tersimpan dalam ketidaksadaran, ketidaksadaran bukan hanya gudang-gudang peristiwa masa lalu tetapi juga penuh dengan benih-benih situasi ide-ide yang akan terjadi…kita menemukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari, dimana dilema-dilema kadang-kadang dipeca\hkan oleh gagasan baru yang sangat mengherankan; banyak seniman, filoshof dan ilmuan dianugerahi inspirasi berupa ide-ide terbaik yang tiba-tiba muncul dari ketidaksadaran . (Sigmound Freud, 2000: 63).

`Cantoi` Ekternalisasi Agrophobia dalam Diri Sulaiman Juned
Ilmu Psikologi ketidaksadaran merupakan cabang ilmu yang selama ini digunakan untuk mendeteksi berbagai macam ganguan jiwa. Sejauh ini psikologi ketidaksadaran hanya berbicara seputar kelainan perilaku menyimpang yang terjadi padapenderita neurosis. Setelah semiotic menjadi cabang ilmu dalam ilmu analisis sastra terbuktilah bahwa symbol-simbol yang disepakati merupakan arkhetipe yang berawal dari ketidaksadaran. Simbol muncul bila ikon-ikon mendapat kesepakatan umum. Namun dalam banyak hal ikon-ikon yang muncul di seluruh dunia hamper sama dengan makna yang hamper sama pula. Pada dasarnya ikon muncul bersamaan dengan kebutuhan psikologis. Ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi sangat potensial melahirkan ikon baru. Pada banyak kasus pasien jiwa ikon dibangun dari ketertekanan. Bila ini dikaitkan dengan prosesi penciptaan karya seni maka fenomena depresif ini dapat dikatakan eksternalisasi agrophobia.
Istilah agrophobia digunakan untuk ketakutan yang berlebihan. Pada tingkat demikian akan muncul sikap depresif atau agresif. Pada beberapa kasus yang muncul justru peristiwa sublimatif. Penderita agrophobia tidak semata-mata mengarah kepada kemerosotan jiwa yang membawa efek negatif adakalanya justru individu ini akan menjadi tegar dan tabah dalam melanjutkan kehidupan (Sigmound Freud, 2000:438). Ketertekan akan memiliki efek berbeda bagi setiap individu walaupun jenisnya sama, dalam hal ini psikologi memandang sebuah karya seni sebagai `benda` yang spesifik yang terlahir dari individu yang spesifik pula. Kolektifitas budaya bukan hal yang penting untuk menganalisa sebuah karya seni. Individunya yang penting, masa lalu, pendidikan, pengalaman estetis, romantis bahkan tekanan-tekanan hidup yang dialami. Fenomena jiwa milik semua orang sedangkan kebudayaan terkotak-kotak dalam sebuah lingkungan primordial.Sartre menungkapkan dalam menemukan analogis kesadaran imajinatif akan muncul kasus berikut, (1) Korelatif analogis dari pengetahuan imajinatif berupa objek afektif, (2) Imaji yang lengkap mencakup analog afektif yang menghadirkan objek dalam sifatnya yang mendasar dalam sebuah analog kisnetis yang mengeksternalkan objek dan memberikan tersebut realitas visual. (Sartre, 2000 : 192). Realitas visual berupa proyeksi imaji ini di eksternalkan kedalam realitas karya setelah disusun menjadi realitas estetis. Maka yang hadir adalah karya seni yang memukau. Ekternalisasi adalah prosesi ritual alam bawah sadar menjelmakan dirinya kepada kesadaran. Keseimbangan kimia tubuh menciptakan kekuatan bagi jiwa melalukan kompensasi yang sublim dengan proyeksi kreatif. Bagaimanapun kekuatan masa lalu tidaklah hilang. Ia tersimpan rapi di gudang data dalam serabut syaraf neurotic yang jumlahnya demikian banyak. Sadar atau tidak hadirlah ia keproyeksi masa sekarang yang dieksternalkan menjadi proyeksi kekecewaan atau kebahagiaan. Proses selanjutnya adalah kreativitas sublim dan pengolahan estetis yang rumit untuk dieksternalisasikan kedalam bentuk visualisasi kreatif dan indah. Lahirlah karya seni yang kadang-kadang mencengangkan banyak orang. (Sartre, 2000 : 194)
Disini yang menjadi kasus adalah `Cantoi` karya Sulaiman Juned, mari kita berandai-andai. Seumpama kita adalah seorang yang berada di Aceh saat konflik NKRI-GAM dalam keadaan kritis. Menjadi saksi atas kematian sudara-saudara atau orang-orang dicinta dalam tenggang waktu berdekatan. Dalam beberapa kasus ketertekanan yang berkepanjangan melahirkan stress. Kita tahu, banyak orang di daerah konflik mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Bahkan sampai saat ini konflik korban-korban perang selalu menjadi masalah tak kunjung usai antara Negara korban perang melawan Negara aggressor. Sampai saat ini Jerman dan Jepang selalu menjadi korban hujatan, padahal dalam kondisi konflik semua orang depresi. Dalam keadaan demikian `Cantoi` bicara dengan tegas bahwa `peranglah yang bersalah`. Bukan `Pendekar atau maling`, karena kedua belah fihak tidak mengerti bagaimana cara mendapatkan ketenangan. Dalam kondisi yang tidak jelas bila berakhirnya. Kondisi jiwa kedua belah fihak sama-sama tertekan. Selanjutnya Sulaiman juned menjelaskan kenyataan ini melalui `si Cantoi` bahwa yang paling menderita rakyat yang tidak mengerti sama sekali, karena kedua belah fihak menaruh curiga pada mereka, mascot yang digambarkan adalah tokoh `cantoi`. Berikut petikan dialog tentang hal ini/…kami orang kamping mana tahu maling. Pekerjaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling disini itu pasti pelarian dari kampong lain./ dibagian lain berbunyi/Ah cantoi tak pernah jadi maling, tapi kalau maling jadi Cantoi itu diluar kemampuanku/. Sulaiman Juned sebenarnya `bermain-main` dengan kematian. Jelas sekali ketololan `Cantoi` adalah kenaifan yang tidak disadari. Penggambaran yang jelas bahwa tokoh yang digambarkannya adalah sisi lain dari kecerdasannya sebagai homocreator yang dikungkung frustasi melihat keadaan kampong halaman yang dicintainya. Seolah tak ada solusi untuk Aceh sementara kematian terus terjadi. Kecurigaan meningkat tajam, orang-orang tak berdosa diterkam oleh ketakutan karena dua sisi yang bertikai kerap salah sasaran. Rakyat yang tak mengerti apa-apa menjadi korban keberingasan para pendekar dan Maling. Dilog-dialog ini bukan hanya milik orang Aceh, ribuan pengungsi di perbatasan Lebanon juga mengalami ketertekanan yang sama saat Israel dan Palestina saling menyalahkan atas terror yang diperbuat kaum gerilyawan Intifadah. Perang selalu memberikan terror kepada rakyat. Peluang terbesar untuk menjadi korban salah sasaran, salah tembak, salah tangkap, salah bombardier. Musuh yang dicari sangat lihai melarikan diri sementara rakyat tak pernah belajar taktik menyelamatkan diri.
Tema sentral yang diusung lakon `Cantoi` memang bukan hal yang baru. Semua orang tahu bahwa perang menimbulkan depresi namun tema-tema lain menarik pula untuk dikaji, renungan filosifis tentang seorang ustadz misalnya, yang berani mengungkapkan kebenaran di atas mimbar namun dalam kenyataan asyik menghitung tasbih saat mayat rakyat dituduh sebagai `maling` terbujur dihadapannya. Ini kenyataan estetis yang dibangun Sulaiman Juned untuk `menelanjangi` kemunafikan kita. Logikanya pada saat terancam semua orang memilih jalan selamat. Kebenaran akan tersembunyi. Seorang Ustadzpun lebih memilih diam daripada harus berurusan dengan `pendekar`. Tema lain tak kalah menarik adalah kritik tajam terhadap gelar bangsawan yang dibangga-banggakan. Di awal-awal teks drama `Cantoi` dijelaskan bahwa “Darah kita semuanya merah” jadi, tidak layak mengaku " darah biru” atau lainnya.

Empirisme, Frustasi menuju Sublimasi Estetis Lakon `Cantoi`
Kini marilah kita bahas perjalanan kreatif bawah sadar Sulaiman Juned menuju terciptanya lakon `Cantoi`. Di atas sudah dijelaskan eksternalisasi agrophobia sebagai latar yang menjadi stimulus kelahiran drama `Cantoi`. Kini proses tersebut akan dijabarkan disini. Secara sederhana factor yang melatar belakangi terciptanya karya seni dari sisi psikologi adalah unsure intern dan ekstern. Unsur intern adalah kepribadian seniaman secara instrinsik sedangkan factor ekstern adalah stimulus yang muncul dari luar atau realita sehari-hari yang bersentuhan dengan si seniman. Pertama proses realitas verbal menjadi realitas seni selalu diiringi oleh penafsiran kenyataan oleh imajinasi, kedua pengalaman yang dialami seniman baik yang disadari maupun tidak disadari akan berpengaruh dalam sebuah karya seni yang tercipta. Ketiga penciptaan karya yang cerdas selalu melibatkan pertimbangan filoshopis yang bersifat edukatif. Keempat seniman yang baik adalah seorang ilmuan yang berusaha mencari solusi bagi persoalan sekitarnya yang terakhir, seniman yang baik bersikap sebagai penengah dalam segala persoalan disekitarnya.
Melihat empat sisi diatas maka pertarungan emosinal akan melahirkan kegelisahan estetis dalam diri seorang seniman. Lima elemen di atas dibenturkan dengan kegamangan jiwa seorang Sulaiman Juned. Bagaimanapun sebagai seorang yang berdarah Aceh ada rasa kecewa dalam dirinya melihat kampong halaman yang dicintainya berada dalam kondisi serba tidak jelas. Kekecewaan ini jelas bila kita membahas teks demi teks yang digambarkan dalam drama `cantoi`. Sebagai pertimbangan dialog berikut./korban berjatuhan. Mayat-mayat bergelimpangan. Disawah, diladang, dalam rimba bahkan dikeramaian pasarpun mayat-mayat berserakan./…barang siapa yang meratapi kematian para maling sudah pasti maling…/Peristiwa berdarah di kampong ini tidak ada lagi yang menangisi…/. Sulaiman Juned meratap dan menghiba dalam hatinya. Bagaimana tidak, sebagai orang Aceh tentulah ada keberfihakan tersembunyi dihatinya, hatinya pilu melihat saudara-saudara yang sekampung yang terbunuh tanpa jelas kesalahan. Yang jelas mereka divonis sebagai `maling`. Keresahan ini mula-mula disublimasi kedalam lakon “Jambo, Luka Tak Teraba” (di muat di Horison No 11 TH XXXVII/2003). jelas sekali penokohan dalam drama `Jambo Luka Tak Teraba` bertolak belakang dengan karakter `Cantoi`. Dalam `Jambo Luka Tak Teraba` tokoh-tokoh heroic hadir dengan persepsi bertolak belakang menyikapi keadaan. Lakon `Cantoi` justru mencibirkan heroisme tersebut. `Cantoi` sampai pada taraf bahwa heroisme Cuma kata-kata sempalan yang sama sekali tak berarti. Hanya lipstick yang menipu. Kecurigaan Sulaiman Juned memuncak dalam `Cantoi`, rupanya Pasukan Upah dan Kaum Ateuh (lihat teks `Jambo Luka Tak Teraba`) sama saja. Sama-sama tidak mempertimbangkan penderitaan rakyat.
Bagan psikologis terciptanya drama `Cantoi` dapat digambarkan seperti berikut ini:

Keterangan:
1. R = Realitas
2. I = Intelektual/kecerdasan
3. FE = Frustasi Estetik
4. RI =Realitas Imajinatif
5. EA = Eksternalisasi Agrophobia

Realitas merupakan stimulus yang merangsang pemikiran seorang seniman gelisah. Realitas yang dianggap buruk sangat memungkinkan frustasi. Frustasi itu memicu sublimasi hingga proyeksi yang tersusun dalam kerangka karya. Inilah yang disebut frustasi estetis. Seniman kreatif kemudian mewujudkan kegelisahan ini menjadi karya yang benar-benar nyata. Realitas hadir menjadi kenyataan seni. Kenyataan seni ini wujudnya bermacam-macam, diantaranya, Agresif, melankolis, ataupun romantis. Pada Lakon `Jambo Luka Tak Teraba` bentuk aktualisasinya adalah Agresif. Sulaiman dengan ber api-api mencerca kenyataan, begitu agresif bahkan cenderung emosional dan provokatif (Lihat Horison No 11/2003). Pada lakon `Cantoi` Perwujudan frustasi estetiknya berbentuk melankolis aktualisasinya adalah style lakon. Menertawakan kematian perwujudan kepedihan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Penutup

Lakon `Cantoi` adalah perwakilan orang-orang yang berada dalam ketidakjelasan situasi. Ketertekanan berkepanjangan melahirkan kefrustasian. Walaupun tokoh ini digambarkan dengan seting Aceh, peristiwa `Cantoi` akan menimpa siapa saja. Ketertekanan jiwa dapat menimpa setiap orang. Ada kalanya ketertekanan ini sampai pada kondisi sesorang kehilangan kendali psikis dan menjadi abnormal`. Kondisi tidak normal ini dalam ilmu jiwa disebut neurosis sesuai tempat yang menjadi sebabnya yaitu syaraf-syaraf penyimpan data bawah sadar.
Kenyataan adalah sumber utama bahan baku karya seni, selebihnya pengalaman estetis yang berkonfigurasi dengan ketidaksadaran. Karya yang besar kerap muncul dari ketertekanan yang memicu syaraf bawah sadar berkontraksi. Ide-ide cemerlang muncul menjadi karya yang luar biasa. Latar emosional demikian yang mendasari kreatifitas psikologis dalam diri Sulaiman Juned `sang bapak si Cantoi`. Dari realitas Aceh `Cantoi` bicara soal kemanusian secara universal dan menyentuh persoalan jiwa manusia di seluruh dunia. Berawal dari konflik Aceh, manusia-manusia yang dicengkram perang di seluruh dunia bersuara. Keputus asaan tak kunjung selesai menyekap jiwa-jiwa malang yang terjebak dalam perang.
Sosiologi memang telah banyak berjasa menyingkap demikian banyak fenomena karya seni. Namun dewasa ini seiring perkembangan ilmu pengetahuan sudah saatnya mempertimbangkan cabang ilmu lain yang lebih menyentuh substansi manusia secara objektif. Psikologi ketidaksadaran sudah lama mengkaji symbol-simbol kejiwaan yang menguasai manusia sejak manusia itu ada. Dalam bannyak kasus karya seni aspek psikislah yang berpengaruh besar selain aspek social. Maka saatnya psikologi ketidaksadaran menunaikan `tugas baru`, sebagai pemberi penjelasan bagi karya-karya besar para seniman.


















Biodata Penulis

Penulis adalah pengarang drama, skenario, dramaturg, aktor, penulis kritik seni budaya, pencipta lagu, Salah seorang pendiri Komunitas seni `kuflet` Padangpanjang. Salah seorang Pendiri kelompok kerja seni `gonjong Tujuh` Padang Panjang. Pernah menjadi asisten pengajar di jurusan teater STSI Padangpanjang saat masih kuliah di STSI Padangpanjang. Pengalaman sebagai guru adalah mengajar Ekstra di SMU Sore Padang Panjang. Pengajar kesenian di SMU Negeri 2 Tabir, kabupaten Merangin. Propinsi Jambi, (semenjak 10 Januari 2006). Pengajar KTK serta Kebudayaan Daerah di SMP 2 Tabir Selatan kabupaten Merangin, Propinsi Jambi (Semenjak 6 Agustus 2006). Mengajar di SD 07 Limbur Merangin, Kabupaten Merangin Propinsi Jambi (semenjak 11 Juli 2007). Saat ini non aktif sebagai guru untuk menempuh program D4 di Fakultas Ilmu Pendidikan UMSB “Kauman” Padangpanjang. Pengalaman jurnalistik, menulis untuk Jurnal “Ekspresi Seni” STSI Padangpanjang dengan judul “ Teater Impilikasi Realitas Sastera”. Menulis untuk Jurnal “Palanta Seni Budaya” dengan judul “Mempertanyakan Sebuah Rumah : Sebuah Analisis Multidisipliner terhadap Karya Toni Aryadi”.

KUFLET ADAKAN DIKLAT KARYA TULIS ILMIAH: Meningkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru

KUFLET ADAKAN DIKLAT KARYA TULIS ILMIAH:
Meningkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru



Komunitas seni kuflet Padangpanjang beberapa waktu lalu ( Mei 2008 ) dalam ulang tahunnya ke 11, digedung Hoerijah Adam STSI Padangpanjang – Sumatera Barat, sukses melaksanakan seminar nasional dan bedah buku dengan tema “Konsepsi Ideal Sastra Budaya Melayu Nusantara“. Panitia menghadirkan narasumber, Prof. Dr. Mahdi Bahar (Guru Besar STSI Padangpanjang) yang membincangkan “Seni Melayu Seni Yang Islami“, Zulfardi Darussalam, M.Pd (Dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB) yang merumuskan “Aspek Melayu Dalam Drama Indonesia“, dan Asril Mucktar, S.Kar, M.Hum (Kritikus Seni) membedah buku biografi tentang Sulaiman Juned yang ditulis Wiko Antoni, S.Sn, berjudul: “Catatan Perang Seorang Seniman Aceh di Padangpanjang“.. Komunitas yang bergerak dibidang Teater, Musik, Artistik dan Sastra kali ini mengadakan Diklat Karya Tulis Ilmiah pada tanggal 7 – 9 Nopember 2008. Kegiatan tersebut bertajuk “Aktualisasi Semangat Kepahlawanan Kita Tingkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru“. Tutur Ketua Panitia Pelaksana Anggra Putra (4/9) saat ditemui disekretariat panitia.
Program ini bertujuan terhadap pematangan wawasan dibidang karya tulis ilmiah, dan apresiasi seni bagi guru sebagai media alternatif dalam mengemas wacana. Tenaga pendidik menjadi perioritas keilmuan. Guru merupakan wadah transaksi ilmu secara universal dan menyeluruh untuk mewujudkan generasi penerus yang berkualitas. Atas dasar itu, kuflet ingin menciptakan proses kreatifitas yang berarti bagi guru. Guru selayaknya menjadi tonggak untuk di gugu dan di tiru bukan menjadi orang yang di buru. Jadi andai profesi ini sebagai pilihan hidup tentu harus mempersiapkan diri menjadi manusia ‘super’, serba bisa dalam bidang ilmu.
Dorongan inilah menggerakkan Kuflet melaksanakan Diklat Karya Tulis Ilmiah. Bentuk kegiatannya, seminar, workshop dan pameran seni instalasi dengan sasaran peserta; mahasiswa, guru, dosen dan khalayak umum. Narasumber akan dihadirkan: Zulmasyah (Pimpinan Redaksi Riau Post) dengan materi “Gampangkah Menulis Itu”, Asril Mucktar (Dosen STSI Padangpanjang) makalahnya berjudul “Menulis Kreatif Itu Mengasyikkan”, dan S. Metron (Wartawan Padang Ekspres Padang) judul makalahnya “Jurnalistik Seni Pertunjukan”. Melalui kegiatan ini diharapkan guru mampu meningkatkan kualitas intelektualnya, khusus dalam bidang menulis. Tutur Sekretaris Panitia Wessy Sri Azweni mantap. Bravo! Kuflet, maju terus.


Kuflet: Sambut Ramadhan dengan Touring Budaya
Sejumlah 20-an anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (24/8) yang lalu mengadakan touring budaya dengan sepeda motor. Kegiatan ini untuk mempererat silaturrahmi sesama anggota, sekaligus memperkenalkan kuflet kepada masyarakat Sumatera Barat. Touring kali ini melewati rute; Padangpanjang-Bukittinggi-Maninjau-Lubuk Basuang-Pariaman, dan kembali ke Padangpanjang. Tutur Ketua Panitia Fikar Aceh.
Fikar Aceh menambahkan, touring yang dilakukan Kuflet bukan untuk hura-hura, tetapi untuk mengaktualisasi para anggota baru agar berani melakukan kreativitas seni dengan ,masyarakat umum. Kegiatan ini juga sebagai media dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan. Dakwah tidak hanya dilakukan oleh para Ulama, seniman sesungguhnya lebih tepat menggunakan pertunjukan seni menjadi media dakwah terhadap masuyarakat penonton. Perjalanan yang mengasyikkan ini, disetiap daerah seperti Bukittinggi, Kelok 44 Maninjau, Muko-Muko Maninjau Kabupaten Agam, di pusat Kota Lubuk Basuang dan Kota Pariaman melakukan pertunjukan baca puisi dan opening art di jalan-jalan. Masyarakat setempat menyambutnya dengan sangat antusias,
Muhammad Subhan penonton di Muko-Muko mengatakan, selama hidup saya belum pernah menyaksikan kegaiatan pentas seni di alam seperti ini. Baru Kuflet yang melakukan pertama sekali di Sumatera Barat, entah kalau di daerah lain. Pertunjukan baca puisi dan seni lainnya itu menyampaikan pesan-pesan moral, ini membuat kami baik
generasi muda maupun tua tergugah ketika menonton pertunjukan tersebut, kami sangat senang dan terharu. Mudah-mudahan tahun depan Kuflet mau hadir lagi, dan untuk kegiatan ini kami berharap Kuflet mau melakukannya untuk seluruh Indonesia, Semoga! Tuturnya. (sai): Sulaiman Juned, Padang-Sumatera Barat.
















Usai pertunjukan baca puisi dan opening art di Muko-Muko Maninjau
Kabupaten Agam Sumatera Barat, seluruh Anggota Kuflet yang ambil
Bagian dalam Touring Budaya photo bersama. (Photo: Humas Kuflet).



















Jalan Kehidupan: Syarief dan Ira Kuflet pentaskan opening art, memvisualkan
Sisi gelap dan terang perjalanan kehidupan, di Danau Maninjau Sumatera Barat,
(Photo/teks: Sulaiman Juned)




STSI PADANGPANJANG:
Buka Program Pascasarjana Tahun Depan, Siapkah (?)


Mutu pendidikan akan ditingkatkan dengan menghasilkan lulusan berkualitas. Out put yang mumpuni tentu ditentukan oleh intelegensi dosen. Para dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang harus memiliki wawasan budaya Melayu bukan budaya Minangkabau saja. Jadi para dosen akan dimagangkan sesuai dengan kebutuhan jurusan masing-masing ke seluruh wilayah Melayu. Setiap peneliti, pakar seni budaya yang akan berbicara tentang Melayu agar datanya valid harus datang dulu ke STSI Padangpanjang. Tutur Ketua STSI Padangpanjang, Prof. Dr. Daryusti, M.Hum (4/9) saat ditemui di ruang kerjanya.
STSI akan membuka jenjang pendidikan Pascasarjana (S-2) dengan program studi Penciptaan Seni dan Pengkajian Seni. Tahun depan insyaallah kita sudah menerima mahasiswa, bila perlu tahun 2008 ini. Sebenarnya kita sudah siap, tinggal ,menunggu Surat Keputusan dari DIKTI. STSI Padangpanjang berkemungkinan menjadi lebih maju dan berkembang di masa datang, sebab satu-satunya Lembaga Pendidikan Tinggi Seni yang mengkaji seni Melayu. Disamping itu dalam waktu dekat (sekitar tahun 2009/2010) akan berubah status menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Tambahnya.
Lazuardi, Pembantu Ketua Bidang Adminitrasi dan Keuangan, ketika dijumpai diruang kerjanya menyatakan, optimis terhadap perubahan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni menuju ke arah yang lebih maju. Apalagi dengan dibukanya Program Pascasarjana serta perubahan status dari STSI ke ISI, kita tunggu saja. Tuturnya.
Lembaga Pendidikan STSI Padangpanjang, merupakan satu-satunya yang mengkaji seni Melayu. Kehidupan Melayu sebagai langkah awal untuk berkembang. Kita harus mempersiapkan diri untuk menjadikan Laboratorium Melayu di Nusantara, agar para ilmuwan mencari informasi, dokumentasi, material dan penelitian tentang Melayu ke STSI Padangpanjang. Bicara Melayu ya harus dating ke Padangpanjang, ingin mengkaji P.M.T.O.H dan Didong kesenian dari Aceh, di Padangpanjang ada data yang lengkap. Ingin mendata tari Zapin di Padangpanjang tempatnya. Ungkap Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan, Martarosa, S.Sn., M.Hum.


Tujuh Program Studi yang ada di STSI, hendaknya mampu merumuskan tentang ilmu dan pengetahuan Melayu. STSI dengan kajian itu memang harus melalui proses panjang. Apalagi membuka Program Pascasarjana harus dipersiapkan secara matang baik tenaga pengajar, fasilitas pustaka dan administrasi. Jika sudah siap kenapa tidak. Sementara untuk aktifitas kemahasiswaan walaupun tidak ada dana kreativitas mahasiswa harus jalan. Tekannya.

Jurusan Teater Prioritaskan Sekolah Binaan dan Desa Binaan
Sebelas tahun sudah usia jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang yang didirikan pada 5 September 1997. Sampai hari ini sudah meluluskan enam angkatan. Lulusannya ada yang bekerja jadi seniman, pekerja di Televisi, guru, dosen dan aktivis seni. Namun jurusan teater STSI Padangpanjang masih belum di kenal dan dicintai secara luas oleh masyarakat, jangankan masyarakat Sumatera dalam wilayah Sumatera Barat saja masih ada yang belum mengenal jurusan seni teater.
Tak kenal maka tak sayang, ungkapan inilah yang membuat jurusan teater melakukan program pengenalan teater ke masyarakat melalui apresiasi. Selama ini dalam pentas teater mahasiswa maupun dosen kita selalu mengundang penonton. Sekarang tekhnisnya dirubah dengan menjemput penonton lewat sekolah binaan dan membuat desa binaan di Sumatera Barat, bahkan bila seluruh sumatera. Ungkap Ketua Jurusan Seni Teater Yusril, S.S., M.Sn
Masyarakat Sumatera sudah sangat kenal dengan sandiwara atau tonil. Teater rakyat ini sudah berkembang di Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Lampung, Medan. Teater modern ketika masuk ke wilayah pedesaan di Sumatera haruslah dalam pemahaman masyarakat. Sebenarnya tradisi berteater sudah biasa dan sering dilakukan oleh masyarakat di seluruh Sumatera, kini tinggal kita melakukan pengembangan menuju pembaharuan. Jadi dengan program ini yang berujung pada mencetak lulusan yang bermamfaat di tengah masyarakat. Teater dewasa ini sudah menjadi profesi bukan lagi hobi, hanya lewat pendidikanlah teater di wilayah Sumatera berkualitas. Tambah Yusril.
Tatang R. Macan, Sekretaris Jurusan Teater menimpali, teater miniature dari kehidupan. Kampung seni untuk memberdayakan masyarakat agar tidak tertutup terhadap perkembangan jaman. Sekaligus melakukan pengembangan pola berpikir, sehingga tercipta silaturrahmi seni. Jurusan teater selain fokus pada dua kegiatan jangka panjang itu, juga memprogramkan kegiatan worsksop, diskusi dengan mendatangkan tokoh-tokoh seperti Wisran Hadi (Sastrawan/Sutradara), Radhar Panca Dahana (Dramatug), Toni brur (Aktor), dalam bulan Desember juga mengundang Goethe Istitut untuk membongkar habis tentang konsepsi Brechtian. Tegasnya (sai)

Trimks! Salam
Sulaiman Juned.

Puisi-Puisi Sulaiman Juned

Antologi Puisi
MENJILAT BULAN
Karya: Sulaiman Juned











@ Pengantar Penyair menjilat bulan---------------------------------------menjilat bulan, i


MENULIS PUISI;
Saya Berangkat dari Realitas Sosial Menjadi Realitas Sastra


Sastra dalam pehamaman saya adalah potret buram kehidupan masyarakat, baik sikap-moralitas-sosiologis-psikologis yang berkembang dan berjangkit di tengah lingkungan sosial. Jadi penyair menangkap potret tersebut, merekamnya lalu menciptakan dengan formulasi rasa, dari daya cipta menuju terciptanya karya yang monumental. Proses penciptaan karya sastra selalu berasal dari ide (akal pikiran, dilihat, dirasakan, dilakukan dalam kehidupan sosial tempat si penyair itu hidup)-lalu diproses dalam tatanan kreatifitas si penyair, sejauhmana penyair sebagai makhluk sosial mampu membaca realita sosial menjadi realitas sastra. Hal ini, jelas menambah aura, puitikal, dan bahasa puisi menjadi ternikmati. Atas dasar itu, penulis menuliskan realitas sosial yang penulis lihat- rekam-rasakan- nikmati lalu terendap menjadi judul antologi ini menjilat bulan.
Hampir seluruh puisi yang ada dalam antologi bersentuhan dengan kata, kalimat bulan . Kata ini memang menjadi medium penciptaan, mungkin bulan indah, jorok, senang, sakit, bahagia, luka. Siapapun kita di atas bumi ini sangat merindukan bulan, terlepas bulan ini-itu-kemarin-besok-lusa dapat menjadikan bulan-bulan yang ideal dalam hidup. Manusia dewasa ini sudah sangat sering mengotori bulan atau memanjakan bulan. Berangkat dari filosofi inilah penulis memilih judul antologi puisi ‘Menjilat Bulan’ terlebih atas kurang dan lebih.
Demikian, salam kreatif. Mudah-mudahan antologi ini jadi tempat kita berkaca diri, minimal bagi diri penulis. Salam.

Padangpanjang, 1 Januari 2008
Salam Kreatif,




Sulaiman Juned

@Pengantar Menjilat bulan----Prof.Dr. Mahdi Bahar-----------------menjilat bulan, ii

PENGANTAR MENJILAT BULAN


IQRA’;… bacalah,… bacalah;…demikian Sang Malaikat itu atas perintah Yang Maha Kuasa langit dan bumi beserta isinya sejak tahun 610 masehi menyuruh sosok manusia ‘al-Amin’ dan insan sesudahnya menggunakan pikir. Apakah kamu tidak memperhatikan, merenungkan, memikirkan, atau mengambil i’tibar atas ayat-Nya; tidak ada yang sia-sia Ku ciptakan. Demikian Sang Maha Kuasa berkata… .
Kejadian yang tidak mengenakkan di bumi nusantara pada akhir milenium dua dan awal milenium tiga melalui kedahsyatan muncratan perut bumi, gempa, tsunami, atau air bah yang meluluhlantakkan negeri Lampung, Flores, Aceh, Nias, Sumatera Barat, Sidoarjo, Jawa Tengah, Jakarta adalah ciptaan-Nya. Biarkan manusia yang tidak mengesakan-Nya mengatakan geliat itu adalah karena alam sudah tua atau memang begitulah maunya alam, tetapi dalam ‘Kita’, semua itu adalah sunatullah. Telah Ku tunjukkan kejadian serupa pada kaum sebelum kamu; lihat bangsa atau kaum Saba, Tsamud, ‘Aad, umat Nuh, atau Luth yang telah melampaui batas, … Ku … hancurkan. Sekali lagi potret itu adalah sunatullah, bukan fatamorgana b-e-l-a-k-a. Bacalah, … bacalah…… dan bacalah. Aduh …, termasuk tindakan manusia di belakang topeng-topeng mereka.
Kejadian yang merupakan sunatullah dan tidak mengenakkan itu, di samping berbagai ulah tangan manusia, telah jadi ayat bagi Sulaiman Juned. Tilikan sanubarinya atas ayat-ayat tersebut melampaui kejadian yang sesungguhnya. Semua diperuntukkan santapan rohani. Buah pemikiran, renungan, yang merupakan sari pati fenomena tragedi alam atau kemanusiaan yang teramat dahsyat demikian, dibungkusnya dalam sentuhan estetika ucap. Latar belakang pribadinya sebagai penulis dan seniman yang ditempa oleh budaya Aceh, ternyata memberinya peluang untuk lebih jauh merasakan betapa hebat tragedi alam dan kemanusiaan itu dirasakan oleh orang Aceh. Kekentalan makna yang dalam atas ayat-ayat tersebut dikemasnya dalam bingkai-bingkai ekspresif. Manifestasi kejadian itulah yang diekspresikannya dalam karya Antologi Puisi Menjilat Bulan, dengan kejiwaannya tersendiri.
Dalam situasi begini tepatlah agaknya penyair Amerika Robert Frost yang memenangkan Pulitzer Prize untuk karya puisi sebanyak empat kali pada tahun 1924, 1931, 1937, dan 1943 berkata di hadapan Presiden John F. Kennedy pada saat pelantikannya di bulan Januari tahun 1961. Frost berkata, bahwa puisi “makes you remember what you didn’t know you knew”. Ungkapan ini memuat kesadaran ada orang yang tidak tahu bahwasanya ia tahu. Puisi dapat mengingatkan kembali orang-orang yang tahu atau bahkan manusia yang pura-pura lupa terhadap apa yang diketahuinya. Apa yang diungkapkan Sulaiman Juned dalam kemasan puisinya, tentu dapat memainkan peran seperti yang dimaksud Frost, ialah memberi tahu bagi yang tidak tahu atau mengingatkan kembali insan yang pura-pura tidak tahu akan apa yang seharusnya ia perbuat.
Menjilat Bulan sebagai bingkai pemikiran yang bersumber dari realitas sosial dan tragedi alam yang menimpa segenap insan, patut dibaca sebagai sumber pelajaran dan pencerahan. Sejumlah pemikiran yang termuat dalam beberapa judul dan sarat dengan ekspresi kemanusiaan (humanisme) serta dikemas dalam kalimat puitis dalam antologi ini merupakan kekayaan. Ia adalah gambaran kekayaan perjalanan spritualitas yang tampaknya sebesar kuku, tetapi dikembang selebar alam.
Akhir kata patut disampaikan bahwa antologi puisi karya Sulaiman Juned ini dapat dijadikan bahan kajian untuk penyadaran atau pengayaan spritual, terutama bagi peminat karya seni sastra di samping sebagai bahan studi kemanusiaan dengan segala harapannya, “Menjilat Bulan”.

Terimakasih

Kampung Jambak, PdPj. 16 Maret 2008
Salam,

Prof. Dr. Mahdi Bahar
Guru Besar pada
Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Padangpanjang

Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 1



RINDU BULAN


tuhan
aku rindu ikan di kolam.
-Padangpanjang, 2007-



































Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 2



BERLABUH

setiap
teluk titip rindu. Anak
sampan telusuri laut
: kapan berlabuh
ah!

-Banda Aceh, 2007-

































Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 3



BULAN BENCANA

kampung-kampung
masih terkepung sepi. Gerimis
berkelahi di halaman. Kadang
meruncing menembus dada
menyaksikan bencana tak mau pergi.

kampung-kampung
masih terkepung luka. Gerimis
tempias ke wajah semesta. Tersekap
amnesia sejarah mengeram diingatan. Aku
hanya mampu mencatat keping duka-tercecer
senyap untuk di kenang
ah!

-Solo, 2007-

























Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 4




BULAN DUKA


samudera hindia mengirim
maut. Masih lekat di jiwa tentang Aceh
dilipat air raya-Yogya diluluhlantakkan
gempa-Sidoarjo berenang lumpur panas. Pesisir
selatan Jawa digulung tsunami. Aroma
kematian menyekap
pikiran.

samudera hindia mengirim
maut. Tuhan menegur
kita menunggu
giliran-siapkan
diri
ah!

-Solo, 2007-






















Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 5



NEGERI BULAN

seperti rentak tari di sunyi pagi
berkabut. Tanah Yogya bergetar
memendam pilu di dada pengembara. Aku
mencium mawar-durinya mengurung ruang
kepala. Menyaksikan Bantul-Sleman-Klaten tinggal
puing. Orang-orang berkelahi pikiran dikelap-kelip
waktu pada wajah penderitaan. Aku
hanya mampu melukis luka dilangit
ungu Yogyakarta bawa pulang ke kamar cinta
(biarkan sebentar semedi menyucikan kalbu).

-Yogyakarta, 2007-




























Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 6



NYERI BULAN

aku
gendong peradaban luka
dalam babakan sejarah merindui
peruntungan jiwa di sudut hening
: bergelut memungut wajah kita
terpasung ritus topeng.

aku
gendong peradaban duka
dalam sansai nyeri di sukma
: menghitung di timbun tanah
sementara kita saling memangsa
ah!

-Solo, 2007-

























Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 7



BULAN AIR MATA


aku
ziarahi negeri air mata. Terpenjara
keterasingan melawan kemerdekaan
jiwa. Ruang hening mengoyak derita
ribuan nyawa diceraiberaikan gempa. Aku
dirikan kemah pengungsi di hati.

aku
ziarahi negeri duka dengan cinta. Menikam
kecemasan-ketakutan. Sejarah ditangan raja
mengidungkan lagu puja-mengukir keabadian
mengobral gelisah; Aceh masih lekat dalam ingatan
Tuban seperti baru kemarin dilanda nestapa-kini
Yogya di beri peringatan dengan gempa. Ah!
apalagi yang tersisa-dirikan tugu di hati
agar tak menuhankan diri.

-Yogyakarta, 2007-





















Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 8


LUKA BULAN


entah
tangan siapa
menoreh luka menjilat bulan. Pucat
pasi di panah matahari terkulai jadi debu.

-Padangpanjang, 2008-


































Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 9



KEMATIAN BULAN


mengintip
bulan sunyi dipikiran
nyanyian kematian mengurung
ruang kepala. Aku hanya debu
mampir di kening.

-Padangpanjang, 2008-
































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 10



ZIKIR BULAN


terlambat
menghitung tasbih pada bibir
angkuh. Menyekap jejak tubuh
di zikir-pikir meluruh
(api meluluhkan isi kepala).

-Padangpanjang, 2008-
































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 11


MERAKIT BULAN

merakit
hati di padang senja. Suit
angin. Meneguk lara-semiris
ini dalam diri mengais angan pada riak.

merakit
luka menderu. Bulan
di atas teluk berlayar. Angin
menampar-nampar pelepah kalbu
ah!

-Padangpanjang, 2008-





























Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 12



JIWA BULAN: 181-4 LALU DEBU


181-4 lalu debu
mata nanar-rabun
hati sansai. Sembilu
aku baca tanda di pucuk daun
durinya tertancap di jiwa.

-Pincuran Tinggi, 2008-
































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 13



BULAN API

aku
mengenang catatan
luka dengan renyai mata. Di atas
tungku jiwa terjerang jadi arang
ah!

-Padangpanjang, 2008-

































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 14



PERADUAN BULAN


terkubur
ingatan jadi debu-arang
berguguran di perdu waktu
bersama debur ombak di dada
(aku bangun peraduan di hati)

-Padangpanjang, 2008-
































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 15



MAKAM BULAN

aku tanam bulan
di hati agar rindu terisi.

-Padangpanjang, 2008-




































Sulaiman Juned----------------------------------------------------------------menjilat bulan, 16



KERAJAAN BULAN


aku
berkaca pada air mata
rakyat melarat-sekarat.

-Banda Aceh, 2008-


































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 17


NYANYIAN BULAN


kabut
mengental. Bulan
diperkosa penyamun.

-Padangpanjang, 2008-



































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 18



KERAJAAN SUNYI


aku
berkaca pada gigil
pulang-pergi menjenguk negeri
bernama kematian
; penyamun memperkosa bulan.

aku
bercermin pada kabut
pergi-pulang ziarahi makam
seluas samudera menjenguk mukim
di gerus air raya
(aku tabur wangi mawar di hati)

-Banda Aceh, 2008-

























Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 19






KERAJAAN MATA


di koyak
sepi. Menghitung ombak
dimata-Mu-rindu menyusup
membelai pucuk rambut
(aku sunyi dalam keramaian)

-Jakarta, 2008-





























Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 20


KERAJAAN MAWAR


aku
ingin sebuah rumah berisi
mawar. Menyebar harum pada
setiap pendatang-bukan renyai
luka di senja hati
ah!

-Jakarta, 2008-
































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 21


KERAJAAN MALAM


siapa
luka. Memahat
rindu-dendam tersisa.

-Jakarta, 2008-



































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 22



KERAJAAN ANGIN


membaca
isyarat gerimis. Sepucuk
hati jatuh dalam kabut
terkubur di sunyi-senyap kegelapan.

membaca
isyarat angin. Polusi
berbaur kolusi menyebar sesak
ruang kepala hilang bentuk
(kita belum mampu memaknai petuah-Nya)

-Padangpanjang, 2008-



























Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 23



KERAJAAN MIMPI


memapah
kegelapan mata
air. Ada luka terkubur
di liang angan-memeluk ujung
malam tanpa bulan
(angin menjilat pucuk rambut merakit harap)

-Padangpanjang, 2008-































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 24



AH


rindu
terjaring di kulit daun.

-Padangpanjang, 2008-



































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 25



SEPI


lebih
mengerikan dari maut.

-Padangpanjang, 2008-



































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 26



LIDAH BULAN


angin
melukiskan malam
di hati pengembara. Laut
menjilat bulan di meja pemujaan
ah!

-Padangpanjang, 2008-
































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 27



MUSEUM BULAN


selangit
derit bujuk rayu
menyaru peradaban sejarah
bulan. Ruang bencana terkurung
ritual batu
ah!

-Padangpanjang, 2008-































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 28





LAGU BULAN


senja hampir selesai
begini jauh perjalanan. Aku
berangkat melukiskan hujan di halaman
berbaur sekerat rindu sepanjang rambut
meski harumnya tak sempat kunikmati.

senja hampir selesai
begitu jauh perjalanan. Aku
berangkat memahat keraguan di gugur
daun. Angin mengisi keranda dengan manyat
tanpa kafan-mengeja luka dalam kamar cinta.

senja hampir selesai
alangkah jauh perjalanan. Aku
habiskan malam di senyum-beku
waktu. Sekalung tasbih-secangkir
kesedihan berganyut di langit jiwa
sembunyikan getir
(sepi lebih mengerikan dari maut)

-Padangpanjang, 2008-
















Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 29



JIWA BULAN


tak ada waktu menggantungkan hidup pada
impian. Aku lawan segala getir-keluar dari
kubangan
duka
lara.

tak ada waktu menggantungkan hidup pada
impian. Aku naiki kenderaan siang melalui
matahari-malam lewat bulan menuju kasih sayang
ukir masa depan di jejak masa silam
terbang menuju tuhan dengan sayap
kerinduan.

-Padangpanjang, 2008-

























Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 30

BUNGA API


aku
mamah luka menyesak di jiwa
bunga api memercik kenikmatan jadi
debu. Tanggal kesedihan sambut senyum
airi kegelapan dalam penjara getir
(harum mawar semerbak jua di hati)

-Padangpanjang, 2008-

































Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 31



ALAMAT BULAN

aku
pahami mendung menggantung
atas kepala-rahasia jiwa. Sayatan
belati berhulu di dada-terima perihnya
alamat penentu arah-tuju.

aku
pahami gerimis tempias
wajah-penyejuk bukan getir
antar perjalanan ke batas tuju.

aku
pahami hujan membanjiri riol
di hati. Basuh debu melekat di pikiran
rubuh dalam asma-Mu
ah!

-Banda Aceh, 2008-






















Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 32



: 43 TAHUN DEBU BULAN AKU SAMBUT;
GETIR-PAHIT-SAKIT-SENANG-DERITA DENGAN
CINTA



ah!
ditepian
mana duduk menguliti hati.

-Padangpanjang, 2008-






























Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 33




MATA BULAN


menyaksikan
luka bersimaharaja di hati.

-Padangpanjang, 2008-


































Biodata Penyair…………………………………………………………..menjilat bulan


Sulaiman Juned, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy
Lahir di Gampong (desa) kecil Usi Dayah Kecamatan Mutiara Kab
Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 12 Mei 1965. Kini memiliki istri
dan seorang putra laki-laki. Menetap di Padangpanjang, menekuni
pekerjaan sebagai Seniman, dosen tetap jurusan seni teater di STSI Padangpanjang Sumatera Barat, Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan
Sastra Indonesia Daerah di Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat,
Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat, Guru
teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang Sumatera Barat, Guru Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sore Padangpanjang. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih belajar di SLTP. Karya puisi, cerpen, esai, drama, reportase budaya, artikel, kolom di muat di media seperti; Santunan, Serambi Indonesia, Kiprah, Aceh Post, Peristiwa, Kalam, Ceurana, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Aceh Ekspres, Aceh Kita, Rakyat Aceh (ACEH). Analisa, Dunia Wanita, Waspada (MEDAN). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Majalah Saga, Laga-laga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (SUMATERA BARAT). Riau Post (RIAU). Indefendent (JAMBI). Lampung Post (LAMPUNG). Kedaulatan Rakyat (YOGYAKARTA). Solo Pos dan Jawa Pos (JAWA TENGAH). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Bahasa dan Sastera (MALASYIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Antologi puisi tunggal berjudul ‘Riwayat’ mendapat Juara III dalam Lomba Penulisan buku pengayaan sastra tingkat nasional oleh Pusat Perbukuan Dinas Pendidikan Nasional (2007). Lelaki berkumis ini menyelesaikan studi S-1 di jurusan seni teater STSI Padangpanjang dengan yudisium Cumlaude, juga menyelesai Program Pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta dengan yudisium Cumlaude.
Puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama; Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta 1991), HU (Teater Kuala, Banda Aceh 1994), TTBBIJ (Medan, 1995), Ole-Ole (Cempala Karya Aceh, 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum UNSYIAH, 1995), Surat (Kuflet Padangpanjang, 1998), Dalam Beku Waktu (NGO HAM-Aceh, 2002), Takdir-Takdir Fansuri (kumpulan esai, DKB Aceh 2002), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB Jassin Jakarta, 2005), Syair Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Remuk (ASA-Japan, 2005), Riwayat (PUSBUK-DIKNAS, Jakarta 2007), 181-4 Lalu Debu (Kuflet Padangpanjang, 2007). Antologi Cerpen ‘Joglo’ (Solo, 2006), Tiga Drama Jambo (antologi naskah lakon, 2005). Sementara naskah lakon yang ditulisnya; Desah Nafas Mahasiswa (1989), Pulang (1990), Warisan (1991), Orang-orang Marjinal (1992), Ikrar Para Penganggur (1999), Jambo “Luka Tak Teraba” (1999), Jambo “Beranak Duri Dalam Daging’ (1999), Jambo “Bunga Api Bunga Hujan” (2000), Jambo “Ayam Jantan’ (2000), Hikayat Cantoi (2000), Orang-orang Rantai (2001), Polan (2002), Berkabung (2004), Asalku Benar dari Hulu (2004), Sebut Aku Polan (2005), Hikayat Pak Leman (2005). Sering mengikuti seminar sastra, teater dan jurnalistik; Pertemuan Sastrawan Kampus se- Indonesia di Universitas Diponegoro (1989), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Cendrawasih Irian Jaya (1991), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Indonesia Jakarta (1993), Temu Sastrawan Sumatera di Bengkulu (1992), Temu Sastrawan Sumatera di Nusantara di Langsa Aceh (1995), Pertemuan Sastrawan Nasional dan Nusantara IX di Kayutanam-Sumatera Barat (1997), Pertemuan Teater Indonesia di Pekan Baru (1997), Pertemuan dan latihan jurnalistik tingkat nasional di Jakarta (1990).
Ia juga sering terlibat dalam dunia musik, sebagai pemusik dan pembaca puisi dalam ‘Desain Struktur’ Komposer; Drs. Wisnu Mintargo, di Teater kecil STSI Surakarta (1998), ‘Signal Lima’ Komposer IDN. Supenida,S.Skar di Gedung Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang (2004), Skenografi dalam Orkestra ‘Simarantang Karya/Komposer Drs. Yoesbar jailani (Festival Kesenian Indonesia III, Surabaya 2004). Soel juga aktif dalam organisasi seni dan pers; sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Penulis Aceh (1995-2000), Ketua Bidang Pengkaderan Federasi Teater Banda Aceh (1995-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Pendiri/pimpinan Sanggar Seni Cempala Karya Banda Aceh (1989), Ketua UKM. Kesenian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1986-1988), Pendiri UKM-Teater Nol Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1989), Pendiri Teater Kosong Banda Aceh (1993), Pendiri Teater Alam Banda Aceh (1995), Pendiri/Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatera Barat (1997-Sekarang). Pemimpin Redaksi Bulettin Ceurana (1986-1989), Redaktur Budaya/Sekretaris Redaksi Warta Unsyiah (1987-1995), Redaktur Budaya SKM. Peristiwa (1989-1995), Redaktur Budaya Majalah Kiprah (1990-1997), Redaktur/editor jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2000), Redaktur/editor jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2000-2005), Ketua Ukm-Pers STSI Padangpanjang (1997-1999), Pemimpin Redaksi Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (19977-1999).
Soel sangat aktif dalam dunia teater, baik ketika masih di Aceh maupun ketika bermukim di Padangpanjang, ia sudah memainkan 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri, ia berperan jadi aktor menjadi tokoh yang tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penulis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya di komunitas Kuflet. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia; Aceh-Medan-Padang-Riau-Jambi-Palembang-Bengkulu-Lampung-Jakarta-Yogyakarta-Solo-Jawa Timur-Bali-Sulawesi-Kalimantan-Irian Jaya. Menjadi seniman memang sudah pilihan hidupnya, kalau mengenang Soel pasti menyebutnya si Penyair-Dramawan-Teaterawan dan Jurnalis. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 18 Januari 2008 pukul 16.00 Wib rumah kontrakannya terbakar di Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh dokumentasi pribadi; baik buku-kliping koran tentang proses kreatifnya menjadi seniman- CD pertunjukan teater beserta barang berharga lainnya ikut terbakar, tak ada yang selamat, namun Sulaiman Juned itu tetap kuat menjalaninya bersama istri dan anak serta seluruh keluarga besar Komunitas Seni Kuflet. ‘Semuanya yang saya miliki milik Allah, jadi kita harus siap dan redha kalau Allah mengambilnya kembali, diri kitapun sebenarnya kan milik-Nya jua’ tuturnya. (Wiko Antoni)

TEATER UNTUK DIGAULI: Berteater Itu Mudah tapi Tidak Gampang

Oleh: Sulaiman Juned *)

Pendahuluan

seniman teater
latihannya seumur hidup
tak ada pensiun buat seorang seniman
kecuali, mati.

Seni teater merupakan kesenian kolektif. Proses kreatif pekerja teater bermunculan melalui ide-ide yang diwujudkan menjadi kenyataan teater. Melakukan pementasan teater berangkat dari naskah lakon bukanlah pekerjaan yang sederhana. Hal ini disebabkan teater bukan pekerjaan individual melainkan membutuhkan kerja bersama. Teater sebagai seni kolektif didalamnya terdapat unsur-unsur seni seperti; seni sastra, peran, musik, tari dan seni rupa. Keseluruhan unsur tersebut menjadi kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan ketika menjadi kenyataan teater. Kenyataan teater harus mampu memberikan suasana dalam mengeksplorasikan segala emosi serta menghidupkan spektakel yang sekaligus sebagai gerak batin dari tokoh-tokohnya.
Teater modern sebuah karya kolektif kreatif. Segala jenis pertunjukan yang di tampilkan di depan penonton menjadi penuturan hidup dan kehidupan manusia. Karya adalah ciptaan yang menimbulkan rasa indah bagi yang melihat dan merasakan. Kolektif, bersama-sama atau secara gabungan. Kreatif, mengandung daya cipta; pekerjaan yang harus di dukung oleh kecerdasan. Begitulah teater sesungguhnya jika di pandang secara kolektifitas.
Sebuah kelompok teater, sudah barang tentu memiliki idiologi baik kekaryaan maupun secara kelompok. Di samping itu pekerja teater harus memiliki keyakinan untuk mengimani dirinya. Kesadaran ini harus di bangun secara terus menerus agar terjadi kebaruan bagi proses kreatif kerja teater. Berteater itu mudah untuk mengatakannya tetapi tidak gampang untuk melaksanakan. Ilmu-kemauan-ketrampilan sangat di butuhkan.

Produksi Teater Itu Untuk Di Tonton.
Teater membutuhkan kekompakan tim produksi dan tim artistik. Kemampuan ini menawarkan wilayah komunikasi teater yang di tonton penonton. Komunikasi teater bersifat empiris, meskipun cakupannya sampai wilayah gagasan, konsep, emosional dan prilaku. Pementasan teater akan berkualitas apabila memiliki kematangan identitas. Kematangan identitas akan tercapai tidak hanya lewat transformasi sastra ke atas pentas, atau kualitas artistik dalam mewujudkan realitas teater tetapi yang paling utama, peristiwa pergulatan produksi teater sebagai wahana dalam menghadirkan peristiwa teater.
Kerja teater didalamnya ada sutradara sebagai seniman inovasi, berkelahi pikiran dengan kelompok kerja artistik (pemeran, dan penata artistik). Juga dengan pimpinan produksi dan jajaran non-artistiknya. Kerja teater ini dilakukan secara bersama-sama, biasanya enam bulan bahkan sampai satu tahun. Kerja menafsirkan- pemilihan-penemuan-mempertahankan-menyusun hasil-memperbaiki kesalahan-penghalusan yang berujung ke pertunjukan.


Kerja teater menurut Arthur S. Nalan (1998: 5), lebih jelas dapat dilihat dalam skema:

Sutradara sebagai seniman inovasi sekaligus karyawan yang mengkoordinasikan unsur teater. Pencipta bentuk karya seni terhadap peradaban manusia memiliki kecerdasan dalam:
• Menafsirkan lakon menjadi pengalaman pentas.
• Merancang konsepsi penyutradaraan.
• Penanggung jawab keseluruhan realitas teater.
• Memiliki kemampuan mengatur orang banyak, berani membuat keputusan baik secara artistik maupun non-artistik.
• Mampu bekerja sama dengan seluruh pendukung artistik dan non-artistik.
• Memiliki pengalaman, jam terbang sebagai aktor, penata artistik, menguasai ilmu pendukung; arsitektur, sosiologi, psikologi, semiotika, senirupa, seni musik, sejarah, antropologi,serta persoalan manusia dan budaya lainnya.
Skenografi (art director), harus memiliki kemampuan:
• Menafsirkan lakon dan menerjemahkan konsep dasar sutradara.
• Merancang artistik; seting/properti, busana, rias, cahaya, gerak, dan musik. Sekaligus penanggung jawab artistik panggung.
• Memiliki kepekaan artistik dan mampu mengkoordinasi kerja dalam aspek pentas.
Sementara penata seting, rias, cahaya, musik, busana, dan gerak membantu skenografi dalam menata artistik untuk mewujudkan konsep dasar penyutradaraa menjadi trasformasi ke realitas pertunjukan.
Sedangkan aktor harus cerdas dalam:
• Menafsirkan lakon dan konsep dasar akting (Grand Stile, Realis, Karikaturis, Parodi, dll).
• Menganalisis/ menyajikan karakter tokoh serta menstransformasikan karakter tersebut lewat laku.
• Mampu menciptakan sudut pandang dramatik lakon sepanjang pertunjukan berlangsung, cakap menghadirkan penciptaan ruang teatral yang esensial.
• Memiliki nalar yang tinggi, memahami ilmu jiwa serta perangkat ilmu lainnya.
Sedangkan pekerja panggung di tuntut harus mampu membantu penata (seting,rias, busana, musik, gerak, dll), di saat pra-pertunjukan dan ketika pertunjukan sedang berlangsung. Memahami mekanisme kerja sebuah pertunjukan teater, serta memiliki pengalaman, disiplin, inisiatif, dan tanggung jawab.
Terakhir, seorang pimpinan produksi memiliki tanggung jawab berkenaan dengan produksi teater, publikasi, desain produk dan marketing. Harus tegas dan luwes, mengerti prinsip manajemen seni, memiliki hubungan luas dengan berbagai lembaga terkait, dan lain-lain. Selain tugasnya sebagai pimpinan tim produksi.
Kerja teater ini terasa mudah memang, namun tidak gampang jika tidak di kerjakan secara serius, telaten, dan disiplin. Inilah kerja ideal sebuah Komunilitas teater yang bermuara pada idiologi kekaryaan. Jadi kerja teater tidak dapat di raih dalam tempo sesingkat-singkatnya, tetapi harus ditekuni dalam rentang waktu berpuluh-puluh tahun agar menjadi mudah. Kerja teater butuh wawasan, kesabaran, ketekunan, kecerdasan, latihan terus-menerus dan tawakal. Ya begitulah teater.

Aktor: Tubuh Spektakel Hidup Di Atas Pentas
Mempelajari seni akting, tidaklah mungkin tanpa pembimbing yang mengetahui seluk-beluk seni berperan dan sekaligus terampil sebagai instruktur. Bila terpaksa dalam melakukan latihan ( bekerja ) sendiri, otomatis di paksa menghadapi resiko terhadap terbenturnya keinginan untuk memperoleh hasil yang maksimal. Prestasi seorang aktor tidak terlepas dari unsur-unsur kemanusiaan yang umum. Sejauh mana daya tarik atau kharisma yang bersangkutan bersifat pribadi dan tidak mungkin dibandingkan dengan angka-angka.
Modal utama seorang aktor adalah akting. hal ini dapat dicapai dengan kerja keras yang harus di lakukan secara kontinyu. Kemampuan atau bakat tidak mungkin di tingkatkan, namun dapat dikembangkan melalui proses latihan yang penuh kedisiplinan. Disiplin terhadap diri sendiri, kemudian terhadap perintah serta petunjuk instruktur. Disamping itu kepribadian merupakan dasar menuntun bakat dan disiplin. Seorang aktor dalam melakukan pemeranan harus terus belajar, berkarya, berdisiplin, bertanggung jawab, dan bereksplorasi. Maka sebagai seorang aktor harus melakukan formasi sebagai berikut dalam mengasah diri:

Aktor dan Tubuhnya
Seorang aktor benar-benar mempersiapkan diri baik mental maupun fisik. Mental harus disiapkan sehinga tidak mengalami keterkejutan ketika menjumpai sesuatu yang tidak ditemui dalam kehidupan sebelumnya (tidak pernah terpikirkan, ternyata latihan teater sangat berat). Bentrokan emosi kemauan yang mengamsalkan tubuh dan sukma sebagai tanah liat siap di olah dijadikan lebih padat atau lebih lentur. Fisik seorang aktor harus dipersiapkan kelengkapan peralatan pemeranan melalui latihan teknik dasar secara berkesinambungan.
Pembentukan aktor terdapat dalam dirinya ketika berproses membawa peran. Ke dalam raga, seorang aktor ada sukma, sukma terdapat unsur emosi-kemauan-semangat-pikiran dan fantasi. Dalam raga ada tubuh-gerak-pernafasan-kekuatan, maka latihan secara langsung terlaksananya tiga bentuk proses kreatif yaitu olah tubuh, vokal dan sukma secara bersamaan tanpa di sadari. Persiapan tubuh seorang aktor melalui latihan memerdekakan diri untuk ,mengapdi kepada akting. Hal yang harus diperhatikan; membuat/ menciptakan tubuh dalam keadaan pasif. Ini dilakukan pada tubuh atau sebelum tubuh memasuki tahap aktivitas. Tekanan diberikan pada gerak yang sifatnya menurun. Selanjutnya pada gerak menurun dan menaik. Berat atau ringan tergantung berapa banyak satuan berat jatuh pada titik pusat ini. Titik-titik puncak menaik dan menurunkan tubuh serta segalanya harus menyatu dalam bentuk yang utuh di dalam tubuh.
Gerak dan suara harus diperhitungkan. Gerak reflek dengan aksi dan suara sering terjadi bersamaan. Perubahan terjadi pada kondisi badaniah, sikap tubuh dapat menumbuhkan suara yang berlainan. Ritme pernafasan, detak jantung, gerak-gerak kecil selalu berhubungan dalam tubuh. Kekuatan membebaskan tubuh kemudian maengintegrasikan setiap bagian yang telah terbebaskan dan meleburkan diri ke dalam suatu fasilitas dengan mengalami berbagai ekstrinuitas yang membantu menyadari kondisi keseimbangan.

Aktor dan Vokal nya.
Suara andalan aktor sebagai kenderaan imajinasi, perangkat ekspresi manusia. Suara bertambah fungsi dan takarannya menjadi alat yang dibentuk dan dimainkan untuk mewujudkan sosok peran. Latihan pengucapan dan membaca naskah harus mendapat tempat yang khusus. Pembebasan suara, membebaskan munusia sebab tubuh dan pikiran yang dimiliki oleh setiap manusia, merupakan sumber vokal yang menerima rangsangan sensitif dari otak, bekerja menurut proses fisik dari otot tubuh menciptakan pengucapan. Suara akan terhambat dan rusak oleh ketegangan tubuh, gangguan emosional dan intelektual, gangguan peralatan suara serta spiritual yang membatasi keterbatasan bakat, imajinasi dan pengalaman. Suara andalan utama bagi aktor dalam pencapaian makna untuk melahirkan pengucapan yang sempurna, melalui:

• Pembebasan suara. Olah suara mengacu kepada kemampuan berbicara dengan emosi yang mendalam dan terpancar dari hati. Pembebasan suara terangkum dalam empat tahapan proses pembelajaran vokal.
• Proses pembebasan melatih tulang belakang sebagai pusat kekuatan tubuh dalam mengusung pernafasan.
• Proses pengembangan (tangga resonansi) melatih saluran resonator, ditambah latihan melepas suara dari tubuh. Melatih resonator hidung, jangkauan dan resonator tengkorak.
• Kepekaan dan tenaga, menggali kekuatan pernafasan, pusar dan artikulasi dalam berdialog melahirkan vokal.

Secara keseluruhan latihan pembebasan suara yang paling penting untuk diperhatikan peralatan suara dari bagian anggota tubuh pernafasan, pemanfaatan suara, pengucapan, artikulasi dan diksi.





Aktor dan Sukmanya
Kosentrasi merupakan kesanggupan yang memungkinkan mengerahkan kekuatan rohani dan pikiran ke arah suatu sasaran yang jelas. Dasar dari ajaran ini menguasai diri sendiri melalui proses mencari-cari, menciptakan peran keseharian, proses penciptaan konstruktif peran pada saat pertunjukan di panggung.
Sasaran konsentrasi aktor adalah sukma, baik terhadap sukma sendiri, orang sekitarnya, atau sukma manusia secara menyeluruh (masyarakat penonton). Hal ini secara langsung memerlukan kosentrasi terhadap emosi. Melatih kosentrasi melalui panca indra terhadap hal yang fiktif dan semu. Melatih keadaan emosi dalam sukma bernama manusia kita menemui unsur emosi, kemauan, semangat, pikiran dan fantasi.
Emosi. Laku mencerca, memfitnah atau membunuh merupakan laku yang mungkin tak teralami baik dalam pengalaman empirik seorang manusia. Namun sebagai aktor di atas pentas ketika sedang berlakon atau dalam latihan dialog, harus dilakukan dengan instens dan totalitas yang prima. Ada jarak antara sosok diri dengan takaran emosi yang harus diungkapkan. Ingatan emosi adalah perangkat seorang aktor untuk mengungkapkan hal-hal yang berada diluar dirinya. Caranya dengan imajinasi, pengandaian, serta mengembangkannya menjadi ingatan diri sendiri.
Perihal emosi ini merujuk Stanislavsky dengan formula “pengandaian yang ajaib”. Seorang aktor dapat meyakini kemungkinan kejadian-kejadian itu, mencoba menjawab pertanyaan, apa yang harus saya lakukan andai aku berada pada posisi King Lear? Pengandaian yang ajaib ini mentransformasikan sasaran tokoh ke dalam sasaran sang aktor. Ini merupakan tenaga pendorong melahirkan tindakan fisik untuk melakukan tindakan rohani. Kualitas pengalaman di atas pentas akan berubah, perubahan itu disebut refleksi pengalaman hidup yang puitis, waktu adalah filter sekaligus alat pemurni memori, emosional yang dialami. Lebih dari itu, bukan hanya memurnikan emosi tetapi dapat mempuitiskan berbagai macam memori. Aktor harus hidup dengan pengalaman yang sebenarnya, agar mampu menghidupkan pengalaman pentas dalam takaran emosi pengandaian. Bagaimana jika aku berperan jadi orang gila? Bagaimana pula jika aku berperan dalam kegilaan.


Aktor Mencari Ruang
Proses penguasaan teknik pemeranan dalam mencari ruang, aktor harus menjalankan tugas, mahir dan terampil. Hal itu menciptakan watak yang dimengerti dan diterima oleh penonton. Sekaligus mendorong sikap yang diperlihatkan dipanggung, maka untuk itu perlu adanya:
• Teknik muncul. Aktor mampu membawakan kemunculan peran. Setelah muncul langsung mendapat perhatian penonton. Menampilkan gambaran watak dan memaparkan hubungan dengan jalan cerita. Melakukan kerjasama sesama pemeran. Aktor mampu menginterpretasikan dan menyesuaikan diri dengan naskah didalam per-adegan serta konsepsi penyutradaran untuk menuju konsep artistik teater.
• Pemberian isi. Sebuah kalimat dalam dialog harus diberi isian pada pengucapan dengan dinamika, tekanan nada, tekanan tempo. Pegucapan kalimat menonjolkan emosi dan pikiran yang terkandung dari sebuah cerita. Naskah lakon odipus sang raja karya Sphokles yang maha dahsyat itu dialognya akan menjadi datar jika aktornya tak mampu memberi isian dalam dialog. Namun naskah lakon Jambo Inong Bale karya Wiko Antoni akan lebih hidup seandainya aktor mampu memberi isian dalam setiap dialog. Berdasarkan itulah teknik pengisian merupakan cara menyampaikan isi, perasaan dan pikiran dari sebuah kalimat dalam lakon.
• Membangun Klimaks. Klimaks puncak dari suatu pengembangan, ujung atau akhir pengembangan yang panjang terdiri dari pengembangan kecil. Seorang aktor harus mampu mengatur dan menahan pengembangannya sehingga tak terjadi penyamaan dengan klimaks. Penguasaan diri seorang aktor haruslah dicapai agar pencapaian klimaks benar-benar terjadi dalam bangunan yang utuh seperti struktur dramatik aristotelean; permulaan-komplik-klimaks-resolusi.
• Waktu atau tempo dramatik. Aktor atau pemeran harus memperhatikan timing (jeda), irama, tempo serta jarak langkah dalam konsep waktu yang merupakan bagian vital dalam karya teater. Timing merupakan hubungan waktu antara kalimat yang diucapkan dengan suatu gerakan. Keseluruhan rasa ini dikembangkan dengan teknik penonjolan lagu dan diksi. Sementara irama merupakan ukuran kecepatan individual dalam alunan peristiwa teater, sedangkan jarak langkah sangat menentukan irama dan tempo.

Penutup

Aktor Membawakan Peran: Jadilah Aktor
Aktor didukung staf produksi berusaha menghidupkan naskah lakon menjadi kenyataan teater yang disebut dengan performance art (Pertunjukan seni) di atas pentas. Latihan adalah proses dalam persiapan diri seorang aktor menuju naskah lakon. Sutradara, pemain, tim artistik dan produksi merupakan suatu proses kreatif yang terpadu. Proses kreatif seorang aktor berangkat dari sumber inspirasi sutradara yang dipelajari-dikuasai-dianalisis-ditafsirkan baik ide lakonnya, bentuk, suasana, klimaks, serta perwatakan yang terbaru dalam proses latihan. Setelah itu, sutradara memprosesnya dalam beberapa tahap; tahap mencari-cari, tahap memberi isi, tahap pengembangan, tahap penghalusan, tahap pemantapan. Selanjutnya barulah dapat dikatakan menjadi paket pertunjukan teater.
Pertunjukan teater yang telah mengaplikasikan kenyataan teater dalam proses kreatif membutuhkan pikiran, tenaga dan waktu. Kemudian baru dapat dipertunjukkan kepada masyarakat penonton. Seorang calon aktor yang sekian waktu berproses baru dapat disebut aktor ketika ia telah benar-benar mampu berakting dengan sempurna di atas pentas. Ternyata perjalanan menjadi seorang aktor sangatlah sulit, apalagi menjadi sutradara. Namun begitulah teater, berteater itu rasanya mudah dan bahkan sangat mudah tapi tidaklah gampang.

Rumah Kontrakan
Padangpanjang 3 April 2008
 Makalah ini disampaikan dalam DIKLAT teater se-Pekanbaru, 5-8 April 2008 di UKM. Teater Batra. Universitas Riau Pekanbaru.
 Pemakalah adalah Dosen di Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Sumatera Barat. Penyair dan sutradara serta pimpinan komunitas seni Kuflet padangpanjang Sumatera Barat.
DAFTAR PUSTAKA


Arthur s. Nalan. 1998. Mencipta Teater, Bandung: CV. Geger Sunten
Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor, Bandung: STB
Arifin, Max. 1980. Teater Sebuah Perkenalan Dasar, Flores: Nusa Indah
F. Awuy, Tommy. 1999. Teater Indonesia, Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta
Juned, Sulaiman. 2002. Penyutradaraan Drama Jambo Luka Tak Teraba, STSI Padangpanjang
Lubis, Z. Pengaduan. 1996. Sistem Stanislavsky; Latihan Profesional Seorang Aktor, Medan: CV. Alam Raya

HIKAYAT CANTOI

HIKAYAT CANTOI
(Berangkat dari Konsep Teater Tutur Aceh P.M.T.O.H)
Oleh: Sulaiman Juned *)

A. Pendahuluan
Teater sebagai seni yang kompleks mengeksplorasi intensitas seniman dalam bentuk emosi dan spektakel (setiap benda yang ada di atas panggung, termasuk aktor, seting, cahaya, proferti, rias dan busana). Menurut Herwanfakhrizal (1996/1997:10) spektakel adalah: “Ekspresi atau ungkapan sutradara/aktor yang ditangkap oleh penonton dalam wujud struktur dan tekstur serta konvensi sebuah teater dalam rentang waktu pemanggungannya, menjadi wujud kesatuan tontonan”. Oleh karena itu, sutradara dan aktor harus mampu merubah lakon verbal menjadi wujud permainan yang mempesona; dalam bentuk audio (pendengaran), visual (penglihatan), dan kenetsic (gerak). Teater dihidupkan oleh penampilan aktor, bersama para aktor ada sutradara yang membentuk corak dan watak penampilan tersebut.
Naskah lakon merupakan bahan dasar sebuah pementasan dan belum sempurna bentuknya apabila belum dipentaskan. Naskah lakon disebut juga sebagai ungkapan pernyataan penulis (playwright) yang berisi nilai-nilai pengalaman umum, juga merupakan ide dasar bagi aktor. Proses pengembangan laku bersumber dari hasil studi dan analisis isi. Hal ini dapat membangkitkan daya kreatif dalam menghayati laku secara pas, melaksanakan peran dengan takaran seimbang dalam asas keutuhan, keseimbangan serta keselarasan. Sementara pertunjukan teater tutur Aceh P.M.T.O.H (mengambil salah satu nama bus yang berada di Aceh) karena Teungku Adnan sering menaiki bus P.M.T.O.H untuk bepergian keliling Aceh sebagai penjual obat keliling. Teungku Adnan sangat senang dengan klakson bus tersebut, maka dalam setiap mengawali pertunjukan teaternya Teungku Adnan selalu memulainya dengan suara klakson. Teater ini akhirnya diberi nama P.M.T.O.H atau juga sering di sebut Dangderia , Poh tem atau Peugah haba yang berarti ‘berbicara’ atau ‘orang yang pekerjaannya bercerita’ naskah lakon yang dimainkan berbentuk hikayat (karya sastra Aceh berbentuk puisi).
Rahman Sabur (2003:11) mengungkapkan, “Monolog adalah suatu jenis bentuk seni pertunjukan drama modern yang berasal dari bahasa Yunani. Artinya suatu pembicaraan atau suatu persoalan yang dipergelarkan oleh seorang aktor atau sebuah lakon yang berbicara mengenai masalah pribadi seorang tokoh saja”. Berangkat dari uraian tersebut, latar belakang tokoh, dan cerita monolog sangat penting bagi setiap pergelaran drama tunggal, karena pada umumnya plot drama senantiasa dipaparkan dengan teknis kilas balik. Apa yang tersaji di awal cerita, pada dasarnya akibat akhir dari apa yang dibicarakan tokoh tersebut untuk selanjutnya, sama halnya yang dilakukan dalam pertunjukan teater tutur Aceh.
Teater tutur Poh Tem, Peugah Haba atau Dangderia yang dipopulerkan Teungku Adnan dengan sebutan P.M.T.O.H dimainkan satu orang dalam bentuk monolog. Namun bila dibandingkan dengan monolog dalam teater modern Indonesia, terlihat beberapa perbedaan. Monolog yang lazim dilakukan teater modern lebih banyak bersifat penuturan dengan melakukan movement (gerak), sedangkan pada teater tutur P.M.T.O.H lebih kaya dengan ekspresi, karakter tokoh, dan karakter bahasa dialog yang berubah-ubah. Begitu juga dengan penggunaan alat/properti serta pergantian busana dalam setiap adegan, musik vokal, tubuh, rapa’i dan bantal dimainkan langsung oleh pemeran. Pemeran bermain dengan tekhnik duduk dan tidak melakukan movement (gerak) atau blocking (perpindahan) dari satu tempat ke tempat yang lain. “Teater tutur yang di beri nama P.M.T.O.H ini dikembangkan oleh Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik Rapa’i Aceh, pedang, suling (flute), bansi (block flute), serta mempergunakan properti mainan anak-anak dan berbagai macam busana. Properti dan alat musik memperkaya penampilan dan sekaligus menjadi kekuatan dalam merubah kejadian-kejadian yang ia perankan” (Sulaiman Juned, 1999:1-3).
Drama monolog, Teungku Adnan bermain sendiri tetapi mampu memunculkan beribu-ribu tokoh (seolah-olah banyak sekali pemeran yang sedang berperan) , hal ini dilakukan lewat kemampuan suara (vokal), dan perubahan busana tergantung peran yang diperankan dalam hikayat (cerita). Hal inilah yang membuat penulis memilih kesenian ini untuk digarap menjadi karya ujian akhir melalui perkawinan teater tutur Aceh dan teater modern Indonesia. Teater tutur ini mempunyai kemungkinan untuk digarap agar keberadaan aktor dalam pertunjukan monolog dapat bersifat menyeluruh sebagai pusat permainan. Monolog memungkinkan aktor hadir sebagai manusia yang absolut. Melalui monolog aktor dapat menyusun sejarah teater yang lebih memperhitungkan pencapaian keaktoran baik dalam gagasan teater maupun pencapaian teknik permainan.

B. Konsep Kekaryaan
“Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan sebagai aslinya yaitu ‘kisah’ (cerita). Bukan saja dongeng duniawi, keagamaan, pelajaran tentang adat, bahkan buku cerita yang ditulis dalam bentuk sajak (puisi) di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena dapat menjadi seni pertunjukan” (Budiman Sulaiman, 1988:10). Hikayat selalu saja terdapat tanda-tanda formil berupa rumus yang memuji Allah serta Rasul-Nya. Jadi teater tutur P.M.T.O.H lakonnya selalu saja berangkat dari hikayat, seperti Hikayat Malem Dewa, Malem Dagang, Putroe Ijo, Raja Si Ujud, Prang Sabi, Sanggamara, Nalham Sipheuet Dua Ploh, Gumbak Meueh, Indra Budiman dan lain-lain.
Teater tutur P.M.T.O.H menjadi kebanggaan masyarakat Aceh memiliki konsep permainan yang unik sesuai dengan spirit dan nuansa teaterikal yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakatnya. Teater tutur ini dimainkan oleh satu orang dalam bentuk monolog. Menurut A.Anjib Hamzah monolog adalah ‘Pertunjukan drama yang dilakukan oleh seorang pemain; dialog yang diucapkan pada diri sendiri” (1984:411). Jadi monolog dikenal sebagai bentuk permainan seorang diri. Seorang aktor harus mampu bermain sendiri dan memberi bentuk pertunjukan sendiri. Monolog juga biasanya memakai syair dan dialog-dialog yang panjang.
Menurut Teungku Adnan P.M.T.O.H ”Jauh sebelum teater tutur Poh Tem berkembang, di Aceh Selatan terkenal seorang penyair Dangderia bernama Muhammad Lapei. Mat Lapei menyampaikan hikayat hanya mengutamakan ekspresi wajah, sambil berdiri di atas podium dengan menggunakan pedang pelepah kelapa dan bantal. Sekitar tahun 1956 saya menirukan ekspresi dari Mat Lapei yang adalah guru Tengku Adnan dalam mempelajari hikayat, lalu mengembangkan teater tutur ini dengan memakai kostum yang sesuai dengan tokoh yang ada dalam hikayat, serta menggunakan peralatan seperti senapan mainan, boneka, pistol-pistolan, wig, topeng dan lain-lain” (Wawancara dengan Teungku Adnan, 14 Desember 2003, di Trienggadeng Pidie, Aceh).
Berangkat dari pemikiran di atas, merangsang proses kreatif terhadap persoalan sosial melalui konsepsi keilmuan berkeinginan menggarap teater monolog yang berbasis dari teater tutur Aceh P.M.T.O.H. Penulis dalam hal ini tidak berangkat dari naskah hikayat namun menuliskan naskah monolog yang berjudul “Hikayat Cantoi” dipentaskan dalam bahasa Indonesia. Serta mengawinkan konvensi (Aturan/Hukum) teater modern terutama pada movement (pergerakan), dan blocking (perpindahan) pemeran di atas pentas, seting (dekorasi), proferti, rias, dan busana. Juga memakai kekayaan tubuh sebagai musik (musik perkusi tubuh), seperti; tepuk dada, paha, perut, dan ketip jari (seudati), tepuk tangan (didong), rabana adok, serta gerak tari guel. Seudati merupakan suatu bentuk teater tradisional Aceh yang struktur dasarnya ada gerak, syair dan dimainkan seluruhnya oleh laki-laki. Guel sebenarnya sendratari yang ditarikan oleh beberapa penari wanita dan seorang penari laki-laki dengan gerak patah-patah. Tari ini untuk membangunkan gajah jelmaan dari seorang anak raja yang sudah meninggal, dan dipercayakan oleh masyarakat Aceh, gajah jelmaan tersebut menjadi gajah putih tunggangan Sultan Iskandar Muda. Didong teater tradisional Aceh yang kekuatannya terdapat pada syair (cerita yang berbentuk puisi), tepuk tangan dan goyangan badannya dengan pola duduk melingkar.
Karya ini menghadirkan tokoh yang kompleksitas sejarah dan psikologis. Cantoi seorang lelaki Aceh yang bekerja sebagai guru dipaksakan oleh situasi untuk menjadi ‘pak turut’ agar jiwanya selamat. Lelaki yang berusia 35 tahun, memiliki seorang istri dan tiga orang anak. Seluruh anak dan istrinya ditemukan tewas di tengah sawah miliknya, mereka di tuduh terlibat dalam Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Hal ini membuat Cantoi sangat terpukul, jadi untuk dapat hidup tenang haruslah menjadi manusia yang ‘pintar-pintar bodoh’. Penulis memilih tokoh imajiner ini, karena di Aceh sebutan bagi orang yang sesungguhnya ia pintar tetapi kelihatannya bodoh dipanggil dengan nama Cantoi. Antara tahun 1996-2003, masyarakat Aceh telah mengalami pergeseran atau perubahan budaya. Hal ini terjadi karena interaksi sosial dari hasil kekejaman militer melalui tekanan-tekanan yang dialami setiap waktu, perubahan karena tindak sosial memnyebabkan lahirnya ideologi dan terjadinya restrukturisasi terhadap tingkah laku masyarakat.
Interaksi tersebut membuat prilaku masyarakat Aceh saat ini, terwujud dari keharusan normatif yang terlahir dari kesantunan, rasa persaudaraan, pemurah, peramah, dan setia terhadap siapapun. Namun interaksi yang terjadi lewat tindakan sosial dengan kekerasan yang dilakukan militer terhadap masyarakat melahirkan perlawanan tak henti dari pihak pemberontak. Sementara rakyat tercekam dalam tekanan dan ketakutan karena setiap detik menyaksikan pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, pembakaran serta kontak senjata antara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Hal ini melahirkan kondisi psikologis seperti yang dialami tokoh Cantoi, sehingga suatu ketika dia melihat dirinyalah yang mati dilapangan sepak bola itu. Kondisi yang diciptakan setiap yang mati pasti di tuduh sebagai GAM, bersaudara dengan mereka juga harus mati.
Kondisi sosial seperti yang diuraikan di atas menjadi latar belakang lahirnya karya “Hikayat Cantoi” yang berangkat dari realita sosial menjadi media didaktis bagi kehidupan bermasyarakat di Aceh. Jadi karya ini, tidak hanya sebagai media hiburan semata. Selain itu juga dapat menjadi alternatif dalam memahami teater monolog sebagai kajian keilmuan dalam idiom teater. Atas dasar itu, lahir realita teater monolog berjudul ‘Hikayat Cantoi’ di atas pentas dengan konsep kekaryaan:

1. Gagasan
Teater yang berangkat dari akar tradisi merupakan pilihan penulis semenjak awal berkenalan dengan dunia teater, sekaligus menjadi sumber penciptaan ‘Hikayat Cantoi’. Penulis sangat tertarik dengan gerak dasar seudati , apabila gerak tersebut dapat diterima menjadi blocking (perpindahan) dalam konsepsi pertunjukan teater, maka akan terjadi kebaruan di dunia teater modern Indonesia. Begitu juga kekuatan sastra Aceh baik lewat didong maupun hikayat dapat menjadi konvensi (aturan/hukum) bagi masa depan teater Indonesia.
Berdasarkan itu, penulis mengawinkan konsepsi teater tradisi dengan teater modern untuk memuliakannya. Kondisi di Aceh pada masa konflik sebagai dasar penciptaan teks ke konteks dan menjadi kontekstual. Cantoi saksi sejarah atas peristiwa yang menimpa Aceh. Betapa banyak anak-anak menjadi yatim, perempuan-perempuan menjadi janda, kampung-kampung di bakar. Peristiwa seperti ini sesungguhnya yang menderita adalah rakyat. Cantoi wakil dari rakyat Aceh, terpaksa pintar-pintar bodoh untuk menyuarakan ketertekanan batin yang mengapung di jiwa agar jadi catatan sejarah untuk pembelajaran bagi masa depan. Namun sudah merupakan sikap dan sifat manusia jika rasa takut memuncak maka muncullah keberanian. Cantoi pun melawan.
Teater monolog ‘Hikayat Cantoi’ tidak bersumber dari teater tutur Aceh yang berusaha memvisualisasikan Hikayat (kisah/cerita) sebagai naskah lakon yang dialognya dalam bahasa Aceh menjadi kenyataan teater. Penulis membuat naskah lakon monolog berjudul “Hikayat Cantoi” dalam bahasa Indonesia sebagai bahasa pentas untuk mewujudkan realitas teater. Hal ini ini dilakukan karena pertunjukannya di Padangpanjang Sumatera Barat dan bukan dalam komunitas masyarakat Aceh. Konsepsi teater tutur P.M.T.O.H dikawinkan dengan konvensi teater modern pada konsepsi blocking (perpindahan pemain) aktor, dan movement (gerak), yang dalam teater tutur P.M.T.O.H tidak dilakukan. Begitu juga dengan musik, penulis memakai musik perkusi tubuh; tepuk dada, perut, paha, dan tepuk tangan serta ketip jari (seudati/didong/guel. Kesenian tradisi Aceh) serta menambah instrumen musik rabana (adok), musik tekno untuk mengisi efek senjata dan derap sepatu. Pemusik sekaligus berfungsi menjadi kopr/korus (menjadi rakyat, maling sekaligus pendekar). Hal ini diperkuat oleh Margaret J. Kartomi (2005) “Musik perkusi badan yang ada di Aceh itu sangat luar biasa dan mungkin yang paling maju di dunia, yaitu menimbulkan bunyi musik dengan gesekan tubuh tanpa instrumen”
Seting yang digunakan adalah Jambo (pos keamanan). Sementara di kiri depan dan kanan depan pentas serta di belakang Jambo terdapat kain putih yang berfungsi sebagai layar, merupakan tempat duduk para pemusik. Di awal cerita terdengar lagu Atjheh Tanoeh Loen Sayang dan gerakan tari guel ditarikan pemusik sambil melakukan pergerakan dari siluet kiri dan kanan depan pentas menuju ke siluet belakang pentas. Dilanjutkan dengan nyanyian lagu sebuku (siluet digunakan untuk pencapaian konsepsi artistik sebagai penanda, setiap peristiwa yang terjadi di siluet sesungguhnya pergulatan pikiran dari tokoh Cantoi). Sementara lagu Maju Tak Gentar untuk penanda munculnya para pendekar. Diakhir cerita (penutup) kembali dinyanyiakan Hikayat Prang Sabi dan Atjeh Tanoeh Loen Sayang.

2. Bentuk Karya
Melakukan pementasan teater yang berangkat dari naskah lakon walaupun monolog, bukanlah pekerjaan sederhana. Hal ini disebabkan seni teater bukanlah seni individual melainkan membutuhkan kerja bersama-sama. Teater merupakan seni yang Kolektif (bersama) karena terdapat unsur-unsur seni lainnya seperti; sastra, musik (suara), tari (gerak), seni rupa (cahaya, seting, properti, rias, dan busana). Keseluruhan unsur menjadi kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan ketika menjadi kenyataan teater (pementasan). Berangkat dari gerak seudati dan guel dalam pengaturan blocking yang dikawinkan dengan konvensi teater tutur P.M.T.O.H dan teater modern Indonesia seperti yang telah penulis jelaskan di atas.
Teater adalah kesenian yang berhubungan dengan banyak orang dalam mewujudkan ide menjadi kenyataan teater. Karakteristik ini membuat kerja teater atas dasar keserasian konsep dan ide artistik dengan tim pendukungnya.

3. Media
Konsep garapan yang tertuang dari ide dasar naskah monolog ‘Hikayat Cantoi’ maka terwujudlah akting (laku). Karya ini menampilkan unsur-unsur kebaruan, seperti;
1. Cerita, tidak berangkat dari hikayat (kisah/cerita) seperti hikayat Malem Dewa dan Malem Budiman. Namun penulis menuliskan naskah drama monolog berjudul ‘Hikayat Cantoi’.kisah dalam cerita ini, menuangkan peristiwa yang terjadi di Aceh dalam masa konfliks antara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM) di Aceh. Karya ini bertemakan ‘Kekuasaan sangat akrab dengan kejahatan’
2. Bahasa dalam karya ini berfungsi sebagai alat ungkap termasuk gerak tubuh merupakan bahasa yang disimbolkan dalam menyampaikan peristiwa. Bahasa yang digunakan dalam pertunjukan adalah bahasa Indonesia, sementara untuk membangun suasana tertentu dipakai bahasa Aceh, seperti dalam memulai dan mengakhiri pertunjukan dengan memakai nyanyian Hikayat Prang Sabi (kisah/cerita perang suci) dan lagu Atjeh Tanoeh Loen Sayang serta lagu sebuku (ratapan).
3. Musik dan instrumen yang digunakan dalam karya ini cukup sederhana dengan memakai musik perkusi tubuh serta memakai instrumen rabana (adok), untuk menjelajah kemungkinan bunyi yang ditimbulkan, dan memunculkan suasana-suasana, serta pemusik sekaligus menjadi koor/ korus yang terkadang menjadi tokoh maling, rakyat dan pedekar.
4. Pertunjukan ‘Hikayat Cantoi’ menggunakan seting Jambo (pos keamanan). Di sisi kiri depan dan kanan depan pentas serta di belakang Jambo, terdapat kain putih yang berfungsi sebagai siluet, sekaligus tempat duduk para pemusik. Setiap peristiwa yang terjadi di siluet merupakan pergulatan batin dan pikiran dari tokoh Cantoi.
5. Penataan cahaya dalam pertunjukan ‘Hikayat Cantoi’ sebagai lakon tragedi komedi yang penulis garap dengan gaya realisme sugestif (menghadirkan akting, blocking, dekorasi, properti minimalis namun banyak kegunaannya, seperti senjata dapat menjadi pesawat dan cangkul). Seluruh adegan dalam monolog ini terjadi pada malam hari, karena Aceh pada masa konfliks oleh penguasa (militer) diberlakukan jam malam, setiap laki-laki yang ada di kampung-kampung wajib ronda malam agar para pemberontak tidak mudah keluar masuk kampung di waktu malam hari. Warna lampu menentukan suasana yang mendukung tangga dramatik, adalah; biru tua, biru muda, biru, merah, merah hati, merah muda, hijau muda, hijau, kuning, ungu dan merah jambu serta lampu blizt (untuk mendukung suasana peperangan). Melalui cahaya penulis ingin memberikan pengaruh psikologis serta menggambarkan suasana pentas dalam lakon. Selain itu juga dapat menjadi petunjuk waktu.

C. Proses Kekaryaan

1. Observasi
Proses penyusunan penciptaan karya ini, penulis lakukan melalui membaca buku, observasi terhadap teknik pemeranan dan pertunjukan teater tutur Aceh P.M.T.O.H serta melalukan observasi terhadap kondisi masyarakat Aceh yang hidup dilingkungan konfliks anatara militer Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Penulis melakukan observasi selama tiga tahun, sejak tahun 1996 sampai dengan 1999 di Kecamatan Tiro Truseb Kabupaten Pidie. Penulis menemukan kejadian-kejadian aneh, di sebuah kampung sering terjadi pembunuhan dan mayat-mayat bergelimpangan di sawah, ladang, dalam rimba bahkan di tengah pasarpun mayat-mayat berserakan. Anehnya lagi, setiap ada yang mati masyarakat di sekitar itu sangat ketakutan dan tidak ada seorang pun yang berani mengaku mayat itu kerabatnya, tidak pula pernah diketahui siapa pembunuhnya. Di daerah Tiro ada kampung yang hanya di huni oleh anak-anak dan perempuan janda, sebab laki-laki sudah banyak yang terbunuh. Penulis juga menemukan orang-orang yang terkena tekanan jiwa, suka bicara sendiri dan selalu ketakutan apabila ada rombongan truk militer melintas dikampungnya. Awalnya penulis lakukan observasi ini untuk menulis cerpen yang berjudul Cantoi, di muat di Surat Kabar Mimbar Minang pada tanggal 15 April 2000. Naskah cerpen tersebut, penulis tuangkan menjadi naskah lakon monolog ‘Hikayat Cantoi’. Keadaan ini, membuat penulis tertarik untuk mengangkat realita sosial menjadi realita teater dan ditransformasikan ke atas pentas agar jadi sejarah dan pembelajaran berharga bagi masyarakat Aceh khususnya dan Indonesia umumnya.
Karya ini secara terus menerus penulis melakukan latihan untuk mencari alternatif-alternatif yang memungkinkan lahirnya idiom-idiom baru. Sekaligus melatih kepekaan keaktoran dan penyutradaraan dalam mentransformasikan peristiwa teater. Berangkat dari pemikiran di atas, maka terciptalah konsepsi pertunjukan teater ‘Hikayat Cantoi’ yang terangkum dalam realitas sosial menjadi realitas teater yang berakar pada tradisi.

2. Proses Penciptaan Karya
Proses latihan aktor dalam suatu produksi, harus sampai pada bentuk peran yang dicarinya melalui usaha menguasai unsur-unsur seni peran. Atas dasar itu, memilih pemain sangat menentukan tingkat keberhasilan pertunjukan. Penulis dalam memilih aktor mengutamakan kecerdasan, kecocokan fisik dan memiliki kejiwaan yang mirip dengan karakteristik tokoh Cantoi agar mampu menerjemakan laku di atas pentas. Penulis memanggil lima orang aktor yang berkenan di casting (pemilihan) menjadi calon tokoh Cantoi, tiga orang berasal dari Riau, satu orang dari Minangkabau dan satu orang lagi berasal dari Aceh. Selanjutnya melakukan pemilihan dengan cara membaca naskah selama satu bulan. Membaca naskah memakai dialek Aceh. Sementara itu, dialek orang Aceh ketika berbicara dalam bahasa Indonesia sangat sulit ditirukan oleh etnis di luar Aceh, maka penulis memutuskan untuk memilih Azhadi Akbar, mahasiswa jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang yang berasal dari Aceh untuk memerankan tokoh Cantoi.
Begitu juga dalam menentukan karakter tokoh, gaya yang dikembangkan secara bersama-sama dalam proses latihan. Irama yang tepat atau ukuran kecepatan laku dalam pribadi aktor. Hal ini untuk mengukur sejauhmana aktor mampu melakukan pengembangan peran dari proses latihan menuju pertunjukan. Mengenai proses latihan, penulis sebagai sutradara mencoba memakai dua metode, yaitu latihan di alam bebas dan auditorium. Pelaksanaan latihan alam bebas yang penulis lakukan untuk eksplorasi karakter tokoh. Proses latihan membaca naskah, blocking kasar, penyesuian blocking, latihan mempergunakan properti, seting/dekorasi, busana, cahaya, geladi bersih sampai ke pertunjukan mempergunakan gedung teater arena Mursal Esten STSI Padangpanjang.
Prekwensi latihan bersama aktor, dan tim artistik “Hikayat Cantoi” 3 (tiga) kali dalam seminggu dengan jumlah pertemuan 77 (tujuh puluh tujuh) kali pertemuan, di tambah 1 (satu) kali geladi bersih, serta 1 (satu) kali pertunjukan. Keseluruhan berjumlah 79 (tujuh puluh sembilan) kali pertemuan.
2.1 Sinopsis ‘Hikayat Cantoi’
Aku ingin tetap menjadi Cantoi. Cantoi tubuhku-pikiranku, maka Cantoilah namaku, tak lebih tak kurang. Namun bila mencari duri dalam tumpukan jerami kenapa ladang yang harus di bakar, cantoi tetap tidak sepakat. Sekali Cantoi tetap Cantoi.
2.2 Penataan Pentas
Teater sebagai seni yang kompleks harus mampu membahasakan setiap benda yang berada di atas panggung, seperti seting/dekorasi, properti, rias, cahaya, busana, gerak dan musik. Pentas merupakan spektakel hidup dan aktor harus menghidupkan pentas agar penonton dapat menikmatinya dengan sempurna.
2.3 Seting/Properti
Pertunjukan ‘Hikayat Cantoi’ seting (dekorasi) menggunakan Jambo (pos keamanan). Di sisi kiri dan kanan depan pentas, serta belakang Jambo, terdapat kain putih yang berfungsi sebagai siluet dan sekaligus tempat duduk para pemusik, serta memakai tanah di atas panggung agar tercapai suasana perkampungan, sedangkan properti memakai bingkai (penanda jendela), dan senjata yang dapat berfungsi menjadi pesawat dan cangkul.
2.4 Cahaya
Penata cahaya untuk memperjelas ruang dan waktu yang terjadi pada malam hari. Warna lampu untuk mendukung tangga dramatik adalah, biru tua, biru muda, biru, merah hati, merah muda, merah jambu, merah, hijau, ungu. Cahaya berpengaruh pada psikologis, serta dapat menggambarkan suasana pentas selain sebagai penunjuk waktu.
2.5 Rias
Tata rias dalam pertunjukan ‘Hikayat Cantoi’ memakai rias karakter (rias effek) khusus untuk tokoh Cantoi, sedangkan untuk pemusik yang berperan sebagai koor/korus hanya mempergunakan rias gagah dan rias cantak.
2.6 Busana
Busana yang di pakai untuk pertunjukan ‘Hikayat Cantoi’ memakai tipe busana tradisional Aceh. Tokoh Cantoi memakai tengkulok, kupiah hitam, baju putih, celana hitam, dan kain sarung, sedangkan pemusik memakai baju dan celana hitam.
2.7 Gerak
Seudati dan guel memiliki gerak magis yang menawan apabila dapat digabung dengan kenetsic (gerak) yang ada dalam konsepsi teater modern, maka akan tercipta kebaruan terhadap blocking bagi masa depan teater Indonesia. Penggabungan ini yang penulis lakukan dalam Cantoi.
2.9 Musik
Pemusik berada di atas pentas menjadi koor/korus yang sekaligus berperan sebagai aktor. Musik perkusi tubuh, seperti; ketip jari, tepuk tangan, tepuk dada, lagu Hikayat Prang Sabi, Atjeh Tanoeh Loen Sayang, Sebuku, didong, dan rabana (adok). Musik tekno hanya untuk mendukung suasana.
Pertunjukan teater ‘Hikayat Cantoi’ berdurasi 61 menit dan disajikan dalam satu bagian (satu babak) tanpa henti. Bertempat di Gedung Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.


3. Hambatan dan Solusi
Proses kreatif latihan teater Hikayat Cantoi lebih kurang dalam kurun waktu 79 (tujuh puluh sembilan) kali pertemuan, memang ada bebarapa hambatan, proses latihan tidak dapat dilaksanakan secara rutin di ruang teater arena karena gedung tersebut juga di pakai untuk ujian dan proses latihan mahasiswa jurusan teater STSI Padangpanjang. Hal ini yang membuat proses latihan Hikayat Cantoi agak terganggu.
Berdasarkan kendala tersebut, penulis sebagai sutradara mencari solusi dengan memilih latihan di alam terbuka. Latihan di ruang terbuka sekaligus dapat melatih kekuatan vokal dan kejelasan artikulasi para aktor/pemeran.

D. Deskripsi Karya
Bentuk drama monolog mulai di kenal pada drama-drama Yunani dan Romawi dalam bentuk soliloqui (bentuk monolog yang berdiri sendiri dalam sebuah naskah). Soliloqui merupakan bagian dari adegan naskah yang sedang dimainkan. Kebiasaannya, monolog menggunakan syair dan dialog yang panjang. Pelaku merupakan suatu karakter pembicara untuk memperjelas dan menetapkan nama yang sesungguhnya, maka si pelaku seolah-olah ada dua orang, tiga orang atau lebih. Dimana dalam pertunjukannya yang seorang diam, dan seorang lagi berbicara. Atas dasar itu, deskripsi sajian pertunjukan monolog ‘Hikayat Cantoi’ sebagai berikut;
1. Dimulai dengan lampu padam. Lalu hidup lampu warna merah di Jambo. (pos keamanan), tokoh cantoi tertidur lelap. Kemudian terdengar musik sound effeek; suara alam, angin, suara tembakan dari senjata, dan suara air gemericik. Diikuti oleh musik perkusi tubuh, ketip jari, tepuk dada, paha, tangan serta musik rebana (adok), sound effeek mempergunakan musik tekno, terdengar Alunan Hikayat Prang Sabi (perang suci) Karya Teungku Syik Pante Kulu yang dinyanyikan:
Subhanallah Wahdahu Wabihamdihi
Khalikul bahri Walaili Azza Wajalla
Uloen pujoe pho sidroe pho syukur keu Rabbi ya Aini
Ke kamoe neubri beusuci Atjeh mulia.



Tajak prang musoh beureuetoh dum sitree Nabi
Nyang meungki keu Rabbi keu pho nyang Esa
Meusoe han teuem prang chit malang cilaka tuboh rugoe roeh
Syuruga than roeh rugoe roeh balah neuraka.

Ureueng binoe lah binoe geumoe meukiyam
Aneuk jak lam prang peutimang amanah Nabi
Meubek tatakoet taseuroet aneuk senapan bangsawan
Aneuk meuriyam ya Allah ata si Pa’i


Darah nyang hanyi lah hanyi gadoeh di badan
Geuboh lee Tuhan ya Allah ngoen minyeuek kasturi
Dikamoe Atjeh ya Allah darah pejuang-pejuang
Neubri beumanyang ya Allah Atjeh mulia.

Artinya :
Subhanallah Wahdahu Wabihamdihi
Khalikul bahri Walaili Azza`Wajalla
Segala puji bagi Allah yang Maha Esa
Berikan kepada kami Atjeh Mulia.

Mari kita berperang melawan musuh Nabi
Yang melanggar perintah Tuhan Yang Esa
Barang siapa tak mau berperang di jalan Allah malang untungnya
Orang itu tidak masuk surga tapi malah diberi azab neraka.

Kaum perempuan menangis tersedu-sedu
Anaknya berangkat dalam perang menjalankan amanah Nabi
Jangan takut apalagi mundur melihat senjata meriam, bangsawan
Walau bagaimanapun hebatnya senjata kafir tidak pernah ditakuti.

Bau amis darah akan hilang di badan
Kelak diganti dengan wangi kasturi oleh Tuhan dalam surga
Kami bangsa Aceh memang darah pejuang
Allah yang meninggikan bangsa Aceh dengan kemuliaan.

2. Lampu warna merah di atas jambo (pos keamanan) hidup remang. Tokoh cantoi tebangun dari mimpi ketika terdengar`derap sepatu pendekar yang tak beraturan. Musik perkusi tubuh; tepuk dada, paha dan tepuk tangan, ketip jari rebana (adok) dimainkan pemusik yang berada di sisi kiri depan pentas dan kanan depan pentas yang diselebungi siluet dengan lampu warna biru dan merah hati. Terdengar lagu Atjeh Tanoh Loen Sayang Karya T. Djohan dinyanyikan;
Daerah Atjeh tanoh loen sayang
Nibak teumpat nyan loen hudeueb mate
Tanoeh keuneubah endatu monyang
Lampoeh deungon blang luah bukhen le.


Keurija hudeueb nasoe peutimang
Nasoe peuseunang keurija mate
Hate nyang susah loen rasa seunang
Atjeh loen sayang sampoe’an mate.
Artinya:
Daerah Aceh tanah ku sayang
Disinilah tempat hidup dan matiku
Tanah pusaka dari nenek moyang
Sawah dan ladang luas sekali

Acara di dalam dunia ada yang mengurusi
Masalah kematian ada pula yang menyelesaikannya
Hati yang susah aku rasa senang
Aceh kusayangi sampai akhir hayatku.

3. ketika tokoh cantoi melakukan tari Guel lalu menyanyikan lagu sebuku (ratapan) //…aku harus bagaimana…//. Pemusik juga melakukan gerakan tari guel dan bergerak dari siluet kiri/kanan depan pentas menuju siluet di belakang Jambo. Sekaligus bersebuku di siluet belakang:
Ee ine bayakku ine
Kusihen aku mungadu
Naseb bangsaku sabe wan karu
Selohen kite moreb wan tenang murenang.

Ee ine bayakku ine
Tentang kupanang-kupanang ari borni seulawah, bayakku
Sek mugersek terides luke masa sedenge
kusi kumai Acehku sayang, denang ku denang.

Ho…ho…ho…Acehku sayang denang ku denang
Entimi kite berserulak mukalak ate wan mutalu..uuu..uuu
Ulak mi kite kumasa sedenge..eee…ee..bayakku ineee
Keti mujaya Acehku lagu masa silalu..aku harus bagaimana bayakku.
Artinya:
Eeee ibuku saudaraku ibuku
Kemana aku mengadu
Nasib bangsaku selalu dalam konflik
Kapan kita hidup dalam tenang dan bahagia
Eeee ibuku saudara ibuku
Apabila kusaksikan dari gunung seulawah, saudaraku…
Terlihat jelas luka masa lalu
Kemana kubawa Acehku sayang, sambil kunyanyikan
Ho…hoho..Acehku sambil kunyanyikan
Janganlah kita melukai hati sendiri dentang berdentang…uuu..
Ingatlah kemasa lalu eeee…eee.. saudaraku ibuku
Agar berjaya Aceh seperti masa lalu…aku harus bagaimana…
Saudaraku ibuku….

4. Cerita ini terangkum dalam struktur dramatik monolog;
a. Pengenalan, bagian awal dari cerita. Di sini tokoh memperkenalkan siapa sebenarnya Cantoi, maling, pendekar, Cuma Habibah, Tgk. Suman, Pak Keuchik, dan Ustadz.
b. Pengembangan, melakukan pengembangan terhadap teks lakon dengan memasukkan unsur-unsur komedi seperti yang terdapat pada monolog halaman 2 (dua); //Senang jadi Cantoi, cita-citaku tetap Cantoi…dan seterusnya//.
c. Konflik (masalah/peristiwa yang mengantarkan kepada klimaks sekaligus mendukung munculnya klimaks). Masalah mulai muncul dengan hadirnya tokoh para pendekar untuk mencari maling di kampung (desa) Sabe-Sabe.
d. Klimaks (puncak peristiwa/masalah), ketika pendekar menanyakan kepada penduduk kampung, siapa yang mengenal mayat maling yang sudah mati akibat dari kontak sejata dengan para pendekar. Ketika Cantoi melihat mayat tersebut, malah ia melihat dirinyalah yang mati itu.
e. Konklusi (kesimpulan akhir) terjadi ketika tokoh Cantoi di seret oleh para pendekar, lampu padam dan terdengar suara senjata. Jadi kesimpulan dalam pertunjukan ini diserahkan kepada penonton untuk menafsirkannya.
5. Pemusik muncul di sisi kiri depan pentas dan depan kanan pentas yang ada siluet, pemusik sekaligus berfungsi sebagai suara pendekar, Teungku Suman, dan Cuma Habibah dalam bentuk koor (korus). Instrumen musik rebana (adok), dan sound effeek yang memakai musik tekno untuk mendukung suasana seram, ketakutan, kesedihan, dan kesakitan serta untuk menghadirkan effek suara senjata.
6. Melakukan movement (gerak) dan blocking (perpindahan) dengan berdendang (hikayat). Hal ini dilakukan sambil mempersiapkan properti dan hand property seperti pesawat mainan dan bingkai jendela. Pergerakan ini dilakukan ketika para pendekar baru datang dengan menaiki pesawat, sementara rakyat mengintip dari jendela rumahnya. Irama lagu Maju Tak Gentar terdengar. Tokoh Cantoi dengan memegang cangkul yang dapat berubah menjadi senjata memberi hormat ala militer.
7. Kepala pendekar berpidato di lapangan sepak bola. Hari itu juga terjadi kontak senjata antara para maling dengan para pendekar.
8. Ketika Cantoi bersebuku (meratap) dengan kalimat //……aku harus bagaimana…// lalu bergerak dengan tari guel, pemusik sekaligus melakukan pergerakan dengan tari guel ke siluet belakang Jambo.
9. Lampu warna ungu hidup tepat di posisi kiri panggung, bertepatan kain putih naik dari bawah ke batem 3 pentas. Kain putih itu simbol dari roh yang terbang kembali ke khalik-Nya. Para perdekar sedang mencari tahu siapa yang mengenali mayat tersebut. Semua diam, sebab barangsiapa yang meratapi kematian maling sama dengan bersimpati kepada maling.
10. Cantoi melihat dirinyalah yang mati itu (bagi masyarakat Aceh tekanan jiwa seperti ini sering dialami akibat kekejaman militer). Akibat dari ketakutan yang luar biasa karena tekanan tersebut melahirkan keberanian, Cantoi tidak mau menjawab siapa yang mati. Cantoi malah berani mengkritisi kekejaman para pendekar, akibatnya Cantoi di seret (ditangkap) oleh para pendekar.
11. Lampu padam. Terdengar musik rabana (adok), serta Hikayat Prang Sabi (kisah/cerita) dinyanyikan kembali. Cantoi terbangun menyanyikan syair:
Dibuka kelambu tujuh lapis
Cantoi telah di bawa para pendekar
Mungkin dikerangkengkan atau dimatikan
Wahai bapak penguji/pembimbing ujian sampai disini ceritanya.

Kalau lah ada bapak sumur di ladang
Boleh lah kita menumpang mandi
Kalah lah ada umur kita sama-sama panjang
Lain kesempatan di sambung lagi.


12. Musik perkusi tubuh; ketib jari, tepuk dada, paha, tangan (didong) dilanjutkan dengan nyanyian lagu Atjeh Tanoeh Loen Sayang serta gerak Seudati oleh pemusik di siluet belakang Jambo. (SELESAI).


E. Orisinilitas Karya
Karya teater ‘Hikayat Cantoi’ di garap berangkat dari cerita (cerpen) karya penulis yang diangkat menjadi naskah lakon monolog, dengan konsepsi garapan telah penulis uraikan di atas.
Penulis sangat tertarik dengan gerak dasar Seudati, dan ingin menciptakan gerak tersebut menjadi blocking (perpindahan pemain) dalam konsepsi pertunjukan teater. Gerak dasar Seudati, guel, didong maupun nyanyian Hikayat dapat menjadi konvensi (aturan/hukum) bagi masa depan teater Indonesia.
Hal ini dilakukan untuk mengawinkan konsepsi teater tutur P.M.T.O.H Aceh dengan teater modern dalam melahirkan pertunjukan “Hikayat Cantoi”, sehingga memiliki genre (gaya) tersendiri yang berbeda dengan gaya (Alm) Teungku Adnan, Ali Meukek, Mak Lapei, Muda Belia dan Agus Nuramal.

F. Pendukung Karya ‘Hikayat Cantoi’

TIM PRODUKSI:
Pimpinan Produksi : IDN. Supenida, S.Skar
Stage Manager : Enrico Alamo, S.Sn
Bendahara : Sri Wahyuni, S.Sn
Dokumentasi : Aprizal Harun, S.Sn
Publikasi : Sahrul N, S.S., M.Si
Konsumsi : Hasnah Sy. S.Pd., M.Sn
Transportasi : Drs. Jufri., M.Sn
: Nedy Winuza, S.Kar., M.Sn


TIM ARTISTIK :
Naskah/Sutradara : Sulaiman Juned
Aktor : Azhadi Akbar
Skenografi : Yusril, S.S., M.Sn

Penata Seting/Properti : Adriyandi., S.Sn
: Dek Jal Aceh
Penata Cahaya : Saaduddin, S.Sn
: Nolly
Penata Busana/Rias : Dedy Dharmadi, S.Sn
: Marlina, S.Sn
Penata Suara : Dharminta Soeryana, S.Sn
Penata Musik : IDN. Supenida, S.Skar
Pemusik : Andy Ruspiansyah
: Rahma Diana
Kru Panggung : Fikar Aceh
: Zulfikar Aceh
: Ridwan Aceh
: Yudi Kardi













GLOSARIUM

1. P.M.T.O.H: Teater tutur yang berasal dari Aceh Selatan. Dikembangkan oleh Teungku Adnan sampai di kenal di Trieng Gadeng Pidie, dan seluruh Aceh.
2. Spektakel : setiap benda yang berada di atas panggung atau bahasa panggung seperti; aktor, seting/properti, cahaya, rias, gerak, dan busana.
3. Playwright : naskah lakon sebagai ungkapan pernyataan penulis.
4. Audio : Pendengaran.
5. Visual : Penglihatan.
6. Kenetsic : Gerak.
7. Hikayat : Karya sastra Aceh berbentuk puisi yang panjang.
8. Poh tem/Peugah haba : berbicara atau pekerjaan seseorang yang bercerita.
9. Dangderia : Satu bentuk seni tutur Aceh.
10. Konvensi : Hukum/Aturan.
11. Movement : Pergerakan.
12. Blocking : Perpindahan pemain (aktor).
13. Seudati : Satu bentuk teater tradisional Aceh.
14. Didong : Satu bentuk teater tradisional Aceh.
15. Guel : Sendratari tradisional Gayo Aceh.
16. Koor/korus : tokoh yang dapat berfungsi menjadi pemusik, penasehat, rakyat, pendekar dan maling.
17. Soliloqui : bentuk monolog yang berdiri sendiri dalam bentuk naskah. Ia merupakan adegan dari naskah yang sedang dimainkan.
18. Jambo : Dangau di tengah sawah, atau pos keamanan yang berada di tengah-tengah kampung (desa).
19. Teungku : Gelar atau sebutan kepada Ulama di Aceh.
20. Cuma : Panggilan untuk kakak dari Ibu.
21. Hand Prop : Benda yang berada atau di pakai di tangan oleh aktor, seperti; rokok, korek, senjata, pesawat, bingkai dan cangkul.


DAFTAR PUSTAKA

A.Adjib Hamzah., 1984. Pengantar Bermain Drama. CV Rosda Bandung

Agus Noor., 2006. Monolog, Aktor di Panggung Teater. Harian Kompas
Jakarta: 26 Maret 2006

Budiman Sulaiman., 1988. Kesusastraan Aceh. Unsyiah Press Banda Aceh

Herwanfakhrizal., 1996/1997. Ekspresi dalam Seni Teater. Jurnal Ekspresi
Seni Program Studi Pascasarjana UGM, 1996/1997

Margaret J. Kartomi., 2005. dalam Asvi Warman Adam, Peneliti Musik Aceh
Pasca Tsunami, Harian Kompas Jakarta: 18 Desember 2005

Rahman Sabur., 2003. Pengantar Drama Monolog Enam Tuan Arthur S.Nalan
Etno Teater Bandung

Sulaiman Juned., 1999. Teater Tutur Aceh: Adnan P.M.T.O.H Trobadour yang
Menulis di atas Angin. Jurnal Palanta Padangpanjang: STSI Padang
Panjang

VCD Hikayat Malem Dewa. Produksi Jurusan Teater STSI Padangpanjang, 1998















*) Biodata Sulaiman Juned


Sulaiman Juned, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy
Lahir di Gampong (desa) kecil Usi Dayah Kecamatan Mutiara Kab
Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 12 Mei 1965. Kini memiliki istri
dan seorang putra laki-laki. Menetap di Padangpanjang, menekuni
pekerjaan sebagai Seniman, dosen tetap jurusan seni teater di STSI Padangpanjang Sumatera Barat, Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan
Sastra Indonesia Daerah di Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat,
Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat, Guru
teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang Sumatera Barat, Guru Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sore Padangpanjang. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih belajar di SLTP. Karya puisi, cerpen, esai, drama, reportase budaya, artikel, kolom di muat di media seperti; Santunan, Serambi Indonesia, Kiprah, Aceh Post, Peristiwa, Kalam, Ceurana, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Aceh Ekspres, Aceh Kita, Harian Aceh, Harian Aceh Independen, Gema Baiturrahman (ACEH). Analisa, Dunia Wanita, Waspada (MEDAN). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Majalah Saga, Laga-laga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (SUMATERA BARAT). Riau Post (RIAU). Indefendent (JAMBI). Lampung Post (LAMPUNG). Kedaulatan Rakyat (YOGYAKARTA). Solo Pos dan Jawa Pos (JAWA TENGAH). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Bahasa dan Sastera (MALASYIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Antologi puisi tunggal berjudul ‘Riwayat’ mendapat Juara III dalam Lomba Penulisan buku pengayaan sastra tingkat nasional oleh Pusat Perbukuan Dinas Pendidikan Nasional (2007). Lelaki berkumis ini menyelesaikan studi S-1 di jurusan seni teater STSI Padangpanjang dengan yudisium Cumlaude, juga menyelesai Program Pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta dengan yudisium Cumlaude.
Puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama; Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta 1991), HU (Teater Kuala, Banda Aceh 1994), TTBBIJ (Medan, 1995), Ole-Ole (Cempala Karya Aceh, 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum UNSYIAH, 1995), Surat (Kuflet Padangpanjang, 1998), Dalam Beku Waktu (NGO HAM-Aceh, 2002), Takdir-Takdir Fansuri (kumpulan esai, DKB Aceh 2002), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB Jassin Jakarta, 2005), Syair Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Lagu Kelu (ASA-Japan, 2005), Riwayat (PUSBUK-DIKNAS, Jakarta 2007), Surat: Catatan Merah-Putih, Kuflet 2007), 181-4 Lalu Debu (Kuflet Padangpanjang, 2007). Antologi Cerpen ‘Joglo’ (Solo, 2006), Tiga Drama Jambo (antologi naskah lakon, 2005). Sementara naskah lakon yang ditulisnya; Desah Nafas Mahasiswa (1989), Pulang (1990), Warisan (1991), Orang-orang Marjinal (1992), Ikrar Para Penganggur (1999), Jambo “Luka Tak Teraba” (1999), Jambo “Beranak Duri Dalam Daging’ (1999), Jambo “Bunga Api Bunga Hujan” (2000), Jambo “Ayam Jantan’ (2000), Hikayat Cantoi (2000), Orang-orang Rantai (2001), Polan (2002), Berkabung (2004), Asalku Benar dari Hulu (2004), Sebut Saja Aku Polan (2005), Hikayat Pak Leman (2005). Sering mengikuti seminar sastra, teater dan jurnalistik; Pertemuan Sastrawan Kampus se- Indonesia di Universitas Diponegoro (1989), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Cendrawasih Irian Jaya (1991), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Indonesia Jakarta (1993), Temu Sastrawan Sumatera di Bengkulu (1992), Temu Sastrawan Sumatera di Nusantara di Langsa Aceh (1995), Pertemuan Sastrawan Nasional dan Nusantara IX di Kayutanam-Sumatera Barat (1997), Pertemuan Teater Indonesia di Pekan Baru (1997), Pertemuan dan latihan jurnalistik tingkat nasional di Jakarta (1990).
Ia juga sering terlibat dalam dunia musik, sebagai pemusik dan pembaca puisi dalam ‘Desain Struktur’ Komposer; Drs. Wisnu Mintargo, di Teater kecil STSI Surakarta (1998), ‘Signal Lima’ Komposer IDN. Supenida,S.Skar di Gedung Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang (2004), Skenografi dalam Orkestra ‘Simarantang Karya/Komposer Drs. Yoesbar jailani (Festival Kesenian Indonesia III, Surabaya 2004). Soel juga aktif dalam organisasi seni dan pers; sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Penulis Aceh (1995-2000), Ketua Bidang Pengkaderan Federasi Teater Banda Aceh (1995-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Pendiri/pimpinan Sanggar Seni Cempala Karya Banda Aceh (1989), Ketua UKM. Kesenian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1986-1988), Pendiri UKM-Teater Nol Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1989), Pendiri Teater Kosong Banda Aceh (1993), Pendiri Teater Alam Banda Aceh (1995), Pendiri/Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatera Barat (1997-Sekarang). Pemimpin Redaksi Bulettin Ceurana (1986-1989), Redaktur Budaya/Sekretaris Redaksi Warta Unsyiah (1987-1995), Redaktur Budaya SKM. Peristiwa (1989-1995), Redaktur Budaya Majalah Kiprah (1990-1997), Redaktur/editor jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2000), Redaktur/editor jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2000-2005), Ketua UKM-Pers STSI Padangpanjang (1997-1999), Pemimpin Redaksi Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (19977-1999).
Soel sangat aktif dalam dunia teater, baik ketika masih di Aceh maupun ketika bermukim di Padangpanjang, ia sudah memainkan 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri, ia berperan jadi aktor menjadi tokoh yang tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penulis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya di komunitas Kuflet. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia; Aceh-Medan-Padang-Riau-Jambi-Palembang-Bengkulu-Lampung-Jakarta-Yogyakarta-Solo-Jawa Timur-Bali-Sulawesi-Kalimantan-Irian Jaya. Menjadi seniman memang sudah pilihan hidupnya, kalau mengenang Soel pasti menyebutnya si Penyair-Dramawan-Teaterawan dan Jurnalis. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 18 Januari 2008 pukul 16.00 Wib rumah kontrakannya terbakar di Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh dokumentasi pribadi; baik buku-kliping koran tentang proses kreatifnya menjadi seniman- CD pertunjukan teater beserta barang berharga lainnya ikut terbakar, tak ada yang selamat, namun Sulaiman Juned itu tetap kuat menjalaninya bersama istri dan anak serta seluruh keluarga besar Komunitas Seni Kuflet. ‘Semuanya yang saya miliki milik Allah, jadi kita harus siap dan redha kalau Allah mengambilnya kembali, diri kitapun sebenarnya kan milik-Nya jua’ tuturnya. (Wiko Antoni)