PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Sabtu, 13 September 2008

ESTETIKA SENI RUPA ACEH TAK KERING DIGALI

Catatan ekspresi ‘kande’ Mahruzal seniman muda Aceh di Padangpanjang

Oleh: Sulaiman Juned *)

//….kaulah kandil kemerlap/pelita dimalam gelap…//.

Sengaja di petik larik di atas dari puisi karya sang Raja pujangga besar Indonesia yang hidupnya berakhir karena peperangan di Langkat. Putra Mahkota Kerajaan Langkat dari tanah Melayu ini mempopulerkan kata ‘kandil’, tak banyak orang tahu bahwa istilah kande telah di pakai sang maestro Amir Hamzah, penyair yang menjadi pelopor pujangga baru itu sebagai penggambaran kata terhadap sesuatu yang indah memancarkan cahaya. Kandil itu lampu yang memakai sumbu dan tak disemua jazirah melayu disebut demikian. Ada yang menyebut dama, (Minang dan sebagian Jambi), damar (Riau) atau lampu minyak. Lantas dari mana kata ‘kandil’ didapat Chairil sang pujangga itu? Lihatlah Melayu yang pernah jaya dimasa Samudera Pasai merajai lautan dan kepulauan nusantara. Inilah zaman kandil menjadi sesuatu yang penting. Inilah Kande, yang kemudian Melayu serantau menyebutnya kandil.

Terlepas sengaja atau tidak, ternyata Amir Hamzah telah kenal dengan kande jauh sebelum Rafli dan grup Bandnya memperkenalkan benda ini kepada seluruh orang Melayu. Kandi misalnya, di masyarakat Tabir Hulu Jambi, adalah lampu gantung yang terbuat dari tembaga yang kini hampir punah sejak ada listrik. Mari kita telisik perbedaan kandi, kandil, dama, damar dan lampu minyak dengan Kande. Kande lebih estetik dan rumit. Itu saja, selebihnya sama, sama-sama berfungsi sebagai penerang malam dengan bahan bakar Minyak kelapa.

Kande lampu Minyak yang berasal dari Aceh terbuat dari tembaga, dicetak dengan tekstur unik. Berhias motif khas, dengan empat elemen utama. (1) tempat minyak, bulat pipih, (2) sumbu melingkar disekeliling berbentuk runcing, ada yang lima sumbu, tujuh atau sembilan sumbu, (3) tangkai berbentuk seperti gerbang yang berdiri di atas lingkar tempat minyak,(4) Tempat menggantungkan, berbentuk lingkaran bulat di puncak tangkai, sekeliling dihiasi dengan ornamen timbul yang indah. Selain saudaranya yang disebut di atas ada lampu lain yang disebut blencong dari Jawa Timur atau banyak lagi ditempat lain yang merupakan kekayaan seni rupa yang tak akan habis digali estetikanya.

Kekayaan estetik ini digali oleh Mahruzal, seorang seniman muda asal Aceh yang bereksplorasi di Padangpanjang bersama Komunitas Seni Kuflet. Pameran pertengahan Mei lalu di Gedung Hoerijah Adam Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, ia memajang karya “lampu minyaknya” yang unik. Ya, memang lampu minyak, sebuah ide yang cukup ‘aneh’ ditengah zaman digital yang serba listrik ini. Di tambah lagi lampu minyak Mahruzal ini bukan dari logam tapi dari kayu nangka. Dibalik itu semua karya Mahruzal yang terinspirasi dari ‘kande sebagai ekspresi kriya seni’ sebuah statement yang lagi-lagi unik.

Mahruzal dalam kesempatan itu, memajang tujuh karyanya yang diberi judul (1) perahu kehidupan, (2) Bertahan, (3) bersaing, (4) Tak terawat, (5) Keunikan, (6) Kecemasan (7) Kenangan Lama. Ketujuh karya Mahruzal beranjak dari sisi-sisi ekspresi Kande pada zaman dahulu. “perahu kehidupan” adalah gambaran kande yang pada masa dahulu digunakan masyarakat Aceh sebagai penerang utama dalam pesta perkawinan sebelum adanya listrik. Karya “bertahan” merupakan keinginan yang keras dari seorang Mahruzal untuk mempertahankan nilai-nilai budaya lama dengan ekspresi kekinian. Karya “bersaing” sebagai gambaran seni budaya Aceh yang sedang memperkuat eksistensinya di tengah ancaman budaya global sementara karya “Tak terawat” sebuah peringatan akan berkurangnya minat para seniman muda terhadap seni rupa tradisi Aceh. “keunikan” karya Mahruzal, mengingatkan pada seni budaya negeri ini tentang keseragaman dan unik sehinga ‘sayang’ untuk ditinggalkan begitu saja. “kecemasan” adalah konklusi dari gambaran emosi ketakutan terhadap musnahnya aset seni rupa Aceh yang kian kurang diminati kalangan perupa saat ini.

Seorang warga Aceh yang menetap di Sumatera Barat, Ir. L. Mustari Ketua Masyarakat Aceh Bukittinggi dan sekitarnya disela pameran menyatakan sangat terharu terhadap eksplorasi seniman muda asal Aceh ini. Memang ‘Kande” sudah mulai dilupakan masyarakat, padahal benda sederhana ini sangat tinggi nilai estetiknya. Tentu banyak orang Aceh akan ‘kaget’ dengan kepedulian Mahruzal. Memang seniman bertanggungjawab terhadap kelestarian nilai budaya bangsa, dan Mahruzal sudah membuktikan tanggungjawabnya ini.

Adanya karya yang beranjak dari Kande ini merupakan babak baru bagi perkembangan seni rupa Aceh khususnya. Kini kita semua sadar apa yang kita anggap tidak menarik disekitar kita ternyata menyimpan sisi-sisi lain yang sangat potensial dijadikan sebagai sumber inspirasi. Setidaknya apa yang telah dilakukan Mahruzal mengingatkan kita pada beberapa hal; tak perlu jauh-jauh mencari ide yang unik, disekitar kita cukup banyak tersedia, lampu minyak misalnya. Walau beranjak dari sesuatu yang sederhana, ternyata banyak hal yang tersembunyi dari kande, ada sisi kegamangan budaya, sejarah dan bukti kemashuran sebuah bangsa, lihat tekhnologi pengecoran kande sudah demikian unik dan rumit, padahal sekarang tak jelas lagi pabriknya dimana. (3) Aspek kemasyarakatan dan filsafat tak hanya berada pada ide-ide besar dan bombastis, dengan kande Mahruzal mengintip filosopi rumah tangga yang butuh diterangi iman, lihatlah karya “perahu kehidupan”. Terasa sederhana memang namun membangun ruang estetik yang luar biasa. Kande Mahruzal juga bicara sejarah manusia dari zaman tradisi menuju modernisasi, lihat karyanya berjudul “kecemasan”. Kekayaan seni Aceh sangat banyak dan tak akan pernah habis digali, walau hanya diawali dari hal sederhana. Sayang di Nangroe Aceh Darussalam, hal seperti ini tidak ada yang memikirkannya, malahan masyarakat seniman asal Aceh yang berada di luar Aceh yang getol berpikir tentang kemajuan seni budaya Aceh. Berangkat dari hal ini, penulis menawarkan pekerjaan rumah kepada Pemerintah Daerah NAD, Seniman NAD, Intelektual NAD, Tokoh dan Pakar pendidikan di NAD agar berkenan berpikir dan bermufakat menuju musyawarah untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Seni di Aceh, seperti Sekolah Tinggi Seni atau entah apalah namanya. Aceh sudah selayaknya memiliki Lembaga Pendidikan Tinggi seni semacam itu, agar seluruh bidang seni di Aceh yang sangat tinggi nilainya itu dapat terdokumentasikan, dan dapat dikaji secara keilmuan. Jika hal ini tidak dilakukan jangan heran ketika masyarakat Aceh akan belajar tentang seni rupa, tari, teater, sastra Aceh yang memiliki nilai religiutas itu di luar Aceh. Aneh! Hari ini apakah ada anak muda Aceh kenal kande, teater Dalupa, tari Pho, sandiwara gelanggang labu, poh haba, hiem, hikayat, dangderia, cae, biola Aceh, seudati, likok pulo, didong, guel itu apa? Atau besok lusa generasi Aceh harus belajar seni nenek monyang yang luar biasa ini harus ke STSI Padangpanjang, STSI Bandung, Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, ISI Denpasar, ISI Surakarta, IKJ Jakarta, dan STKW Surabaya sebab beberapa seni Aceh tersebut telah jadi mata kuliah. Luar biasa anehnya jika hal ini terjadi. Kande salah satu contohnya, apakah ada generasi sekarang ini ada yang masih mengetahui asal-usulnya, sejarah dan filosofinya. Aceh harus berterimakasih kepada Mahruzal, ia mempopulerkan kande ke dunia luar.

Selanjutnya karya Mahruzal ini disiapkan sebagai benda berfungsi ganda yakni sebagai hiasan sekaligus benda fungsional, layaknya benda kriya memang demikian. Saat karya Mahruzal dinyalakan ada hal lain yang muncul, suasana masa lalu terasa dalam lampu minyak yang ditiup angin. Bayangan diri menari-nari membawa kita ke masa lalu.

Memang benda seni hadir bukan sekedar pemuasan pandangan zahir, namun harus mampu menembus sisi tak tampak yang memberi kekayaan batiniah. Seniman harus jeli dan setia pada kebudayaan dan terbuka bagi dunia luar. Karya yang indah bukan hanya sedap dipandang. Namun sejauhmana kita dibawa ‘bertamasya’ ke dalam konsep pikir si seniman pencipta. Semoga mahruzal jadi perupa yang dinanti-nantikan oleh bangsa ini. Perupa yang cinta budaya lama tapi tak ketinggalan zaman. Bravo! Mari terus berpikir dan merenung untuk menginovasikan sekaligus menciptakan kebaruan seni yang berangkat dari budaya lokal. Mari.














*) Penulis adalah penyair, aktor, dramawan, sutradara dan pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, juga dosen jurusan teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.

Tidak ada komentar: