PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Sabtu, 18 Oktober 2008

AKTOR: TUBUH SPEKTAKEL HIDUP DI ATAS PENTAS


Sulaiman Juned


Abstrak


Menjadi seorang aktor harus mampu menguasai tubuhnya melalui pembebasan tubuh, pembebasan suara. Disamping itu seorang aktor hendaknya dapat mrnguasai sukmanya agar mampu berkosentrasi dan mengelola emosi. Selanjutnya aktor mencari ruang; melalui teknik muncul, pemberian isi, membangun klimaks, waktu tempo dan dramatik. Andai semua ini dapat dikuasai oleh seorang aktor, barulah dapat dikatakan aktor yang berhasil.


Katakunci: Aktor, Tubuh, Sukma.




Pendahuluan

Mempelajari seni akting tidaklah mungkin tanpa pembimbing yang mengetahui seluk-beluk seni berperan. Akting dewasa ini bukan lagi sekedar hobi tetapi telah menjadi sebuah kajian keilmuan, kedudukannya sama dengan ilmu terapan lainnya seperti; ekonomi, hukum, sosial politik, agama, bahasa dan psikologi dan lain-lain.

Melakukan latihan akting menjadi seorang aktor/pemeran juga tidak terlepas dari unsur-unsur kemanusian pada umumnya. Modal utama seorang aktor/pemeran adalah akting. Pencapaian menuju aktor berkualitas dapat dicapai dengan kerja keras lewat latihan secara periodik (terus menerus). Kemampuan atawa bakat tidak mungkin ditingkatkan apabila tidak berangkat dari proses latihan tanpa henti, latihan dengan penuh kedisiplinan. Disiplin yang dimaksud terhadap diri sendiri, baru kemuadian terhadap perintah serta petunjuk instruktur.

Seorang aktor/pemeran dalam melakukan pemeranannya haruslah terus belajar, berkarya, berdisiplin serta bertanggungjawab.





Aktor Tubuh dan Vokal

Seorang aktor/pemeran harus benar-benar mampu mempersiapkan dirinya baik secara fisik maupun mental. Mental disiapkan bagi calon aktor/pemeran dalam memasuki latihan teater, sehingga tidak mengalami keterkejutan ketika menjumpai hal-hal yang tidak pernah ada dalam kehidupan sebelumnya (tidak pernah terpikirkan bahwa latihan teater itu sangat berat. Latihan teater yang dimaksud bukan baca naskah lalu pentas). Bentrokan emosi menuntut ketangguhan kemauan yang mengamsalkan tubuh dan sukma sebagai tanah liat yang siap diolah, dapat dijadikan lebih padat, kuat dan berenergi juga dapat menjadi lentur. Sedangkan fisik seorang aktor harus mempersiapkan kelengkapan dalam pemeranan untuk menghadapi latihan melalui teknik dasar secara berkesinambungan.

Aktor dan lakon dalam membawakan peran terdapat raga (tubuh) dan sukma, sementara dalam sukma terdapat unsur-unsur emosi, kemauan, semangat, pikiran dan fantasi. Dalam raga ada tubuh, gerak, pernafasan, kekuatan. Maka didalam latihan secara langsung terlaksana tiga bentuk proses latihan yaitu; olah tubuh, vokal dan sukma secara bersamaan tanpa disadari. Namun hal ini harus dilakukan dengan pembebasan tubuh terlebih dahulu.

Pembebasan tubuh bagi seorang aktor/pemeran dilakukan melalui latihan dengan memerdekakan diri untuk mengabdi kepada akting. Hal yang teramat penting untuk diperhatikan membuat atau menciptakan tubuh agar berada dalam keadaan pasif. Ini dilakukan kepada tubuh sebelum memasuki tahap aktifitas. Sedangkan tekanan diberikan kepada gerak yang sifatnya menurun. Selanjutnya pada gerak menurun dan menarik. Berat atawa ringan tergantung berapa banyak satuan berat jatuh pada titik pusat ini. Titik-titik puncak menaik dan menurunkan tubuh, segalanya harus menyatu dalam bentuk yang utuh di dalam tubuh.

Gerak dan suara juga harus diperhitungkan. Gerak-rerak rifleks dengan aksi-aksi dan suara sering terjadi secara bersamaan. Perubahan terjadi pada kondisi badaniah, sikap tubuh dapat menumbuhkan suara yang berlainan. Ritme pernafasan, detak jantung, gerak-gerak kecil selalu berhubungan di dalam tubuh. Kekuatan membebaskan tubuh kemudian mengintegrasikan setiap bagian yang telah terbebaskan dalam meleburkan diri ke dalam suatu fasilitas dengan mengalami berbagai ekstrinuitas yang membantu menyadari kondisi keseimbangan.

Sementara vokal bagi seorang aktor merupakan kenderaan imaji untuk menyampaikan dialog ke telinga penonton. Suara atawa vokal memang perangkat ekspresi manusia namun ketika menjadi perangkat ekspresi bagi seorang aktor, fungsi dan takarannya menjadi alat yang dibentuk dan dimainkan untuk mewujudkan sosok peran.

Latihan pengucapan dan membaca naskah harus mendapat tempat (porsi) yang khusus (bukan sekedar menghafal naskah tetapi seorang aktor hendaknya menganalisis naskah tersebut). Pembebasan suara (vokal) adalah membebaskan manusianya. Tubuh dan pikiran dimiliki oleh setiap yang bernama manusia, sumber suara (vokal) menerima rangsangan sensitif dari otak yang bekerja menurut proses fisik dari otot tubuh yang menciptakan pengucapan. Suara akan terhambat dan rusak oleh ketegangan tubuh, ganguan emosional dan intelektual, gangguan peralatan suara serta sprotual yang membatasi keterbatasan bakat, imajinasi dan pengalaman. Suara (vokal) adalah andalan utama bagi seorang aktor agar tercapai makna dalam melahirkan pengucapan yang sempurna.

Pembasan suara bagi seorang aktor mengacu pada kemampuan berbicara dengan emosi yang mendalam, sederhana yang terpancar dari hati. Pembebasan suara (vokal) terangkum dalam empat tahapan proses pembelajaran unsur-unsur vokal; pertama , proses pembebasan melatih tulang belakan sebagai pusat kekuatan tubuh dan mengusung pernafasan. Kedua, proses pengembangan (tangga resonasi), melatih saluran resonator, ditambah latihan melepas suara dari tubuh. Melatih resonator hidung dan tengkorak. Ketiga, kepekaan dan tenaga, menggali kekuatan pernafasan, dan artikulasi dalam berdialog melahirkan vokal. Keempat, menjalin naskah dan akting serta menelaah kata-kata atawa dialog yang berhubungan antara suara dan akting.

Secara keseluruhan, latihan pembebasan suara (vokal) melalui empat tahap proses latihan, serta yang paling penting untuk diperhatikan bagi latihan peralatan suara adalah bagian dari anggota tubuh yang harus dilatih secara intensif yaitu pernafasan, pemamfaatan suara, pengucapan, artikulasi dan diksi.


Aktor dan Sukmanya.

Aktor secara terus menerus harus mengolah sukmanya setiap saat dan setiap waktu. Hal yang utama dalam melatih sukma adalah kosentrasi. Kosentrasi merupakan suatu kesanggupan untuk mengerahkan suatu kekuatan rohani dan pikiran ke arah sasaran yang jelas. Dasar dari ajaran kosentrasi yaitu penguasaan diri sendiri melalui proses mencari-cari, menciptakan sebuah peran dalam latihan harian. Proses menciptakan peran pada saat tampil dalam pertunjukan di panggung.

Sasaran kosentrasi seorang aktor/ pemeran adalah sukma. Baik itu terhadap sukmanya sendiri, orang sekitarnya atawa sukma manusia secara menyeluruh (masyarakat penonton). Hal ini secara tidak langsung memerlukan kosentrasi terhadap emosi-emosi. Melatih kosentrasi melalui latihan panca indra terhadap sesuatu yabng fiktif dan semu. Melatih keadaan diri terhadap emosi. Dalam sukma yang bernama manusia terhadap unsur emosi, kemauan, semangat, pikiran dan fantasi. Sedangkan dalam raga manusia terdapat unsur pernafasan, kekuatan, tubuh dan gerak. Materi hidup manusia adalah raga dan sukma, maka kegiatan seorang aktor merupakan kegiatan bernafas, bergerak, beremosi, berfikir, berkehendak dan berprestasi. Apabila aktor sudah mampu menguasai raga dan sukmaberarti seorang aktor telah siap menghadapi segala kondisi.

Emosi, action (laku) mencerca, menfitnah atawa membunuh merupakan laku-laku yang mungkin tidak pernah teralami baik dalam pengalaman empirik seorang manusia. Namun sebagai aktor/pemeran di atas pentas harus dilakukan dengan intens (totalitas) prima. Ada jarak antara sosok diri dengan takaran emosi yang harus diungkapkan.

Ingatan emosi sebagai perangkat seorang aktor untuk mengungkapkan atawa melakukan hal-hal yang berada di luar dirinya. Caranya dengan imajinasi, pengandaian-pengandaian dikembangkan menjadi pengalaman atau ingatan diri sendiri.

Perihal emosi seorang aktor hendaknya dapat menyakini kemungkinan terhadap kejadian. Seorang aktor harus mampu menjawab pertanyaan, apa yang harus saya lakukan andai aku berada dalam posisi sebagai tokoh King Lear? Pengandaian yang ajaib ini mentransformasikan sasaran tokoh cerita ke dalam sasaran diri sang aktor. Pengandaian yang ajaib merupakan satu tenaga pendorong untuk melahirkan tindakan fisik demi tercapainya tindakan rohani. Atas dasar itu, kualitas pertunjukan seorang aktor/pemeran tergantung pada kejujuran pengalamannya. Kualitas pengalaman di atas panggung pasti berbuah, dan perubahan itu merupakan refleksi pengalaman hidup yang puitis. Sementara waktu merupakan filter yang bagus sekaligus sebagai alat pemurni memori emosional yang dialami. Lebih dari itu, waktu bukan hanya memurnikan emosi tetapi dapat mempuitiskan berbagai macam memori. Aktor harus hidup dengan pengalaman yang sebenarnya. Aktor harus mampu menghidupkan pengalaman pentas dalam takaran emosi pengandaian. Pengandaian yang dimaksud, bagaimana, jika aku berperan jadi orang gila…bagaimana, jika aku….. tetapi bukan aku harus jadi orang gila, bukan begitu.


Aktor Mencari Ruang

Proses penguasaan tekhnik pemeranan dalam mencari ruang seorang aktor harus menjalankan tugas, ia harus mahir dan terampil. Hal itu untuk menciptakan watak yang dimengerti dan diterima oleh penonton sekaligus mendorong sikap-sikap di atas panggung, maka aktor dalam mendukung perlu adanya tekhnik muncul, pemberian isi, membangun klimaks, dan waktu atau tempo dramatik.

Aktor diharapkan dapat membawakan kemunculan peran (tekhnik muncul), diusahakan setelah muncul langsung mendapat perhatian penonton. Menampilkan gambaran watak serta peran yang dimainkan, memaparkan hubungan dengan jalan cerita, melakukan kerja sama yang baik sesama pemeran sekaligus membangun suasana baru dalam sebuah adegan. Aktor juga harus mampu menginterpretasikan dan menyesuaikan diri dengan naskah di dalam per-adegan, serta mampu memaknai konsepsi penyutradaraan dalam proses artistik pertunjukan teater.

Sebuah kalimat dalam dialog haruslah di beri isian pada pengucapan dengan dinamika, tekanan nada, tekanan tempo, pengucapan kalimat untuk menjolkan emosi dan pikiran-pikiran yang terkandung dari sebuah cerita (pemberian isi). Naskah lakon Oedipus Sang Raja, Oedipus Dikolonus, dan Antigone Karya Spokles atawa Machbet, Hamlet Karya William Shakeaspeare, dialognya akan datar dan tidak hidup bila aktornya tidak mampu memberikan isian pada kalimat0kalimat yang ada dalam dialog tersebut. Padahal para pekerja teater sudah pasti mengetahui bahwa naskah lakon tersebut merupakan naskah yang sangat luar biasa kekuatan tekstualnya baik secara tematik, puitik dan bahasa. Sementara naskah lakon Pengadilan Putra Mahkota karya Kardy Said atawa Dunia (Persemanyaman Agung) karya Nurgani Asyik akan lebih hidup seandainya aktor yang memerankannya mampu memberikan isian pada setiap dialog.

Berdasarkan itulah, tekhnik pengisian (memberi isi) merupakan suatu cara dalam menyampaikan isi, perasaan dan pikiran dari sebuah kalimat pada sebuah naskah lakon. Tugas seorang aktor menguraikan serta menganalisa kalimat untuk di beri arti agar mampu mengucapkan dialog dengan sempurna, selain memerankan akting.

Klimaks merupakan puncak suatu pengembangan. Klimaks merupakan ujung atau akhir pengembangan yang panjang, ia terdiri dari pengembangan-pengembangan kecil. Seorang aktor mengatur dan menahan pengembangannya sehingga tidak terjadi penyamaan dengan klimaks. Penguasaan diri seorang aktor haruslah dicapai agar pencapaian klimaks benar-benar terjadi dalam bangunan yang utuh seperti struktur Aristatoles; permulaan-kompliks-klimaks-resolusi-konklusi.

Sementara waktu atau tempo dramatik bagi seorang aktor merupakan hal yang juga tidak boleh diabaikan. Aktor otomatis harus memperhatikan timing/space (jeda), irama, tempo serta jarak langkah dalam konsep waktu, sebab ini merupakan bagian sangat vital dalam sebuah realita teater. Timing/space (jeda) merupakan hubungan waktu antara kalimat yang diucapkan dengan suatu gerakan. Jarak langkah (pace), rasa waktu penonton, rasa kecepatan dikembangkan dengan tekhnik penonjolan lagu dan diksi. Sedangkan irama ukuran kecepatan individual dalam alunan peristiwa teater sekaligus dapat menentukan tangga dramatik sebuah pertunjukan teater.


Penutup

Aktor atau pemeran didukung staf produksi, berusaha menghidupkan naskah lakon menjadi kenyataan teater di atas pentas. Latihan adalah proses kreatif dalam persiapan diri seorang aktor menuju naskah lakon, bukan setelah membaca naskah lakon untuk baru dapat di sebut latihan.

Proses kreatif seorang aktor berangkat dari sumber inspirasi seorang sutradara yang dipelajari, dikuasai, dianalisis serta ditafsirkan baik ide lakon, bentuk, suasana, klimaks, serta perwatakan yang terbaru dalam proses latihan menuju akting (laku) di atas pentas. Setelah itu barulah sutradara memproseskannya dalam beberapa tahapan, seperti; taha mencari-cari, tahap memberi isi, tahap pengembangan, tahap penghalusan atawa pemamtapan. Selanjutnya barulah dapat dilakukan paket pertunjukan teater. Atas dasar itu pula tubuh dan jiwa seorang aktor merupakan spektakel (bahasa pentas) hidup di atas pentas, setiap laku, dialog haruslah sampai dengan selamat kepada penonton.

Pertunjukan teater yang telah mengamplikasikan kenyataan teater dalam proses kreatif membutuhkan pikiran, tenaga, dan waktu barulah kemudian dapat dipertunjukan kepada masyarakat penonton. Seorang calon aktor/pemeran yang telah sekian waktu berproses dapat disebut sebagai aktor apabila telah mampu berakting dengan sempurna di atas pentas. Memang perjalanan menjadi seorang aktor sangatlah sulit apalagi menjadi sutradara. Namun kesenian (teater) pasti mampu memperhalus budi pekerti, jika tidak percaya coba saja bergelut dengan kesenian (teater) tentu melalui latihan (proses kreatif) yang benar dan terjadwal secara terus-menerus. Siapa mau menjadi aktor? Adakah Jurusan teater STSI Padangpanjang atau lembaga Pendidikan Seni di Indonesia mampu melahirkan aktor-aktor panggung yang mumpuni? kenapa tidak, jika seorang aktor mampu melatih seluruh perangkat tubuhnya sebagai spetakel hidup di atas pentas.



Daftar Bacaan


Anirun, Suyatna, 1993. Memanusiakan Ide-ide; Teater Untuk Dilakoni, STB: Bandung.

Asmara, Andhy, 1983. Cara Menganalisa Drama, CV. Nur Cahaya: Yogyakarta.

Baljun, Amak, 1988. Olah Suara, Institut Kesenian Jakarta: Jakarta.

Kaplan, David, 1999. Teori Budaya, Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Muryono, Buenegis, 1997. Menjadi Aktris Profesional, Pustaka Utama Grafiti: Jakarta.

Riantiarno, N., 1999. Konsep, Sejarah, Problema, Dewan Kesenian Jakarta: Jakarta.

Stanilavsky, K., 1978. Persiapan Seorang Aktor, PT. Dunia Pustaka Jaya: Jakarta.

Zi, Nancy, 2000. The Arts Of Breathing, PT Buana Ilmu Populer: Jakarta.


60
Aktor: Tubuh Spektakel Hidup

Sulaiman Juned