PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Jumat, 23 Januari 2009

Teater Tutur Aceh: Adnan P.M.T.O.H

TEATER TUTUR ACEH:
Adnan P.M.T.O.H ‘troubador yang menulis di atas angin’

Oleh: Sulaiman Juned*)

Prolog

Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia) dua tahun yang lalu belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semaca bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan anak-anak, serta kostum. Proferti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set dan alinasi. Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat merubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton.
Teungku Adnan bermain sendiri, namun mampu menghadirkan beratus-ratus tokoh, dengan ekspresi dan karakter vokal yang berubah-ubah. Inilah kelebihan yang dimiliki Teungku Adnan-ia bermain sendiri di atas pentas, tetapi penonton laksana menyaksikan ratusan aktor sedang berada di pentas. Hal ini yang membuat Teungku Adnan dijuluki “Traubadoe dunia” oleh Prof. Dr. Jhon Smith seorang peneliti dari Amerika Serikat.
Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat penduk
ungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Lalu dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba , Blang Pidie-Aceh Seletan)., dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya tirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti rame, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H” Tutur Teungku Adnan. ( Wawancara dengan Teungku H. Adnan, 14 April 1999, di Blang Pidie-Aceh Selatan)
Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H.

Hikayat Sebagai Teks dalam Teater Tutur Aceh
Andai membicarakan teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutaradara menuju realita teater (pertunjukan).
Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’. Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sanjak (puisi). (Budiman Sulaiman, 1983:78).
Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat . Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya, “adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheu.t Dua Ploh. Tentang adat istiadat; Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, 1988: 38).

Teungku Adnan P.M.T.O.H Sang Traubador
Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan ysng menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau Dangderia . Ia sanggup menghafal 9 buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 malam berturut-turut. Tuhan memang maha kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama ditempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Proferti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee, lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.
Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke Sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi” (Wawancara, Teungku Adnan P.M.T.O.H, 20 januari 1989).
Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Benar Teungku Adnan, bukan hanya Aceh yang kehilangan “Traubadur Dunia” Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian diseluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang “traubadur dunia” yakni Teungku Adnan, tapi sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Wah, payah ini. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang “traubadur” lagi. Kalau Pemerintah Aceh berkenan dan menerima masukan Teungku Adnan waktu itu, mungkin sekarang ini Aceh sudah memiliki pengganti Teungku Adnan. Kita sudah kehilangan, untuk itu sekarang saya mengusulkan kepada Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam agar berkenan mendirikan Lembaga pendidikan Tinggi Seni, terserah apakah bernama Akademi Seni Aceh atau Sekolah Tinggi Seni, bahkan Institut Seni Aceh. Semuanya sangat memungkinkan untuk kita lakukan agar kesenian-kesenian Aceh yang bermuara dari seni islami tidak akan hilang. Jika ada lembaga pendidikan tinggi seni, yakinlah kesenian Aceh akan terdokumentasikan dengan baik karena Pendidikan Tinggi Seni dapat menjadi laboratorium pembelajaran seni Aceh. Mari kita berpikir keras untuk mendirikan itu, jika kita bersama pasti bisa. ‘satu untuk semu, semua untuk satu’ tak ada yang tak dapat kita lakukan kalau dilakukan secara bersama-sama. Atau tidak usah kita pikirkan sekaligus kita biarkan saja satu persatukan Maestro-maestro seni Aceh hilang dijemput sang Maha Kuasa. Lalu etnis Aceh melupakan kesenian-kesenian yang luar biasa itu . kesenian yang mampu menjadi transformasi moral bagi masyarakat Aceh. Mari kita renungkan bersama. Salam Meuchen.

@ Rumah Kontrakan, Paadangpanjang Sumatera barat

















*) Penulis Penyair, Dramawan, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatrera Barat, juga Dosen jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.

Milleniart: Keragaman Budaya

MILLENIART: KERAGAMAN BUDAYA MENGALIR
DARI TAMAN SARI TIRTAGANGGA, BALI

Oleh: Sulaiman Juned


Di Tirtagangga, seniman mencoba menciptakan ruang
Pertukaran pengalaman dan gagasan untuk pencarian, memandang
Wacana kebudayaan baru.



Prolog
Festival dan temu ilmiah Masyarkat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) yang mengacu pada nilai-nilai seni dan keragaman budaya pertunjukan Indonesaia diselenggarakan di suatu tempat suci orang Bali yang di sebut Taman Air Tirtagangga yang membelah kawasan timur Bali. Tirtagangga mempunyai arti secara leksikal yaitu “air (sungai suci) Gangga”, Anak Agung Ang Lurah Ketut Karangasem yang merupakan raja Karangasem terakhir (sekitar tahun 1948) sebagai arsitek taman itu, terilhami oleh tempat suci umat Hindu semacam sungai Gangga di India. Bangunan ini bergaya arsitektur Bali, China dan Erofa.
Sungai suci itu, mempunyai tiga kawasan (kompleks), bagian yang pertama yag terendah ada kolam dan sebuah menara air bersusun sembilan menjadi land mark taman ini. sementara bagian tengah terdapat kolam wanita. Bagian atas terdapat pura air yang berdiri megah sebagai tempat peristirahatan keluarga. Hal yang membuat kita berdecak kagum, bila sepasang mata tertuju ke sudut-sudut taman menyaksikan proferti patung-patung hewan mitologis seperti; lembu, naga, singa, garuda dalam bentuk raksasa yang mengeluarkan air tak henti dari mulutnya. Menara air yang bersusunsembilan tersebut menambah keunikannya dengan mengalirkan air semakin jauh tanpa di bantu alat generator.
Pola perkampungan (desa) dan arsitekturnya mengingatkan kita pada abad XVI, desa tua dengan kelompok-kelompok bangunan rumah lewat tataan lingkungan mengikuti aturan adat. Itulah yang kita temui di Tirtagangga desa Ababi, Kecamatan Abang Karangasem, Bali. Disitulah diadakakan ‘perayaan asal, penghargaan pada keragaman budaya’ yang dimotori oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dari tanggal 9 s/d 14 September 1999. Di Tirtagangga seniman mencoba mencipatakan ‘ruang’ pertukaran pengalaman dan gagasan untuk pencarian atau memandang wacana kebudayaan baru.

Pluralitas Budaya Berorientasi Relasi Budaya
Penegasan hidup dalam pluralitas budaya berorientasi pada nilai, sikap, dan tingkah laku. Berbagai bentuk ekspresi budaya dalam menghadapi millenium ketiga, sebagai seniman harus mempersoalkan masalah eksistensi dan segala pendukungnya di tengah keberagaman budaya. ‘perbenturan’ budaya dalam ruang dan waktu seakan menjadi pertukaran dan saling mengisi ke dalam budaya masing-masing etnis yang terlibat pada event itu, sehingga tidak terjadi perasaan etnosentris yang menagung-agungkan nilai budaya satu etnis saja. Kesadaran akan pluralitas budaya dianggap mampu menciptakan pemikiran keberadaan masa depan seni pertunjukan Indonesia, dan selain itu dapat pula mendorong para pemikir seni, memikirkan pengkajian lintas budaya (cross culture) dengan studi multi disiplin ilmu yang akhirnya melahirkan para etnomusikolog, etnolog tari, dramatug teater, kritikus seni pertunjukan dan lain sebagainya.
Indonesia dikenal dengan kekayaan ragam budaya, karena itu pula dalam relasi antar budaya hendaknya harus menghindarkan diri dari pemutlakan orientasi lokal yang mengutamakan warna suatu kebudayaan tanpa menghargai eksistensi tradisi seni etnis lain. Tradisi seni suatu etnis yang sangat kecil sekalipun tak boleh dilecehkan oleh suatu kebudayaan yang lebih besar. Itulah yang harus didasariuntuk dihindarkan sebagai cerminan demokrasi dalam kebudayaan manusia, hal ini harus diperjuangkan untuk kebersamaan oleh para pemerhati, ahli dan praktisi seni yang hidup dialam pluralistik.

Kajian dan Temu Ilmiah
Pertemuan yang menyikapi secara bijak masa transisi yang krusial untuk menuju era Indonesia baru. Melalui kesadaran ruang dan waktu antara komunitas kesenian dalam mencari kemungknan baru persentuhan budaya. Disamping itu, kajian tentang teater yang lebih tepatnya tentang ekologi teater Indonesia, tentu mengarah kepada pergolakan teks pertunjukan untuk membuat apresiasi dalam era kehidupan berkesenian (teater) dalam konteks saling membutuhkan.
Menyaksikan pertunjukan dan memahami sesuatu yang ditawarkan agar teater tidak lagi mengikat pada konvensi pertunjukan teater modern (Barat), tetapi dapat dilihat dan dinikmati pertunjukan yang kembali ke zaman Yunani Kuno, kecenderungan teater diaktualisasikan dengan isu-isu kekinian. Tentu kita akan berharap bahwa, kajian teater Indonesia benar-benar dapat menjadi teater Indonesia bukan meng-Indonesiakan teater Barat. Berangkat dari pemahaman itulah, teater Indonesia perlu berakar ke teater tradisi (Rakyat) yang bukan dalam arti mentransformasikan langsung ke dalam jiwa teater modern Indonesia. Inilah fenomena kesenian yang dianggap dapat memperluas kemungkinan baru dalam sebuah pengungkapan seni yang berada dalam frame global dan lokal. Hidup dalam pluralitas budaya menambah wawasan dan orientasi nilai, sikap, tingkah laku secara terus-menerus harus saling menghargai dan menghormati warna kebudayaan lain dengan tidak mengutamakan warna kebudayaan tertentu kepada orang lain.
@ TIRTAGANGGA-BALI, 1999
11 TAHUN KOMUNITAS SENI KUFLET
BINCANGKAN MELAYU YANG IDEAL

(Padang Ekspres, 11 Mei 2008).
Memperingati ulang tahun ke 11, komunitas seni Kuflet Padangpanjang menggelar seminar sehari, acara akan diadakan hari Minggu, 11 Mei 2008.
Ketua Panitiai , Syarief Hayatullah yang didampingi Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn sebagai pimpinan Komunitas Seni Kuflet mengatakan, “seminar ini diangkat untuk mencari solusi terpisahnya estetika seni dari masyarakat. Ini membuat generasi muda lebih melirik kebudayaan asing” ujar staf pengajar STSI Padangpanjang ini.
Tema y ng diangkat kali ini adalah “Konsepsi ideal sastra dan Budaya Melayu Nusantara”. Meski kata “ideal” amat sulit diwujudkan, namun Soel menegaskan namun itu bukanlah hal mustahil.
Dalam pers release, panitia akan menghadirkan Walikota Padangpanjang, Dr. H. Suirsyam dalam pembukaan. Selain itu ada dua sesi seminar, worshop dan diskusi seni, penampilan seni dan bedah buku mewarnai acara seminar yang berlangsung mulai pukul 09.00-24.00 WIB.
Prof. Dr. mahdi Bahar tampil dalam sesi pertama dengan su -tema “Sastra Melayu menghadapi Globalisasi”. Sementara Sub-Tema “Aspek Melayu dalam drama Minangkabau” menjadi bahasan Drs. Zulfardi Darussalam, M.Pd. Buku Catatan Perang Karya Wiko Antoni, S.Sn akan dikupas habis oleh Asril Mukhtar, S.Kar., M.Hum dan Sulaiman Juned. Tengah malam nanti akan ada birth ceremony.
Sasaran kegiatan ini ditujukan siswa, tenaga pengajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Pembaca yang berminat langsung saja mendaftar ke lokasi acara di Gedung Auditorium STSI Padangpanjang. Setiap peserta dikenakan biaya acara yang berbeda. Untuk guru dan tenaga pengajar Rp. 20.000,- mahasiswa Rp. 15.000,- dan pelajar cukup dengan membayar Rp. 10.000,- biaya ini ditujukan untuk perlengkapan seminar dan konsumsi.

Sandiwara Gelanggang Labu

KONFLIK DI ACEH:
SANDIWARA KELILING GELANGGANG LABU TERANCAM PUNAH

Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn

Pemain sandiwara keliling gelanggang labu
tidak pernah belajar dramaturgi, ilmu pemeranan, ilmu penyutradaraan
secara formal, mereka memperoleh keahlian secara non-formal
namun mampu mensugestif penonton.


Gelanggang Labu meruapakan sandiwara keliling tradisional Aceh. Sandiwara keliling sudah ada sejak tahun 1950-an. Sandiwara ini mulai tumbuh dari sebuah desa di Aceh Utara, tapatnya di Panton labu. Ketika teater ini mulai merakyat, dan diterima ditengah-tengah masyarakat lalu dijulukilah dengan istilah Gelanggang Labu. Awal tahun 70-an mulai menjamur grup-grup sandiwara di seluruh Aceh, diantaranya yang terkenal, seperti; Benteng Harapan, Jeumpa Aceh, Sinar Jeumpa, Sinar Desa, Sinar Harapan, Mutiara Jeumpa, Seulanga Dara, Cakradonya, dan Geunta Aceh.
Ciri-ciri pertunjukan Gelanggang Labu memiliki kesamaan yang kontras dengan ‘Komedi Stamboel’ yang dilakukan August Mahieu (1860-1906). Hal ini dapat dilihat dari reportoar yang dipilih, sama-sama mengangkat cerita 1001 malam dari hikayat-hikayat Aceh (haba), seperti; Buloeh Peurindu, bawang mirah ngoen bawang puteh, Ahmad Rhangmanyang, Putroe Ijoe, dan lain-lain. Ciri-ciri yang mendasar, sebelum permainan dimulai para aktornya memperkenalkan diri sekaligus dengan peran apa yang dia mainkan. Pembagian babak atau episode dilakukan sangat longgar dengan adanya selingan antar babak yang diisi dengan nyanyian (band), lawak, serta tari-tarian. Adegan-adengan gembira atau sedih dalam gelanggng labu memang dilakukan dengan dialog bukan dengan opera (nyanyian) seperti dalam komedi stamboel. Cerita-cerita yang akan dimainkan oleh pelakonnya hanya diceritakan secara garis besarnya saja kepada pemain (wos), dan lebih banyak pemain yang melakukan improvisasi. Sebagai aktor dipentas sandiwara keliling harus mampu menjadi penyanyi, pelawak dan penari sekaligus.
Sementara bentuk pemanggungannya, sandiwara keliling Gelanggang Labu sangat sederhana dengan konstruksi panggung berukuran 9X6 meter didirikan menggunakan drum kosong yang di atasnya diletakkan papan, seng sebagai atap, batang kayu sebagai penyangga, triplrk untuk dinding, kain yang dilukis sebagai dekorasi sesuai tuntutan cerita dan lampu reflektor kecil untuk penerang dan pengubah suasana. Lokasi pertunjukan biasanya dlakukan di tanah lapang, ditengah areal sawah setelah usai panen padi. Grup sandiwara ini hidup dan beranak-pinak di dalam panggung tersebut (berumah), mereka melakukan keliling ke seluruh Aceh, dan berdiam (melakukan pertunjukan) di suatu daerah minimal dua bulan setelah melakukan perjalanan dan menetap didaerah lain.
Umumnya pemain sandiwara keliling Gelanggang Labu tidak pernah memiliki atau mempelajari dramaturgi secara formal. Semuanya mengalir begitu saja dengan pengetahuan otodidak yang mereka miliki. Rata-rata latar belakang pendidikan mereka hanya sampai Sekolah Dasar. Maka tidak heran bila siang hari mereka bergaul dengan masyarakat dimana mereka melakukan pertunjukan, bahkan ada yang menjadi buruh kasar di tempat itu. Ibnu Arhas (Sekarang mantan Anggota DPRD Kabupaten Pidie), seorang aktor yang pernah melakukan pertunjukan di Takengon, waktu itu siang hari ia berperan sebagai buruh pemetik kopi dengan pakaian kumal. Namun pada malam hari dia tampil sebagai maha bintang di atas panggung, dipuja-puji oleh penonton, setiap dia muncul selalu saja mendapat aplous dari penonton. Keterbatasan ilmu tentang bermain drama bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap terus bertahan. Umar Abdi, Ahmad harun, Yusuf Syam, serta Idawati merupakan tokoh-tokoh teater keliling yang sadar betul atas kekurangan mereka, lalu melakukan pembaharuan agar masyarakat penonton tidak bosan. Mereka menciptakan tema-tema cerita baru yang digemari masyarakat, seperti tragedi rumah tangga, pengkhianatan, kemunafikan, masalah ambisiusnya manusia. Ide atau gagasan untuk memperolehnya bagi mereka (sutradara) teater keliling tidaklah sulit, mereka dekat dengan masyarakat sehingga tahu persis tentang peristiwa yang muncul ditengah masyarakat. Sutradara mengangkat realitas sosial yang tumbuh dan hidup dimana mereka melakukan pementasan, lalu diadopsi menjadi cerita yang menarik lewat kekuatan improvisasi para aktornya.
Keunggulan inilah yang membuat teater keliling ini mampu bertahan hidup dan memperoleh sambutan hangat dari penonton di seluruh Aceh. Cerita yang ditampilkan selalu aktual dan kontekstual dengan daerah dimana mereka melakukan pertunjukan. Misalnya, cerita Cut Maruhoi diperankan Ahmad harun (lelaki yang menjadi wanita) mengisahkan tentang seorang ibu mertua yang cerewet, jahat dan sadis. Ahmad Harun benar-benar mampu masuk ke dalam penokohan Cut Maruhoi, sehingga nama tersebut begitu melekat dan populer di tengah masyarakat Aceh. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari Ahmad harun sering di panggil Cut maruhoi.

Sengketa Tak Berujung: Kesenian Jadi Saksi
Gangguan keamanan di Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD) yang mulai pecah pada tahun 1989, sangat terasa dampaknya bagi perkembangan insan seni untuk m elakukan kreatifitas berkesenian. Aceh yang memiliki teater tradisional atau teater tutur, seperti; P.M.T.O.H, Dangderia, Dalupa, Didong, Guel dan Sandiwara keliling Gelanggang Labu mulai terusik untuk berproses. Kemandekan kehidupan panggung keliling sangat terasa karena sering di cekal oleh Pemda dengan cara tidak memberi izin pertunjukan, alasannya gangguan keamanan. Seruan ini dikeluarkan PEMDA Aceh karena beberapa pertunjukan sebelumnya di daerah-daerah rawan konflik sering terjadi. Pertunjukan sirkus di Lhoekseumawe pada tahun 1989 sempat menimbulkan kekacauan, dan panggung artis ibukota Dina Mariana pada tahun 1990 sempat di bakar oleh gerombolan tak di kenal. Mengigat hal itulah pertunjukan sandiwara keliling ‘Geunta Aceh’ pimpinan Umar Abdi pada pertengahan tahun 1991 di desa Blang Malu Kecamatan Mutiara Pidie, batal melakukan pertunjukan karena izinnya dicabut, juga karena ada operasi militer malam. Maka, banyak panggung sandiwara keliling pada dekade 90-an terpaksa tutup sehingga pemaiannya banyak yang menganggur. Sebagian terpaksa pulang kampung menjadi petani atau buruh kasar.
Awal dekade 1992, kondisi keamanan agak sedikit kondusif, empat tokoh seniman teater keliling; Umar Abdi, Yusuf Syam, Ahmad Harun, dan Idawati mencoba kembali membangun panggung keliling. Situasi semakin membaik, dan pertunjukan di beberapa kota Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Tengah dan Sabang mulai diizinkan untuk melakukan aktivitasnya kembali.
Suasana seperti itu, ternyata tidak bertahan lama. Tahun 1998 dengan berhasilnya gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk menumbangkan Orde Baru, kenyataannya menjadi lain. Daerah Istimewa Aceh kembali bergolak, dan GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) kembali bergerak, mahasiswa serta ulama dayah se-Aceh menuntut referendum . TNI dan POLRI kembali menjalankan operasi. Kondisi Aceh kembali mencekam dan tak menentu, suasana yang tak menentukan itulah menyebabkan izin pertunjukan tidak dapat diberikan kepada sandiwara keliling Gelanggang labu, lagi-lagi dengan dalih keamanan. Nah, menurut amatan penulis dari tahun 1998 hingga sekarang 2009, tidak pernah terdengar di Aceh ada pertunjukan Sandiwara keliling Gelanggang Labu dipentaskan. Grup-Grup yang pernah jaya, seperti hilang di telan bumi, seniman-seniman panggung terpaksa beralih profesi, seperti; menjadi penjual ikan, petani, buruh kasar dan lain sebagainya demi menghidupi keluarganya. Kemandekan kehidupan panggung y ang disebabkan oleh gangguan keamanan betul-betul membuat para pelakon, kru panggung dengan seluruh awaknya kehilangan pekerjaan tetap yang telah diyakininya berpuluh-puluh tahun pekerjaan itu mampu menghidupi keluarganya.
Sementara disisi lain, daerah Aceh secara tidak langsung telah memusnahkan kekayaan kseniannya. Betapa tidak, bila hal ini terjadi terus-menerus teater keliling Aceh hanya tinggal nama sebab tak ada lagi pewarisnya. Bila tak ada pemanggungannya secara otomatis para aktor panggung keliling semakin lanjut usia dan tak ada yang mampu mewarisinya untuk melanjutkan grup-grup sandiwara keliling. Sengketa yang terjadi di tanah rencong tidak hanya menelan korban manusia, namun yang lebih menyedihkan dapat menelan sisi kebudayaan dan kesenian.jangankan sandiwara keliling Gelanggang Labu, denyut nadi Taman Budaya Aceh juga ikut terkena imbasnya. Taman Budaya Aceh sejak tahun 1970-an sampai 1997 aktif melaksanakan pertunjukan teater modern Indonesia di Aceh tiap bulan, seperti; Teater Mata pimpinan Almarhum Maskirbi, Teater Bola pimpinan Almarhum Junaidi Yacob, Teater Gita Pimpinan Junaidi Bantasyam, Teater Kuala Pimpinan Yun Casalona, Teater Peduli Pimpinan Almarhum Nurgani Asyik, Teater Alam Pimpinan Din Saja, Sanggar Cempala Karya Pimpinan Sulaiman Juned, Teater Kosong Pimpinan T.Yanuarsyah. Namun awal 1998 pertunjukan teater Modern Indonesia di Aceh mulai hilang denyutnya. Hal ini disebabkan karena gangguan keamanan.
Denyut nadi kesenian Aceh seperti terhenti. Taman Budaya sepi pertunjukan. Orang-orang tak lagi membicarakan kesenian, orang-orang lebih banyak membicarakan politik, kematian dan keadilan. Hanya seniman sastra (penyair) dn pelukis yang masih terus melakukan prosesnya. Para pekerja teater banyak yang beralih profesi, ada yang menjadi penyair, dan cerpenis. Sampai kapan hal ini terus terjadi. Andaikan situasi Aceh dibiarkan larut tanpa penyelesaian akhir, maka Aceh secara global akan kehilangan seni budayanya yang sangat kaya tersebut. Kita rindu tokoh Cut Maruhoi muncul di atas panggung, rindu lawakan yang menggelitik dari si Ma’e (Ismail) yang mampu melahirkan derai tawa. Rindu Idawati Sri panggung sandiwara keliling yang mampu menjadi aktris, penyanyi sekaligus pelawak bahkan mampu menari. Namun kini dimana mereka para punggawa sandiwara keliling Gelanggang Labu bermuara. Apakah mereka ikut terkena imbas konflik panjang di Aceh, atawa mereka tergerus air raya (Tsunami) beberapa tahun yang lalu pada 26 Desember 2004. Konfliks-Tsunami-sengketa tak pernah reda mengancam seni budaya Aceh pada nadir kepunahan.
Pasca konflik dan tsunami, apakah seni-seni tradisional yang maha agung itu akan hidup, atau seni Aceh tersebut akan ikut terkubur bersama ratusan ribu rakyat Aceh yang entah dimana makamnya. Generasi muda Aceh sekarang ini pasti banyak yang tidak kenal lagi; Dangderia, Peugah Haba, Poh Tem, Dalupa, Pho dan lain-lain. Rekan-rekan seniman, pihak yang terkait, para intelektual seni, PEMDA NAD mari duduk bersama; bicarakan tentang pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni di Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh meusyuhu (dikenal) di Mancanegara karena senibudayanya, seperti; Didong, Saman, Seudati, tari Pho, Rapa’i Geleng, P.M.T.O.H dan lain-lain. Kenapa masyarakat Aceh sendiri enggan untuk mempertahankan budaya bangsa. Ini buat kita renungkan bersama. Mari!
@ Rumah kontrakan, Padangpanjang-Sumatera Barat