Kisah Masa Kecil:
SULAIMAN JUNED SEJAK KECIL SUDAH SUKA MENULIS
Oleh: Sisca Oktri Santi (Yeyen)
Adik-adik sayang, jumpa lagi dengan masa kecil. Bagaimana kabarnya? Ujian berhasil dilalui dengan baikkan? Kalau rajin belajar, tentu menjalani ujian tidak perlu takut, karena sudah terbiasa dengan pelajaran. Memang mengiulang-ulang pelajaran dan banyak membaca merupakan salah satu kunci keberhasilan kita dalam menuntut ilmu.
Masa kecil kali ini, mengajak adik-adik untuk mengetahui kisah masa kecil seorang sastrawan asal Aceh yang sekarang aktif di Padangpanjang. Beliau adalah Sulaiman Juned. Puisi, cerpen, esai, artikel, reportase budaya, kolom, kritik sastra dan teater sering dimuat oleh media, seperti; Atjeh Post, Aceh Ekspres, Serambi Indonesia, Santunan, Harian Aceh, Rakyat Aceh, Aceh Indefendent, Aceh Kita, Kiprah, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Gema Baiturrahman, dan Ceurana (Di Aceh). Waspada, Analisa, Dunia Wanita (Medan). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Lampung Post, Riau Post, Metro Expres, Indefendent, Majalah Sastra Horison, Majalah Gong, Majalah Bahasa dan Sastra di Malaysia dan Brunei Darussalam, Jurnal Aswara Malaysia, Media Indonesia, Suara Karya Minggu, Republika, Kompas, Koran Tempo, dan Seputar Indonesia. Banyak karya sudah ia hasilkan. Bagaimana bisa ya adik-adik? Hm, hebat ya?
Ngomong-ngomong, bagaimana sih awal mulanya Sulaiman Juned berkarya? Ternyata, ia sudah memulai sedari kecil, lho! Itu juga diawali dengan sifat disiplin yang sudah tumbuh dan dididik sedari kecil oleh keluarganya, yang membuat ia berkembang hingga suka berkarya. Ngak percaya? Yuk kita simak ceritanya!
Sulaiman Juned dilahirkan di Gampong Usi Dayah, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie-Aceh, pada tanggal 12 Mei 2965. Kedua orangtua, yang ia panggil Abi dan Emak, M.Juned Said Oesy dan Juhari Hasan (Kedua-duanya sudah tiada), telah membiasakan kedisiplinan tumbuh dalam jiwa anak-anak mereka, termasuk Sulaiman, sebagai anak kelima dari enam bersaudara.
Ayahnya, yang seorang penjahit, mengajarkan kepada Sulaiman kecil untuk pandai menjahit dan tidak boleh ada benang atau kain yang terbuang sia-sia. Kebiasaan inilah salah satunya kemudian memupuk jiwa disiplin dalam diri Sulaiman.
Semenjak usia tujuh tahun, ia telah diajarkan berjualan, juga bertani yaitu berkebun kopi. Tugasnya bersama-sama saudara adalah membersihkan rumput dan memetik biji kopi yang merah. Di tahun 1976, terjadi pengalaman yang paling berharga dan tak pernah terlupakan. Terjadi dimasa paceklik di kampungnya. Dagangan Abi bangkrut, kebun kopi yang berada di Biespenantanan Takengon, Aceh Tengah tidak berbuah karena terserang hama, sehingga Sulaiman bersama saudara-saudaranya tidak mampu membeli ikan-beras dan sayur.
“kami sekeluarga hanya merebus pisang muda, lalu ditumbuh oleh emak. Pisang muda itulah yang menjadi makanan pokok kami sekeluarga” kenang Sulaiman.
Sepulang sekolah, Sulaiman beternak kambing dan ayam. Setiap pagi berangkat sekolah sekaligus membawa telur ayam untuk di jual di warung kopi. Hasil penjualan itu digunakan untuk membeli beras. Baju sekolah hanya satu pasang, yang sudah robek-robek pula. Dua kali sehari baju itu dicuci karena harus di pakai lagi.
Buku tulis pernah hanya ada dua buah, sehingga mencatat seluruh mata pelajaran di sana. Untuk membeli buku paket, Sulaiman juga tidak mampu. Sehingga di jam istirahat tidak ada waktu untuk bermain, namun digunakan untuk membaca di Pustaka. Meski demikian, keinginan Sulaiman kecil untuk terus belajar dan bersekolah tinggi tetap ada.
Sastra sudah berkembang dalam dirinya sejak ia duduk dibangku SMP. SMP Negeri 3 Takengon. Waktu itu, dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Soel remaja suka sekali menulis puisi, hingga buku catatannya hanya berisi puisi-puisi hasil karyanya. Begitu guru bahasa, ibu Siti Aisyah (yang juga ternyata penyair Aceh seangkatan Rosni Idham) meminta para siswa mengumpulkan buku catatan Bahasa dan Sastra Indonesia, Sulaimanpun cemas, karena ia tak banyak mencatat, dan buku catatannya hanya berisi puisi-puisi yang ia buat.
Namun tanpa disangka, setelah memeriksa catatan Sulaiman, ibu guru malah menyuruh agar Sulaiman segera mengetik puisi itu dan mengirimkannya ke media massa. Setelah itu, ia pun mengirim karya-karya puisi tersebut ke Koran-koran dan majalah. Puisinya ternyata dimuat, dan ia mendapat honor sebesar Rp. 1.500,- yang waktu itu sangat besar nilainya bagi Sulaiman.
Sastrawan, dramawan dan teaterawan yang juga Dosen tetap di Jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat ini, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy mengaku, sejak saat itu semakin bersemangat untuk berkarya. Ia sadar, ternyata keberanian untuk mengirimkan karya ke media cetak dapat membuat seseorang semakin ingin berkarya, terlebih lagi bila ternyata karya tersebut kemudian dimuat.
Dosen luar biasa di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB-Padangpanjang, yang juga Pimpinan Komunitas Seni Kuflet yang 12 Mei lalu merayakan Ulangtahunnya yang ke 12 sekaligus ulangtahun Sulaiman Juned yang ke-34 mengadakan DIKLAT Karya Tulis Ilmiah dan Lomba Baca Puisi memiliki tekad yang kuat dalam meraih cita-cita. Ia berpesan kepada adik-adik agar memberanikan diri untuk berkarya. Tidak boleh minder atau merasa rendsah diri, apalagi demi mencapai keberhasilan. Sulaiman Juned telah membuktikan hal ini. Dari SD di Takengon hingga Magister Pascasarjana ISI Surakarta di Jawa Tengah, Sulaiman tidak pernah mau untuk berhenti berkarya. Tidak mau bergantung kepada orang lain, begitulah salah satu prinsip hidupnya. Begitu juga harusnya dengan adik-adik semua, tidak pernah malas ataupun malu dan rendah diri untuk berkarya, dan mengandalkan diri sendiri untuk meraih kemajuan. (TULISAN INI DIMUAT DIRUBRIK MASA KECILKU, HARIAN UMUM HALUAN, Minggu, 17 Mei 2009).
DISKUSI SASTRA BERSAMA PENYAIR WIN GEMADE
Oleh: Vivi Astari
Genap sudah Komunitas Seni Kuflet berusia dua belas tahun. Kuflet didirikan pada tanggal 12 Mei 1997, di Padangpanjang Sumatera Barat. Komunitas Seni ini merupakan organisasi nirlaba, dengan para pendiri: (Almarhum) Prof. Dr. Mursal Esten, Sulaiman Juned, Maizul, Netti Herawati, Leni Efendi, dan Wiko Antoni. Bergerak dalam bidang teater, sastra, musik, dan artistik, serta melaksanakan pengabdian kepada masyarakat dengan cara mengadakan Seminar/Diklat baik sastra dan teater, juga melaksanakan pelatihan sastra dan teater kepada siswa dan siswi dari SD sampai SMA.
Sesuai ucapan yang dilontarkan oleh Sulaiman Juned yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan Kuflet bahwa, Kuflet harus terus, terus dan terus. Tak ada kata berhenti untuk berkarya, tidak ada titik dan tidak ada koma, terus dan terus. Pada tanggal (13/5) yang lalu, Kuflet didatangi penyair nasional yang berasal dari Aceh, Win Gemade. Ia memberikan materi sastra dengan tema ”Sastra kemarin, Hari ini dan Esok” dalam diskusi rutin mingguan, setiap hari Rabu Pukul 14.00 di Sekretariat Komunitas Seni Kuflet, Jl. DR> A.Rivai No. 146 RT. 11, Kampung Jambak, Kelurahan Guguk Malintang, Padangpanjang Timur, Padangpanjang Sumatera Barat.
Penjelasan Win Gemade sangat menarik, dalam berkarya tidak terlepas dari berpikir. Membaca adalah modal utama dalam melahirkan karya-karya besar. Sastra dapat menjadi mediasi sejarah, dibuat hari ini dapat menjadi referensi untuk esok. Melalui karya sastra seseorang terus hidup sepanjang zaman. Win mwncontohkan Hamka dan Chairil Anwar yang telah tiada, namun karya-karyanya tetap hidup sampai abad dua puluh satu ini. Melalui sastra dapat juga menjadi media didaktik yang dapat mendorong seseorang untuk bersikap. Jika dalam karya sastra terdsapat unsur-unsur yang baik maka kita dapat mencontohkannya, sebaliknya jika terdapat norma yang buruk kita tidak boleh menirunya.
Win gemade juga menyinggung proses kreatifnya. Ia lebih suka mengeluarkan ide-ide yang ada diotaknya ketika berada dalam kamar mandi. Kebiasaan membaca Win yang telah tumbuh sejak kecil tidak kalah pentingnya. Ketika ia duduk di Sekolah Dasar ia sangat menyenangi pelajaran Bahasa dan sastra Indonesia, dan sangat menggemari sebuah cerpen yang berjudul ”Sang Juara” ini sebuah cerpen yang mendorong Win untuk menulis. Ketika Win SMP, ia sering jatuh cinta, namun tidak berani mengungkapkannya. Perasaannya dilampiaskan melalui tulisan. Ketika SMA kreativitas Win belum tersalurkan sepenuhnya karena keberadaan media yang masih minim. Setelah kuliah barulah Win merambah ke berbagai media, apalagi setelah bergabung dengan Sanggar Cempala Karya Banda Aceh pimpinan Sulaiman Juned, disana setiap sekali dalam seminggu melakukan diskusi sastra dan bedah buku.
Ternyata penyair yang berasal dari Aceh ini suka keluyuran untuk mencari gagasan-gagasan yang dikembangkan menjadi sebuah karya. Win Gemade memberikan kesimpulan terhadap proses kreatifnya melalui tiga hal yakni; ngintip yaitu melihat dan mengamati suatu persoalan. Nguping yaitu dengan mendengarkan orang-orang yang berbicara, hal tersebut akan dapat menjadi masukan baginya dalam berkarya. Melakukan langsung, yaitu dengan mendatangi secara langsung hal yang akan diterjemahkan melalui tulisan. Lalu tulis apa saja selanjutnya kirim ke media masa.
Sastra sangat besar pengaruhnya terhadap diri seseoramng, seseorang dapat berubah karena sastra. Sesungguhnya dalam diri seseorang terdapat seni, tergantung bagaimana dia dapat mengontrol seni tersebut. Sebuah karya sastra kita dituntut untuk melihat karyanya tanpa melihat siapa yang menciptakannya. Sesungguhnya karya sastra tidak terlepas dari unsur instrinsik dan ekstrinsik, namun kita tidak perlu berspekulasi panjang mengenai hal tersebut. ”Lihatlah apa yang telah diciptakan seseorang, jangan lihat siapa yang menciptakannya”. Jelas Win Gemade (DIMUAT DI HARIAN SINGGALANG, 24 MEI 2009).
*) Penulis adalah mahasiswa FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB, Padangpanjang dan bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang, Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar