TEATER TUTUR ACEH:
Adnan P.M.T.O.H ‘troubador yang menulis di atas angin’
Oleh: Sulaiman Juned*)
Prolog
Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia) dua tahun yang lalu belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semaca bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan anak-anak, serta kostum. Proferti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set dan alinasi. Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat merubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton.
Teungku Adnan bermain sendiri, namun mampu menghadirkan beratus-ratus tokoh, dengan ekspresi dan karakter vokal yang berubah-ubah. Inilah kelebihan yang dimiliki Teungku Adnan-ia bermain sendiri di atas pentas, tetapi penonton laksana menyaksikan ratusan aktor sedang berada di pentas. Hal ini yang membuat Teungku Adnan dijuluki “Traubadoe dunia” oleh Prof. Dr. Jhon Smith seorang peneliti dari Amerika Serikat.
Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat penduk
ungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Lalu dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba , Blang Pidie-Aceh Seletan)., dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya tirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti rame, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H” Tutur Teungku Adnan. ( Wawancara dengan Teungku H. Adnan, 14 April 1999, di Blang Pidie-Aceh Selatan)
Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H.
Hikayat Sebagai Teks dalam Teater Tutur Aceh
Andai membicarakan teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutaradara menuju realita teater (pertunjukan).
Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’. Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sanjak (puisi). (Budiman Sulaiman, 1983:78).
Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat . Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya, “adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheu.t Dua Ploh. Tentang adat istiadat; Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, 1988: 38).
Teungku Adnan P.M.T.O.H Sang Traubador
Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan ysng menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau Dangderia . Ia sanggup menghafal 9 buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 malam berturut-turut. Tuhan memang maha kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama ditempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Proferti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee, lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.
Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke Sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi” (Wawancara, Teungku Adnan P.M.T.O.H, 20 januari 1989).
Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Benar Teungku Adnan, bukan hanya Aceh yang kehilangan “Traubadur Dunia” Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian diseluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang “traubadur dunia” yakni Teungku Adnan, tapi sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Wah, payah ini. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang “traubadur” lagi. Kalau Pemerintah Aceh berkenan dan menerima masukan Teungku Adnan waktu itu, mungkin sekarang ini Aceh sudah memiliki pengganti Teungku Adnan. Kita sudah kehilangan, untuk itu sekarang saya mengusulkan kepada Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam agar berkenan mendirikan Lembaga pendidikan Tinggi Seni, terserah apakah bernama Akademi Seni Aceh atau Sekolah Tinggi Seni, bahkan Institut Seni Aceh. Semuanya sangat memungkinkan untuk kita lakukan agar kesenian-kesenian Aceh yang bermuara dari seni islami tidak akan hilang. Jika ada lembaga pendidikan tinggi seni, yakinlah kesenian Aceh akan terdokumentasikan dengan baik karena Pendidikan Tinggi Seni dapat menjadi laboratorium pembelajaran seni Aceh. Mari kita berpikir keras untuk mendirikan itu, jika kita bersama pasti bisa. ‘satu untuk semu, semua untuk satu’ tak ada yang tak dapat kita lakukan kalau dilakukan secara bersama-sama. Atau tidak usah kita pikirkan sekaligus kita biarkan saja satu persatukan Maestro-maestro seni Aceh hilang dijemput sang Maha Kuasa. Lalu etnis Aceh melupakan kesenian-kesenian yang luar biasa itu . kesenian yang mampu menjadi transformasi moral bagi masyarakat Aceh. Mari kita renungkan bersama. Salam Meuchen.
@ Rumah Kontrakan, Paadangpanjang Sumatera barat
*) Penulis Penyair, Dramawan, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatrera Barat, juga Dosen jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.
2 komentar:
Adoen Soel yang kreatif, blognya bagus ya. Sayangnya, tulisan di sini terlalu panjang-panjang ditampilkan. Apa tidak baik ditampilkan sepenggal dengan memakai readmore? Lebih menarik lagi, kalau diperbanyak tulisan-tulisan. hehehe...
adoemu,
RN di Aceh
Saleum.
trimks atas sarannya. saya pasti mempertimbangkannya.
Saleum Meuchen dari adoenmu:
Posting Komentar