PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Sabtu, 20 September 2008

58 Tahun ‘Si Binatang Jalang’ Chairil Anwar Menutup Mata:

Sekali Berarti Sesudah Itu Mati

Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn *)

Abstrak
Chairil Anwar penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namun pada usia 26 tahun ketika ajalnya mau di jemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan, sebelum pada akhirnya ia menyerah’ ia mati muda. Tidak terasa telah 58 tahun lamanya penyair revolusioner itu menghadap khalikNya, tapi semangat kepenyairannya tetap hidup sampai sekarang sekaligus menggugah penyair-penyair sesudahnya.

Kata Kunci: Keseriusan‘menyair’ menjadikan
dirinya pelopor pembaharu dalam
kesusasteraan Indonesia.


Pendahuluan
Chairil Anwar si `Binatang Jalang` merupakan pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil sejak dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi menjadi teks books bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Rasanya tak habis pembicaraan tentang Chairil Anwar baik secara individu maupun mengenai sajak-sajaknya. Hari meninggalnya selalu saja diperingati baik oleh lembaga pendidikan maupun seniman-seniman yang berdomisili di Indonesia. Mengenang setiap tahun meninggalnya diadakan lomba cipta puisi, lomba baca puisi, salah satu puisi wajib adalah puisi karya Chairil Anwar. Juga sangat sering di kampus maupun sanggar-sanggar seni setiap tahun mengadakan diskusi, sarasehan mengenai penyair yang mati muda itu. Tak terasa 58 tahun lamanya penyair revolusioner ini menghadap sang Khalik. Tepatnya pukul 14.30 WIB pada tanggal 28 April 1949 di RSUP CBZ (Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), setelah enam hari dirawat. Menurut catatan rumah sakit, Chairil muda diserang typhus. Sementara dari keterangan teman dekatnya ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Bahkan yang membuat nyawanya terengut adalah radang ususnya pecah. Chairil telah tiada, namun setiap tanggal 28 April seluruh seniman memperingatinya, beberapa waktu yang lalu Universitas Bung Hatta Padang melaksanakan kegiatan itu dengan mengadakan lomba musikalisasi puisi karya-karya Chairil Anwar. Penulis ketika menuliskan tulisan ini, juga untuk memperingatinya, meski agak terlambat melalui Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (12 Mei 2007) melakukan diskusi tentang ‘semangat kepenyairan Chairil Anwar’, Setidak-tidaknya telah merekam semangat kepenyairan yang singkat tetapi akhirnya terpilih sebagai pelopor angkatan 45. Hal ini memang tidak mudah karena Chairil Anwar sering melakukan pemeberontakan-pemberontakan dalam dunia sastra dengan resiko menerima berbagai macam tudingan. Akhirnya hari ini sampai besok dan nanti ‘setelah ia mati’ dikenang oleh Indonesia.
Boen S. Oemarjati (1983: 215) mengungkapkan, “Chairil Anwar bukanlah orang yang meratapi nasib diri sendiri, apalagi nasib orang lain. Ia mengagumi kehidupan yang dipertentangkannya dengan kematian. Ia mengagumi orang-orang yang berani dan mempunyai vitalitas, ia sangat berani menempuh hidup sekalipun selalu dalam kesadaran akan maut mengancam”.



Chairil : Sekali Berarti Sudah itu Mati.
Chairil merupakan penyair yang serius ia sangat bersungguh-sungguh dalam menciptakan sajaknya, pernah ada berita untuk mencari kata-kata yang tepat dalam satu baris sajaknya sampai berminggu-minggu, wajar saja bila akhirnya karya cipta puisinya berkualitas. Bagi Chairil menulis harus melalui perencanaan dan memikirkan kata-kata yang tepat dengan perenungan dan proses pengendapan (kontemplasi). Sementara para penyair dewasa ini improvisasi menjadi utama sehingga sajak yang muncul adalah spontanitas serta penulisan `automatic` sering menganggap menulis sajak adalah pekerjaan gampangan, disamakan dengan undian, semangat nasib-nasipan siapa tahu kata-kata tersusun menjadi larik dapat disebut sajak. Sementara seleksi kualitatif dari sang penyair itu sendiri tidak dilakukan. Semangat semacam ini banyak dihinggapi oleh penyair-penyair Indonesia dewasa ini, sehingga tidak memungkinkan untuk menuntut keyakinan puitika dari sang penyair seperti yang telah dilakukan Chairil Anwar.
Kepenyairan adalah yang utama dan segala-galanya. Sikap kepenyairan Chairil Anwar tidak luar biasa, wajar saja bila seorang penyair menggantungkan kepenyairannya hanya pada sajak. Tidak perlu merasa aneh, seharusnya penyair memang begitu. `sekali berarti sudah itu mati` motto Chairil Anwar masih dapat dijadikan teladan dalam suasana perpuisian Indonesia. (Sutarji Cholzum Bahri, 1983: No. 5)
Semangat sekali berarti sudah itu mati yang menjadi moto dalam hidup serta menjalani kehidupan ini, barangkali dengan semangat itulah ia benar-benar berarti pada kehadirannya yang hanya sekali itu sehingga dijuluki sang pendobrak sistim konvensi lama dalam perpuisian Indonesia.

A. Teuw (1983: 217) mengungkapkan, “…Setelah runtuhnya penjajahan Belanda bukan hanya terjadi revolusi politik yang menjelma kemerdekaan negara Indonesia, namun terjadi juga revolusi sastra yang yang dirintis oleh penyair Chairil Anwar”. Betapa besar sumbangan yang telah diberikan Chairil Anwar bagi perkembangan perpuisian. Hal ini terlihat jelas dampaknya hingga sekarang. Di Indonesia tidak ada satupun penyair setelah Chairil Anwar yang tidak terpengaruh oleh sajak-sajaknya Chairil. Ada memang yang melakukan pemberontakan setelah mengunyah dan menangkap `roh` semangat Chairil. Ia ingin bebas dari kungkungan kata, sehingga puisinya disebut `puisi gelap` yang mementingkan tipografi (bentuk), ia berusaha meninggalkan konvensinya Chairil sehingga disebut `presiden penyair` Sutardji Colzum Bahcri. Namun itupun tak bertahan lama walaupun ia sangat mempertahankan kredonya.
Kesusastraan Indonesia mencatat, karya sastra dalam bentuk puisi (bukan puisi lisan) hanya karya Chairil Anwar yang benar-benar membumi dan berakar di negeri ini. Barangkali hanya puisi lisan (Kaba Minangkabau, Hikayat di Aceh, dan lain-lainnya yang mampu melampaui kekuatan masa pakai puisi Chairil Anwar. Menurut HB. Jassin, (1983: 112) “…Cahiril Anwar menghasilkan karyanya sejak 1942 sampai 1949 hanya 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 sajak saduran, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan, 94 tulisan. Sungguh sedikit yang dihasilkan dalam waktu enam tahun setengah. Ada juga karya plagiat sebagai terjemahan dan saduran, namun yang membesarkannya adalah 70 sajak aslinya”.
Mengapa penyair `besar` Chairil ada karyanya yang plagiat, apakah ini tidak memalukan. Apa yang sedang terjadi dengan diri Chairil. Barangkali berjuta pertanyaan akan muncul dibenak kita, barangkali beribu sumpah serapah akan tertumpah seandainya Chairil masih hidup. Begini, mungkin ini hanya sebuah anekdot atau katakanlah pembelaan terhadap kepenyairannya. Chairil Anwar hidup dalam situasi dan kondisi Indonesia sedang mengalami transisi, mencari kerja sangat sulit. Cahiril terlalu sering merasa lapar dan menderita, jadi untuk cepat mendapat honor maka ia menyadur sajak orang. Sementara surat kabar dan majalah selalu saja memberikan honor setiap Chairil mengantarkan karyanya. Beberapa redaktur koran dan majalah yang menyediakan ruang budaya berhasil di tipu Chairil. Kalau masalah tipu menipu memang Chairil sangat lihai yang terpenting ia dapat makan. Pernah ketika ia bertamu ke tempat seorang teman, dan temannya sedang sibuk menerjemahkan buku yang berbahasa Belanda dan beberapa bahasa Asing lainnya. Sang teman meminta Chairil untuk menerjemahkannya, ia bersedia asalkan diberikan uang makan. Temannya menyanggupi, Chairil menerjemahkan buku yang tidak begitu tebal hanya dalam waktu dua jam. Setelah mendapatkan uang seperti yang dijanjikan dengan bersiul-siul Chairil pergi. Si teman sempat heran menyaksikan kecepatan Chairil dalam menerjemah. Ia mulai memeriksa pekerjaan Chairil, lembar pertama sampai dengan kelima belas sangat bangus hasilnya, tapi seterusnya Chairil hanya menyalin saja. Begitu Chairil ‘si binatang jalang itu’, yang seperti ini jangan di tiru. Ia menerjemahkan serta menyadur karya penyair asing dengan mudah, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk mengisi perut.
Chairil sangat gandrung dan menyenangi karya penyair asing diantaranya; Marsman, Lorca, Aiten, T.S Eliot. Mari kita simak sajak Chairil yang pernah menaruh curiga orang sepertinya terjadi persamaan dengan sajak karya Lorca yaitu ‘Cardoba’. Judulnya Cintaku Jauh di Pulau : // Cintaku jauh dipulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri/perahu melancar, bulan memancar,/dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membatu, laut terang, tapi terasa/aku tidak kan sampai padanya// Diair yang tenang, diangin mendayu/diperasaan penghabisan segala melaju/ Ajal bertahta, sambil berkata:/ “Tujukan perahu kepangkuanku saja”// Amboi jalan sudah bertahun kutempuh!/ perahu yang bersama kan merapuh!/ mengapa ajal memanggil dulu/sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?/ manisku jauh dipulau,/ kalau ku mati, dia mati iseng sendiri//. Sementara itu mari kita simak karya Lorca dengan judul Cordoba: //sayub-sayub dan sepi/ kudaku zanggi, bulan purnama/ dan buah zaitun di kantong pelana/ walau kukenal jaring jalannya/ berasa, tak lagi kucapai Cordoba// Memutus padang, menjuang angin/ kudaku zanggi, bulan purnama./ Maut mengeram, mengintai didepan/ dari menara kota Cordoba// Cordoba/ sayub-sayub dan sepi//.
Memang beberapa sajak Chairil jelas-jelas merupakan sajak saduran sperti; ‘Rumahku’ karya Slauerhoff, ‘Woninglooze’, kepada peminta-minta karya Alsschot, ‘Catetan th 1945 dari karya Donald Bain War Poet’, ‘Datang Dara Hilang Dara terjemahan sajak Hsu Chih-Mo’ dan lain-lain. Begitulah Chairil, namun dengan 70 sajak aslinya ia telah menjadikan dirinya pilar utama, pelopor dan pembaharu kesusasteraan Indonesia. Ia telah meletakkan kepercayaan kepenyairannya pada kualitas sajak-sajaknya serta turut menyemangati penyair sesudahnya. Luar biasa, yang harus kita teladani adalah keseriusannya serta siap sedia berkeringat dalam menyair.
Sajak-sajak Chairil Anwar dipenuhi dengan perenungan yang mendalam karena dilakukannya melalui kontemplasi yang mengkristal. Kekuatan pengalaman spiritual serta kepekaan intelektualitasnya semua itu dapat di raih. Betapa tidak, Chairil selalu saja secara langsung mengalami kehidupan malam di kota Jakarta. Ia tidak sekedar mengalami, merasakan serta meraba objek tersebut melainkan ia turut menikmatinya. Kapasitas dirinya seluruhnya ia serahkan dan masuk untuk larut dalam suasana itu, sehingga suasana itu akhirnya masuk ke dalam dirinya. Kemelaratan, kepedihan, kesengsaraan, derita ia gumuli dengan kekaguman untuk menantang hidup. Mari kita simak sebuah puisi yang berangkat dari hasil pengalaman spritualnya yang bersifat individual dengan pemilihan kata ambiguitas ketika ia mengungkapkan cinta dan rindu. Sajaknya berjudul Pemberi Tahu : // Bukan makdsudku mau berbagi nasib,/ nasib adalah kesunyian masing-masing/ kupilih kau dari yang banyak, tapi/ sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring,/ Aku pernah ingin benar padamu,/ Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,/ kita berpeluk ciuman tak jemu,/ rasa tak sanggup kau kulepaskan./ Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,/ Aku memang tak bisa lama bersama/ ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!//.
Sajak ini sepakat kita menganggapnya sajak cinta kepada seseorang gadis, gadis itu menerima Chairil. Mereka kabarnya sering bersama bersepeda. Menurut pengakuan gadis itu, setiap mereka bertemu dan bersepeda, Chairil selalu saja memakai pakaian yang sama namun ia tak pernah mencium bau badan Chairil. Suatu ketika Chairil bertamu ke rumah gadis itu, dan bertemu dengan ayah si gadis dengan maksud melamar. Si ayah langsung menjawab; “Nak Chairil, carilah kerja tetap dahulu”. Chairil hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, ia langsung pergi dan tentu dengan berjalan kaki karena sepeda yang sering dikayuhnya adalah milik si gadis itu. Barangkali dari pengalaman spiritual itu lahirlah puisi dengan judul Pemberi Tahu. Menilik lebih mendalam pada sajak itu ada semacam keluhan duka yang digambarkan dengan kata berbagi nasib, lalu di ulang pada larik kedua nasib, yang menciptakan ambiguitas dan ini adalah tipu muslihat (kecerdasan) penyair untuk mengatakan lebih banyak dari apa yang dikatakan dengan kata-kata. Membaca sajak di atas harus dimengerti dengan cara yang intuitif.
Membaca Pemberian Tahu didalamnya menemukan amanat keluhan dengan penuh kedukaan sementara dalam puisi ‘ajakan’ Chairil melukiskan kemesraannya dengan seorang gadis yang bernama Ida, barangkali gadis ini yang ayahnya menolak lamaran Chairil. Begini puisinya; ‘Ajakan: Ida’ //Menembus sudah caya/ udara tebal kabut/ kaca hitam lumut/ pecah pencar sekarang/ di ruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan/ Ria bahagia/ tak acuh apa-apa/ gembira girang/ biar hujan datang/ kita mandi basahkan diri/ tahu pasti sebentar kering lagi//.
Peristiwa kecilpun Chairil menyerahkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Daya kontemplasinya memang sangat kuat sehingga ia dengan sempurna menangkap objek menjadi buah karyanya. Walaupun sebuah peristiwa kecil yang menjadi pengalaman emperik yang dirasakan dan dinikmatinya, akhirnya dijadikan sebuah sajak. Ia selalu saja menyeleksi sendiri karyanya. Ia begitu tegar dalam pencaharian, tidak pernah mau menyerah apalagi kalah. Hanya saja sesekali kesal andaikan ada karyanya dianggap belum maksimal. Chairil melakukan selektifitas individual terhadap sajak-sajaknya. Ia pernah mengirim surat kepada HB. Jassin yang isinya begini; “Jassin. Yang kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya” (Chairil Anwar, 1996). Ini suatu bukti ia sangat selektif. Memang benar ada beberapa sajak Chairil terjadi perubahan walaupun sudah diterbitkan. Lihat saja antologi Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Yang terhempas dan yang putus, Tiga Menguak Takdir, ada beberapa sajaknya terjadi perubahan.
Chairil Anwar etnis Minangkabau yang dilahirkan di Medan 26 Juli 1922. pernah mengecap pendidikan MULO tapi tidak tamat, mantan redaktur Gelanggang, siasat, dan Gema Suasana. Merupakan manusia yang kutu buku. Buku apa saja ia pasti baca walaupun totalitasnya berada dalam dunia kepenyairan. Pergaulannya juga sangat luas, ia bergaul dengan seniman dalam bidang apapun sehingga ia banyak dikenal orang bahkan ia bergaul dengan pengemis, gelandangan, tukang becak serta pelacur. Pergaulannya digunakan untuk kepentingan proses kreatif kesenimanannya.
Chairil manusia yang tidak tahan kalau kehabisan bahan bacaannya, ia konon kabarnya rela mencuri disebuah toko buku. Buku yang dicuri tentunya dalam bahasa asing. Barangkali semangat membacanya boleh ditiru tetapi semangat mencurinya jangan. Chairil memang luar biasa, wajar dia mendapat anugerah ‘Pelopor Angkatan 45’ tapi alangkah lebih bahagianya ia kalau anugerah itu diberikan ketika ia masih hidup. pastilah ia merasa bangga dan bahagia hasil peras keringatnya yang menetes menjadi larik puisi dapat dinikmatinya. Sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap walau usianya baru 26 tahun, sajak itu berjudul Derai-Derai Cemara: //Cemara menderai sampai jauh/ Terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap rapuh/ dipukul angin yang terpendam.// Aku sekarang orangnya bisa tahan,/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu memang ada suatu bahan,/ yang bukan dasar perhitungan kini.// hidup hanya menunda kekalahan,/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah,/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,/ sebelum pada akhirnya kita menyerah//.
Penutup
Penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namu pada usianya 26 tahun ketika ajalnya mau dijemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah’. Sajak ini diungkapkan dengan sikap yang sudah mengendap, inilah yang dinamakan proses kreatif yang memisahkan dari masa lampau. Proses itu begitu cepat. Chairil mengamsalkan suara deraian cemara sampai dikejauhan yang menyebabkan hari terasa akan jadi malam. Sementara dahan yang ditingkap merapuh itu pun dipukul angin yang terpendam. Chairil memilih kata merapuh, ditingkap, dipukul, terpendam untuk menyatakan aku lirik (akunya penyair). Ia menyadari bahwa sepenuhnya hari belumlah malam, tapi akan terjadi malam (maksudnya; usianya masih muda tetapi ia berfirasat semakin dekat dengan ajal). Benih perenungan semakin matang dalam sajak ini, Chairil mengungkapkan rahasia kehidupannya dengan teknik persajakan yang telah dikuasainya dengan baik. Chairil lebih menonjolkan sosok yang penuh dengan semangat hidup serta sikap kepahlawanan. Ia merupakan penyair yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.
Boen S. Oemarjati (1983:215) mengatakan, “Sebuah sajak selalu mengatakan lebih dari hanya kata-kata dalam arti yang leksikografis saja. Dan sebuah analisa lingguistik adalah pengembalian penggunaan kata-kata kepada arti-arti leksikografisnya, dan susunan gramatika yang biasa”. Jadi, sebahagian besar sajak Chairil Anwar merupakan masa lampau dirinya yang ia kontemplasikan menjadi larik dalam puisinya, sehingga masa lampaunya Chairil dapat menjadi masa kini dan masa depan. Ia bergerak begitu cepat ke depan semua dicapainya hanya dengan bakat dan kemauan yang keras, semangat serta kecerdasan yang tinggi. Penyair memang harus cerdas sehingga dapat melahirkan puisi-puisi yang lebih cerdas ketimbang dirinya. Sajak Chairil memang nyata terlihat melebihi dari sekedar kata-kata, makna katanya selalu memiliki makna yang ambiguitas seperti ketika ia mengungkapkan rasa kemesraannya kepada gadis Ida dalam sajak berjudul ‘Ajakan’ //…..diruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan//. Bagaimana Chairil memilih kata sehingga maknanya meluas, tidak hanya menjadi masalah individualisme, seolah hal itu milik semua orang. Betapa cerdas Chairil dalam menyembunyikan objek dirinya menjadi objek siapa saja yang membaca karyanya. Bagi penyair semangat dan kerja keras Chairil mari kita teladani, walau siapa saja tetap terasa akan jadi malam. 58 tahun ia telah tiada, puisinya tetap hidup dan lantang menggema. Chairil masih hidup dalam puisinya, hidup sekali dan memang harus berarti. Sekali berarti sudah itu mati. Begitulah seharusnya penyair.

*) Penulis adalah penyair- Sutradara teater dan dosen
Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang, Serta
dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Muhammadiyah Sumatera Barat.






DAFTAR PUSTAKA

A. Teeuw, 1983. Tergantung pada Kata, Jakarta: PT. Gramedia
Chairil Anwar, 1996. Antologi Puisi Aku ini Binatang Jalang, Jakarta: Gramedia Utama
HB.Jassin, 1985. Kesusasteraan Modern dalam Kritik Esai II, Jakarta: Gramedia
------------, 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia
------------, 1996. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Sutardji Calzoum Bahri, 1983. majalah Horison, no: 5, Jakarta.

Nazent Blog: [daarut-tauhiid] Kitab Al-Hikam: Bersandar Diri Hanya kepada Allah

Nazent Blog: [daarut-tauhiid] Kitab Al-Hikam: Bersandar Diri Hanya kepada Allah

58 Tahun ‘Si Binatang Jalang’ Chairil Anwar Menutup Mata: Sekali Berarti Sesudah Itu Mati

Sekali Berarti Sesudah Itu Mati

Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn *)

Abstrak

Chairil Anwar penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namun pada usia 26 tahun ketika ajalnya mau di jemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan, sebelum pada akhirnya ia menyerah’ ia mati muda. Tidak terasa telah 58 tahun lamanya penyair revolusioner itu menghadap khalikNya, tapi semangat kepenyairannya tetap hidup sampai sekarang sekaligus menggugah penyair-penyair sesudahnya.

Kata Kunci: Keseriusan‘menyair’ menjadikan

dirinya pelopor pembaharu dalam

kesusasteraan Indonesia.

Pendahuluan

Chairil Anwar si `Binatang Jalang` merupakan pelopor Angkatan 45. Puisi-pusi Chairil sejak dari Sekolah Dasar sampai perguruan tinggi menjadi teks books bagi pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Rasanya tak habis pembicaraan tentang Chairil Anwar baik secara individu maupun mengenai sajak-sajaknya. Hari meninggalnya selalu saja diperingati baik oleh lembaga pendidikan maupun seniman-seniman yang berdomisili di Indonesia. Mengenang setiap tahun meninggalnya diadakan lomba cipta puisi, lomba baca puisi, salah satu puisi wajib adalah puisi karya Chairil Anwar. Juga sangat sering di kampus maupun sanggar-sanggar seni setiap tahun mengadakan diskusi, sarasehan mengenai penyair yang mati muda itu. Tak terasa 58 tahun lamanya penyair revolusioner ini menghadap sang Khalik. Tepatnya pukul 14.30 WIB pada tanggal 28 April 1949 di RSUP CBZ (Sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), setelah enam hari dirawat. Menurut catatan rumah sakit, Chairil muda diserang typhus. Sementara dari keterangan teman dekatnya ia sudah lama menderita penyakit paru-paru dan infeksi. Bahkan yang membuat nyawanya terengut adalah radang ususnya pecah. Chairil telah tiada, namun setiap tanggal 28 April seluruh seniman memperingatinya, beberapa waktu yang lalu Universitas Bung Hatta Padang melaksanakan kegiatan itu dengan mengadakan lomba musikalisasi puisi karya-karya Chairil Anwar. Penulis ketika menuliskan tulisan ini, juga untuk memperingatinya, meski agak terlambat melalui Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (12 Mei 2007) melakukan diskusi tentang ‘semangat kepenyairan Chairil Anwar’, Setidak-tidaknya telah merekam semangat kepenyairan yang singkat tetapi akhirnya terpilih sebagai pelopor angkatan 45. Hal ini memang tidak mudah karena Chairil Anwar sering melakukan pemeberontakan-pemberontakan dalam dunia sastra dengan resiko menerima berbagai macam tudingan. Akhirnya hari ini sampai besok dan nanti ‘setelah ia mati’ dikenang oleh Indonesia.

Boen S. Oemarjati (1983: 215) mengungkapkan, “Chairil Anwar bukanlah orang yang meratapi nasib diri sendiri, apalagi nasib orang lain. Ia mengagumi kehidupan yang dipertentangkannya dengan kematian. Ia mengagumi orang-orang yang berani dan mempunyai vitalitas, ia sangat berani menempuh hidup sekalipun selalu dalam kesadaran akan maut mengancam”.

Chairil : Sekali Berarti Sudah itu Mati.

Chairil merupakan penyair yang serius ia sangat bersungguh-sungguh dalam menciptakan sajaknya, pernah ada berita untuk mencari kata-kata yang tepat dalam satu baris sajaknya sampai berminggu-minggu, wajar saja bila akhirnya karya cipta puisinya berkualitas. Bagi Chairil menulis harus melalui perencanaan dan memikirkan kata-kata yang tepat dengan perenungan dan proses pengendapan (kontemplasi). Sementara para penyair dewasa ini improvisasi menjadi utama sehingga sajak yang muncul adalah spontanitas serta penulisan `automatic` sering menganggap menulis sajak adalah pekerjaan gampangan, disamakan dengan undian, semangat nasib-nasipan siapa tahu kata-kata tersusun menjadi larik dapat disebut sajak. Sementara seleksi kualitatif dari sang penyair itu sendiri tidak dilakukan. Semangat semacam ini banyak dihinggapi oleh penyair-penyair Indonesia dewasa ini, sehingga tidak memungkinkan untuk menuntut keyakinan puitika dari sang penyair seperti yang telah dilakukan Chairil Anwar.

Kepenyairan adalah yang utama dan segala-galanya. Sikap kepenyairan Chairil Anwar tidak luar biasa, wajar saja bila seorang penyair menggantungkan kepenyairannya hanya pada sajak. Tidak perlu merasa aneh, seharusnya penyair memang begitu. `sekali berarti sudah itu mati` motto Chairil Anwar masih dapat dijadikan teladan dalam suasana perpuisian Indonesia. (Sutarji Cholzum Bahri, 1983: No. 5)

Semangat sekali berarti sudah itu mati yang menjadi moto dalam hidup serta menjalani kehidupan ini, barangkali dengan semangat itulah ia benar-benar berarti pada kehadirannya yang hanya sekali itu sehingga dijuluki sang pendobrak sistim konvensi lama dalam perpuisian Indonesia.

A. Teuw (1983: 217) mengungkapkan, “…Setelah runtuhnya penjajahan Belanda bukan hanya terjadi revolusi politik yang menjelma kemerdekaan negara Indonesia, namun terjadi juga revolusi sastra yang yang dirintis oleh penyair Chairil Anwar”. Betapa besar sumbangan yang telah diberikan Chairil Anwar bagi perkembangan perpuisian. Hal ini terlihat jelas dampaknya hingga sekarang. Di Indonesia tidak ada satupun penyair setelah Chairil Anwar yang tidak terpengaruh oleh sajak-sajaknya Chairil. Ada memang yang melakukan pemberontakan setelah mengunyah dan menangkap `roh` semangat Chairil. Ia ingin bebas dari kungkungan kata, sehingga puisinya disebut `puisi gelap` yang mementingkan tipografi (bentuk), ia berusaha meninggalkan konvensinya Chairil sehingga disebut `presiden penyair` Sutardji Colzum Bahcri. Namun itupun tak bertahan lama walaupun ia sangat mempertahankan kredonya.

Kesusastraan Indonesia mencatat, karya sastra dalam bentuk puisi (bukan puisi lisan) hanya karya Chairil Anwar yang benar-benar membumi dan berakar di negeri ini. Barangkali hanya puisi lisan (Kaba Minangkabau, Hikayat di Aceh, dan lain-lainnya yang mampu melampaui kekuatan masa pakai puisi Chairil Anwar. Menurut HB. Jassin, (1983: 112) “…Cahiril Anwar menghasilkan karyanya sejak 1942 sampai 1949 hanya 70 sajak asli, 10 sajak terjemahan, 4 sajak saduran, 6 prosa asli dan 4 prosa terjemahan, 94 tulisan. Sungguh sedikit yang dihasilkan dalam waktu enam tahun setengah. Ada juga karya plagiat sebagai terjemahan dan saduran, namun yang membesarkannya adalah 70 sajak aslinya”.

Mengapa penyair `besar` Chairil ada karyanya yang plagiat, apakah ini tidak memalukan. Apa yang sedang terjadi dengan diri Chairil. Barangkali berjuta pertanyaan akan muncul dibenak kita, barangkali beribu sumpah serapah akan tertumpah seandainya Chairil masih hidup. Begini, mungkin ini hanya sebuah anekdot atau katakanlah pembelaan terhadap kepenyairannya. Chairil Anwar hidup dalam situasi dan kondisi Indonesia sedang mengalami transisi, mencari kerja sangat sulit. Cahiril terlalu sering merasa lapar dan menderita, jadi untuk cepat mendapat honor maka ia menyadur sajak orang. Sementara surat kabar dan majalah selalu saja memberikan honor setiap Chairil mengantarkan karyanya. Beberapa redaktur koran dan majalah yang menyediakan ruang budaya berhasil di tipu Chairil. Kalau masalah tipu menipu memang Chairil sangat lihai yang terpenting ia dapat makan. Pernah ketika ia bertamu ke tempat seorang teman, dan temannya sedang sibuk menerjemahkan buku yang berbahasa Belanda dan beberapa bahasa Asing lainnya. Sang teman meminta Chairil untuk menerjemahkannya, ia bersedia asalkan diberikan uang makan. Temannya menyanggupi, Chairil menerjemahkan buku yang tidak begitu tebal hanya dalam waktu dua jam. Setelah mendapatkan uang seperti yang dijanjikan dengan bersiul-siul Chairil pergi. Si teman sempat heran menyaksikan kecepatan Chairil dalam menerjemah. Ia mulai memeriksa pekerjaan Chairil, lembar pertama sampai dengan kelima belas sangat bangus hasilnya, tapi seterusnya Chairil hanya menyalin saja. Begitu Chairil ‘si binatang jalang itu’, yang seperti ini jangan di tiru. Ia menerjemahkan serta menyadur karya penyair asing dengan mudah, namun itu semua dilakukan semata-mata untuk mengisi perut.

Chairil sangat gandrung dan menyenangi karya penyair asing diantaranya; Marsman, Lorca, Aiten, T.S Eliot. Mari kita simak sajak Chairil yang pernah menaruh curiga orang sepertinya terjadi persamaan dengan sajak karya Lorca yaitu ‘Cardoba’. Judulnya Cintaku Jauh di Pulau : // Cintaku jauh dipulau/gadis manis, sekarang iseng sendiri/perahu melancar, bulan memancar,/dileher kukalungkan ole-ole buat si pacar/angin membatu, laut terang, tapi terasa/aku tidak kan sampai padanya// Diair yang tenang, diangin mendayu/diperasaan penghabisan segala melaju/ Ajal bertahta, sambil berkata:/ “Tujukan perahu kepangkuanku saja”// Amboi jalan sudah bertahun kutempuh!/ perahu yang bersama kan merapuh!/ mengapa ajal memanggil dulu/sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?/ manisku jauh dipulau,/ kalau ku mati, dia mati iseng sendiri//. Sementara itu mari kita simak karya Lorca dengan judul Cordoba: //sayub-sayub dan sepi/ kudaku zanggi, bulan purnama/ dan buah zaitun di kantong pelana/ walau kukenal jaring jalannya/ berasa, tak lagi kucapai Cordoba// Memutus padang, menjuang angin/ kudaku zanggi, bulan purnama./ Maut mengeram, mengintai didepan/ dari menara kota Cordoba// Cordoba/ sayub-sayub dan sepi//.

Memang beberapa sajak Chairil jelas-jelas merupakan sajak saduran sperti; ‘Rumahku’ karya Slauerhoff, ‘Woninglooze’, kepada peminta-minta karya Alsschot, ‘Catetan th 1945 dari karya Donald Bain War Poet’, ‘Datang Dara Hilang Dara terjemahan sajak Hsu Chih-Mo’ dan lain-lain. Begitulah Chairil, namun dengan 70 sajak aslinya ia telah menjadikan dirinya pilar utama, pelopor dan pembaharu kesusasteraan Indonesia. Ia telah meletakkan kepercayaan kepenyairannya pada kualitas sajak-sajaknya serta turut menyemangati penyair sesudahnya. Luar biasa, yang harus kita teladani adalah keseriusannya serta siap sedia berkeringat dalam menyair.

Sajak-sajak Chairil Anwar dipenuhi dengan perenungan yang mendalam karena dilakukannya melalui kontemplasi yang mengkristal. Kekuatan pengalaman spiritual serta kepekaan intelektualitasnya semua itu dapat di raih. Betapa tidak, Chairil selalu saja secara langsung mengalami kehidupan malam di kota Jakarta. Ia tidak sekedar mengalami, merasakan serta meraba objek tersebut melainkan ia turut menikmatinya. Kapasitas dirinya seluruhnya ia serahkan dan masuk untuk larut dalam suasana itu, sehingga suasana itu akhirnya masuk ke dalam dirinya. Kemelaratan, kepedihan, kesengsaraan, derita ia gumuli dengan kekaguman untuk menantang hidup. Mari kita simak sebuah puisi yang berangkat dari hasil pengalaman spritualnya yang bersifat individual dengan pemilihan kata ambiguitas ketika ia mengungkapkan cinta dan rindu. Sajaknya berjudul Pemberi Tahu : // Bukan makdsudku mau berbagi nasib,/ nasib adalah kesunyian masing-masing/ kupilih kau dari yang banyak, tapi/ sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring,/ Aku pernah ingin benar padamu,/ Di malam raya, menjadi kanak-kanak kembali,/ kita berpeluk ciuman tak jemu,/ rasa tak sanggup kau kulepaskan./ Jangan satukan hidupmu dengan hidupku,/ Aku memang tak bisa lama bersama/ ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!//.

Sajak ini sepakat kita menganggapnya sajak cinta kepada seseorang gadis, gadis itu menerima Chairil. Mereka kabarnya sering bersama bersepeda. Menurut pengakuan gadis itu, setiap mereka bertemu dan bersepeda, Chairil selalu saja memakai pakaian yang sama namun ia tak pernah mencium bau badan Chairil. Suatu ketika Chairil bertamu ke rumah gadis itu, dan bertemu dengan ayah si gadis dengan maksud melamar. Si ayah langsung menjawab; “Nak Chairil, carilah kerja tetap dahulu”. Chairil hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih, ia langsung pergi dan tentu dengan berjalan kaki karena sepeda yang sering dikayuhnya adalah milik si gadis itu. Barangkali dari pengalaman spiritual itu lahirlah puisi dengan judul Pemberi Tahu. Menilik lebih mendalam pada sajak itu ada semacam keluhan duka yang digambarkan dengan kata berbagi nasib, lalu di ulang pada larik kedua nasib, yang menciptakan ambiguitas dan ini adalah tipu muslihat (kecerdasan) penyair untuk mengatakan lebih banyak dari apa yang dikatakan dengan kata-kata. Membaca sajak di atas harus dimengerti dengan cara yang intuitif.

Membaca Pemberian Tahu didalamnya menemukan amanat keluhan dengan penuh kedukaan sementara dalam puisi ‘ajakan’ Chairil melukiskan kemesraannya dengan seorang gadis yang bernama Ida, barangkali gadis ini yang ayahnya menolak lamaran Chairil. Begini puisinya; ‘Ajakan: Ida’ //Menembus sudah caya/ udara tebal kabut/ kaca hitam lumut/ pecah pencar sekarang/ di ruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan/ Ria bahagia/ tak acuh apa-apa/ gembira girang/ biar hujan datang/ kita mandi basahkan diri/ tahu pasti sebentar kering lagi//.

Peristiwa kecilpun Chairil menyerahkan dirinya dengan sungguh-sungguh. Daya kontemplasinya memang sangat kuat sehingga ia dengan sempurna menangkap objek menjadi buah karyanya. Walaupun sebuah peristiwa kecil yang menjadi pengalaman emperik yang dirasakan dan dinikmatinya, akhirnya dijadikan sebuah sajak. Ia selalu saja menyeleksi sendiri karyanya. Ia begitu tegar dalam pencaharian, tidak pernah mau menyerah apalagi kalah. Hanya saja sesekali kesal andaikan ada karyanya dianggap belum maksimal. Chairil melakukan selektifitas individual terhadap sajak-sajaknya. Ia pernah mengirim surat kepada HB. Jassin yang isinya begini; “Jassin. Yang kuserahkan padamu-yang kunamakan sajak-sajak!-itu hanya percobaan kiasan-kiasan baru. Bukan hasil sebenarnya! Masih beberapa tingkat percobaan musti dilalui dulu, baru terhasilkan sajak-sajak sebenarnya” (Chairil Anwar, 1996). Ini suatu bukti ia sangat selektif. Memang benar ada beberapa sajak Chairil terjadi perubahan walaupun sudah diterbitkan. Lihat saja antologi Deru Campur Debu, Kerikil Tajam, Yang terhempas dan yang putus, Tiga Menguak Takdir, ada beberapa sajaknya terjadi perubahan.

Chairil Anwar etnis Minangkabau yang dilahirkan di Medan 26 Juli 1922. pernah mengecap pendidikan MULO tapi tidak tamat, mantan redaktur Gelanggang, siasat, dan Gema Suasana. Merupakan manusia yang kutu buku. Buku apa saja ia pasti baca walaupun totalitasnya berada dalam dunia kepenyairan. Pergaulannya juga sangat luas, ia bergaul dengan seniman dalam bidang apapun sehingga ia banyak dikenal orang bahkan ia bergaul dengan pengemis, gelandangan, tukang becak serta pelacur. Pergaulannya digunakan untuk kepentingan proses kreatif kesenimanannya.

Chairil manusia yang tidak tahan kalau kehabisan bahan bacaannya, ia konon kabarnya rela mencuri disebuah toko buku. Buku yang dicuri tentunya dalam bahasa asing. Barangkali semangat membacanya boleh ditiru tetapi semangat mencurinya jangan. Chairil memang luar biasa, wajar dia mendapat anugerah ‘Pelopor Angkatan 45’ tapi alangkah lebih bahagianya ia kalau anugerah itu diberikan ketika ia masih hidup. pastilah ia merasa bangga dan bahagia hasil peras keringatnya yang menetes menjadi larik puisi dapat dinikmatinya. Sajak yang ditulis menjelang kematiannya menunjukkan sikap hidup yang matang dan mengendap walau usianya baru 26 tahun, sajak itu berjudul Derai-Derai Cemara: //Cemara menderai sampai jauh/ Terasa hari jadi akan malam/ ada beberapa dahan di tingkap rapuh/ dipukul angin yang terpendam.// Aku sekarang orangnya bisa tahan,/ sudah berapa waktu bukan kanak lagi/ tapi dulu memang ada suatu bahan,/ yang bukan dasar perhitungan kini.// hidup hanya menunda kekalahan,/ tambah terasing dari cinta sekolah rendah,/ dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan,/ sebelum pada akhirnya kita menyerah//.

Penutup

Penyair yang pada usia 20 tahun dengan lantang meneriakkan keinginan ‘hidup seribu tahun lagi’ namu pada usianya 26 tahun ketika ajalnya mau dijemput menyadari bahwa ‘hidup hanya menunda kekalahan…sebelum pada akhirnya kita menyerah’. Sajak ini diungkapkan dengan sikap yang sudah mengendap, inilah yang dinamakan proses kreatif yang memisahkan dari masa lampau. Proses itu begitu cepat. Chairil mengamsalkan suara deraian cemara sampai dikejauhan yang menyebabkan hari terasa akan jadi malam. Sementara dahan yang ditingkap merapuh itu pun dipukul angin yang terpendam. Chairil memilih kata merapuh, ditingkap, dipukul, terpendam untuk menyatakan aku lirik (akunya penyair). Ia menyadari bahwa sepenuhnya hari belumlah malam, tapi akan terjadi malam (maksudnya; usianya masih muda tetapi ia berfirasat semakin dekat dengan ajal). Benih perenungan semakin matang dalam sajak ini, Chairil mengungkapkan rahasia kehidupannya dengan teknik persajakan yang telah dikuasainya dengan baik. Chairil lebih menonjolkan sosok yang penuh dengan semangat hidup serta sikap kepahlawanan. Ia merupakan penyair yang memperhatikan kepentingan sosial dan politik bangsa.

Boen S. Oemarjati (1983:215) mengatakan, “Sebuah sajak selalu mengatakan lebih dari hanya kata-kata dalam arti yang leksikografis saja. Dan sebuah analisa lingguistik adalah pengembalian penggunaan kata-kata kepada arti-arti leksikografisnya, dan susunan gramatika yang biasa”. Jadi, sebahagian besar sajak Chairil Anwar merupakan masa lampau dirinya yang ia kontemplasikan menjadi larik dalam puisinya, sehingga masa lampaunya Chairil dapat menjadi masa kini dan masa depan. Ia bergerak begitu cepat ke depan semua dicapainya hanya dengan bakat dan kemauan yang keras, semangat serta kecerdasan yang tinggi. Penyair memang harus cerdas sehingga dapat melahirkan puisi-puisi yang lebih cerdas ketimbang dirinya. Sajak Chairil memang nyata terlihat melebihi dari sekedar kata-kata, makna katanya selalu memiliki makna yang ambiguitas seperti ketika ia mengungkapkan rasa kemesraannya kepada gadis Ida dalam sajak berjudul ‘Ajakan’ //…..diruang tengah lapang/ tujuh belas tahun kembali/ bersepeda gandengan/ kita jalani ini jalan//. Bagaimana Chairil memilih kata sehingga maknanya meluas, tidak hanya menjadi masalah individualisme, seolah hal itu milik semua orang. Betapa cerdas Chairil dalam menyembunyikan objek dirinya menjadi objek siapa saja yang membaca karyanya. Bagi penyair semangat dan kerja keras Chairil mari kita teladani, walau siapa saja tetap terasa akan jadi malam. 58 tahun ia telah tiada, puisinya tetap hidup dan lantang menggema. Chairil masih hidup dalam puisinya, hidup sekali dan memang harus berarti. Sekali berarti sudah itu mati. Begitulah seharusnya penyair.

*) Penulis adalah penyair- Sutradara teater dan dosen

Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang, Serta

dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas

Muhammadiyah Sumatera Barat.

DAFTAR PUSTAKA

A. Teeuw, 1983. Tergantung pada Kata, Jakarta: PT. Gramedia

Chairil Anwar, 1996. Antologi Puisi Aku ini Binatang Jalang, Jakarta: Gramedia Utama

HB.Jassin, 1985. Kesusasteraan Modern dalam Kritik Esai II, Jakarta: Gramedia

------------, 1983. Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia

------------, 1996. Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45, Jakarta: Gramedia Widia Sarana

Sutardji Calzoum Bahri, 1983. majalah Horison, no: 5, Jakarta.

Sabtu, 13 September 2008

Minangkabau Simfoni Orkestra:

Dipersimpangan Jalan, Hidup Segan Mati tak Mau

Oleh: Sulaiman Juned *)


Minangkabau Simfoni Orkestra, bagi masyarakat Sumatera sudah tak asing lagi, apalagi bagi masyarakat Sumatera Barat. Orkestra ini didirikan pada desember 2006. Orkestra cikal bakal dari nama-nama besar Orkestra sebelumnya yang tumbuh di Ranah Minang sejak tahun 1985 seperti, Orkes Simfoni Bukittinggi, Orkes Simfoni Padang, Orkes Simfoni Sumatera Barat, dan Orkes Simfoni Ranah Minang. Seluruh personil Orkes merupakan mahasiswa, alumni dan dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang.

Pertunjukan komposisi musik dalam sebuah Orkestra sangat ditentukan oleh aranger, conductor, concert master, principle, solist, player. Ini merupakan masyarakat orkses yang paling berpengaruh terhadap suksesnya pertunjukan tersebut. Manajemen pertunjukan juga memegang peranan yang tidak kalah pentingnya, manajemen produksi sudah semestinya jadi perhatian khusus. Tanpa manajemen yang bersih, jujur, terbuka tentu tak akan mampu menggerakkan sebuah pertujukan yang berisi pengelolaan terhadap manusianya. Atas dasar itu, pertunjukan yang luar biasa akan didukung oleh manajemen yang luar biasa pula, maka muaranya adalah pertunjukan yang berkualitas.

Berada dalam wilayah Orkestra, maka yang paling berkuasa adalah conductor, ia pemimpin pada pertunjukan musik, penerjemah, pelatih yang dapat mengetahui psikologi para pemainnya sehingga dapat bekerjasama dengan baik. Sekaligus seorang conductor tentunya dianggap sebagai ilmuan yang mampu mentransfer ilmu baik secara teoritis maupun praktis kepada seluruh mitra kerjanya (pendukung orkestra).

(Minggu, 18/5/08), di lapangan Kantin Kota Bukittinggi dilakukan Konser Musik 2008 bertajuk 100 tahun Kebangkitan Nasional. Malam itu orkes dipimpin oleh Marta Rosa dengan lagu pembuka Metalica yang diaransemen oleh Diansyah Putra. Metalica sebagai model, bahwasannya Orkes Simfoni mampu memainkan lagu-lagu pop, rock, jazz, dan bahkan dangdut. Besik dasar tetap klasik dalam penguasaan aransemen dan orkestrasi, Tutur Marta Rosa usai pertunjukan.

Selanjutnya Minangkabau Simfoni Orkestra tampil dalam lagu-lagu populer dengan menampilkan penyanyi Sumatera Barat diantaranya; Andi Adam, Soniya, Jaks Surya, Fani Vabiola yang masing menyanyikan tiga lagu. Sedang Helena (Idol) muncul dengan menyanyikan lagu Sempurna, Munajat Cinta, Karena Cinta, Ingat Kamu dan terakhir membawakan lagu minang yang berjudul ‘Pulang Lah Uda’. Materi-materi lagu seperti ini dengan mudah dapat dinikmati dan disuguhkan dengan baik oleh seluruh pendukung. Ini bukanlah suatu prestasi yang gemilang, sebuah orkes simfoni yang telah berpengalaman hanya bermain dalam kancah lagu populer. Menurut Suka Harjana dalam Wilma Sriwulan, “Orkes Simfoni yang tertua di Indonesia adalah Orkes Simfoni di Sumatera Barat’ (2000:68). Orkes yang tertua di Indonesia dalam perkembangannya tidak mampu mengangkat dan mengolah musik klasik standar. Selayaknya konser dalam malam 100 tahun kebangkitan nasional, Minangkabau Simfoni Orkestra tidak melulu mengangkat lagu-lagu populer, seharusnya ada tiga atau empat lagu klasik standar atau mengaransemen lagu-lagu tradisional melayu untuk dimainkan. Jika tidak ada lagu klasik standar yang dimainkan maka Minangkabau Simfoni Orkestra berada dipersimpangan jalan. Tak tahu arah untuk di tuju, padahal sangat jelas bahwasannya sebuah komunitas orkes tidak melulu mengejar selera pasar, boleh jadi agar tidak membosankan diselipkan satu, dua, tiga atau empat lagu-lagu populer untuk dapat masuk ke wilayah dunia anak muda yang seleranya ngeband .

Ada rasa bangga dan bahagia ketika menyaksikan alat musik klasik yang tersusun di atas panggung. Namun renyuh juga ketika bunyi yang keluar bukan musik klasik standar malahan lagu pop Indonesia. Konser Musik 2008 di Bukittinggi, rindu mencekam terhadap aransemen baru dari aranger muda terhadap lagu klasik standar. Rindu beberapa orang penonton tak terobati oleh Minangkabau Simfoni Orkestra. “Aku kecewa terhadap pertunjukan musik yang katanya berlabel Minangkabau Simfoni Orkestra, dalam bayangan saya akan ternikmati pertunjukan musik klasik standar atau minimal lagu-lagu tradisional Melayu yang diaransemen ulang, namun sampai di lapangan kantin malah saya menonton lagu-lagu pop, kalau lagu seperti itu lebih baik saya putar VCD saja di rumah” Ungkap Mahdiansyah salah seorang penonton yang diwawancarai di lokasi peretunjukan. Jadi Minangkabau Simfoni Orkestra tidak berani bertahan hidup dengan musik-musik klasik standar atau lagu tradisi Melayu, tetap ingin mengikuti selera pasar, maka musik di Sumatera Barat tetap saja “laksana kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau’. Andaikan dua saja aransemen klasik standar dilakukan, banyak penonton bertahan sampai larut malam untuk menyaksikan pertunjukan tersebut.

Ah! Kita sedang berada di ujung tanduk ketakberdayaan, idealisme seorang seniman dapat digulingkan atas nama ‘selera pasar’ sungguh memprihatinkan. Apakah harus kita ombral murah selembar harga diri kesenimanan untuk dapat bersanding di sebuah kampung bernama ‘terkenal’. Silakan, segalanya kembali kepada individualisme seorang seniman.

Selamat walau terkurang atawa lebih, hanya kita yang membaca dan berkaca. Semoga kita tak bercermin pada kaca yang terbelah. Begitulah seharusnya seniman.

*) Penulis adalah penyair, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet

Padangpanjang, juga Dosen Teater STSI Padangpanjang.

ESTETIKA SENI RUPA ACEH TAK KERING DIGALI

Catatan ekspresi ‘kande’ Mahruzal seniman muda Aceh di Padangpanjang

Oleh: Sulaiman Juned *)

//….kaulah kandil kemerlap/pelita dimalam gelap…//.

Sengaja di petik larik di atas dari puisi karya sang Raja pujangga besar Indonesia yang hidupnya berakhir karena peperangan di Langkat. Putra Mahkota Kerajaan Langkat dari tanah Melayu ini mempopulerkan kata ‘kandil’, tak banyak orang tahu bahwa istilah kande telah di pakai sang maestro Amir Hamzah, penyair yang menjadi pelopor pujangga baru itu sebagai penggambaran kata terhadap sesuatu yang indah memancarkan cahaya. Kandil itu lampu yang memakai sumbu dan tak disemua jazirah melayu disebut demikian. Ada yang menyebut dama, (Minang dan sebagian Jambi), damar (Riau) atau lampu minyak. Lantas dari mana kata ‘kandil’ didapat Chairil sang pujangga itu? Lihatlah Melayu yang pernah jaya dimasa Samudera Pasai merajai lautan dan kepulauan nusantara. Inilah zaman kandil menjadi sesuatu yang penting. Inilah Kande, yang kemudian Melayu serantau menyebutnya kandil.

Terlepas sengaja atau tidak, ternyata Amir Hamzah telah kenal dengan kande jauh sebelum Rafli dan grup Bandnya memperkenalkan benda ini kepada seluruh orang Melayu. Kandi misalnya, di masyarakat Tabir Hulu Jambi, adalah lampu gantung yang terbuat dari tembaga yang kini hampir punah sejak ada listrik. Mari kita telisik perbedaan kandi, kandil, dama, damar dan lampu minyak dengan Kande. Kande lebih estetik dan rumit. Itu saja, selebihnya sama, sama-sama berfungsi sebagai penerang malam dengan bahan bakar Minyak kelapa.

Kande lampu Minyak yang berasal dari Aceh terbuat dari tembaga, dicetak dengan tekstur unik. Berhias motif khas, dengan empat elemen utama. (1) tempat minyak, bulat pipih, (2) sumbu melingkar disekeliling berbentuk runcing, ada yang lima sumbu, tujuh atau sembilan sumbu, (3) tangkai berbentuk seperti gerbang yang berdiri di atas lingkar tempat minyak,(4) Tempat menggantungkan, berbentuk lingkaran bulat di puncak tangkai, sekeliling dihiasi dengan ornamen timbul yang indah. Selain saudaranya yang disebut di atas ada lampu lain yang disebut blencong dari Jawa Timur atau banyak lagi ditempat lain yang merupakan kekayaan seni rupa yang tak akan habis digali estetikanya.

Kekayaan estetik ini digali oleh Mahruzal, seorang seniman muda asal Aceh yang bereksplorasi di Padangpanjang bersama Komunitas Seni Kuflet. Pameran pertengahan Mei lalu di Gedung Hoerijah Adam Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, ia memajang karya “lampu minyaknya” yang unik. Ya, memang lampu minyak, sebuah ide yang cukup ‘aneh’ ditengah zaman digital yang serba listrik ini. Di tambah lagi lampu minyak Mahruzal ini bukan dari logam tapi dari kayu nangka. Dibalik itu semua karya Mahruzal yang terinspirasi dari ‘kande sebagai ekspresi kriya seni’ sebuah statement yang lagi-lagi unik.

Mahruzal dalam kesempatan itu, memajang tujuh karyanya yang diberi judul (1) perahu kehidupan, (2) Bertahan, (3) bersaing, (4) Tak terawat, (5) Keunikan, (6) Kecemasan (7) Kenangan Lama. Ketujuh karya Mahruzal beranjak dari sisi-sisi ekspresi Kande pada zaman dahulu. “perahu kehidupan” adalah gambaran kande yang pada masa dahulu digunakan masyarakat Aceh sebagai penerang utama dalam pesta perkawinan sebelum adanya listrik. Karya “bertahan” merupakan keinginan yang keras dari seorang Mahruzal untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lama dengan ekspresi kekinian. Karya “bersaing” sebagai gambaran seni budaya Aceh yang sedang memperkuat eksistensinya di tengah ancaman budaya global sementara karya “Tak terawat” sebuah peringatan akan berkurangnya minat para seniman muda terhadap seni rupa tradisi Aceh. “keunikan” karya Mahruzal, mengingatkan pada seni budaya negeri ini tentang keseragaman dan unik sehinga ‘sayang’ untuk ditinggalkan begitu saja. “kecemasan” adalah konklusi dari gambaran emosi ketakutan terhadap musnahnya aset seni rupa Aceh yang kian kurang diminati kalangan perupa saat ini.

Seorang warga Aceh yang menetap di Sumatera Barat, Ir. L. Mustari Ketua Masyarakat Aceh Bukittinggi dan sekitarnya disela pameran menyatakan sangat terharu terhadap eksplorasi seniman muda asal Aceh ini. Memang ‘Kande” sudah mulai dilupakan masyarakat, padahal benda sederhana ini sangat tinggi nilai estetiknya. Tentu banyak orang Aceh akan ‘kaget’ dengan kepedulian Mahruzal. Memang seniman bertanggungjawab terhadap kelestarian nilai budaya bangsa, dan Mahruzal sudah membuktikan tanggungjawabnya ini.

Adanya karya yang beranjak dari Kande ini merupakan babak baru bagi perkembangan seni rupa Aceh khususnya. Kini kita semua sadar apa yang kita anggap tidak menarik disekitar kita ternyata menyimpan sisi-sisi lain yang sangat potensial dijadikan sebagai sumber inspirasi. Setidaknya apa yang telah dilakukan Mahruzal mengingatkan kita pada beberapa hal; tak perlu jauh-jauh mencari ide yang unik, disekitar kita cukup banyak tersedia, lampu minyak misalnya. Walau beranjak dari sesuatu yang sederhana, ternyata banyak hal yang tersembunyi dari kande, ada sisi kegamangan budaya, sejarah dan bukti kemashuran sebuah bangsa, lihat tekhnologi pengecoran kande sudah demikian unik dan rumit, padahal sekarang tak jelas lagi pabriknya dimana. (3) Aspek kemasyarakatan dan filsafat tak hanya berada pada ide-ide besar dan bombastis, dengan kande Mahruzal mengintip filosopi rumah tangga yang butuh diterangi iman, lihatlah karya “perahu kehidupan”. Terasa sederhana memang namun membangun ruang estetik yang luar biasa. Kande Mahruzal juga bicara sejarah manusia dari zaman tradisi menuju modernisasi, lihat karyanya berjudul “kecemasan”. Kekayaan seni Aceh sangat banyak dan tak akan pernah habis digali, walau hanya diawali dari hal sederhana. Sayang di Nangroe Aceh Darussalam, hal seperti ini tidak ada yang memikirkannya, malahan masyarakat seniman asal Aceh yang berada di luar Aceh yang getol berpikir tentang kemajuan seni budaya Aceh. Berangkat dari hal ini, penulis menawarkan pekerjaan rumah kepada Pemerintah Daerah NAD, Seniman NAD, Intelektual NAD, Tokoh dan Pakar pendidikan di NAD agar berkenan berpikir dan bermufakat menuju musyawarah untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Seni di Aceh, seperti Sekolah Tinggi Seni atau entah apalah namanya. Aceh sudah selayaknya memiliki Lembaga Pendidikan Tinggi seni semacam itu, agar seluruh bidang seni di Aceh yang sangat tinggi nilainya itu dapat terdokumentasikan, dan dapat dikaji secara keilmuan. Jika hal ini tidak dilakukan jangan heran ketika masyarakat Aceh akan belajar tentang seni rupa, tari, teater, sastra Aceh yang memiliki nilai religiutas itu di luar Aceh. Aneh! Hari ini apakah ada anak muda Aceh kenal kande, teater Dalupa, tari Pho, sandiwara gelanggang labu, poh haba, hiem, hikayat, dangderia, cae, biola Aceh, seudati, likok pulo, didong, guel itu apa? Atau besok lusa generasi Aceh harus belajar seni nenek monyang yang luar biasa ini harus ke STSI Padangpanjang, STSI Bandung, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Denpasar, ISI Surakarta, IKJ Jakarta, dan STKW Surabaya sebab beberapa seni Aceh tersebut telah jadi mata kuliah. Luar biasa anehnya jika hal ini terjadi. Kande salah satu contohnya, apakah ada generasi sekarang ini ada yang masih mengetahui asal-usulnya, sejarah dan filosofinya. Aceh harus berterimakasih kepada Mahruzal, ia mempopulerkan kande ke dunia luar.

Selanjutnya karya Mahruzal ini disiapkan sebagai benda berfungsi ganda yakni sebagai hiasan sekaligus benda fungsional, layaknya benda kriya memang demikian. Saat karya Mahruzal dinyalakan ada hal lain yang muncul, suasana masa lalu terasa dalam lampu minyak yang ditiup angin. Bayangan diri menari-nari membawa kita ke masa lalu.

Memang benda seni hadir bukan sekedar pemuasan pandangan zahir, namun harus mampu menembus sisi tak tampak yang memberi kekayaan batiniah. Seniman harus jeli dan setia pada kebudayaan dan terbuka bagi dunia luar. Karya yang indah bukan hanya sedap dipandang. Namun sejauhmana kita dibawa ‘bertamasya’ ke dalam konsep pikir si seniman pencipta. Semoga mahruzal jadi perupa yang dinanti-nantikan oleh bangsa ini. Perupa yang cinta budaya lama tapi tak ketinggalan zaman. Bravo! Mari terus berpikir dan merenung untuk menginovasikan sekaligus menciptakan kebaruan seni yang berangkat dari budaya lokal. Mari.














*) Penulis adalah penyair, aktor, dramawan, sutradara dan pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, juga dosen jurusan teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.

TEATER MODERN DI ACEH: HIDUP SEGAN MATI TAK MAU

Oleh: Sulaiman Juned *)

Andaikan permasalahan dana yang membuat dunia seni pertunjukan teater agak tersendat-sendat, seperti kerakap di atas batu, hidup segan mati tak mau. Begitulah amsal nafas kehidupan dunia teater di seluruh Indonesia. Berbicara masalah dana, komunitas-komunitas teater dimanapun ia berada tetap saja harus merogoh uang dari kantong sendiri untuk sebuah produksi teater. Biasanya sutradara harus mengeluarkan uang pribadinya untuk membiayai proses kreatif berteater. Jangankan di daerah, Jakarta saja masih mengalami fenomena seperti ini. Namun lain halnya dengan kondisi di Nanggroe Aceh Darussalam sekarang ini, dana melimpah baik dari pemerintah maupun NGO asing pasca tsunami. Dana tersebut ada yang dikhususkan untuk perkembangan dan kemajuan dunia seni di Aceh, bahkan ada yang lebih khusus lagi untuk kemajuan dunia teater di Aceh. Tapi alangkah sayang, jangankan untuk berkembang maju, jalan di tempat pun tidak.

Masa lalu Teater Aceh dan Pasca Tsunami.

Mari kita melirik hati, mengenang sekian puluh tahun ke belakang produktivitas teater modern Indonesia di Aceh. Masa itu, pendanaan sulit, kelompok teater ramai yang paling menyenangkan persaingan juga menjadi sehat. Antara tahun 1970-1997 Taman budaya Aceh yang digawangi Drs. Sujiman A.Musa, M.A memprogramkan pertunjukan teater pilihan tiap bulan. Program tahunan ini hanya dipilih lima kelompok teater yang dianggap berkualitas untuk pentas, dana didukung oleh Taman Budaya Aceh sekitar Rp.500.000,- per grup selebihnya ditanggung masing-masing kelompok teater tersebut jika kurang. Waktu itu, muncullah kelompok-kelompok teater independen seperti; Sanggar Kuala pimpinan Yun Casalona, Teater Mata pimpinan (Alm) Maskirbi, Teater Bola pimpinan (Alm) Junaidi Yacob, Teater Mitra Kencana pimpinan (Alm) Pungi Arianto Toweran, Kriya Artistika pimpinan Kostaman, Teater Peduli pimpinan (Alm), M.Nurgani Asyik, Sanggar Cempala Karya pimpinan Sulaiman Juned, Teater Alam pimpinan Din Saja, Sanggar Kuas pimpinan M.J. Seda, Teater Kosong pimpinan T. Yanuarsyah, teater Gita pimpinan Junaidi Bantasyam. Ada juga kelompok teater kampus yang masa itu ikut bernafas, seperti; Gemasatrin FKIP Unsyiah pimpinan Inal Fromi, Sanggar Kisnaka Unsyiah Pimpinan Zab Bransah, UKM-Teater Bestek-Fak. Ekonomi Unsyiah pimpinan Iwan Yacob, Sanggar Kita Fak. Hukum Unsyiah pimpinan J.Kamal Farza, UKM-Teater Nol pimpinan Jarwansyah. Denyut nadi perteateran di Aceh dalam kurun waktu tersebut memang terus berkembang dan mencapai puncak keemasannya. Ini dibuktikan setiap ada pertemuan teater Indonesia dimana saja, teater Aceh pasti ikut serta, seperti pertemuan teater Indonesia di Makasar 1990, di Jakarta tahun 1995, terakhir di Pekanbaru tahun 1997, setelah itu teater Indonesia pun tidak pernah lagi mengadakan pertemuan sekaligus tak memiliki isu.

Rekan-rekan seniman teater Sumatera cepat membaca kondisi ini, lalu memunculkan isu teater Indonesia kita tatap dari Sumatera. Isu ini ditangkap dan dilaksanakan oleh Jurusan teater STSI Padangpanjang dengan label Pekan Apresiasi Teater. Lagi-lagi Aceh hanya muncul satu kelompok teater, Teater Reje Linge Takengon Aceh Tengah pimpinan Salman Yoga. Sayang, merekapun datang hanya sebagai peninjau bukan mementaskan raga teater, menyedihkan memang. Bolehlah, alasan keterpurukkan teater di Aceh karena konflik yang berkepanjangan antara GAM dan TNI serta POLRI sehingga teater tidak diperbolehkan melakukan pementasan malam hari. Kita kenang masa-masa penjajahan Belanda dan Jepang, kesenian dan seniman Indonesia di ikat ruang geraknya. Namun seni dan seniman tetap melakukan aktivitasnya, jadi alasan klasik tersebut hanya untuk menutupi ketidakmampuan dalam berproses kreatif.

Ada keinginan untuk menjadi lebih baik. Teater dijadikan media pembelajaran moralitas, dan rehabilitasi psikologis bagi anak-anak korban tsunami. Sesungguhnya ini awal yang sangat baik, namun sayang di Nangroe Aceh Darussalam dalam kurun waktu itu bermunculanlah teater-teater yang berjenis Lawakan. Setiap ada pertunjukan teater pasti pertunjukan tersebut menjadi lawak (bukan komedi), penonton hanya membawa pulang tertawa setelah menyaksikan pertunjukan. Begitulah kondisi teater di Aceh.

Selanjutnya tanggal 12 sampai 18 April 2008, di Taman Ratu Syafiatuddin Banda Aceh diadakan kegiatan budaya Diwana Cakradonya, dalam kegiatan tersebut juga muncul event festival teater se-Nanggroe Aceh Darussalam. Ada rasa bangga dan haru ketika mendengar kegiatan teater diberi ruang dalam pesta budaya Aceh tersebut. Namun penulis sangat renyuh menyaksikan teater dipertunjukan dalam pasar malam, dengan fasilitas pertunjukan di bawah standar. Warga dan Pemerintah Daerah Aceh belum menghargai seni teater, yang paling menyedihkan malah masyarakat seniman ikut pula merendahkan dirinya. Apalagi ketika penulis menyaksikan pertunjukan demi pertunjukan, secara keseluruhan pekerja teater Indonesia di Aceh kurang mengerti konsepsi pemeranan, penyutradaraan dan artistik sehingga menggarap pertunjukan teater hanya mengandalkan pengalaman empirik semata. Teater dewasa ini, bukan lagi sekedar hobi, teater telah jadi bagian dari ilmu pengetahuan. Jadi berteater itu harus berguru bukan meniru. Tataran dunia perteateran di Aceh masih dalam taraf menirukan rutinitas kehobian dalam menggeluti teater. Festival teater Se-NAD itu, muncul dalam rutinitas ketimbang tak ada pertunjukan, makanya dilaksanakanlah kegiatan yang menghabiskan banyak uang dengan kualitas kegiatan rendah. Festival teater seharusnya dilaksanakan di gedung pertunjukan yang siap dengan fasilitas pendukung seperti lighting (cahaya), gedung pertunjukan yang memiliki akuistik bagus yang akhirnya berimbas pada kualitas pertunjukan.

Aceh Butuh Lembaga Pendidikan Tinggi Seni

Masyarakat teater Aceh memiliki budaya lokal berteater seperti; dalupa, guel, P.M.T.O.H, didong, dangderia, hikayat dan sebuku serta Gelanggang Labu. Teater-teater tradisi ini, mampu menjadi pemicu teaterawan Aceh dalam proses kreatifnya. Dewasa ini, generasi Aceh banyak yang tidak kenal lagi mengenai seni tradisi yang bernilai tinggi ini. Atas dasar inilah, tak ada salahnya penulis menggantungkan harapan kepada Pemerintah Daerah, Praktisi Keilmuan, Seniman, dan Seniman Akademis baik yang berada di Aceh maupun di luar Aceh untuk duduk bersama memikirkan dan merumuskan pendirian Lembaga Pendidikan Seni di Aceh. Andai Lembaga Pendidikan Seni ini berdiri, tidak hanya mampu mendokumentasikan seni teater tradisional Aceh, namun akan berada dalam cakupan seni yang universal menjadi laboratorium seni Islam Nusantara. Hal ini dapat terealisir karena Aceh kini memiliki hukum Islam sebagai landasan ideal dalam bermasyarakat melalui Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. Jika hal ini dikaji serius oleh masyarakat seniman dan PEMDA NAD, maka Seniman Aceh juga harus melahirkan Qanun (Hukum) tentang kesenian. Seni Aceh adalah seni yang berlandaskan Islam. Jadi lembaga pendidikan seni di NAD berbeda dengan kajian seni yang ada di IKJ Jakarta, ISI Yogyakarta, ISI Surakarta, ISI Bali, STSI Bandung, STSI Padangpanjang, STKW Surabaya, AKMR Pekanbaru, Akademi Seni Papua. Lembaga Pendidikan Seni ini, selain mampu mengangkat martabat kesenian Aceh, juga mampu mendokumentasikan seluruh seni tradisi Aceh sekaligus mengkaji seni secara keilmuan tidak hanya sebagai hobi. Andaikan Lembaga Pendidikan Seni berdiri di Aceh, ia akan mampu menjawab tantangan jaman terhadap kualitas intelektual seniman Aceh, bukan kuantitasnya. Sekaligus menjadikan Aceh tempat kajian seni yang Islami di dunia selain Turki. Bagaimana (?) Semoga!



*) Penulis adalah Penyair, Sutradara dan pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, juga dosen jurusan teater STSI Padangpanjang asal Aceh.