PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Minggu, 25 Januari 2009

Hikayat Cantoi: Cantoi Tetaplah Cantoi

Hikayat Cantoi: Cantoi Tetaplah Cantoi

Oleh: Asril Muchtar, pemerhati seni Pertunjukan, pengajar STSI Padangpanjang

Terinspirasi PMTOH Sulaiman Juned sebagai Sutradara
menjadi realita pertunjukan oleh Azhadi Akbar sebagai aktor
menghadirkan Hikayat Cantoi ke atas panggung resitasi atau monolog?

“Aku ingin tetap menjadi Cantoi. Cantoi tubuhku-pikiranku. Maka Cantoilah namaku-tak lebih tak kurang. Namun bila mencari duri dalam tumpukan jerami kenapa ladang yang harus dibakar. Cantoi tetap tidak sepakat, sekali Cantoi tetap Cantoi”
Sepenggal teks di atas dibawakan dalam logat Aceh dengan sangat kocak, mengelitik dan ekspresif oleh Azhadi Akbar, nahasiswa jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Azhadi yang berasal dari Aceh memerankan tokoh imajiner Cantoi, karya/sutradara Sulaiman Juned (Soel) yang dipentaskan awal agustus lalu, di Gedung teater Mursal Esten STSI Padangpanjang. Karya yang dipersiapkan untuk tugas akhir S-2 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, menyuguhkan sebuah tawaran kreativitas yang terinspirasi dari seni resitasi PMTOH Aceh.
Panggung tertata demikian: sebuah jambo (pos ronda) di tengah bagian belakang pentas. Di kiri dan kanan depan panggung terdapat dua layar putih berukuran 2 X 1 meter yang berfungsi sebagai layar siluet. Di belakang jambo juga terpasang sebuah layar lebar. Sementara di lantai panggung di taburi tanah dan sekam, seperti hendak menggambarkan areal sawah-ladang di tanah rencong . Karya ini dicitrakan untuk waktu malam hari.
Di layar siluet bagian kanan duduk dua orang pemusik, sementara di layar kiri duduk seorang pemusik. Dan pada layar siluet belakang, duduk beberapa orang pemusik. Para pemusik ini sewaktu-waktu berperan sebagai mitra dialog tokoh utama.
Karya ini diawali dengan nyanyian prang sabi (perang suci). Kemudian dipertengahan cerita dilanjutkan dengan lagu Aceh Tanoh Loen Sayang yang dibawakan oleh pemusik di layar depan sambil melakukan gerak-gerak guel dan dilanjutkan dengan lagu sebuku (ratapan).
Azhadi Akbar sebagai pemeran utama, dengan kostum ala peronda malam, tampaknya sangat menjiwai naskah dan peran demi peran dengan karakter yang berbeda-beda. Ia melakoni dengan sangat baik dan “cair”, walaupun nafas agak tersenggal-senggal Azhadi mampu mengartikulasikan belasan karakter peran Cantoi, yang didukung oleh ekspresi dan akting yang kuat. Ekspresi dan akting yang kontras, seperti menangis-kecewa, marah-sedih, benci-sayang, dan sebagainya sering dilakukan tanpa antara, sehingga membangun sisi kontras yang tajam. Kemudian bloking atau movement mampu ia jelajahi di setiap lini ruang pentas. Disinilah sentuhan teater modern itu menyemburat.
Selain itu, Azhadi juga membawakan dengan kocak, sehingga kadang-kadang terkesan seperti komedian, kendatipun ia berperan sendirian. Untuk membangun suasana interaktif ia segaja “mengganggu” penonton dan pemusik yang berada di layar depan, sehingga terjadi semacam dialog-dialog pendek. Intonasi kata demi kata banyak diwarnai oleh logat Aceh. Cantoi itu seperti tokoh unik dibeberapa teater rakyat. Seperti peran Malanca dalam randai di Minangkabau, atau Kabayan di Jawa Barat. tokoh ini sebenarnya adalah orang cerdik, pintar tetapi berpura-pura bodoh. Ia tidak dapat dikatakan bodoh atau pandir.

Bermula dari DOM
Soel menyiapkan naskahnya sendiri. Idenya bermula dari realitas kehidupan yang melanda Aceh semasa dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Konflik vertikal dan horizontal tidak terhindarkan. Pemeran utamanya adalah militer RI dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Korban dari kalangan rakyat sipil setiap saat dapat dijumpai di berbagai kawasan di Aceh. Efek psikologis dari peristiwa ini, memunculkan trauma yang mendalam bagi mereka yang masih hidup. Banyak keluarga yang sengsara, bahkan menjadi lepas kontrol. Namun di balik tekanan dan rasa takut itu, timbul semangat untuk melawan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya, berpura-pura bodoh untuk mengelabui pihak-pihak yang mencurigakan dan yang sedang melakukan patroli.
Untuk menyimbolisasikan peran seperti ini, Soel menghadirkan tokoh imajiner dengan nama cantoi. Agar Cantoi tidak dijadikan sasaran atau lawan oleh pihak-pihak yang berkonflik, maka ia harus mampu berperan multi-faces dengan berbagai karakter, jika perlu berpura-pura bodoh. Berbagai tindasan sosial yang terekam dari konflik di atas, dimunculkan lewat tokoh Cantoi.
Untuk menuang naskah ini, Soel mencoba mengombinasikan teater tutur PMTOH Aceh dengan teater modern. PMTOH sebagai teater monolog, biasanya membawakan naskah hikayat, dari Aceh, yang pengertian lebih luas dari batasan hikayat sesungguhnya. Selain itu, PMTOH lebih menitikberatkan pada aspek ekspresi yang beragam dan ditunjang oleh berbagai proferti yang sederhana, tidak memerlukan penataan panggung yang lebih artistik, serta pemeran utamanya lebih cenderung diam di tempat.
Sementara aspek teater modern dihadirkan antara lain melalui bloking dan movement aktor di pentas dan penajaman ekspresi serta kekuatan akting. Tokoh dapat menjelajahi semua lini yang ada diruangan pentas. Teks disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa simbolik. Untuk memperkuat dan memperkaya aspek khazanah budaya Aceh. Di hadirkan gerak-gerak imitasi tari Seudati, didong, guel dan ketip jari. Dari aspek musikal, dimunculkan pula tepuk dada, tepuk perut, tepuk paha dan tepuk tangan.
Melalui Hikayat Cantoi, Soel telah mencoba menawarkan suatu pembaharuan terhadap PMTOH-teater tutur tradisional Aceh dengan sentuhan kreativitas teater modern.











g

Tidak ada komentar: