PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Minggu, 22 Maret 2009

PUISI-PUISI UNTUK LOMBA BACA PUISI KOMUNITAS SENI KUFLET

MERAYAKAN ULANG TAHUN KOMUNITAS SENI KUFLET PADANG PANJANG YANG KE 12, PANITIA AKAN MENGADAKAN PENDIDIKAN DAN LATIHAN (DIKLAT) KARYA TULIS ILMIAH KEPADA PARA GURU SE- SUMATERA, SERTA LOMBA BACA PUISI TINGKAT MAHASISWA DAN SISWA. INI KAMI PUBLIKASIKAN PUISI-PUISI YANG DIBACAKAN DALAM LOMBA. KEGIATAN INI BERLANGSUNG; 10 – 12 Mei 2009, BERTEMPAT DI GEDUNG TEATER MURSAL ESTEN, STSI PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT. (PANITIA).

PUISI WAJIB:
Karya: Taufik Iswmail

KITA ADALAH PEMILIK SAH REPUBLIK INI

Tidak ada pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Karena berhenti atau mundur
Berarti hancur

Apakah akan kita jual keyakinan kita
Dalam pengabdian tanpa harga
Akan maukah kita duduk satu meja
Dengan para pembunuh tahun yang lalu
Dalam setiap kalimat yang berakhiran
”Duli Tuanku”

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus
Kita adalah manusia bermata sayu, yang di tepi jalan
Mengacungkan tangan untuk oplet dan bus yang penuh
Kita adalah berpuluh juta yang bertahun hidup sengsara
Dipukul banjir, gunung api, kutuk dan hama
Dan bertanya-tanya inikah yang namanya merdeka
Kita yang tidak punya kepentingan dengan seribu slogan
Dan seribu pengeras suara yang hampa suara

Tidak ada lagi pilihan lain. Kita harus
Berjalan terus

1966

(Dikutip dari Himpunan Puisi Taufik Ismail, Mengakar Ke Bumi Menggapai Ke Langit).




PUISI WAJIB
KARYA: Sulaiman Juned

PULANG
-kepada penyair Mustafa Ismail

sudah waktunya kita pulang. Mengetuk pintu
menata pekarangan rumah dengan cinta, biar
gerimis masih mengurung perjalanan.

sudah waktunya kita pulang. Mengusir pipit
sedang makan padi muda agar tak menghitung
nama-nama di koran pagi dalam warung kopi. Lalu
menggantikan pertunjukan seudati selepas panen.

sudah waktunya kita pulang. Rakyat di kampung-kampung
menjawab keraguan sendirian. Kita ganti saja warna
hitam atau merah jadi putih antar ke pintu surga
(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan)

-Padangpanjang, 2001-

(Dikutip dari antologi puisi Riwayat, Sulaiman Juned)




PUISI PILIHAN
KARYA: M. Nurgani Asyik

KAU, NUN DI SUDUT SANA

saksikan burung-burung begitu riang dari satu pohon ke pohon lain
(ada sungging senyum di barat sana)
engkau di timur aku dengan anak-anak bumi
mengimpikan setaman mekar di balik kenestapaan para pengungsi
mari burai tentang kamboja putih
dan taman gersang yang masih sudi memangku.

saksikan mentari
mengusik tidur gelandangan pagi itu
mengantar mereka dalam tualang kehidupan
mencoba merajut kehidupan dari awal
setelah segala yang tertinggal jadi hilang tak berbekas
(aku masih berdoa agar sisa embun
yang basah nemani dahaga sehari-hari)
saksikan bunga-bunga rekahkan ceria
sedangkan kami senantiasa merindukan
tangan-tangan lembut yang segaja turun dari surga
ketika senyum ada di situ menjamah hari-hari

kau

Banda Aceh, 1998


PUISI PILIHAN
KARYA: Iyut Fitra

SELAMAT PAGI RARA

rara menangkap pagi
sisa embun lepas dari tangkai. kupu-kupu melesat mengejar awan
aku ingin terbang. lebih indahkah dunia dengan sayap terkepak
atau masih seperti debu jalan

bocah itu mengulurkan tangan di jendela. seolah ingin meraba
matahari,
dan bernyanyi, kupu-kupu yang lucu...
tapi kehidupan telah terpanggang, hutan hangus lebam
berlaksa prahara mengusir segala ke perih pengungsian,
tak ada kupu-kupu
adakah ia tahu

rara menagkap pagi
tapi pagi telah mati

Payakumbuh, Februari 2005

(Dikutip darim Antologi Puisi Dongeng-Dongeng Tua, Iyut Fitra)



PUISI PILIHAN
KARYA: D. Kemalawati

KOTA MATI

hari ini berjalan-jalan di jalan sepi
plong
dadaku, rasaku, sajakku
plong
terbang ke awan bebas
plong
bernyanyi bersama angin
plong

nyanyian ini nyanyian kami
yang lama sembunyi-sembunyi
nyanyian ini nyanyian bidadari
yang sembunyi-sembunyi menari
tarian ini tarian seudati
para lelaki menepuk dada memetik jari
lelaki di sini lelaki sejati
biarlah mati di negeri sendiri

4 Agustus 1999
(Dikutip dari Antologi Puisi Surat dari negeri tak bertuan, D. Kemalawati).

PENYAIR IYUT FITRA: Pembicara Atawa Pencerita

PENYAIR IYUT FITRA PEMBICARA ATAWA PENCERITA
Oleh: Sulaiman Juned *)

Beberapa waktu yang lalu (14/3) Penyair nasional asal Payakumbuh Iyut Fitra melakukan Lounching antologi puisi Dongeng-Dongeng Tua setelah pada tahun 2005 meluncurkan buku puisinya yang pertama Musim Retak. Kegiatan ini terlaksana atas kerjasama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, bertempat di Gedung Teater Mursal Esten. Lounching ini dibuka dengan pertunjukan teaterikal puisi berjudul “Tangga” Karya Iyut Fitra yang digarap mahasiswa HMJ Teater STSI Padangpanjang lewat eksplorasi tubuh.
Yusril, S.S., M.Sn Ketua Jurusan Teater mengatakan, ini kali kedua penyair Iyut Fitra hadir di sini. Di awal pendirian jurusan teater pada tahun 1997, Iyut pernah baca puisi yang diiringi dengan musik orkestra. Lounching buku sastra seperti ini penting dilakukan oleh HMJ, sebab sastra sangat berhubungan dengan proses kreatif seorang pekerja teater. Jadi jurusan teater sangat terbuka dan dapat menjadi ‘rumah’ bagi seniman-seniman Indonesia, minimal seniman yang bermukim di Sumatera Barat. Para penyair, teaterawan, kreografer, komposer dan pelukis serta sinematografi silakan datang ke jurusan teater STSI Padangpanjang, kami akan sambut denga senang hati. Fasilitas ini milik kita untuk memajukan dunia kesenian.
Iyut Fitra mengatakan, saya sangat senang dan bangga serta tersanjung dijamu oleh adik-adik jurusan teater. Sedangkan mengenai puisi-puisinya, Iyut tidak mau menjelaskan makna hasil karyanya kepada pembaca, sebab puisi ketika sampai di tangan pembaca telah menjadi milik si pembaca. Puisi yang telah lahir, ia harus berjuang sendiri untuk menentukan jalan hidupnya. Puisi diumpamakan seorang anak, ibu telah berjuang melahirkannya tentu selanjutnya perjuangan sang anak pula agar mampu mempertahankan hidupnya. Begitulah, tugas penyair hanya menulis.
Penyair Iyut Fitra dalam puisinya menciptakan lawan bicara berupa manusia yang secara eksplisit disebutkan, atau manusia tertentu tetapi implisit. Kehadiran (identitasnya) dapat ditemui dalam teks, seperti dalam puisinya berjudul “Jamila” atau manusia umumnya dalam puisi “tangga” . Situasi bahasa yang ditawarkan penyair Iyut Fitra lewat engel naratifnya, merujuk pada persoalan pihak mana saja yang terlibat dalam komunikasi teks sastra? Siapa pembicara atau pencerita? Kepada siapa pembicaraan itu ditujukan? Siapa yang menjadi lawan bicara? Situasi bahasa merupakan sistem komunikasi dalam karya sastra berbentuk puisi.
Penyair adalah Writer: (penulis/ penyair/ pengarang). Identitas aku, kau, kita dalam teks puisi adalah narator. tuhan, mu, saya dan sebagainya dalam teks puisi adalah narratef. “Lawan bicara/ yang di ajak bicara/ pihak yang dituju”. Kita semua yang membaca teks dalam hal ini karya Iyut Fitra adalah real reader atau audience (pembaca/khalayak). Setiap pembicaraan di dalam puisi ditujukan kepada seseorang (lawan bicara). Semua genre puisi baik dialog, monolog maupun naratif selalu ada lawan bicara. Hanya saja penyair terkadang menghadirkan lawan bicara dalam puisinya secara eksplisit. Sesungguhnya secara implisit sosok si penyair itu hadir di dalam teks puisinya.
Pembicaraan tentang tife penyair dapat membantu pembaca puisi untuk mengenali identitas teks. Setiap teks puisi Iyut Fitra selalu hadir sebagai pencerita atau pembicara kepada lawan bicara (pembaca atau khalayak). Iyut, dalam teks puisinya kehadiran lawan bicaranya nyata. Disamping itu, yang diajak bicara tidak hanya terbatas pada manusia melainkan juga alam dan Tuhan.
Sahrul N. Dosen STSI Padangpanjang yang kritikus Seni itu, melakukan telaah puisi penyair Iyut Fitra lewat Romantisme Naratif dalam Puisi Iyut Fitra. memaparkan “Membaca puisi cinta adalah membaca kehidupan itu sendiri. Puisi yang baik akan selalu punya sihir kata yang mampu melibatkan perasaan pembaca. Ia membawa kita pada kembara tanpa batas. Iyut Fitra mengurai romantisme itu dalam narasi yang terukur dan tertata rapi. Narasi puisi Iyut terlihat ketika ia bercerita tentang cinta (cinta pada ibu, perempuan, negeri dan segala persoalan yang menyentuh rasa dan pikirannya). Ia menyampaikan sebuah cerita”.
Sahrul N membaca Dongeng-Dongeng Tua, yang berisi tujuh puluh puisi Iyut Fitra, lalu membagi tiga periode pemakaian diksi sang penyair. Tahun 2004; penyair berangkat dari semangat kehidupan yang liar dan kelam. Diksi yang dipakai lugas dan berani. Sang penyair masih berpacu dalam dinamika kehidupan tanpa kemapanan. Aspek puisinya yang berjudul Mabuk Luka: //......bukan penyair bika tak mabuk/ pada luka-luka dunia. kesintalan perempuan malam yang bergoyang//.
Tahun 2005; Romantisme pada tahun ini memperlihatkan tingkat kemapanan dalam memandang kondisi sosial. Kematangan jiwa seorang penyair dalam memandang kehidupan. Hidup tidak lagi menjadi beban. Diksi yang filosofis mulai menghiasi karya-karya Iyut Fitra. Bahasa pada periode tahun 2005, terasa ada ragam bahasa puitik dengan bahasa praktis. Puisi-puisinya sangat puitik dengan bahasa emotif yang terjaga. Mari kita petik salah satu puisinya yang berjudul Sembilu: //hanya serasa awan terjahit untuk selimut// dalam gigil kesah betapa aku langit ingin menjemput/ waktu menjalar berubah bilang/ kau yang datang sebagai kupu-kupu/ jangan pernah menjelma sembilu//.
Tahun 2008; Romantisme dalam periode ini, merupakan periode kematangan bagi pencarian gaya kepenulisan dan pemilihan diksi. Persoalan budaya, moral, politik, adat dan sebagainya menjadi inspirasi dalam pertarungan imajinasinya. Romantisme tidak lagi sekedar cinta perempuan, tetapi menjadi romantisme adat, budaya, seni, agama, politik dan sebagainya. Mari kita simak petikan puisinya Hujan Telah Reda: ....//payakumbuh 15 maret. hujan telah reda, kotaku masih pucat/ tadi pagi telah kuterima sebuah lukisan/ bergambar batu nisan//.
Demikianlah ungkapan Sahrul N, ketika membahas dunia kepenyairan sekaligus karya-karyanya. Iyut Fitra tak ada keraguan, kesendatan dalam menuangkan diksi berbentuk puisi naratif. Termasuk komponen linguistik dan bahan kesasteraan terukir dalam bahasa puisi. Begitulah perkembangan kepenyairan seorang Iyut Fitra.
Acara sehari penuh itu, dihadiri oleh mahasiswa FKIP/ Bahasa dan sastra Indonesia Kauman Padangpanjang sebanyak 60 orang, mahasiswa STSI Padangpanjang. Juga dihadiri Tya Setiawati pentolan teater Sakata Padangpanjang, anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kegiatan itu ditutup dengan membacakan puisi-puisi Iyut Fitra. Turut membacakan puisi; Yusril (Ketua Jurusan teater/Pimpinan Komunitas Seni Hitam Putih), Tya Setiawati (Sutradara Teater Sakata), Dona Sangra Dewi (Sekretaris Komunitas Seni Kuflet), Immatul Jannah, Syarif Hayatullah, Erianto (Mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia), Zulkani Alfian dan Susandrro (Mahasiswa Jurusan Teater). Yang paling menarik dari acara baca puisi tersebut, ternyata penyair Iyut Fitra turut menilai para pembaca puisi, lalu diakhir acara menyerahkan bingkisan sebuah baju dan antologi puisi ’dongeng-dongeng tua’ kepada Tya Setiawati yang dianggap Iyut menjadi pembaca puisi terbaik. Luar biasa! Bravo Iyut Fitra!
*) Penulis adalah penyair, Sutradara teater, dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, serta dosen tetap jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang.