PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Jumat, 23 November 2007

Biodata Soel's

By: Wiko Antoni, S.Sn Editor: Nazent

Sulaiman Juned, dilahirkan di gampong (desa) kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie-Aceh, 12 Mei 1965. Pernah terkenal dengan nama pena; Soel’s J. Said Oesy. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih duduk di bangku SLTP, Soel kecil berkenalan dengan guru bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP Negeri 3 Takengon. Ibu guru tersebut bernama Siti Aisyah, Soel kecil di dalam buku catatan Bahasa dan Sastra Indonesianya hanya berisi puisi karyanya. Suatu ketika, sang guru meminta seluruh siswa mengumpulkan catatan Bahasa dan Sastra Indonesia, Soel mulai berkeringat dingin sebab buku catatannya hanya berisi puisi.

Minggu depan, Siti Aisyah masuk dengan memanggil Soel ke kantor, lalu menyerahkan buku catatan tersebut, ‘puisi-puisimu sudah ibu koreksi, silakan diketik dan kirim ke koran-koran. Alamat koran sudah ibu tuliskan dibukumu’ tutur bu Guru, lalu puisi-puisi mulai dikirim berkat alamat yang telah diberikan guru Siti Aisyah, setahun menunggu, puisi-puisi mulai dimuat dan honor pertama sebesar RP. 1500,- wah luar biasa bahagianya.

Selanjutnya mungkin darah seni mengalir dari abua (abang dari ibu) bernama Abdullah yang lebih dikenal dengan panggilan Syeh Lah Jarum Meueh seorang pimpinan seudati yang paling terkenal di Aceh. Lalu ketika diboyong oleh orangtua merantau ke Takengon-Aceh Tengah, mulai suka menonton Didong (teater tutur dari A ceh Tengah), dan Sandiwara Keliling Gelanggang Labu. Soel bahkan pernah terlibat berlatih didong dengan seniman besar didong dari tanah Gayo To’et. Juga pernah bermain Sandiwara Keliling gelanggang labu dengan Cut Maruhoi, Idawati. Pengalaman empirik ini menumbuhkan jiwa seni di jiwanya. Di Sanggar Cempala Karya Banda Aceh yang didirikannya pada tahun 1989, seluruh adik-adiknya (anggota) Sanggar memanggilnya dengan sebutan ‘Pawang’.

Ia menyelesaikan pendidikan formal; SD Negeri Biespenantanan Takengon-Aceh Tengah (1979), SMP Negeri 3 Takengon-Aceh Tengah (1982), SMA Negeri Beureunuen-Pide Aceh (1985), FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh (1990), Jurusan Teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang (2002), Program Magister Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah (2007). Ketika masih berada di Aceh ia mengajar teater di SMA Adi Darma Banda Aceh, SMA YPTP Banda Aceh, SMA Negeri 5 Banda Aceh. Kini ia menjadi dosen tetap di Jurusan Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat. Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (1999-Sekarang), Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat (2000-Sekarang), Guru teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang (20007-Sekarang), Guru bidang studi Pendidikan Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia (1998-2005).

Memperistri Iswanti Soepardi yang dinikahinya pada tanggal 7 Agustus 1995, di Keutapang Dua-Banda Aceh, menimang seorang anak laki-laki yang lahir di Beureunuen Pidie-NAD pada tanggal 17 Maret 2002. Kini menetap bersama di RT.XI Kelurahan Guguk Malintang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Padangpanjang, Sumatera Barat. Rumahnya sekaligus tempat “anak-anak Kuflet” berkumpul, berproses kreatif-berfikir-diskusi dan membaca serta ‘berkelahi’ pikiran.

Pengalaman berorganisasinya; Ketua OSIS SMP Negeri 3 Takengon (1980-1981), Ketua OSIS SMA Negeri Beureunuen Pidie-Aceh (1983-1984), Ketua UKM-Kesenian Universitas Syiah Kuala Darussalam Banda Aceh (1987-1988), Pendiri/Ketua UKM. Teater Nol UNSYIAH (1989-1992), Ketua Senat Mahasiswa UNSYIAH (1991-1993), Pendiri/Pimpinan Sanggar Seni Cempala Karya Banda Aceh (1989), Bersama T. Yanuarsyah, Nurmaida Atmadja dan Din Saja mendirikan Teater Kosong Banda Aceh (1993), bersama Din Saja mendirikan Teater Alam Banda Aceh (1995), bersama M. Nurgani Asyik mendirikan Teater Peduli Banda Aceh (1995), Ketua I IKASMA (Ikatan Alumni SMA Negeri Beureunuen), Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Seni Aceh (1995-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Ketua I Himpunan Filateli Aceh (1990-1993), Ketua Bidang Pengkaderan Federasi Teater Aceh (1991-1995), Ketua UKM-Pers STSI Padangpanjang (1997-1999), Pemimpin Redaksi Buletin Curana FKIP/Bahasa dan Sastra UNSYIAH (1986-1989), Redbud/Sekretaris Redaksi Warta Unsyiah (1987-1995), Redbud SKM. Peristiwa (1989-1995), Redbud Majalah Kiprah (1990-1997), Pemred Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (1997-1999), Redaktur/editor jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2000), Redaktur/Editor Jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2000-2005). Megikuti Pertemuan Sastrawan Nusantara di Langsa-Aceh (1995), Pertemuan Sastrawan Nasional dan Nusantara IX di Kayutanam-Sumatera Barat (1997), Temu Teater Indonesia di Pekan Baru (1997), Temu Jurnalistik Nasional di Universitas Indonesia (1992), Temu Sastrawan Kampus se-Indonenesia di Univ. Diponegoro (1989), Temu sastrawan Kampus di Universitas Cendrawasih Irian Jaya (1990), Temu Sastrawan Kampus di Universitas Indonesia Jakarta (1991). Temu Sastawan Sumatera di Bengkulu (1992), Temu Sastrawan Sumatera di Jambi (1993) Temu Sastrawan Sumatera di Lampung (1994), Temu Sastrawan Sumatera di Aceh (2004).

Menulis puisi, cerpen, esai, artikel budaya, reportase budaya, kolom dimuat di media; Santunan, Serambi Indonesia, Atjeh Post, Peristiwa, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Kalam, Aceh Ekpres, Ceurana, Rakyat Aceh, Aceh Kita (ACEH), Waspada, Analisa, Dunia Wanita (MEDAN), Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Laga-laga, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (SUMATERA BARAT), Riau Post (RIAU), Indefendent (JAMBI), Lampung Post (LAMPUNG), Solo Post, dan Jawa Post, Jurnal Dewa Ruci (JAWA TENGAH), Kedaulatan Rakyat (YOGYAKARTA), Majalah Sastra Horison, Media Indonesia, Republika, Kompas, Koran Tempo, Seputar Indonesia, Majalah Bahasa dan Sastra (Malaysia dan Brunei Darussalam). Karyanya juga terkumpul dalam Antologi: Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Puisi Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta, 1991), HU (Teater Kuala, Aceh 1994), TTBBIJ (Medan, 1995), Ole-Ole (Cempala Karya, Aceh 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum, 1995), Surat (kuflet, Padangpanjang 1998), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002), Antologi Esai ‘Takdir-Takdir Fansuri (DKB, 2002), Tiga Drama Jambo (Kuflet Padangpanjang, 2005), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB. Jassin, Jakarta 2005), Syair Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (LAPENA, 2005), Remuk (ASA-Japan, 2005), Aceh 8,9 Skala Ritcher lalu Tsunami (Jakarta, 2005), Surat: Merah Putih (Kuflet, Padangpanjang 2007), Riwayat (Diknas, Jakarta, 2007) dapat Juara III Tingkat Nasional di Jakarta. 181-4 Lalu Debu (Kuflet, Padangpanjang 2008).

Pernah terlibat sebagai pemusik dalam Desain Struktur Karya/Komposer Drs. Wisnu Mintargo pentas di Gedung Teater Kecil STSI Surakarta, 1998, Signal Lima Karya/Komposer IDN.Supenida, S.Skar di Gedung Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang (2001). Sebagai Skenografi; Marsinah/Ratna Sarumpaet, disutradarai Leni Efendi (Kuflet, 1999), Machbet/William Shakeaspeare disutradarai Ika Trisnawati (Kuflet, 2001), Hamlet/William Shakeaspeare disutradarai Ika Trisnawati (Kuflet, 2002), Mesin Hamlet disutradarai Arnaldoriko (Kuflet, 2002), Orkestra Simarantang Karya/Komposer: Drs. Yoesbar Jailani (FKI III, Surabaya 2003). Ia sudah memerankan tokoh 250 karakter, berawal dari aktor tanpa dialog-aktor pembantu berdialog-aktor utama, pentas keliling Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi, Palembang, Lampung, Bengkulu, Solo, Yogyakarta, Surakarta, Bandung, Bali dan Gorontalo serta TIM (Taman Ismail Marzuki) Jakarta. 150 kali tampil dalam layar kaca/sebagai aktor dan sutradara serta penulis secenario baik di TVRI Stasiun Aceh, Padang dan Nasional.

Soel semenjak dari Aceh sanpai ke Padangpanjang mulai menyutradarai naskah lakon; Desah Nafas Mahasiswa/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1989), Pulang/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1989), Warisan/Sulaiman Juned (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1990), ABU/B.Sularto (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1990), Orang-Orang Marjinal/Sulaiman Juned (CeKa-Auditorium RRI Banda Aceh,1991), Pernikahan/Sulaiman Juned (CeKa-Auditorium MUI Aceh, 1991), Boss/YS.Rat (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1992), Eksprimentasi Belenggu/Nurgani Asyik (CeKa, Taman Budaya, 1993), Nyanyian Angsa/Anton P.Chekov (CeKa, 1994), Si Pihir dan Berudihe/NN (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1995), Hari Sudah Senja/Jarwansyah (CeKa-Taman Budaya Aceh, 1996), Kemelut/Sulaiman Juned (CeKa, Riau, 1997), Kemerdekaan/Wisran Hadi (Kuflet, Hoerijah Adam ASKI PadangPanjang, 1997/ INS Kayutanam, Pertemuan Sastrawan Nusantara, 1997) Ikrar Para Penganggur/Sulaiman Juned (Kuflet, 1998), Ambisi/Wolfman Kowict (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang, 1999), Raimah/Arzul Jamaan (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang, 1999), Selingkuh/Benny Yohanes (Kuflet, Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2000), Seteru/Sir Kenneth W.Goodman (Kuflet, Taman Budaya Sumatera Barat, 2000), Piramus dan Tisbi/William Shakeaspeare (Kuflet, Hoerijah Adam STSI Padangpanjang, 2001), Jambo “Luka Tak Teraba”/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang, 2001 dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2002), Orang-Orang Rantai/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO, Sawahlunto Sumatera Barat, 2002), Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2003), Jambo Ayam Jantan/Sulaiman Juned (Kuflet, Hoerijah Adam STSI Padangpanjang, 2004), Marsinah/Ratna Sarumpaet (Kuflet, Taman Budaya Sumatera Barat, 2004), Asalku Dari Hulu/Sulaiman Juned (Kuflet, Lapangan Sawahlunto, 2004).

Berkabung/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2004 dan Taman Budaya Sumatera Barat, 2005), Sebut Saja namaku Polan/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2005), Teaterikal Puisi ‘Riwayat’/Sulaiman Juned (Kuflet, Taman Budaya Surakarta Jawa Tengah, 2006), Hikayat Pak Leman/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung TBO Sawahlunto, 2006, dan Gedung Teater Mursal Esten Padangpanjang, 2007), Hikayat Cantoi/Sulaiman Juned (Kuflet, Gedung Teater Mursal Esten STSI Padangpanjang, 2007).

Lelaki ini sering juga menjadi nara sumber untuk bidang sastra, teater dan jurnalistik baik di Aceh, Padang, Riau, Jambi dan Bengkulu. (dEk JaL aCeH).

Sabtu, 22 September 2007

Foto Pertunjukan Teater 'Hikayat Cantoi'


Cantoi sedang mengintip kedatangan pendekar, pertunjukan teater 'Hikayat Cantoi' Karya/Sutradara: Sulaiman Juned



Seting/cahaya: Pertunjukan Teater 'Hikayat Cantoi' Karya/Sutradara: Sulaiman Juned






Pertunjukan Teater 'hikayat cantoi'Karya/Sutradara: Sulaiman Juned, mengenang konfliks.






Pertunjukan 'Hikayat Cantoi' Karya/Sutradara: Sulaiman Juned, Tokoh Cantoi sedang bershololiqui dengan Tuhan.





RIWAYAT HIDUP
Sulaiman, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy, dalam dunia kepenulisan di kenal dengan nama; Sulaiman Juned, lahir di dusun kecil Usi Dayah-Kecamatan Mutiara-Kabupaten Pidie- Aceh (Sekarang Nanggroe Aceh Darussalam), pada tanggal 12 Mei 1965. Lahir dari lingkungan keluarga pedagang. Abi (ayah) bernama M. Juned Said dan Emak (ibu) bernama Juhari Hasan (Keduanya sudah almarhum). Anak kelima dari enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga perempuan, tapi sayang ketika masih berusia tujuh tahun tanpa ada penyakit, abang saya yang lelaki bernama Jubir meninggal dunia sekitar tahun 1960. Sulaiman kecil telah terbiasa dengan kedisiplinan, ajaran mengenai disiplin diturunkan dari Abi (ayah) yang berprofesi sebagai tukang jahit (saya bangga menjadi anak si tukang jahit). Disiplin yang diajarkannya kalau menjahit tidak boleh ada benang atau kain yang terbuang sia-sia. Semenjak dari usia tujuh tahun telah diajarkan berjualan (berdagang), sekaligus bertani kebun kopi (membersihkan rumput dan memetik biji kopi yang merah). Abi (ayah) sangat keras dalam mendidik kami. “Anak laki-laki harus memiliki keahlian khusus, kalau tidak nanti tak akan dapat menghidupi dirinya dan keluarga” Begitu salah satu ajaran Abi (ayah) kepada saya dan saudara-saudara yang lain. Keluarga kami merupakan keluarga yang demokratis, Abi (ayah) juga Emak (ibu) meminta kepada kami untuk memilih “Apa mau pilih melanjutkan pendidikan atau menjadi pedagang” Begitu ungkap Abi (ayah). Makanya abang lelaki yang persis di atas saya bernama Zulkifli Juned setamat SMP Negeri Pegasing-Takengon Aceh Tengah memilih untuk menjadi tukang jahit, lalu beliau di beri modal dan diberikan kebun kopi, sampai sekarang tetap menjadi penjahit meneruskan usaha orang tua. Sedangkan saya memilih untuk melanjutkan pendidikan. Sementara darah seni yang mengalir pada diri Sulaiman kecil diturunkan dari Abua (Kakak dari ibu) bernama Abdullah, beliau di panggil Syech karena beliau pimpinan grup tari seudati, nama senimannya Syech Lah Jarum Meueh. Pada saat berumur 12 tahun sambil membantu orang tua menjaga toko H.S.D Tailor di Biespenantanan-Takengon Aceh Tengah, secara diam-diam sering menonton kesenian Didong (Teater Tradisional Gayo) di daerah Takengon Aceh Tengah. Kesenian ini kekuatannya terdapat pada syair yang diciptakan Ceh-nya secara spontanitas. Pertunjukan didong dipertunjukan semalam suntuk, sejak dari usai shalat Insya (Pukul 20.00 WIB) sampai dengan memasuki sembahyang subuh (Pukul 5.30 WIB). Ceh yang paling digemari adalah To’et (sekarang sudah almarhum) dari grup Sinar Pagi berasal dari kampung Gelelungi Kecamatan Pegasing Kabupaten Aceh Tengah. Ketika berusia 15 Tahun sempat belajar Didong dengan To’et. Sulaiman kecil juga paling keranjingan menonton Sandiwara Keliling Gelanggang Labu yang dipentaskan di lapangan SD Negeri Biespenantanan. Gelanggang Labu merupakan Sandiwara Keliling Tradisional Aceh yang memiliki kesamaan dengan ‘Komedi Stamboel’nya August Mahieu. Serta sangat keranjingan menonton tari Seudati. Didong dan Gelanggang Labu serta tari Seudati menjadi kesenian yang paling disenangi untuk ditonton, makanya tidak heran jika sering bolos mengaji di Pesantren Teungku Muhammad apabila ada pertunjukan Gelanggang Labu maupun Didong, walau resikonya mendapatkan pukulan di kaki dengan Rotan dari Abi (Ayah) karena sering melakukan kesalahan dari instruksi orang tua.
Setelah menamatkan Sekolah Dasar (SD) Negeri Biespenantanan pada tahun 1979, Sulaiman melanjutkan studi di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Takengon Aceh Tengah. Ketika di Sekolah inilah atas bimbingan Ibu Guru Siti Aisyah seorang guru Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia yang sering menemukan catatan buku harian bahasa Indonesia penulis yang penuh berisikan puisi. Beliau tidak marah, malahan menganjurkannya untuk mengirim karya-karya puisi tersebut ke Koran Harian dan Majalah. Motivasi yang diberikan Ibu Guru tersebut, maka puisi saya ketik dan mengirimkannya ke Harian Atjeh Post (Aceh), Harian Waspada dan Majalah Dunia Wanita (Medan), puisi tersebut ternyata di muat, dan saya mendapat honor pertama sebesar Rp. 1500,- (Seribu Lima Ratus Rupiah), honor sebesar itu pada tahun 80-an sudah sangat besar.
Selesai studi di SMP, Sulaiman melanjutkan studi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Beureunuen- Pidie, dan memilih jurusan Ilmu Pengetahuan Bahasa (IPB) sebagai jurusannya. Di SMA inilah pada tahun 1983 ikut mendirikan Kelompok Teater SMA 431 bersama rekan Ade Ibrahim DY. Kampi, (Almarhum) Nurdin AR, Abu Bakari, Oesman Ali, Syarifah Aini, Nurhayati. Sementara menulis puisi sudah saya anggap sebagai pekerjaan waktu itu, karena dapat menghasilkan uang, puisi saya sudah mulai di muat di Koran nasional seperti; Kompas dan Media Indonesia. Tahun itu juga pertama sekali menulis naskah lakon dengan judul “Perjuangan Putroe di Bihei” yang sekaligus saya sutradarai dan melakukan pementasan di Gedung Serba Guna Kecamatan Beureunuen dalam Rangka acara Perpisahan dengan kakak kelas III, dan pentas di Lapangan Sepakbola Mutiara Beureunuen dalam rangka upacara 17 Agustus 1983. Inilah pengalaman pertama berteater.
Setamat dari SMA Negeri Beureunuen-Kabupaten Pidie, di terima sebagai mahasiswa melalui Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Syiah Kuala, Darussalam-Banda Aceh pada tahun 1985. Tahun 1986 aktif menjadi Redaktur Budaya dan Sekretaris Penyunting di Penerbitan Kampus “Warta Unsyiah” yang diterbitkan Seksi HUMAS Universitas Syiah Kuala, dan Pimpinan Redaksi Bulletin mahasiswa ‘Ceurana’ FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UNSYIAH. Pada tahun itu juga membuat Forum Diskusi Sastra “Warung Kopi” di Kantin Cempala FKIP UNSYIAH bersama penyair kampus Zab Bransah, Tomi Fajar, Win Gemade, Inal Fromi, Ade Ibrahim DY. Kampi, Nurdin AR, Musfida Kasturi, Muharizal, Jarwansah, A.R. Haris, dan Anshor Tambunan, serta Anhar Sabar. Forum Diskusi ini melakukan bedah buku sastra baik puisi, cerpen dan novel serta drama. Selain itu juga membicarakan karya sastra dari anggota yang di muat di Koran dan Majalah setiap Sabtu sore. Sulaiman juga mulai berkecimpung di Sanggar Gemasastrin FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UNSYIAH baik sebagai pemeran dan sutradara. Sejak tahun 1987-1993 menjabat ketua UKM. Kesenian UNSYIAH Banda Aceh. Tahun 1990 mendirikan UKM. Teater NOL UNSYIAH Banda Aceh yang melakukan pementasan di Taman Budaya Aceh dan TVRI- Stasiun Aceh. Tahun 1990 Bersama rekan-rekan Forum Diskusi Sastra mendirikan Sanggar Cempala Karya Banda Aceh, tepatnya tanggal 12 Mei 1990 bertepatan di hari Ulang Tahun Sulaiman yang ke-25. Sanggar Cempala Karya Banda Aceh Soel membawa keliling raga teater dengan menyutradarai 102 pertunjukan teater baik di Taman Budaya Aceh maupun melakukan pentas keliling; Aceh-Medan-Riau-Jambi-Bengkulu-Lampung-Palembang-Jakarta dan Bali. Tahun 1990 dipercayakan menjadi Redaktur Budaya di SKM. Peristiwa Aceh di Banda Aceh. Sedangkan pada tahun 1992-1997 bekerja sebagai Redaktur Budaya Majalah Kiprah di Kanwil DEPDIKBUD D.I. Aceh. Cempala Karya sejak tahun 1995-1997 rutin mengisi acara Sinetron setiap bulan di TVRI. Stasiun Aceh. Juga bersama T.Yanuarsyah, dan Nurmaida Atmaja serta Din Saja ikut mendirikan Teater Kosong Banda Aceh pada tahun 1993. Ketika aktifitas berkeseniannya sedang berada di puncak, Sulaiman dapat kabar dari kampung bahwasannya Abi (ayah) yang merupakan kebanggaan hidup yang saya miliki dalam memberikan suri tauladan di panggil pulang oleh yang kuasa (meninggal dunia) pada pertengahan tahun 1993, Sulaiman sangat terpukul.
Ketika rekan-rekan seniman Aceh sibuk mempersiapkan diri mengikuti acara 50 Tahun Indonesia Merdeka di Taman Budaya Jawa Tengah-Surakarta pada tahun 1995, Sulaiman Juned malah memilih mempersunting seorang dara berdarah Aceh-Jawa (ayahnya berasal dari Klaten-Jawa Tengah, dan ibunya berasal dari Aceh) bernama Iswanti menjadi istrinya pada tanggal 17 Agustus 1995. Pada tahun 1995-2000 dipercayakan sebabagai Sekretaris Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh, saat itu mempopulerkan Pengadilan Puisi ala Aceh bersama (Almarhum) penyair M. Nurgani Asyik. Kegiatan itu akhirnya menjadi program Dewan Kesenian Aceh. Sulaiman banyak terlibat dalam kegiatan sarasehan, worshob teater, juri baca puisi dan teater, pengamat, pemakalah, penatar maupun sebagai panitia.
Sulaiman yang oleh rekan-rekan seniman Aceh dipanggil dengan nama kecil Soel, namun di rumah keluarganya (orangtua) ia di panggil dengan nama kesayangan Nyak Leman. Tahun 1997 hijrah ke Padangpanjang Sumatera Barat dan masuk menjadi mahasiswa di jurusan Teater Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang (Sekarang STSI). Saat menjadikan mahasiswa sebagai penggagas Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Pers Kampus di ASKI Padangpanjang, sekaligus dipercayakan sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Mahasiswa “Laga-Laga” STSI Padangpanjang, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater STSI padangpanjang. Di tahun itu juga mendirikan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang yang masih dipimpinnya sampai sekarang dan telah menyutradarai 57 kali pertunjukan teater. Aktif juga membantu mahasiswa yang sedang ujian baik jurusan teater, tari, karawitan dan musik. Dalam berbagai pentas selain sebagai aktor dan sutradara juga ikut berperan sebagai pemusik dan penari. Sulaiman Juned juga menulis narasi sekaligus sebagai narator dalam pertunjukan musik berjudul Desain Struktur “Renungan” Karya/komponis Drs. Wisnu Mintargo (pentas di Teater Tertutup STSI Surakarta, Jawa Tengah 1998), Menulis narasi dan narator dalam pertunjukan musik dengan judul Signal Lima, Karya/ Komposer I. Dewa Supenida, S.Skar., Juga sebagai Skenografi “Opera Simarantang” dalam Orkestra STSI Padangpanjang (Festival Kesenian Indonesia III, di STKW Surabaya 2003). Skenografi monolog Marsinah Karya Ratna Sarumpaet disutradarai Leni Efendi (Auditorium STSI Padangpanjang, 2002), Skenografi pertunjukan teater Mesin Hamlet dengan sutradara Ika Trisnawati (Gedung Teater STSI Padangpanjang, 2003).
Karya puisi terkumpul dalam antologi; Podium (Kriya Artistika, Banda Aceh, 1990), Bunga Rampai Pariwisata Nasional (Pustaka Komindo, Jakarta, 1991), Kumpulan Penyair Banda Aceh (DCP. Production, Aceh, 1993), HU (Teater Kuala Banda Aceh, 1994), Teriak Merdeka (F.H. UNSYIAH, 1995), TTBBKJ (IMSPP, Medan, 1995), Ole-Ole (Antologi Baca Puisi Keliling Aceh, Ceka, bersama Penyair Mustafa Ismail, 1995), Piala Maja I (Aceh Production, 1995), Surat (Kuflet, Padangpanjang, 2000), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002), Kumpulan Esai “Takdir-Takdir Fansuri” (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2002), Tiga Drama Jambo ( Antologi naskah Lakon, Kuflet Padangpanjang, 2005), Mahaduka Aceh (Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Jakarta, 2005), Aceh 8,9 Skala Richter Lalu Tsunami (Aceh Bangkit, Jakarta, 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Lagu Kelu (Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan – Aceh Net, Tokyo, 2005), Syair Tsunami (Balai Pustaka, Jakarta 2005), Piala Maja VII (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2006), Antologi Puisi Surat: Catatan Merah Putih (Kuflet Studio dan Pury Padangpanjang, 2007) serta Antologi Puisi Tungggalnya berjudul ‘Riwayat’ sedang dalam proses terbit. Baca puisi tunggal/diskusi dalam antologi puisi Riwayat di Gedung Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (18 September 2006). Kolaborasi “BROEH” ( Tari; Koreografer Alfira O’Sullivan/Australia. Musik; Komposer Deny/ Yogyakarta. Teater/Sastra; Aktor/Penyair Sulaiman Juned/Aceh, pentas di Festival Seni Pertunjukan Internasional, Pasar Seni Gabusan, Bantul-Yogyakarta, 13 Nopember 2006. Serta di Festival Seni Pertunjukan Asia, Asiatri di Mesium Jawa Kaliurang, Yogyakarta, 19 Nopember 2006. Cerpennya juga terkumpul dalam Antologi Cerpen Joglo (Unit Dok. Sastra Taman Budaya Jawa Tengah kerjasama Komunitas ruangsastra bumimanusia dan Sketsa Kata, Solo, 2006). Sulaiman juga banyak menulis cerpen, esai, artikel, kolom, reportase budaya yang di muat di media, seperti; Santunan, Serambi Indonesia, Peristiwa, Kalam, Gema Baiturrahman, Warta Unsyiah, Panca, Kiprah, Ceurana, Wawasan, Ar-Raniry Post, Aceh Post, Aceh Express (ACEH). Analisa, Waspada, Dunia Wanita (MEDAN). Riau Post, Bahana, Majalah Sastra Menyimak (RIAU). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekpres, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni, Majalah Laga-laga (SUMATERA BARAT). Lampung Post (LAMPUNG). Independent (JAMBI). Sriwijaya Post (PALEMBANG). Suara Karya Minggu, Pelita, Republika, Media Indonesia, Kompas, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Dewan Bahasa dan Sastera (MALAYSIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Juga menulis skenario Sinetron, pragment dan drama remaja untuk TVRI. Stasiun Aceh yang disutradarainya bersama Sanggar Cempala Karya Banda Aceh. Sambil kuliah pada tahun 1999 ditetapkan sebagai asisten dosen (Dosen Luar Biasa) di Jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Redaktur Ahli di Jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2003), dan Dewan Redaksi di Jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2004-Sekarang). Sulaiman juga mengajar Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia/ Pendidikan Seni di SMA Sore Padangpanjang (1998-2005), Dosen yang mengasuh mata kuliah; Analisis puisi, Analisis fiksi, Analisis Drama, Sejarah Kesusasteraan Indonesia dan Jurnalistik serta Sanggar Bahasa dan sastra Indonesia di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan pada Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto-Sumatera Barat.
Setelah tamat dari Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang pada tahun 2002, langsung diangkat menjadi Dosen dialmamaternya pada tahun itu juga, dan merupakan alumni pertama yang diangkat di jurusan teater STSI Padangpanjang. Lagi-lagi belum sempat membalas ‘perhatian-harapan-kasih sayang dan cinta’ yang pernah dengan tulus diajarkan oleh Emak (ibu) yang sampai kini membekas dalam sukmaku sepanjang usia, beliau juga di jemput oleh yang Kuasa (meninggal dunia) di bulan Ramadhan 2004. Aku pun ikhlaskan beliau pergi dengan cinta karena setiap yang hidup pasti mati, kita hanya menunggu waktu. Sulaiman masih dalam keadaan berduka di kampung kecil Usi Dayah pada tanggal 26 Desember 2004 bertepatan dengan peringatan 44 hari Almarhumah Emak tercinta, juga merasakan gempa yang berkekuatan 8,9 Skala Richter lalu Tsunami. Musibah ini juga menjemput beberapa saudara sepupuku. Yang tak kalah memuncaknya kedukaanku turut juga hilang beberapa seniman Aceh dan keluarga menjadi salah satu dari lebih 150 ribu jiwa korban tragedi gempa dan air raya terbesar abad ini seperti; di Banda Aceh Almarhum Maskirbi (Penyair dan teaterawan), Almarhum M. Nurgani Asyik (Penyair, Perupa, teaterawan dan Dosen FKIP UNSYIAH), Versevenny (satu-satunya pelukis wanita Aceh). Di Meulaboh almarhumah penyair Siti Aisyah, Almarhum penyair Mustiar. AR, dan Almarhum Syarifuddin Aliza. Di Lhoukseumawe almarhumah penyair Pinta J. Siddiq yang silaturrahmi diantara kami sama seperti saudara kandung, belum lagi beberapa daerah yang menjadi kenangan hilang dari peta membuat hati remuk-redam.
Sulaiman melanjutkan studi S-2 pada Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, Program Studi Penciptaan Seni, minat Teater. Selama kuliah S-2 banyak menerima materi seperti konsep-konsep Analisis Karya Teater Nusantara I dan II, Isu dalam Pertunjukan Teater Nusantara I dan II, Bimbingan Praktek Teater Nusantara I, II dan III, Garap Teater Nusantara I dan II, dan Seminar Karya Teater Nusantara I, II serta beberapa materi yang penulis serap selama mengikuti perkuliahan. Ketika sedang berproses latihan “Hikayat Cantoi” untuk ujian akhir Program Magister pada tanggal 18 Juli 2007 Nenekda tercinta meninggal dunia di Banda Aceh. Penulis proses latihan teater bersama duka, penulis berprinsip siapa kita pasti menghadap-Nya, kita pun hanya menunggu waktu. Jadwal Ujian sudah ditetapkan dari Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, lagi-lagi penulis mendapat berita duka, mertua laki-laki penulis bernama; Kapten Purnawirawan TNI Soepardi berpulang kerahmatullah pada tanggal 26 Juli 2007 di Banda Aceh. Segala ujian yang penulis hadapi diserahkan denga tulus kepada sang pencipta, mungkin ini semua ada hikmahnya. Atas dasar itu, penulis menggarap Karya teater monolog yang berangkat dari teater tutur Aceh P.M.T.O.H dengan judul ‘Hikayat Cantoi’.

RIWAYAT












antologi puisi

RIWAYAT

karya: sulaiman juned
















R I W A Y A T

Kumpulan Puisi Sulaiman Juned





Penyunting/Pengantar

Prof. DR. Soediro Satoto



Tata Letak

Jumaidi Syafei, S.Sn



Cover

Komunitas Seni Kuflet




















September 2006, taman budaya surakarta

kerjasama komunitas seni kuflet padangpanjag-sumatera barat

Hak cipta puisi ada pada penyair



Daftar Isi ‘Riwayat’------------------------------------@





  • Daftar Isi, i

  • Prasasti ‘riwayat’ setangkai mawar, ii

  • Pengantar Penulis ‘riwayat’, iii

  • ‘Riwayat’ Di antar oleh: Prof. DR. Soediro Satoto, iv

  1. 1980—1989

  • Ritus Kelahiran Luka anak Adam, 1

  • Tragedi Kehidupan, 2

  • Ko-Pe-an, 3

  • Perempuan Setengah Baya, 4

  • Menghitung, 5

  • Pelabuhan Kutaraja, 6

  • Nyanyian Bagi Perempuan, 7

  • Perpisahan Di Terminal Stuei, 8

  • Semalam Di Pulau Kapok, 9

  • Taubat Nasuha, 10

  • Bening Matamu-Nada,11

  • Kematian, 12

  • Ajal, 13

  • Tikus, 14

  • Cempala, 15

  • Langkah-Jiwa-Sunyi, 16

  • Setetes Rindu, 17

  • Ikrar Para Penganggur, 81

  • Surat Bekas Mahasiswa Kepada Aktivis Mahasiswa, 19

  • Kemerdekaan: Kesaksian seorang Penyair, 20

  • Lebaran di Rantau, 21

  • Aba-Aba, 22.



I1. 1990--1994

  • Laut Tawar, 23

  • Perempuan I, 24

  • Nyanyian Luka, 25

  • Menjemput, 26

  • Luka I, 27

  • Satu Penundaan Lagi, 28

  • Merampas Subuh, 29

  • Sebuah Catatan, 30

  • Laporan Gaduh Seorang Bekas Mahasiswa Di Kuburan Bekas Aktivis Mahasiswa, 31.

  • Perkawinan, 32

  • Keputusan, 33

  • Senandung Kecil Buat Titin, 34

  • Di Meunasah Tua Aku bertadarus, 35

  • Lebaran Malam itu, 36

  • Bulan, 37

  • Titin Sebuah Mawar Mewangi, 38

  • Pahamilah Kekasih, 39

  • Pada Bekas Rel Kereta Api, 40

  • Meditasi, 41

  • Beureunuen Kota Kecil Itu, 42

  • Tuhan Terimalah Daku, 43

  • Kutengadah Isi Kalbu, 44

  • Haruskah Kugadai Ladangku, 45

  • Ziarah, 46

  • Catatan Rindu Seorang Lelaki, 47

  • Peluklah Aku Wahai Kekasih, 48

  • Dialtarmu Kutaraja Kutemui Cinta, 49

  • Celoteh Kecil Manusia Kecil, 50

  • Sepucuk Surat Dari Bunda Kuterima Tadi Pagi Ketika Gerimis Jatuh Di Atas Gubukku, 5 1

  • Senyum Bulan, 52

  • Pertemuan, 53

  • Perempuan II, 54

  • Cinta, 55

  • Biarlah, 56

  • Perjalanan Malam, 57

  • Tumpah Sepiku Dalam Laut, 58

  • Desir Angin, 59

  • Catatan Kaki, 60

  • Detak jantung Perempuan Tua, 61

  • Sabar, 62

  • Rindu I, 63

  • Blok M, 64

  • Rasa, 65

  • Mu, 66

  • Kusaksikan Bulan Sepenggal, 67

  • Akulah Debu, 68

  • Lewat Tengah Malam, 69

  • Memotret Diri, 70



II1. 1995—2006

  • Kutacane, 71

  • Lanskap Hati I, 72

  • Langsa, 73

  • Episode Gurita Tua, 74

  • Apa Yang Kau Cari Kawan, 75

  • Mesjid, 76

  • Semalam Di Kuala Jeubet, 77

  • Brastagi, 78

  • Cerita, 79

  • Surat, 80

  • Suara, 81

  • Gumam: Situs Bagi Istriku, 82

  • Nota: Ulang Tahun Sulaiman Juned; Diriku, 83

  • Peradaban, 84

  • Siasat, 85

  • Rindu II, 86

  • Mata, 87

  • Gumam: Catatan 1989-1998, 88

  • Jakarta, 89

  • Berita, 90

  • Surat: Gusdur, Ini Yang Sempat Kucatat Ketika Pulang Menjenguk Tanah Kelahiran Dalam Gerimis Malam Kuraba Darah Bertuliskan Perintahmu, 91

  • Isman: Dimana Engkau Sembunyi, 92

  • Jiwa, 93

  • Mak: Puisi ini Kutulis Setelah Kematian Abi, 94

  • Sekali, 95

  • Luka-Cinta, 96

  • Lelaki, 97

  • Hilang, 98

  • Mengalir Luka Di Jiwa Senja, 99

  • Rekomendasi, 100

  • Pulang, 101

  • Bunga Api, 102

  • Bung: Mengenangmu Gerimis Tempias Di Sajadah, 103

  • Cerita: Tanah air-Tanah mata,104

  • Bunga Api-Bunga Hujan, 105

  • Menuai Api, 106

  • Kamar, 107

  • Pengaduan, 108

  • Asap, 109

  • Sawah Lunto Erat Sekejab, 110

  • Lagu, 111

  • Penjara, 112

  • Luka II, 113

  • Senyum Beku, 114

  • Aceh 1, 115

  • Aceh 2, 116/117

  • Aceh 3, 118

  • Aceh 4, 119

  • Aceh 5, 120

  • Aceh 6, 121

  • Potret Diri, 122

  • Mak: Bulanku Hilang, 123

  • Dialog, 124

  • Mak: 360 Hari Kepergianmu, 125

  • Percuma, 126

  • Lanskap Hati 2, 127

  • Perjamuan, 128

  • Ziarah Hening, 130

  • Lanskap Hati 3, 131

  • 1427-H, 132

  • Biodata penulis, 133

















Prasasti ‘ Riwayat’ Setangkai Mawar--------------@



Bagi Abi dan Emak:

Rindu Tertumpah hanya lewat ziarah-Yang kini sukmanya

tinggal bersamaku; mendampingiku

sepanjang usia.



Abangku-kakak-adikku:

Cupo Karmini-(Alm) Adoen Jubir-Cupo Miyah

Adoen Don dan Adoe Rasidah.

Selalu terkenang masa kecil kita yang diasuh dalam ajaran

cinta dan kasih sayang.




Bagi Titin Istriku:

Ini catatan hati. Persembahkan dengan segala rindu-cinta dan

do’a.




Bagi Soeryadarma Isman Anakku:

Ini catatan untuk kau ingat-kenang dalam hidup. Kuwariskan

padamu dalam meneruskan hidup dengan

cinta-damai





Bagi Prof. DR. Soediro Satoto

yang berkenan mengantar ‘riwayat’ menjadi cacatan

untuk dikenang-diingat-disimpan

jadi rembulan.





Bagi Aceh-Tanah Kelahiranku:

Ini aku tuliskan riwayatmu-ku-kita sebagai bukti aku ikut mendengar, merasakan

kepedihan Acehku yang tak pernah reda dari sengketa.





Pengantar Penulis ‘Riwayat’-------------------------@


Ini Aku Tuliskan Riwayatku-mu


Riwayat tertulis dalam tiga periode. Periode I tahun 1980-1989. Periode II Tahun 1990-1994 dan Periode III Tahun 1995-2006. Riwayat yang terkumpul dalam antologi ini berangkat dari realita sosial menjadi realita sastra.

Riwayat ini bisa jadi milik pembaca yang hidup dan tumbuh dilingkungan masyarakat. Riwayat ini bisa jadi hanya milik penulis yang terekam lewat pengalaman emperik menjadi realita sastra. Selebihnya siapa dalam hidup ini yang tidak memiliki riwayat, semua kita pasti ada masa lalu. Terlepas masa lalu itu berangkat dengan manis atau pahit. Aku mencatat segala manis dan pahit, sakit dan senang, sedih dan bahagia-milikku-mu-kau-kami-kita-kalian agar menjadi catatan yang abadi untuk diwariskan kepada anak dan cucu.

Aku juga tidak lupa kenangan di Gayo-sebab peristiwa bahkan kata jadi syair dalam puisiku berawal dari sana bersama ibu guru Bidang Studi Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Takengon-Aceh Tengah. Lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri Beureunuen-Pidie, di kampung asalku juga membuat riwayat ini semakin lengkap-di sini aku coba berkontemplasi dengan diri. Aku teruskan pendidikan di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengantarkanku pada pertemuan/dialog sastra serta bermuara pada diskusi sastra ‘warung kopi’ di kantin Cempala UNSYIAH sekaligus mendirikan komunitas seni bernama ‘Sanggar Cempala Karya’ Banda Aceh yang membuat aku bersentuhan dengan seniman-seniman Aceh. Pada tahun 1997 aku hijrah ke Padangpanjang-Sumatera Barat sekaligus mendirikan Komunitas Seni ‘Kuflet’ yang sampai sekarang aku pimpin, di negeri ini aku juga bergumul pimikiran dengan seniman-seniman Minangkabau. Semuanya aku khabarkan dalam ‘riwayat’ sebagai perjalanan budaya.

Aku catatkan juga peristiwa yang mengurung ruang pemikiran, peristiwa yang sangat banyak menguras airmata—luka-hati dan darah bagi siapa saja yang merindui cinta damai. Hingga bermuara pada 26 Desember 2004; gempa dengan kekuatan 8,9 Skala Richter-klimaksnya Aceh disapu air raya bernama Tsunami sehingga tempat-tempat kenanganku-mu-kita-kami-kalian hilang dari peta. Aku dengar Penyair/teaterawan Aceh Maskirbi dan sekeluarga hilang dalam bala itu, sementara sekitar tanggal 24 Desember 2004, tepatnya hari Jum’at sekitar pukul 9.00 saya bersama Maskirbi sempat minum kopi pancung (kopi yang isinya setengah gelas) di Kantin Seniman Taman Budaya Aceh (TBA), dan kami punya niat suci untuk melaksanakan pertunjukan kesenian/pameran dalam tajuk “Jak Saweue Gampoeng” di Taman Budaya Aceh oleh masyarakat Aceh yang berdomisili di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang. Kebetulan adik-adik mahasiswa mempercayai saya untuk mengurus rencana kegiatan itu dengan pihak Taman Budaya Aceh yang diwakili Maskirbi, rencana itu sebenarnya sudah pasti tapi apa hendak di kata musibah gempa dan Tsunami membuat rencana itu batal. Begitu juga dengan penyair/teaterawan M.Nurgani Asyik sekeluarga yang berdomisili di Punge-hilang dalam peristiwa itu. Bang Nur begitu aku sering memanggilnya-beliau salah seorang seniman Aceh yang sangat dekat dengan saya, kemana-mana kami sering berdua (Sebelum aku hijrah ke Kota Padangpanjang-Sumatera Barat). Setiap aku pulang ke Aceh selalu saja menyempatkan diri berkunjung ke rumahnya. Lalu pada tanggal 23 Desember 2004, aku tilpun Versevenny (Pelukis Wanita Aceh) yang juga Istrinya Nurgani Asyik-waktu itu baru kutahu Bang Nur dalam kondisi Stroke-Langsung saja aku pacu motor menuju Punge ke rumah bang Nur. Jumpa pak Hasan Basri (mertua bang Nur) yang juga dalam kondisi sakit-sakitan, Versevenny-kami banyak cerita dan M.Nurgani Asyik hanya memandangku dengan mata nanar. Aku ajak bang Nur berkeliling Ulee Lhee-Ulee Kareng-Darussalam tempat yang penuh nostalgia; tempat-tempat ini sering menjadi tempat diskusi-latihan alam (teater)-Latihan baca puisi dan latihan mencipta puisi (bersama adik-adik Sanggar Cempala Karya Banda Aceh-Nurgani Asyik juga sering saya ikutkan, sebab beliau adalah penasehat Sanggar) yang saya pimpin. Terkadang Bang Nur Almarhum berkaca-kaca matanya ketika aku singgah ditempat yang membuat kenangannya berbicara. Hari Kamis itu sengaja aku tunggu shanset turun di tepi Pantai Ulee Lhee sambil minum kopi dan memasukkan kacang tojin ke dalam kopi pancong hangat itu. Begitulah kebiasaan kami kalau sudah bertemu lalu berteriak saling membacakan puisi-puisi terbaru. Ada rasa haru dimata Bang Nur ketika beliau tahu aku sudah diangkat jadi Dosen Teater di STSI Padangpanjang. Sementara dengan Versevenny (pelukis wanita Aceh) ada yang belum terjawab-rencana melaksanakan kerjasama pertunjukan teater-perupa dalam tajuk ferpormance art “instalasi patung’. Begitulah kenangan yang tersisa dengan tiga seniman Aceh. Itupun tertuang dalam riwayat-kehilangan mereka sama pilunya hatiku dengan hilangnya sepupuku dalam gempa dan tsunami. Sekarangpun sering aku minum kopi lalu memasukkan kacang tojin ke dalam gelas kopi-untuk mengenangmu M.Nurgani Asyik.

Begitulah riwayat-aku coba catat segalanya di sini.



Salam kreatif penulis

























Pengantar ‘Riwayat’ Diantarkan-------------------@



Riwayat:

Sulaiman Juned Menyuarakan Kematian, Kekerasan, Ketidakadilan, Kelicikan, Perbedaan dan Konflik dengan cinta kasih


Soediro Satoto *)



Antologi puisi Riwayat ini ditulis oleh Sulaiman Juned. Meskipun orangnya tampak pendiam, low profile, ia seorang nasionalisme, moderat (bukan, separatisme, atau provokator) berkat hasil didikan kedua orang tuanya yang ketat berdisiplin, gigih, demokratis, dan religius sejak kecil. Ia pernah memakai nama samaran Soel’s J. Said Oesy ( ‘nunggak semi’ dengan nama ayahnya). ‘Juned kecil’ adalah anak kelima dari enam bersaudara buah cinta dari Abi/ayahnya, M. Juned Said, dengan Emak/ibunya, Juhari Hasan, (keduanya sudah almarhum dan almarhumah). Si Sulaiman Juned kecil tersebut dilahirkan di desa kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie, Aceh, 12 Mei 1965. Jadi, ia adalah salah seorang warga asli Aceh menjadi warga Indonesia dan juga warga dunia yang menjadi saksi hidup sekaligus pelaku sejarah terjadinya konflik di Aceh, dan diperburuk dengan bencana alam gempa dengan skala ricther 8,9 dan tsunami yang telah banyak makan korban: baik waktu, fisik, psikis, finansial, material, fasilitas, nyawa, dan jika tidak segera diakhiri, juga generasi penerus penduduk Aceh (sekarang Nangroe Aceh Darussalam).

Penyair, teaterawan, dramawan yang wartawan dengan segudang pengalaman di berbagai profesi dan kegiatan seni, budaya, dan pariwisata, antara lain: sebagai jurnalis, baik sebagai penulis di berbagai surat kabar, majalah, maupun sebagai redaktur budaya atau editor majalah atau jurnal di berbagai kota. Di samping sebagai penulis puisi, naskah lakon, atau skenario sinetron, Soel (begitu rekan-rekan seniman Aceh dan Sumatera Barat memanggilnya) juga berperan sebagai aktor, sutradara – ia telah menyutradarai 102 pementasan teater di Taman Budaya Aceh dan di Sumatera Barat, serta melakukan pentas keliling: Aceh, Medan, Padang, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Palembang, Jakarta dan Bali. Bersama Sanggar Cempala Karya yang ikut didirikannya di Banda Aceh, serta bersama Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang yang dipimpinnya, Sulaiman Juned kecil sejak tahun 1995-1997 tiap-tiap bulan secara rutin mengisi acara sinetron di TVRI Stasiun Aceh. Sekali-kali di TVRI Stasiun Sumatera Barat dan Jakarta.

Ada beberapa faktor pendukung yang significant sehingga bisa menghantarkan Soel kecil menulis antologi puisi Riwayat. Antologi tersebut terdiri dari 132 puisi yang ditulis dalam kurun waktu tahun 1980-2006 (25/26 tahun). Dibagi ke dalam tiga periode. Periode I, Tahun 1980-1989; Periode II, Tahun 1990-1994; dan Periode III, Tahun 1995-2006. Periode I terdiri dari 22 buah puisi; Periode II 48 buah puisi; dan Periode III 62 buah puisi.

Beberpa faktor pendukung yang dimaksud di atas, antara lain: (1) Secara keseluruhan, antologi puisi Riwayat ini melukiskan respon seorang jurnalis, sastrawan (sebagai teaterawan, dramawan yang penyair) terhadap drama konflik beserta pahit manisnya kehidupan di Aceh sebelum, sesaat, dan sesudah ditandatangani MOU oleh kedua belah pihak yang berkonflik belum lama ini di Swis, dan berbagai bencana alam, termasuk tsunami, dan berbagai dampaknya. Sedangkan Sulaiman Juned kecil yang meriwayatkan peristiwa tersebut adalah warga dunia kelahiran Aceh. Kini ia sudah berkeluarga, beristri dan beranak hasil perkawinannya dengan dara idamannya Iswanti yang sering di sebut Titin, gadis peranakan Jawa-Aceh (Bapaknya dari Jawa Tengah, dan ibunya dari Aceh). Jadi, sebagai saksi dan pelaku sejarah, didukung oleh pengalamannya sebagai jurnalis, ia paham dengan berbagai permasalahan di Aceh; (2) Menurut pengakuannya, atas motivasi dan bimbingan Siti Aisyah, ibu gurunya di bidang studi Bahasa dan Sastra di SMP Negeri 3 Takengon, Aceh Tengah, tempat Sulaiman Juned kecil bersekolah, ia semakin PD (Percaya Diri) menulis puisi. Apalagi setelah puisinya, sejak tahun 80-an, dimuat di berbagai Koran harian dan majalah; (3) Di samping darah seni yang diturunkan dari Abua (abang/kakak dari ibunya) bernama Abdullah, yang biasa dipanggil Syech, Syech Lah Jarum Meueh, pemimpin grup tari Seudati, Sulaiman Juned kecil juga berpendidikan formal sebagai mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia pada Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh. (1985); (4) Setelah berhasil menyelesaikan studinya, ia juga menjadi dosen di almamaternya, STSI Padangpanjang di Jurusan Teater, di samping dosen luar biasa di berbagai Perguruan Tinggi dan guru SMA dalam bidang studi Bahasa, Sastra, dan Teater Indonesia; (5) Di samping mengajar, Juned kecil (Sulaiman Juned) juga sering sekali mengikuti seminar, diskusi, dan workshop, terutama yang berkaitan dengan dunia sastra (puisi, novel, drama) dan teater. Kini ia sedang mengikuti studi lanjut di Program Pascasarjana STSI Surakarta, Program Studi Penciptaan Seni, dengan Minat Utama Seni Teater.

Faktor-faktor tersebut di atas jelas mendukung hadirnya Antologi Puisi Riwayat yang diharapkan, bukan saja menambah wawasan dan apresiasi seni puisi, riwayat seorang anak bangsa beserta keluarganya di tengah-tengah konflik dan bencana tsunami, serta dampaknya bagi warga Aceh, tetapi juga menambah wawasan pembaca antologi puisi ini terhadap respon dan sikap penulis dalam menghadapi fakta sejarah tersebut dengan tabah, meskipun dendam masih tersisa, dan hatinya sangatlah luka. Terutama dalam hal masih adanya kekerasan, kelicikan, ketidakadilan, banyaknya pengangguran dan kematian sia-sia. Mengapa perbedaan dan konflik tidak diselesaikan dengan toleransi dan cinta kasih? Selamat dan mari kita nikmati karya puisi penyair asal Aceh ini yang layak kita mamah bersama. Salam!


Kartasura, 12 Mei 2006




*) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Sastra di Universitas Sebelas Maret

Surakarta – Jawa Tengah.





































RIWAYAT: 1980 – 1989














Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’1






KELAHIRAN LUKA ANAK ADAM



telah berbondong-bondong luka di kalbu

antar tradisi warisan purba. Hitam

tertanam lekat di sisi jantung

kubur-leburkan kuburan dendam

mengalir jua lewat pori-pori

ohoi! Tak sanggup melawan titipan anak Adam.


Banda Aceh, 1980






























Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 2



TRAGEDI KEHIDUPAN


kalau ditanya kekasih

bilang aku telah pergi.


kalau ditanya polisi

bilang aku telah mati.


kalau ditanya emak

bilang aku pasti kembali.



Banda Aceh, 1980





























Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 3





KO-PE-AN


meringankan beban orang tua.



Banda Aceh, 1985




































Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 4



PEREMPUAN SETENGAH BAYA


perempuan setengah baya

menenteng keranjang, berbaju kumal

tersaruk-saruk di terminal

jemari kerut dan gemetar.


perempuan setengah baya

menenteng keranjang berbaju kumal

berlaksa kepedihan terukir di raut wajah

penderitaannya-derita dari sepotong kalbu

terkurung penjara kepapaan.


perempuan setengah baya

menenteng keranjang berbaju kumal

lukanya-luka perempuan desa

yang memecah tabir kepalsuan dunia

terkuliti kancah debu nista. Tersenyumlah

rembulan setia memberi secarik sinar

suatu ketika.


(Antara Lampung-Jakarta, 1987)






















Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 5



MENGHITUNG


berulang kali menghitung

malam-pekat. Menusuk-nusuk

jiwa. Mengalir dendam

di kalbu-coba berkiblat memberi

arti. Belum juga sampai pada makna

hakiki-kapan langkah tua pecah

berdarah

mati.


Banda Aceh, 1988
































Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 6



PELABUHAN KUTARAJA


ombak bergulung

membawa berita duka

suara peluit kapal

mengoyakkan hati.


Krueng Raya, 1989




































Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 7



NYANYIAN BAGI PEREMPUANKU


deru ombak nyanyikan suara batin

tentang luka yang pernah ada

senja itu,

tercatatlah legenda cinta yang purba

jadi sejarah pada bebatuan

barangkali bulan tembagaku

lenyap di telan

kabut.


Banda Aceh, 1989






























Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 8



PERPISAHAN DI TERMINAL STUEI


I

debu berterbangan

menbawa berita duka.


II

terhenyak

klakson mobil

mengoyak hati

tak sempat berjabat tangan

tak sempat ucapkan selamat jalan

setetes air bening

mengalir di sela mata.


III

dalam sepi

seribu kunang-kunang terngiang kembali

seutas tikar-setali jangkar, kita

mengarungi masa remaja. Kudengar

kau bahagia

aku suka

perjalanan masih panjang

teruskan-teruskan kasih.


Seutuei Aceh, September 1989















Sulaiman Juned-------------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 9


SEMALAM DI PULAU KAPOK


I

angin-petir-hujan menemani

gigil. Menggigit bibir

jasad basah-tetap membimbing

menuntun renungan.


II

hujan belum reda

dingin menyucuk tulang

tak ada yang beranjak dari renungan malam

walau diri tak kuasa melangkah

seutas senyum tersungging

gelora jiwa menyatu. Di sini

aku mengenal diri begitu kecil dihadapan-Mu

Tuhan.


III

kabut membias turun di pasir putih

ombak bergulung bercumbu mesra

ada yang tertinggal di dalam jiwa

di tungku perapian segala tertumpah

kasih adalah indah-cinta adalah anugerah

(peliharalah setali kasih kita).


Lhoknga, 1989
















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 10


TAUBAT NASUHA


di tikar sajadah

hati tenggelam dalam khusuk

untuk menemui-Nya

Allah

Allah

Allahuakbar.


Banda Aceh, 1989


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 11




BENING MATAMU- NADA


simpan berjuta rahasia

dibalik indahnya bola mata

coba kuakkan berlaksa gita

dari sana.


jangan ragu suatu saat bulan cerita

tentang arti kehidupan

buka rahasia

yang tersimpan di bening matamu.


Darussalam, 1989






























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 12




KEMATIAN


ah!

sudah siapkah

kita melangkah menghadap Ilahi.


Banda Aceh, 1989




































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 13



AJAL


tiada lagi yang tersisa

dalam denyut nadi sekalipun

semua terpahat

di dinding kemuning senja.


Banda Aceh, 1989




































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 14



TIKUS


mentari rebah

memeluk bumi. Malam

menjelma hadirkan sunyi

tikus beraksi mengerat laci

melenyapkan segala isi

membuat istana pribadi.


Banda Aceh, 1989


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 15




CEMPALA


cericit cempala berkicau

bulu halus mulai tumbuh

mengepak sayap –tinggi terbang

menentang badai meraih cita.


walau bulu sekerat masih

cempala tetap menyeruak, wahai!

menentang segala yang menghadang.


Banda Aceh, 1989































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 16




LANGKAH-JIWA-SUNYI


I

hujan membasahi alis

bertengger indah di kening

kekasih. Dara manis mengalunkan syair;

kembalilah kanda.


II

jiwa bertalu-talu

bagai gendang ditabuhkan

bergolak memecah tebing

luka bernanah.


III

malam mati

mencari jejak diri

di telan bayang.


Banda Aceh, 1989























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 17




SETETES RINDU


ranting cemara bergerak

melantunkan syair kerinduan

rindu kian terpendam

pada akar menghitam. Senja itu

ranting cemara menggeliat

membenam diri berpaut. Ombak

bercumbu seperti dulu masih

membawa malam. Suluh itu tak

datang lagi, wahai!


Sarah-Aceh, 1989






























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 18



IKRAR PARA PENGANGGUR


lepaskan belenggu pengangguran

menjerat jiwa semakin parah

melahirkan wajah-wajah kepalsuan

pembawa wabah penyakit menular.


kami dari sekian penganggur

kumpulan rakyat jelata terbuang

tersisih dalam kemelut zaman

dininabobokkan janji-janji semu

terombang-ambing masa menikam.


kami selaksa penganggur

terdampar diemper-emper pertokoan

terkurung dalam tong-tong sampah

terkuliti kancah debu nista

membawa rasa kadangkala dosa.


kami sah-sah saja disebut gelandangan

penganggur tak beratap-tak bertepi

tak hendak berpacu dalam penyelewengan

kami ikhlas saja dicap-cip-copkan

dengan nama orang-orang tak berguna

tapi;

bila kebenaran kami dapatkan, kenyanglah kami

bila kebenaran diselewengkan, laparlah kami

o, terkutuklah kau jahanam

yang membuat tangan pendek menjadi panjang

yang membuat air mata membasahi jalan berliku

yang membuat lorong putih menjadi hitam

yang membuat hati nurani menjadi iri

yang membuat surga jadi neraka

yang menghadirkan berjuta-juta nafas kepalsuan

“lepaskan belenggu pengangguran”

Itulah ikrar kami.


(Jakarta-Banda Aceh, 1989)






Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 19



SURAT BEKAS MAHASISWA KEPADA AKTIVIS MAHASISWA


-bagi aktivis mahasiswa UNSYIAH


inilah suratku

kukirim kepada yang mengaku aktivis

catatan pada selembar daun kering di tangan

kukirim juga kepada saudaraku yang tertindas peradaban

kota. Hingga bulan pecah berdarah

turun kepelukan bunda, matahari tersangkut di ujung

ketidakadilan.


inilah suratku

kukirim kepada yang mengaku aktivis

melantunkan nyanyian dan koor panjang tentang keadilan

katanya berani membela hak yang berhak. Membela orang-orang

terjajah. Kejujuran berdiri atas nama

keadilan.


inilah suratku

kukirim kepada yang mengaku aktivis

mari simak-nikmati manisnya gula-gula. Agar tak sakit

bila merasakan luka-kemarin ada yang di gusur;

di ganyang-di giring seperti kelinci dikeluarkan dari kandang

kemarin ada yang meratap-menangisi nasib tersebab tak tahu

kemana menggantungkan harap, maka:

jadilah langit sebagai atap

jadilah bumi sebagai lantai

jadilah gunung sebagai dinding

jadilah angin sebagai selimut

mengantar mimpi tidur malam.














inilah suratku

kukirim kepada yang mengaku aktivis

mana ceritamu beterbangan seperti burung walet

mengantar kedamaian. Mana ceritamu menembus awan

seperti anak panah melesat dari busur jatuhkan bintang-gemintang

menjanjikan seribu harap direlung nurani rakyat. Wahai

engkau yang mengaku aktivis

dipekarangan rumahmu ada seulanga mengharumkan seisi rumah

diberanda kau duduk menikmati sepotong kue dan segelas kopi

sementara dipelupuk mata-jerit tangis saudaramu bergelimang

bersama darah. Mereka tak lagi berumah-entah diselokan mana

merajut mimpi-terasing di tanah sendiri-hati tersayat

(Berapa harga kelicikan-kebiadabanmu dapat kubeli).



Banda Aceh/CeKa, 1989






























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 20




KEMERDEKAAN: KESAKSIAN SEORANG PENYAIR


kemerdekaan adalah

ketika kita bebas berbicara

tentang hak yang berhak

ketika kita bebas dari pasungan

tidak sembunyi dari ketiak ibu

dan lari dalam ketiak bapak.


kita sekarang mengeja kemerdekaan

dengan gedung mewah menyundul langit

bersama perempuan-perempuan dipanti pijat

perekonomian melarat, kemiskinan sekarat

kita sekarang membaca kemerdekaan

dengan luka. Darah dan laras senapan-menyerahkan

ini punya nyawa-memberikan ini punya harta

(kita belum mampu mengartikan malam).


ibu, aku menyaksikan air mata darah tertumpah

pada dada memerah. Aku menyaksikan para badut

menggenggam niat busuk-melakonkan pesta canda mengobral

gelisah. Segala perencanaan tersangkut di kantong jas sapari

kolam susu negeriku terkuras habis-membuat istana pribadi

sambil menghitung kekayaan hasil korupsi-naik haji hasil

kolusi-memperbanyak isteri hasil manipulasi;

ibu, berpuluh-puluh tahun kupahat namamu

pada air mengalir

pada batu membeku

pada hati membisu

dan ombak senantiasa menghapusnya.


ibu, subuh berkabut tersangkut di pucuk rambut

ada luka teramat menyiksa tak teraba. Bunga-bunga

bangsa berkunang airmatanya-terpaksa diyatimkan. Kekuasaan bermata

gelap-memaknai keadilan dan akal sehat; mengapa ledakan peluru

menghukumnya-kuburan sebagai penjara seumur hidup

inilah kesaksian seorang penyair kecil. Kesaksian peradaban menuntun perubahan

(Indonesia! Dari sudut manakah wajahmu kupandang tak jemu)


Aceh, 1989



Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 21




LEBARAN DI RANTAU



itu malam petasan dan mercon diledakkan

degup jantung melambai-lambai

mengikuti nyanyian takbir;

Allahuakbar

Allahuakbar

Allahuakbar walillahilhamdz.


ya Allah aku hilang di telan keramaian

satu-satu terbayang keluarga di kampung

bapak duduk bersimpuh sambil memilin rokok daun

ibu menyulam baju hadiah lebaran untuk cucu

Idah adikku manis menangis bila tak dibelikan sepatu

O, lebaran di rantau semakin kencang degup jantung

(kutumpahkan rindu ke laut sepi).


Banda Aceh, 1989
























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 22




ABA-ABA


bersiaplah!

gali liang, kuburkan luka

di tanah yang memerah.


Beureunuen, 1989














































RIWAYAT: 1990-1994









Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 23




LAUT TAWAR


tak ada lagi cerita puteri Bensu dan Malem Dewa

juga tentang Banta Ahmad yang jadi batu

tak juga Pukes yang menyesalÿÿdiriÿÿengan tangis

tetapi coba tenggelamkan lukaku yang kian menjadi.


Takengon/CeKa, 1990



































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 24




PEREMPUAN I


-sebuah kenangan di Pantai Mepar


adalah pengantin yang di tanam batu perkawinan

memandang ke belakang menjilat denting canang

tak lagi menyandingkan ikan-ikan di tepi Laut Tawar.


Takengon/CeKa, 1990


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 25




NYANYIAN LUKA


I

berpuluh-puluh rencong

berikan salam hadirkan malam

bulan tembaga tertusuk runcing ilalang.


II

berpuluh-puluh rencong hujani dadaku

tikam diam jadikan diam

tikam rindu jadikan diam

tikam sepi jadikan diam

tikam hati jadikan diam

diam berdarah diam.


III

berpuluh-puluh rencong tikam diam

antar hati keperkuburan waktu

mari gendong luka agar terasa nikmat.


Banda Aceh, 1990






















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 26




MENJEMPUT


ini laut tak bertepi

entah angin apa- riak apa-ombak apa

tak kuketahui. Semua hilang ingatku

yang ada melambai-lambai dari jauh

sebuah angin-sejentik rasa-segumpal rindu

dari jauh memandang jauh mendekat segala hati

itu laut terarungi lewat badai jemput amukan kalbu.


Banda Aceh, 1990
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 27




LUKA I


malam membuat lupa segalanya

karena bulan tembaga

tertusuk runcing ilalang.


Banda Aceh/CeKa, 1990




































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 28




SATU PENUNDAAN LAGI


tak bisa menancapkan rindu

ladang berdebu. Sawah

kering dan terpecah-pecah

terpaksa kita tak bisa menikah lagi.


Banda Aceh/CeKa, 1990



































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 29



MERAMPAS SUBUH


itu subuh koyak-monyak di rampas

dari tangan ke tangan. Hitam

tergambar pada wajah yang tak mengerti

mengapa diterlantarkan.


Banda Ace/CeKa, 1990




































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 30




SEBUAH CATATAN


-bagi Titin Calon Istriku


catatan bercerita tentang keberadaan

membumbung dalam sukma. Senja

itu bersamamu telah banyak yang terpahat

di hati. Moga bukan mimpi.


Banda Aceh/ CeKa, 1990

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 31




LAPORAN GADUH

SEORANG BEKAS MAHASISWA

DI KUBURAN BEKAS AKTIVIS MAHASISWA


kawan!

susah hidup dikotamu

segala hati dikuasai kekuasaan.


Banda Aceh, 1990


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 32




PERKAWINAN

-kepada penyair Nurdin F. Joes



Allah telah menyaksikan

lewat perantara penghulu

sampailah pada pelaminan

menyandingkan anak-anak rindu. Itu tali

mengikat serat serabut kalbu

meniti sekian kasih. Itu tali

kuat ikatannya pada dermaga

agar tak goyang di hempas ombak

biar wangi mawar semerbak melintasi

negeri leluhur-menjanjikan sekian cinta

(perkawinan catatkan lewat untaian mutu manikam).


Banda Aceh/CeKa, 1991

























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 33



KEPUTUSAN

-bagi penyair-penyair Aceh


yang menemui kebuntuan

dalam mengepak sayap berderap

lalu sepakat pada perjanjian

anak sampan itu; semestinya ditenggelamkan

biar terdampar di pantai tak bertuan.


Banda Aceh/CeKa, 1991
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 34




SENANDUNG KECIL BUAT TITIN


telah kita ukir sebuah kesetiaan

pada pasir kuburkan rindu hati

berbondong-bondong janji

kita ikat pada waktu tak henti

: Kapan pelaminan terisi.


Banda Aceh/CeKa, 1991


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 35




DI MEUNASAH TUA AKU BERTADARUS


ini malam

adalah juga malam sebelumnya

duduk bersimpuh dan bertadarus

berjuz-juz lafalkan ayat-Mu

menadah makrifat-Mu

aku semakin kecil dan kerdil dihadapan-Mu.


ini malam

tak habis-habis kueja nama-Mu

dalam ratebku semalam suntuk

di Meunasah tua.


lain malam

adalah juga malam sebelumnya

di Meunasah tua beratap rumbia

sebayaku mengaungkan puja-puji

seperti juga aku:

Alhamdulillah

Laillahaillallah

Allahuakbar

malam itu

meunasah tua ketika kecilku dulu

mengeja juz Amma

menghafal Al-Qur’an

meneliti Kitab Kuning

mengikat batin.


meunasah tua

aku rindu bersamamu lagi

aku rindu Petua Syik berkutbah lagi

aku rindu melafal lagi nama-nama-Mu

Allah ya Allah-Allah ya Allah.


Usi Dayah 17 Ramadhan 1412 H.







Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 36



LEBARAN MALAM ITU


setiap sudut takbir menggema

di meunasah beratap rumbia canangpun bertalu

semua orang harus menanggalkan permusuhan

separah apapun bentuk luka pernah di perbuat;

mari kita ikat pada tiang silaturrahmi

bulanpun menari-nari di atas perahu

lebaran malam itu.


Takengon/CeKa, 1412 H.

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 37




BULAN


ini kalbu rindu rembulan

bertengger di atap rumah tetangga

meremas kata-merekah kasih

sementara di pucuk cemara

ada camar menyeruak kepak mengantar rasa

Ohoi! Mari tabuh benih agar bertebar harap.


Banda Aceh/CeKa, 1991

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 38




TITIN; SEBUAH MAWAR RINDU MEWANGI


belum dapat-dapat menyergap wangi itu

telah pula dikembalikan pada cerita usang

mengharuskan buka jendela luka

adinda,

angin selalu setia mendoidangkan jerat-jerat rindu.


Banda Aceh/CeKa, 1991


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 39




PAHAMILAH KEKASIH


pahamilah getar rumput sepanjang alis

matamu. Menjanjikan keikhlasan daun-daun

tersenyum di tampar angin-jerit musim

gugur dari rahasia langit. Pahamilah

kesepian bukan milik kita.


Banda Aceh/CeKa, 1991


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 40




PADA BEKAS REL KERETA API


sepasang insan

menggadaikan negeri atas nama

cinta.


Banda Aceh/CeKa, 1991




































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 41




MEDITASI


usah resah engkau hatiku

sebentar lagi pagi menjelang

usah gundah duhai kalbuku

sabit pasti berubah purnama. Bersabarlah

seperti laut menerima tumpahan dengki.


Banda Aceh/CeKa, 1991


































Sulailaiman Juned--------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 42




BEUREUNUEN KOTA KECIL ITU


sibuk

menata tubuh bernanah

di tepi krueng baranom.

Beureunuen, 1991




































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 43




TUHAN TERIMALAH DAKU


air suci

basuh muka dari nanah

aku tadah

telapak tangan menemui-Mu.


Banda Aceh/CeKa, 1991



































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 44




KUTENGADAHKAN ISI KALBU


biar ini kalbu memangut rindu

mengirim setiap luka biru. Tak mengada-ada

biarlah setiap lembah terjamah menyimpan

sekian rasa. Belum ada yang memberi madu

semuanya menumpahkan duka.


Banda Aceh, 1992


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 45




HARUSKAH KUGADAIKAN LADANGKU


bergumul debu hitam di terik matahari

garis-garis cinta hangus terbakar

rupa tersebar dipepohonan mati

berapa ku hargai sepetak ladangku.


Banda Aceh, 1992



































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 46




ZIARAH


-di pusara Abi tercinta


ada angin

tertinggal di atas tanah tumpukan

kadang meruncing menembus dada

bila mengingat peristiwa lalu.


Usi Dayah, 1992

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 47




CATATAN RINDU SEORANG LELAKI


perjalanan malam terikat waktu, manis

seperti Adam cintakan Hawa. Rela

memamah khuldi untuk sebuah kesetiaan.


perjalanan matahari terikat waktu, manis

membuat kaki langit kehilangan tepi. Entah

kapan sampai pada garis tuju.


Banda Aceh/CeKa, 1992
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 48




PELUKLAH AKU WAHAI KEKASIH


peluk mesrai aku wahai kekasih

yang berjalan sendiri bersama kelam

tanpa suluh di tangan, tanpa apa-apa

semuanya hitam melekat pada raga.


peluk mesrai aku wahai kekasih

yang menghempas ombak mengarungi samudera

tanpa nakhoda-tanpa petunjuk

kehaluan mana kemudi harus kuputar.


peluk mesrai aku wahai kekasih

dalam alam saban hari terjerang kehausan

seperti hidup sesungguhnya bukan lagi hidup

laksana mati sebelum dimatikan.


peluk mesrai aku wahai kekasih

agar dapat hidup lebih mesra di negeri lain

negeri yang dimeriahkan tetari bidadari

dan mengalungkan bunga sebagai janji bakti.


peluk mesrai aku wahai kekasih

agar aku tak lagi melihat perseteruan

agar aku tak lagi menyaksikan peperangan

yang mengalirkan air mata, darah dan dendam

(O, Allah damaikanlah hati saudaraku dari kebencian)


Banda Aceh/CeKa, 1992














Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 49




DIALTARMU KUTARAJA KUTEMUI CINTA


dialtarmu Kutaraja kutemui cinta

ketika memandang lekat gunongan

peninggalan purba

mengajarkan kasih sayang

seorang hamba.


dialtarmu Kutaraja kutemui cinta

ketika mesjid Baiturrahman mengalunkan kalam-Mu

O, Allah betapa agung tanah Iskandar Muda

mengajarkan kejujuran-keadilan dan kesetiaan

hatikupun bermesraan didalamnya.


Banda Aceh, 1992




























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 50




CELOTEH KECIL MANUSIA KECIL


belum dapat-dapat merebut bulan

lari dari ketiak ibu. Sembunyi

di balik ketiak bapaknya

sementara anak sampan menghempas ombak

dalam malam-malam buta tanpa bulan.


Banda Aceh/CeKa, 1992


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 51




SEPUCUK SURAT

DARI BUNDA KUTERIMA TADI PAGI

KETIKA GERIMIS JATUH DI ATAS GUBUKKU


itu surat tetap kusimpan dalam lipatan benak

pakaian kebesaran belum juga lengket di badan

entah dapat-entahpun melayang

(Ibu, berikan selendang, kuatkan ikat pinggangku).


Banda Aceh, 1992

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 52




SENYUM BULAN


-kepada pelukis Versevenny



ada gundah berombak di dada

lambungkan harap pada sepucuk hati

tumpahkan sekian resah-gauli gelisah.


ada gundah berombak di dada

tiang mana ikatkan tali

biar kapal dapat merapat melabuhkan rasa

pendam dalam laut nurani.


ada gundah berombak di dada

ketika terik hari bergasing atas kepala

O, jangan biarkan gerimis tempias ke wajah

O, jangan biarkan nyeri membungkus luka

(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan).


Banda Aceh, 1992






















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 53




PERTEMUAN


-bagi Titin Calon Istriku



krueng peusangan menebar segala rindu

mempertemukan Malem Dewa dengan Bensu puteri

izab kabulpun berlaku di gubuk Mak Ni tua

negeri antara di goyang canang semalam suntuk.


krueng peusangan menebarkan rindu

kabut beruntai seperti rambut sang puteri

mengelus-elus dada telanjang.


krueng peusangan mengantarkan rindu

telah pula kukabarkan pada leluhur

tentang tulang rusuk telah kutemukan

kutaburkan harum renggali dipelaminan

agar perjalanan waktu menjadi catatan kebudayaan.


Takengon, 1992






















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 54




PEREMPUAN II


rasa menggeliat tangis pecah di gunung sepi

ada yang belum terjawab, manisku

perjalanan malam sering menghalau rindu

hentikan ombak pada pantai tak bertepi

riak terkurung dalam gelombang hati

tumpah sunyi ke nurani diri.


Banda Aceh, 1993

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 55




CINTA


-bagi Titin Calon Istriku


entah bagaimana menerjemahkan kesucian

terhidang dari nikmatnya sakit

bungkus gelisah

obati luka batin

antar hati keperkuburan rindu

lewat setetes air jatuh dari keningmu.


Banda Aceh, 1993































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 56



BIARLAH


biar lepas urat nadiku, biarlah

asal aku masih dapat bertasbih

biar remuk tulang sum-sumku, biarlah

asal ratebku masih terdengar nyaring

biar hilang bentuk ujudku, biarlah

asal aku masih punya segumpal iman.


Banda Aceh, 1993
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 57




PERJALANAN MALAM


Banda Aceh

gerimis mengantar malam

sementara hujan membasuh rindu

tumpah ke samudera hati.


Saree

sunyi mengantar gigil

pada mimpi tak berujung

perjalanan ini mestikah diteruskan.


Sigli

segumpal kalbu jatuh

kadang meruncing menikam-nikam

hingga beranak duri dalam daging.


Beureunuen

melewati tanah kelahiran

hilang rasa dalam pekat malam

segala petuah dan cinta terkuburkan.


Biruen

tak ada lagi yang melantunkan syair

seperti awan di tiup angin

terburai entah kemana.


Takengon

sepucuk rindu menggelegak

ingin cepat bertemu Emak

melepas segala galau menyesak.


Indonesia

berpuluh tahun kuukir nama itu dengan cinta

dan laut senantiasa menghapusnya.


Aceh-Jakarta, 1993






Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 58





TUMPAH SEPIKU DALAM LAUT


kutumpahkan sepi dalam laut

ketika mengingatmu menggalaukan jiwa

hati kecil berkejaran bersama riak

mengajari aku bersabar

tentang kesetiaan yang hakiki.


Banda Aceh/CeKa, 1993

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 59





DESIR ANGIN


desir itu angin nelusup

belai mesra kecil hatiku kecil

antar sepi ke pucuk-pucuk daun

(menjanjikan kesetiaan berlabuh di muara hati).


Banda Aceh/CeKa, 1993


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 60




CATATAN KAKI


dari sudut yang paling sunyi

ingin kuceritakan luka kita

tiba-tiba ingat aku tentang laut

menerima tumpahan kecewa ke perutnya

lalu lahir kesabaran abadi.


dari sudut yang paling sunyi

ingin kuceritakan tentang buah cinta

tergadai diatasnamakan peradaban kampung

segumpal hati mati

tajam pisau tikam rindu jadi sepi.


Banda Aceh, 1993




























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 61





DETAK JANTUNG PEREMPUAN TUA


detak jantung perempuan tua itu

adalah detak jantung tujuh nyawa

meratapi nasib dipertaruhkan bersama badai.


detak jantung perempuan tua itu

adalah detak tangis tujuh nyawa

tak bisa menggoyang empang untuk nafas.


detak jantung perempuan tua itu

adalah goyang empang dalam nafas

diperpanjang oleh asinnya garam.


Pantai Ceumara-Aceh,1993



























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 62





SABAR


telah terlalu sering belajar bersabar

pada laut. Bersedia menerima sampah

segaja di buang ke dasar hati.


telah terlalu sering belajar bersabar

pada ombak. Setia memukul pantai

terkadang pasir terjilati bersama hempasan riak

entah kapan sampai pada garis tuju.


Banda Aceh, 1993






























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 63




RINDU I


biarkan rindu mengalir

menyembuhkan luka batin

dari warisan dendam anak Adam.


biarkan rindu mengalir

seperti angin bebas nelangsa

kirimkan salam pada dedaunan.


biarkan rindu mengalir

seperti air pembawa rahmat

membasuh muka bersihkan segala khilaf.


biarkan rindu mengalir

seperti penyair menyalin kata

jadikan doa dalam tahajud hamba

(Ya, Allah berbasah-basah aku datang mengetuk pintu-Mu)


Banda Aceh, 1993























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 64





BLOK M


tersesat dalam meriahnya kotamu Jakarta

matahari membakar ubun-ubun

bulan menari-nari di atas kepala

semuanya diatasnamakan angka

O, Allah di sini banyak kemudi patah

terombang-ambing di lautan pencaharian.


Jakarta, 1993
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 65




RASA


-kepada Titin Calon Istriku


kalaupun ini bernama sunyi, adikku

ketika gerai rambut tersangkut di pucuk malam

gerimis tempias ke pipi, hujan tersungkur di jalan-jalan

ada yang akan terjadi manisku.


kalaupun ini bernama sunyi, adikku

perkenankan aku melepaskan Tanya

siapa suruh bongkar lemari

hingga terlihat seluruh isi

siapa suruh berindu-dendam

membuat rasa gundah-gulana

siapa suruh menjaring mimpi

membakar diri dalam api cinta

siapa suruh cinta datang merangkul hati

menyimpul tali ikatan janji.


kalaupun ini bernama sunyi, adikku

ketika angin menjilat ujung rambutmu

tetap datang aku walau penuh luka

lalu sama-sama menyulam jadikan rindu

menempel di dinding hati agar mudah mengingat kembali.


Banda Aceh, 1993
















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 66





MU


bagaimana menerjemahkan sayang

bila gincu menggores langit

jatuhkan bulan bersanding dibaris kening.


bagaimana menerjemahkan sayang

bila rindu putus tak putus

tersangkut di gerai rambut

(jadilah aku debu melekat di kulit).


Banda Aceh, 1994






























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 67




KUSAKSIKAN BULAN SEPENGGAL


kusaksikan bulan sepenggal atas kepala

tangis pecah tertimpa daun cemara

jadikan tembang menemani perjalanan malam.


kusaksikan bulan sepenggal atas kepala

memandang langit sebagai langit

memanyungi keyatimanku

memandang bumi sebagai bumi

merasakan angin sejuk membelai pucuk rambut

melewati selat bernama kesedihan

seperti usapan jemari ibu.


kusaksikan bulan sepenggal atas kepala

aku rindu ayah; perjumpaan hanya lewat ziarah

hingga bersujud aku di kamar kebebasan

mata air turun di nurani menetes di sajadah

O, kecil hatiku kecil teriris pedih

seperti gerombolan awan kelabu

di urai angin buyar berkeping-keping

(kutumpahkan rindu ke gunung sepi).


Banda Aceh, 1994



















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 68





AKULAH DEBU


akulah debu

sendiri merasakan sakit

tersebab banyak yang hilang

tak sanggup menjemput pulang

(sepi kembali kepelukan hati).


Banda Aceh, 1994

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 69




LEWAT TENGAH MALAM


ada, tak sampai dari malam

katakanlah tentang angin

berpusing atas ubun-ubun

menjilat pucuk rambut.


ada, tak sampai dari malam

katakanlah tentang api

membara dalam hati-membakar nurani jadi debu

(ternyata aku hanya pejalan malam tanpa suluh).


Banda Aceh, 1994






























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 70




MEMOTRET DIRI


dalam sepi melihat diri

menerjemahkan isyarat-Mu

masih banyak khilafku

(aku hanya debu mampir di pipi).


Banda Aceh, 1994





















































RIWAYAT: 1995-2006


























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 71





KUTACANE


Kutacane kupandang erat

adalah perawan terpanggang matahari

mengawini pepohonan mati

adalah bocah berjalan telanjang

mandi di kali bersuka-ria

adalah pengembala-mengembara

mencari tempat tambatan ternak

adalah jantung dicincang-cincang

seperti Si Layar dibunuh karena iri dan dengki.


Kutacane kupandang erat

desau angin membisikkan suara ganda

gunung leuser kering kerontang

permainan badut memperkaya diri

sungai Alas berkecipak menggelegak murka

seamsal Pihir memendam dendam

luka yang sangat dalam

seamsal Dihe malam pengantin meriah

rela memamah tuba

(Aku baca hati sendiri-menyaksikan luka diri).


Aceh Tenggara, 1995


















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 72




LANSKAP HATI I

puisi adalah hati

diri bersemanyam di pucuk daun

puisi adalah rasa

luka bersemedi di samudera pikiran

biarlah puisiku menjadi prasasti

terpahat di batu

melekat di dinding

terbentang di langit

di bumi

di gunung

berkelana bersama angin

(biarlah puisiku kusimpan dalam kamar sepi)

Langsa, 1995



























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 73




LANGSA


dari sudut yang paling sunyi

dalam sepi gelap mata

angin nelusup menorehkan luka.


dari sudut yang paling sunyi

dalam kabut nanar mata

berpuluh rencong berhulu di dada.


dari sudut yang paling sunyi

kabulkan doa hamba menyalin kata

menyampaikan kebenaran hakiki.


dari sudut yang paling sunyi

maaf terbuka selebar langit

bagi siapapun yang pernah memberikan getir.


Losmen Bali, 1995
























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 74




EPISODE GURITA TUA


menyambut ramadhan

di sunyi gelap malam. Angin menusuk-nusuk

sukma. Gerimis tempias ke wajah semesta

satu mil mendekati Sabang. Tercatat sejarah

luka beribu anak-anak melautkan tangis

kehilangan penyangga. Beratus orang tua

melautkan darah-kehilangan cahaya mata.


menyambut ramadhan

di sunyi gelam malam. Aku berkaca

pada air mata menyaksikan Jimmy kehilangan kekasih

Dollah kehilangan ayah-ibunya

Brahim kehilangan Siti biji mata satu-satunya

(o, Allah entah di sudut mana batu nisannya).


menyambut ramadhan

di sunyi gelap malam. Angin mendesaukan isyarat

Allah menegur kita

agar tak angkuh

Allah mengingatkan kita

agar tak sombong

Allah meminta kita

kembali pada garis-Nya

(Kita ternyata tak mampu membaca alam).


Banda Aceh, 1996




Catatan: Gurita adalah kapal motor penyeberangan antara Banda Aceh-Sabang

yang tenggelam dan menelan jiwa 3.350 jiwa korban meninggal dan

hilang.









Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 75





APA YANG KAU CARI KAWAN


-kepada penyair M.Nurgani Asyik



kebahagian yang bagaimana lagi

mesti kau dekap. Hingga aroma memabukkan

menghantui samudera pikiran.



kepuasan yang bagaimana lagi

mesti kau mesrai. Tenggelam dalam laut keserakahan

demi cinta harga diri tergadaikan.


Banda Aceh, 1996



























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 76




MESJID


bersujud

dalam rumah-Mu. Meleburkan

hati melihat diri-aku ternyata tak sebesar

kemiri. Apalah seorang penyair rangkai

kata jadi puisi

(aku mohon rahmah dan makrifah-Mu).


Banda Aceh, 17 Ramadhan 1416 H

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 77




SEMALAM DI KUALA JEUBEUET


bulan menari-nari di kepala

ombak menjilat pucuk hati

angin mengurung segala ingin

: ikatkan saja kapal itu di dermaga

atau biar saja berlayar tanpa nakhoda.


Lho’ Geulumpang, 1996


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 78




BRASTAGI


sampai juga pada pendakian itu

dingin mengantar gigil-bongkar seluruh rasa

gerimis tenggelamkan mimpi dalam kabut rahasia

(berapa dapat kubeli kesetiaanmu).


Brastagi, 1996



































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 79




CERITA


ini cerita luka

tentang diri dimangsai ketidakadilan

tentang rasa dimangsai kebiadaban

tentang sikap dimangsai keserakahan

tentang hati dimangsai kekuasaan

(ke sudut mana menyepi menyembuhkan luka).


Banda Aceh, 1996

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 80





SURAT


-bagi Titin Istriku


(bagi bulan menanti matahari

dalam rindu-kangen tak berbatas).


dik, ini surat kutulis

biar kau tahu kesetiaanpun harus di beli

di sini siapa peduli pada rasa

tergagap mengucapkan kata

di sini siapa peduli pada hati

terbius aroma menggigilkan

di sini siapa peduli pada jiwa

terbungkus kabut rahasia

di sini siapa peduli pada kita

sunyi-sepi dalam keramaian

ketika membayang wajahmu

wajah kenangan. Lepaskan aku pergi

dengan segala puja bernama doa

wajah keikhlasan. Lepaskan aku pergi

dengan segala petuah bernama cinta

apalagi membayang saat bersama

meniti hari bernama kedamaian.


dik, ini kutulis-ejakan nyanyian luka

sedang di luar kabut mengental. Menyusup nadi

bergantung di pucuk hati. Mengurung samudera pikiran

kemana tuangkan duka-tumpahkan gelisah

hingga gerimis tempias ke pipi;

o, hati yang resah bersabarlah

pucuk angin pasti membelai dada

o, hati yang gundah bersabarlah

sebentar lagi sabit pasti purnama

(menjemput segala senyum di kening bulan).


Padangpanjang, 1997





Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 81





SUARA


ada suara

berbisik resah di hati

gerimis mengurung wajah. Di stasiun

mana aku harus berhenti melepas lelah.


Jakarta, 1997


































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 82




GUMAM: SITUS BAGI ISTRIKU


ada yang lupa kuingatkan

tentang lipstik pewarna bibir

pemakna getir kehidupan.


ada yang lupa kukatakan

tentang laut beriak tenang

sedia menerima rindu-dendam

walau luka menghias jendela rumah kita.


ada yang lupa kupesankan

tentang gunung setia menanti waktu

terbaca isyarat lewat rateb leluhur

jadi lukisan berwarna rindu-bungkus hati kita.


Padang, 1998

























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 83




NOTA: ULANG TAHUN SULAIMAN JUNED; DIRIKU


itu lilin tetap kupasang

walau tak ada yang meniup. Untuk

mengenang saja. Sesekali menghadap kaca

melihat diri renta dalam perjuangan musim

senasib dengan negeriku hamil tua

dirasuki roh jahat gugur dipersimpangan

(Tuhan! Mungkin aku terlalu rindu).


itu lilin tetap kupasang

walau tak ada yang meniup. Untuk

mengenang saja. Membaca hati sepi sendiri

di rantau jauh dari kekasih-ada yang hilang

meja makan sunyi berdebu-pot tak terisi kembang

yang paling nyeri kurindu; aku kehilangan rengek dan omelanmu.


Padang, 1999

























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 84





PERADABAN


aku menyaksikan peradaban

dipenuhi kisah oportunistik

pasukan iblis membakar ladang

mencari duri dalam tumpukan jerami

apa arti hukum dan pengadilan

bila kuburan dijadikan penjara.


aku menyaksikan rakyat dipelototi moncong

senapan. Peluru berdesing menembus dada

beralamatkan tanah leluhur-setiap derap sepatu

mendekati kampung-ada bulan diperkosa

sementara matahari dimalamkan. Aku padamkan

asap yang mengepul di hati agar tak jadi api.


Banda Aceh, 1999

























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 85





SIASAT


-pesan bagi para wakil rakyat


tak-tik-tuk

tik-tuk-tak

tuk-tak-tik

tak-tik, oye!

hidup di sini menunggu bom waktu

tiap saat siap meledak

bla-bla-bla. Oye!


tak-tik-tuk

tik-tuk-tak

tuk-tak-tik

tak-tik, oye!

200 juta lebih penonton

menyaksikan pertunjukan tablo maha dasyat

691 aktor berakting. Lakonkan pesta canda

Bla-bla-bla. Oye!


tak-tik-tuk

tik-tuk-tak

tuk-tak-tik

tak-tik, oye!

pentas disesaki bau amis

permainan aktor liar tak terkendali

sutradara terpaksa menghibur diri

kawan! kata demokrasi hanya

ada dalam kantong jas sapari

bla-bla-bla. Oye!


Jakarta, 1999









Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 86




RINDU II


di dera ketakutan pada kesepian

aku tak lelah taburkan benih penuh cinta

diladang maha subur. Kemarau tetap saja menjelang

tanah kering terpecah-pecah. Sendiri bersihkan

lurah alirkan air. Rindu pohon tempat berteduh melepas lelah

(kesepian lebih mengerikan dari maut).


Padang, 1999

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 87




MATA


anak panah tertancap

dalam bunga api. Penglihatan menyandera

jiwa. Rasa terpenjara di beku senyummu

(Tuhan, jangan butakan mata-hatiku).


Padangpanjang, 1999


































Sulaiman Juned-------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 88




GUMAM: CATATAN 1989-1998



aku menyaksikan sejarah hitam bangsa ini

menulis di atas angin antar ke seluruh penjuru

mengisi ruang pemikiran tentang Aceh

tersekap dalam gudang senjata tak berpintu.


aku mencatat matahati tak berjelaga

merelakan matahari tumpah ke muara tanpa

cinta. Bocah-bocah menggantungkan perut

perempuan-perempuan janda mengusung

sepi-sakit di hati. Anak-anak bangsa mengasah dendam

membakar dalam zikir Lailahaillallah.


aku meneriakkkan gumam masa lalu

pasukan iblis setiap waktu memakai topeng

mengubah wujud menutup kesalahan

(aku menulis kesaksian pada selembar daun).


Banda Aceh-Padangpanjang, 1999






















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 89





JAKARTA


terkurung keramaian Jakarta

mengepul asap di hati jadi api

aku ingat kampung; masa kecil yang indah

selepas ngaji. Membaca hikayat prang sabi

memaknai penyerahan diri-merindui Allah.

Masa remaja penuh gairah; memilih rumah tempat berteduh

membawa pulang mawar-membagi keluh

kesah. Bercermin pada kesetiaan Adam-Hawa

(terasa hidup tak ingin cepat kumati).


terkurung keramaian Jakarta

mengepul asap di hati jadi api

aku menyaksikan; badut-badut mempertontonkan gelisah

di gedung ber-AC tapi gerah-bermuara pada dendam

melemparkan bara jadi ambisi tak terkendali

(nurani tersimpan di kantong jas sapari).


Jakarta, 1999





















Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 90





BERITA


merpati putih

terbang mengitari malam tanpa bintang

mengirim keluh-kesah bersama darah

ini kepak terakhir;

terkulai jatuh di atas tungku jadi bara

(siapa sanggup memamah luka-cinta tak teraba).


Padang, 1999
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 91



SURAT: GUSDUR, INI YANG SEMPAT KUCATAT

KETIKA PULANG MENJENGUK TANAH KELAHIRAN

DALAM GERIMIS MALAM KURABA DARAH BERTULISKAN

PERINTAHMU



mestikah aku rabakan darah

untukmu yang mengalir dari saluran

tak henti atas nama kekuasaan.


mestikah aku bukakan mata

untukmu agar tersaksikan ratusan

juta nyawa dilipat senapan di camp-camp

pengungsi-bahkan dirumah sepi dalam ruang kematian.


mestikah aku hapus negeri ini di hati

tersebab ngeri-pilu masa lalu

membekam di jiwa

tak mau pergi-walau dihukum mati.


mestikah aku mengajarimu Alif Lam Mim

sementara kau masih punya waktu memberi

arti kepada yang sia-sia merelakan nyawa

(berapa harga kelicikanmu mesti kubeli).


Banda Aceh, 2000

















Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 92






ISMAN: DIMANA KAU SEMBUNYI


senja hampir selesai

begini jauh perjalanan. Aku

berangkat melukiskan hujan di halaman

berbaur sekerat rindu sepanjang rambutmu

meski harumnya tak sempat kunikmati.


senja hampir selesai

alangkah jauh perjalanan. Aku

berangkat melukiskan keraguan di gugur daun

angin mengantarnya kepemakaman

(sepi lebih mengerikan dari maut).


Padangpanjang, 2000


























Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 93





JIWA


merpati

putih

menyerahkan hati mengatub luka

kematian diletakkan pada tangan

dingin. Aku benci jiwa yang gelisah

berkeluh-kesah dimalam nyeri-sunyi. Aku

catatkan sengketa biar matahari pergi dari sisi.


Padangpanjang, 2000































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 94




MAK: PUISI INI KUTULIS

SETELAH KEMATIAN ABI


mak,

sepuluh tahun kesepian menyeri di hati

lelaki yang sering duduk bersimpuh

sambil memilin rokok daun di rangkang. Kita

tak lagi menikmati omelan dan petuahnya.


mak,

suluh di tangan semakin meredup

sendiri berjalan dalam senja

mengalirkan air bagi anak-cucu-cicit

kita pun menunggu giliran-Tuhan

tentukan waktu.


mak,

sepanjang usia melekat di jiwa

ada angin tertinggal ditumpukan

kadang meruncing menembus dada

bila mengingat peristiwa lalu. Sepanjang

usia melambai dalam nyawa-rindu menusuk

menyiksa. Bersama kita ziarahi pusara-bersihkan

hati dari luka. Alirkan doa agar tak tersiksa

-damailah disisi-Nya, Abi!


Aceh, 2000



Catatan: Abi (bahasa Aceh) = Ayah atau bapak.













Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 95





SEKALI


jangan biarkan cinta

mengembara dalam rimba sunyi

bangun saja rumah di hati

hidup-mati-kawin hanya sekali. Sebisa

apapun luka tak perlu mempertontonkannya.


Padang, 2000

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 96





LUKA-CINTA


keindahan. Cinta terpatah-patah

jatuh berserakan di ladang berdebu. Siksa

tersimpan di hati lusuh. Langit

mendung luruh jadi hujan-jiwa misteri

tak terungkap-maut harus ditanggalkan

(ditepian ini sempurnalah segala kisah).


Padang, 2000
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 97





LELAKI


senja

di danau camar berkejaran. Kaki

langit kuning keemasan-lelaki

berkelahi dengan ombak dikelap-kelip

waktu. Nafas pesakitan tersirat di wajah

penderitaan.


Solok, 2000
































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 98




HILANG


kebenaran diam-diam mati. Kisah

luka-duka tersimpan bawah bantal

cinta hilang disisi penderitaan

sebab warna di luar selalu hitam

(aku membunuh karena kematian).


Banda Aceh, 2000

































Sulaiman Juned-----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 99





MENGALIR LUKA DI JIWA SENJA


datang juga senja di jiwa

sepi. Kepastian tersimpan di lengang

ingatan. Selebihnya ketidakpastian

menghantui samudera pikiran. Di sini

luka tak teraba mengalirkan perih

bermuara di dasar hati.


Padang, 2000
































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 100





REKOMENDASI


kulalui malam sejuta nikmat

ketika gerimis tempias ke sajadah. Mencair

juga sepi dipucuk rambut-bila gincu menggores

langit jatuhkan bulan bersanding di baris kening

membungkus luka dengan kertas baru. Kita

menulis kata demi kata diatasnya.


kulalui malam sejuta nikmat

dimatamu aku hanya sebiji kemiri. Mencari

catatan rekomendasi dari birokrasi matahari.


Padang, 2001




























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 101





PULANG


-bagi penyair Mustafa Ismail



sudah waktunya kita pulang. Mengetuk

pintu menata pekarangan rumah dengan cinta

gerimis masih mengurung perjalanan.


sudah waktunya kita pulang. Mengusir

pipit sedang makan padi muda agar tak menghitung

nama-nama di koran pagi dalam warung kopi. Lalu

menggantikan dengan pertunjukan seudati selepas panen.


sudah waktunya kita pulang. Rakyat

di kampung menjawab keraguan sendirian. Kita

harus menggantikan warna hitam jadi putih antar ke pintu surga

(mari jemput waktu agar abadi segala kisah).


Padang, 2001




















Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 102





BUNGA API


jiwa tenanglah jiwa

sebentar kita berjaga-janganlah tidur; mari

berangkat ke negeri yang memperjualbelikan

maut; Maluku-Ambon-Irian atau Aceh. Ayo

lebih jauh lagi ke pedalaman Pidie agar tambah

jauh dari kehidupan

di sana perubahan terang dan gelap meniadakan

keragaman dari ketiadaan.


jiwa tenanglah jiwa

mari berbenah pulang

menemukan kilatan bunga api

dari neraka.


Padanpanjang, 2001

























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 103



BUNG: MENGENANGMU

GERIMIS TEMPIAS DI SAJADAH


membuka lembaran dua puluhan

tetes darah masih hangat mewarnai sejarah

dalam segala warna-cuaca, pemuda berdiri

paling depan. Dada belia terbakar

membakar semangat berkobar

mengobarkan api dua puluh-api dua delapan-api empat lima

tumbanglah tatanan usang renyuh-runtuh-rubuh

o, betapa engkau di sambut dentuman

yang bukan mercon. Mengikhlaskan kesempatan

menyandang titel hidup gemerlapan.


Bung: apakah arti kemewahan di atas penderitaan

apakah arti hidup-bila tak berarti sama saja mati

sebelum mati. Hidup berjaya atau mati sebagai

bunga bangsa dan agama.

Bung: telah kau titip bangsa dan negara ini

pada Soeharto; ia menggergaji bumi-bangun

istana pribadi tak mampu menerjemahkan peradaban.Bagi

Habibie; ia memberi ruang oportunis

untuk bermain-meruntuhkan kesatuan bangsa. Bersama

Gusdur; menyaksikan nusantara mengalirkan

darah dari saluran tak henti atasnama kekuasaan. Tjoet Nyak

Mega; mengumbar janji seperti biduan. Sementara

teroris mengerat negeri.


Bung! Bangsa yang besar

adalah bangsa yang pandai menghargai sejarah

tanpa pamrih-terlepas dari kurang dan lebih. Baca;

Aceh-Sriwijaya-Majapahit: Teuku Umar, Teungku Chik Di Tiro

Sisingamangaraja, Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Patimura, Daoed Beureueh

Bung Karno, Hatta, Syahril dan sejarah yang hanya tercatat di kepala

betapa setiap jengkal tanah

adalah ajang juang

adalah makam pahlawan

bercermin kami berbuat

tak ada kata jera dalam perjuangan

(mengenangmu: pilu-luka-nyeri tumpah di sajadah).


Padang, 2001


Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 104





CERITA: TANAH AIR-TANAH MATA


kadangkala hidup gumaman gebalau

di malam sunyi. Ingin sekali aku

menguburkan diri di tanah tumpah darah

tersebab tumpah air mata darah di tanah airku

(belukar dan kemenyan tumbuh berbunga di pusara).


Aceh, 2001

































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 105





BUNGA API-BUNGA HUJAN


baju perang

semestinya kita rusaki

agar tak memukuli dada-kening

sendiri. Ganti dengan pakaian silaturrahmi

kembangkan sayab-sambut salam dalam genggaman

erat. Biar sirna api di ruang kepala

hujankan jiwa.


Padang, 2001































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 106





MENUAI API


memaknai kemerdekaan

gerimis mengurung rahasia mimpi

melahirkan derita jadikan tuba-sakit-pilu

menyayat ruang pemikiran-merubah peradaban

jangan pagari hati dengan perseteruan. Menuai

jembatan kasih sayang-meski datang malam

di jiwa. Aku tak tinggal diam

api sunyi-menyala menyilaukan mata. Kesetiaan

berkalang maut. Ini rumah kuberi nama cinta

baik dan buruk kutulis di kalbu.


Padang, 2001




























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 107




KAMAR


inilah panggung

menciptakan pertunjukan sesuka hati

mencari kesalahan-mempertontonkan

kekuatan jadi penguasa tragedi maha dasyat

(aktor di sini suka jahil-berjiwa kerdil).


Aceh, 2002


































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 108





PENGADUAN


merah

putih. Membagikan cinta dengan paksa

melahirkan sengketa. Orang-orang berdiang

pada bara-hujan tak mampu memadamkannya.


Padang, 2002


































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 109





ASAP


debu

gelap menjemput kerinduan

sepanjang debaran rasa terkepung-terasing

asap kesepian.


Padang, 2002


































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 110



SAWAHLUNTO ERAT SEKEJAB


sekejab larut di lembah-bukit memanjang

jauh. Semakin remang sayap malam

seperti kembali ke masa lalu

warisan sejarah abadi terjaga di perut kota;

lubang tambang batu bara

arsitektur kuno bernilai sejarah

lorong panjang meninggalkan

catatan tradisi keragaman budaya

melahirkan jejak perjuangan

hidup kuli-kuli tambang-tragis

penuh tragedi. Mereka adalah pahlawan.


sekejab larut di gerbang kota

lembah-bukit erat menyambut memanjang

jauh. Lepas tak lepas menatap lekat wajah kota

membayang perjalanan masa silam

rindu belum lagi mau sembuh

menyaksikan peninggalan sejarah

kota tambang-memasuki masjid agung

bekas gudang mesiu. Patung pekerja saksi

bisu. Angin lembut semilir turun

menari-nari di atap rumah

mengantar ke pucuk kenangan.


sekejab larut di lereng lembah-bukit memanjang

jauh. Silungkang menebar senyum kepada

pendatang. Selamat datang cinta

di sini ada songket di tenun jemari lentik

rasa hendak berpeluk erat tak mau pergi

dekapkan aku wahai kota yang dikalungi kawat

berduri ditubuhnya sejak abad dua puluhan.


sekejab bersamamu-semakin remang sayab malam

menyapu kota mungil jiwa berganyut. Sayub

terdengar tembang ninabobok menidurkan buyung di halaman

harum bunga kopi mengantar mimpi ke pintu surga

lembah-bukit memanjang jauh-izinkan aku sebentar

di sini merubah sabit jadi purnama.

Sawahlunto, 2002



Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 111





LAGU


selamat petang luka

belati menggali terusan air mata

dalam kedalaman mata-seperti Tuhan

pada waktu subuh. Sembunyikan mimpi.


Padang, 2005


































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 112





PENJARA


sejarah

mengajarkan kekerasan tak membawa

perdamaian. Rakyat terpenjara pertarungan

identitas. Di sini kebenaran sedang dipertaruhkan

ribuan cerita bertebaran-yang tersisa hanya doa.


Aceh, 2003

































Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 113





LUKA 2


merah

putih. Terkoyak api dendam.


Padang, 2003




































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 114




SENYUM BEKU


menghabiskan

malam dalam senyum-beku

waktu. Anak-anak belajar mengeja

cinta pada selembar daun-jadi cerita

di ruang pemikiran. Menjaring mimpi

bawa pulang

buat

anak

isteri

ah!


Banda Aceh, 2004


























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 115




ACEH 1


:bagi yang hilang-kehilangan


sekejab larut di lembah-bukit memanjang

jauh. Luka bersimaharaja di hati

membayang perjalanan masa silam

rindu belum lagi mau sembuh: gunongan *)

bukti cinta seorang hamba. Kherkhoef**)

lorong panjang catatan sejarah menari di pucuk

kenangan. Gerimis masih mengurung perjalanan.


sekejap larut di lembah-bukit memanjang

jauh. Di rantau aku tatap tubuhmu di lilit duka

api-angin-batu bersenggama pada dingin

gigi. Bunyi lesung bersorak-sorai dalam

hutan-asap menyesak-tingkah kaki terusik

gelisah. Sudah waktunya kita pulang

menata pekarangan rumah dengan cinta

kita harus menggantikan warna hitam

menjadi putih antar ke pintu surga

(mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan).


Aceh-Padangpanjang, 2003-2005


Catatan: *) Gunongan: Taman yang di bangun Sultan Iskandar Muda, peresembahan

Untuk puteri Pahang.

**) Kherkhoef: Perkuburan milik pemerintahan Kerajaan Belanda di Banda

Aceh.














Sulaiman Juned----------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 116/117




ACEH 2


-bagi penyair Maskirbi-Nurgani Asyik

dan pelukis Versevenny.



luka membatu

hati berlagu

luka membiru

senyum membeku

kita bersulang menimang mimpi. Pagi

yang bening jadi kelam. Luka-duka

menari di samudera pikiran. Aku tatap kota

melesat dalam waktu berkalang maut

orang-orang menanggalkan hati

satu demi satu. Ini tubuh siapa punya

memanggil-manggil Tuhan di setiap

aliran nadi. Kami ini jiwa-hati mencatat

lara-tak bisa lari tak bisa sembunyi

orang-orang berkelahi bersama ombak

di kelap-kelip waktu. Orang-orang lalu-lalang diantara

aroma mayat-meski teramat pahit. Nafas

pesakitan tersirat di wajah penderitaan. Aku

tabur bunga di pusara bernama Aceh

(kapan usai hikayat bertopeng ini, duhai!).


luka membatu

hati berlagu

luka membiru

senyum membeku

kita bersulang menimang mimpi. Pagi

yang bening jadi kelam. Gundah-gelisah-sakit

pilu menyatu dalam bingkai cinta-lara

telah aku kecup getir di kamar rahasia

menghabiskan malam dalam senyum-beku

waktu mengirim setangkai kembang meraih

bulan-gerimis masih berkelahi di halaman

siapa diantara kita terluka-padamu

pahatkan resah. Kabut-angin-api-air

mempersiang diri dalam sepi

secangkir kesedihan terceruk belati

menggali terusan air mata dikedalaman

mata air kami. Seperti Tuhan pada

waktu subuh menabur gelombang

sembunyikan getir-cinta terbunuh

udara kelabu-aroma kematian terhidang

diperjamuan menyekap pikiran

erat berpangut-berapa harga

kelicikan

harus

kubeli

(aku beli keluh-kesah itu selipkan di kain kafanmu).


luka membatu

hati berlagu

luka membiru

senyum membeku

kita bersulang menimang mimpi. Sudah

waktunya kita pulang-entah bagaimana

menerjemahkan kesucian terhidang

lewat nikmatnya sakit. Sesakali aku pulang

menyaksikan bungong jeumpa patah

tunasnya. Hanya pada bayang bercerita;

Maskirbi-baru saja kita poh cakra di keude khupi tentang Aceh

agar menyelesaikan konflik dengan cinta-seni biar

tak ada yang mati sia-sia. Memahami

luka dengan kasih sayang bukan dendam. Nurgani Asyik

terakhir kali kita keliling Darussalam-Ulee Kareng serta minum

kopi di pantai Ulee Lhee sambil menikmati shanset turun

memeluk malam-tempat kita berkelahi pikiran. Versevenny

dimana kau simpan kanvasmu-melukiskan ini kalbu

terbelah. Selamat malam cinta-aku hanya mampu mengirim

doa jadikan tembang menemani perjalanan malammu. Di pusara

tujuh bidadari menanti-menabur wangi mawar antar ke pintu surga

(hari ini kita berkabung-di tegur Tuhan untuk kenali diri).


Aceh-Padangpanjang, 2005












Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’118






ACEH 3


hidup berbatas cahaya matahari. Malam

bukan lagi milik bersama-tak ada lagi

perempuan-perempuan menangkap belalang

di sawah dan tegalan dengan lampu minyak

kelap-kelip buat lauk besok pagi-tak ada lagi

lelaki menikmati isapan rokok bersama dingin

malam sambil jongkok buang hajat di pinggir

kali. Tak ada lagi nyala petromaks di rumah

kematian mengumandangkan ayat pengantar kepergian

abadi. Orang-orang harus memilih keselamatan dengan diam.


Solo, 2005



























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 119






ACEH 4


titip sekian rindu. Siapa melewati

Seulawah masihkah bilik para datu

mengalirkan air kasih-Nya. Leluhur

membasuh dada bujang agar mampu menjalani

kerasnya hidup. Anak sampan belum siap

memutar haluan walau zikir sebaya sesekali

terdengar sayub. Biarkan dulu aku di sini menjaring

mimpi-mimpi yang pasti-bawa pulang buat anak

istri. Pergi ditepungtawari datu dengan doa-pulang

memandang luka memborok dalam kalbu.


Padang-Solo, 2005



























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 120





ACEH 5


masa depan di sini

adalah masa depan air mata-darah-kematian

tumpah-rebah tanah tumpah darah. Darah

tumpah di tanah airku meninggalkan lebam

membekas di jiwa sepanjang masa. Aku

catat setiap sengketa sambil sempurnakan sabit

jadi purnama.


Solo, 2005































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 121





ACEH 6


kampung-kampung

masih terkepung sepi. Gerimis

memasuki rumah tanpa salam.


Solo, 2006



































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 122




POTRET DIRI


-dari rantau kuziarahi makammu; mak.



entah dengan apa dapat melukiskan

kesetiaan. Bahasa yang bagaimana mampu

melahirkan sajak tentang keagungan

cinta. Mak, telah berton-ton ajaran

tersimpan di jiwa belum juga dapat

menyiram wangi seulanga ke dadamu

(aku ziarahi kuburmu dalam mimpi panjang).

Solo, 2006





























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 123





MAK: BULANKU HILANG



demokrasi itu apa?

“kita bagi kacang harus adil”


keadilan itu apa?

“ketika kantong pribadi tebal”


ketebalan itu apa?

“ketika kekuasaan itu kebal”


kekuasaan itu apa?

“ketika yang kuat menginjak tengkuk si miskin”


(Mak! Bulanku hilang-bulanku terbang).


Solo, 2006
























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 124






DIALOG


siapa

menitip luka-dendam tersisa.


Solo, 2006



































Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 125





MAK: 360 HARI KEPERGIANMU



mak

sampai juga waktu menjemput

di penghujung ramadhan-subuh

yang bening melepas kau pulang

walau getir terasa menusuk-nusuk

antar kepergianmu dengan zikir dan doa.


mak

sampai juga waktu menjemput

Tuhan sudah tentukan-siapapun menunggu

giliran. Yang paling nyeri-kurindu

ketika pakaian kebesaran lengket di badan

berkat ikat pinggang pemberianmu. Diam-diam

engkau menghadap-Nya

aku belum sempat memberikan ini jiwa-menghargai

sakitnya air susu yang kau berikan-yang lebih teriris

pedih-aku tak bersama menjalankan tradisi mengenangmu

(kutumpahkan senyum walau gerimis tempias ke pipi).


Solo, 2006



















Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 126





PERCUMA


percuma

membingkai hati. Andai pikiran

terkurung rahasia debu-mengeruh jauh

nurani mengumpal dengki dendam.


percuma

merenda hati. Andai perahu

terbuat atas nama kemarahan

mencipta topeng-melahirkan jiwa

pengecut jadi pahlawan

(kita adalah boneka dimainkan mimpi).


Solo, 2006



























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 127






LANSKAP HATI 2


rentak tari guel hilang di sunyi

malam. Tepuk didong tenggelam di senyap Laut Tawar

sebuku tenggelam pilu di dada pengembara. Di rantau

aku mencium harum renggali mengurung ruang

kepala. Aku menyaksikan Bensu Puteri berkecipak

di kolam tenang memanggil Malem Dewa

pulang kembali ke kamar cinta

(biarkan sebentar aku di sini menggali hati).


orang-orang di sini berkelahi bersama ombak

biarkan sebentar aku semedi menyucikan kalbu.


Solo, 2006


























Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 128





PERJAMUAN


ketika malam turun. Rasa luka-duka melaut

dihati. Cinta terbunuh udara kelabu

aroma kematian terhidang di perjamuan

menyekap pikiran erat berpangut

berapa harga kelicikanmu harus kubeli.


ketika malam turun. Aku-kau bersulang menimang

mimpi. Berpesta amis darah dan air mata

di atas meja bulanpun menari-nari menjenguk sepi-diri

dalam mabuk lupa-hati. Angin bergegas-gegas meninggalkan

dingin. Berapa harga kebiadabanmu dapat kubeli.


ketika malam turun. Mencair juga sepi

dikalbu. Aku harus melanjutkan pengembaraan ini

bersama langkah yang kehilangan cinta.




Padangpanjang-Solo, 2006





















Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 129





RITUS TOPENG


aku

gendong

peradaban luka dalam babakan sejarah

merindui peruntungan jiwa-di sudut hening

: aku bergulat memungut wajah

kita terpasung ritus topeng.


Solo, 2006
































Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 130




ZIARAH HENING


aku

ziarahi kebebasan. Terpenjara

diketerasingan melawan kemerdekaan

jiwa. Ruang hening mengoyak derita

mendirikan kemah pengungsian di hati.


aku

ziarahi peradaban menikam

kecemasan dan ketakutan

sebab sejarah ada ditangan raja

mengidungkan lagu pujian mengukir keabadian

(apakah kita mau menuhankan diri)


Solo, 2006


























Sulaiman Juned----------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 131





LANSKAP HATI 3


jutaan

kepala-terbenam kuyub gerimis malam

antara Ulee Lhee-Lho’nga-Krueng Raya. Ombak

merebut suka jadi duka-sunyi pada gemertak gigil

(Aceh hilang dari peta jadi laut).


jutaan

kepala. Terbenam kuyub gerimis malam

aku tak berani memastikan apakah lorong itu

masih ada atau tinggal kenangan di samudera

pikiran. Meunasah tempat kita mengeja hidup

juga telah di lipat air raya

aku

sempat pulang menjenguk luka diri

ah!


Aceh, 2006























Sulaiman Juned---------------------------------------------------antologi puisi ‘riwayat’ 132






1427 H.


pada

siapa mesti berbagi

kemiskinan-kekayaan, kebodohan-kecerdasan

kehancuran-keindahan. Allah

hijrahkanlah

hatiku.


Solo, 2006





























Biodata penulis ‘riwayat’-----------------------------@


Sulaiman Juned, pernah memakai nama pena; Soel’s J. Said

Oesy. Lahir di dusun kecil Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kab.

Pidie, Aceh 12 Mei 1965. Mulai menulis sejak duduk dibangku

SLTP. Karya puisi-cerpen-esai-artikel-reportase budaya- naskah

lakon-skenario sinetron, drama remaja dan fragment di muat di

majalah dan surat kabar; Santunan, Serambi Indonesia, Peristiwa

Kalam,Gema Baiturrahman, Warta Unsyiah, Kiprah, Atjeh Post, Panca, Ar-Raniry Post , Ceurana, Aceh Express, Kampiun, Wacana, Detak (ACEH). Hr. Analisa, Waspada, Majalah Dunia Wanita (MEDAN). Riau Post, majalah Membaca (RIAU).Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Majalah Saga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni, Majalah Laga-Laga (SUMATERA BARAT). Lampung Post (LAMPUNG). Independent (JAMBI). Sriwijaya Post (PALEMBANG). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Majalah sastra Horison (JAKARTA). Majalah Dewan Bahasa dan Sastera (MALAYSIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Karyanya juga terkumpul dalam antologi puisi; Podium (1990), Bunga Rampai Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta 1991), Kumpulan Penyair Banda Aceh (DCP. 1993), Hu (Teater Kuala, 1994), Telah Turun Burung-Burung Ke Irian Jaya (Medan, 1995), Suara Merdeka (Fak. Hukum Unsyiah 1995), Ole-Ole (antologi baca puisi keliling Aceh bersama penyair Mustafa Ismail, Ceka 1995), Surat (Kuflet, 1998), Dalam Beku Waktu (NGO-HAM Aceh, 2002), Mahaduka Aceh (Pusat Dokumentasi HB. Jassin, Jakarta 2005), Aceh 8,9 Skala Richter Lalu Tsunami (Aceh Bangkit, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Tiga Drama Jambo (Kumpulan naskah Lakon, Komunitas Seni Kuflet, Padangpanjang 2005), Lagu Kelu (Aliansi Sastrawan Aceh dan Japan-Aceh Net 2005). Antologi Cerpen joglo (Taman Budaya Jawa Tengah, September, 2006). Antologi esai Takdir-Takdir Fansuri (Dewan Kesenian Banda Aceh, 2000). Baca puisi tunggal/diskusi Pengadilan Puisi “Menjilat Bulan” (Cempala Karya, UNSYIAH, 1994). Dramatisasi puisi “Ikrar Para Penganggur” (Dialog Sastra, Aceh Utara, 1994). Teaterikal Puisi “Ka Kawin-kawin” (Aceh Tenggah, 1995). Baca Puisi Tunggal/Diskusi “Ole-Ole” (FKIP-Univ. Jabal Ghafur Kabupaten Pidie, 1996). Baca Puisi Tunggal/Diskusi “Surat” (Kuflet, Padangpanjang, 2000). Baca puisi Tunggal/Diskusi “Riwayat” di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah (TBJ, September 2006). Kolaborasi “BROEH” (Tari; Koreografer Alfira O’Sullivan/Australia. Musik; Komposer Deny/Yogyakarta. Teater/Sastra; Aktor/penyair Sulaiman Juned/Aceh), Pentas dalam Festival Seni Pertunjukan Internasional di Pasar Seni Gabusan, Bantul-Yogyakarta, 13 Nopember 2006. Serta di Festival Seni Pertunjukan Asia, Asiatri di Kaliurang, Yogyakarta, 19 Nopember 2006.

Pernah di undang ikut Pertemuan Sastrawan Nusantara, 1995 di Langsa Aceh dan di Kayutanam Sumatera Barat 1997. Pertemuan Teater Indonesia (Pekan Baru, 1997). Bersama Almarhum penyair M.Nurgani Asyik mempopulerkan pengadilan puisi ala Aceh yang menjadi acara rutin komite sastra Dewan Kesenian Aceh. Aktif di dunia teater sejak tahun 80-an. Pendiri UKM. Teater NOL Unsyiah (1990), Pendiri Sanggar Cempala Karya Banda Aceh (1987), ikut mendirikan Teater Kosong Aceh (1993), Pendiri Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (1997). Ia juga aktif dalam dunia jurnalistik; Sekretaris Redaksi/Redaktur Budaya Penerbitan Kampus Warta Unsyiah (1988-1995), Pemred Bulettin Ceurana (1989-1991), Redaktur Budaya SKM. Peristiwa (1989-1994), Redaktur Budaya Majalah Kiprah (1990-1997), Pemimpin Redaksi Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (1997-1999), Redaktur ahli Jurnal Expresi Seni Padangpanjang (2000-Sekarang). Pernah duduk sebagai pengurus Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1995-2000), Ketua Seksi Humas Lembaga Penulis Aceh (1998-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1995-1997). Ia juga menulis skenario sinetron, drama remaja dan fragment yang sekaligus disutradarainya untuk TVRI Sta. Aceh-TVRI Sta. Padang dan TVRI Pusat Jakarta. Pernah menjadi penyiar radio di UKM. Radio Universitas Syiah Kuala Darussalam-Banda Aceh, mengasuh ruang sastra dan budaya.

Soel, kini mengabdi sebagai dosen tetap di STSI Padangpangang-Sumatera Barat, mengasuh mata kuliah penyutradaraan. Dosen Luar Biasa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Guru Bidang studi Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pendidikan Kesenian di SMA Sore Padangpanjang, Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat. Menetap di Padangpanjang bersama seorang istri dan seorang anak. Sekarang tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Program Studi Penciptaan Seni Teater Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta-Jawa Tengah.

Selain sebagai pembaca puisi yang handal juga di kenal sebagai sutradara yang sering membawa raga teater keliling Aceh- Medan-Padang-Riau-Palembang-Bengkulu-Jakarta-Yogyakarta-Solo-Bali. Begitulah ‘riwayat’ penyair-Penyiar-wartawan-dramawan-teaterawan yang kini telah mengabdikan dirinya menjadi dosen seni tersebut. (JARWANSAH).