PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Senin, 25 Mei 2009

PERTUNJUKAN AMAL BUAT BENCANA

PERTUNJUKAN AMAL:
GALODO 30 KOLABORASI TARI-MUSIK-TEATER
Oleh: Muhammad Subhan *)


Sebuah pertunjukan kolaborasi teater, musik dan tari, bertajuk ”Galodo 30”, dipentaskan di tapak bekas Balai Losa (Pekan Selasa), Pasie Laweh, Kecamatan Sungai Tarab, Tanah Datar (05/04/2009) yang lalu, di atas batu dan lumpur yang diturunkan lahar dingin dari Gunung Merapi. Daerah-daerah yang kini ditumpuki batu dan lumpur, dipadati manusia yang ingin menyaksikan musibah terbesar di Tanah Datar Sumatera Barat menjelang Pemilu tahun ini. Pertunjukan ini atas gagasan tiga orang seniman Eljun Fitra Pimpinan Sanggar Seni Gugun Batuah Pasie Laweh, dan Jumaidi Syafe’i Komposer yang dosen jurusan Musik STSI Padangpanjang, didukung pemusik dari anggota Resimen Mahasiswa (MENWA) Batalyon 105 STSI Padangpanjang, serta Sulaiman Juned Penyair dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang.
Sulaiman Juned yang juga dosen Jurusan Teater STSI Padangpanjang dengan lantang tanpa mikrofon membacakan puisi yang berjudul ”Jika Air Berumah di Pasie Laweh”, ini petikan puisi hasil karyanya; //jika air berumah/ di kampung-di pasar-di sawah-di ladang langit menangis renyah/ galau bulan mandi galodo/ Gerimis menari-nari angin jalang memekatkan jiwa/ rupa hilang dalam kelam waktu// jika air berumah/ di rumah gadang-di toko-di mushalla-di masjid langit menangis rinai/ matahari risau mengeram galodo/ Tarian sukma memabukkannya selepas bertarung menempuh badai//.
Teriakan-teriakan Sulaiman Juned dengan teknik vokalnya yang luar biasa, bagaikan gemuruh longsor mencekam hati para penonton mampu menghamburkan tangis sekitar 10 ribu penonton yang datang dari seluruh pelosok Sumatera Barat. Pembacaan puisi secara teaterikal didukung oleh 7 penari yang digarap secara kontemporer oleh Eljun Fitra, gerakan-gerakan di atas batu laksana orang-orang yang dirundung kecemasan, ketakutan, dan sedang berjuang untuk memperpanjang hidup sehingga mengeluarkan pekikan-pekikan menyayat. Kolaborasi ini juga didukung dengan musik yang serasi dikomandoi Jumaidi Syafe’i, S.Sn., M.Sn (Dosen Jurusan Musik STSI Padangpanjang) mendukung penggambaran suasana bencana alam tersebut, seperti; efek bunyi gemuruh dengan gendang tambur, efek bunyi dihadirkan lewat alat musik tasa, bansi dan saluang memunculkan suasana sedih dan miris. Ditambah dengan koor Laailaahaillallah dari seluruh pemain ketika penyair Sulaiman Juned membacakan puisi ”Doa Galodo” dalam menutup pertunjukan. Pertunjukan itu mampu menghipnotis penonton.
Pertunjukan yang berdurasi satu jam itu, membuat kami terharu sekaligus menjadi tempat kami berkaca. Seni memang mampu menjadi media transformasi moral sekaligus pendidikan kepada masyarakat. Ini buktinya, pertunjukan yang membuat kami terhanyut lalu kami belajar untuk instropeksi diri, mengapa Tuhan menguji kami dengan bencana ini. Mungkin ada hikmah dibalik itu semua. Pertunjukan seni di atas bekas pasar yang telah jadi ladang batu ini mengingatkan kami kepada kemahabesaran Allah. ”Luar biasa penampilan ’Galodo 30’ itu,” tutur Syarif Hayatullah, salah seorang pemuda Pasie Laweh sambil menyeka air matanya, ketika ditemui seusai pertunjukan.
Jumaidi Syafe’i menyatakan, pertunjukan ini untuk menggugah nurani manusia terkait derita yang dialami masyarakat Pasie Laweh. Namun masyarakat diharapkan jangan melupai Tuhan, jangan terlalu lama larut dalam kesedihan, mari bangkit untuk menatap masa depan yang masih panjang, tuturnya.
Sementara Eljun Fitra Koreografer yang asli putra Pasie Laweh mengatakan, pertunjukan kolaborasi ini untuk memancing perhatian massa, yang secara kebetulan pula hari ini minggu, pengunjung sangat ramai lalu kami (Eljun, Jumaidi Syafei, Sulaiman Juned) sepakat untuk mengadakan pertunjukan amal. Di atas puing-puing Galodo kami melakukan pertunjukan, agar para pengunjung termotivasi pula untuk beramal lewat kotak-kotak amal yang telah disediakan panitia, ujarnya.
Anggra Putra, salah seorang korban galodo yang rumah orangtuanya dipenuhi lumpur berbau, dan mengalami rusak parah disela-sela kesibukannya menjalankan kotak amal kepada pengunjung mengatakan, terimakasih kepada seniman yang peduli kepada kami. Saya sangat terharu menonton pertunjukan ”Galodo 30” tadi. Pertunjukan itu, seperti rekaman ulang dari kejadian yang menimpa kami masyarakat Pasie Laweh. Sekaligus kami berharap dengan adanya pertunjukan seni seperti ini pengunjung terketuk hatinya untuk menyumbang, sehingga kami tidak dijadikan objek wisata semata-mata. Jika perlu setiap hari minggu selalu ada pertunjukan seni seperti ini, ujarnya.
Sulaiman Juned menambahkan, Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang bersama Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, siap untuk melakukan pertunjukan amal setiap minggu di Pasie Laweh, jika masyarakat menginginkannya. Kami kemari tidak perlu dibayar, biarlah kami membiayai diri kami, termasuk konsumsi. Pertunjukan tersebut benar-benar sebagai amal, dan mudah-mudahan ada manfaatnya.
Martarosa, S.Sn., M.Hum, Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, dalam kesempatan itu menyatakan siap untuk mengkoordinir seluruh mahasiswa seni pertunjukan yang ada di kampusnya untuk melakukan pertunjukan amal. Mahasiswa seni memang sangat peduli terhadap pekerjaan-pekerjaan humanis seperti itu. Kapanpun siap untuk melakukannya, paparnya.
Seni tidak hanya berpungsi sebagai media hiburan. Seni memang mampu memberi dukungan moral kepada masyarakat yang sedang dirundung nestapa. Sebagai seniman, melakukan tugas suci itu sudah merupakan kewajibannya. Seniman melakukan perubahan dan kebaruan hanya melalui karya-karyanya, termasuk karya seni yang bermuara untuk kegiatan amal. Oleh karena itu, seniman dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Bravo seniman, pengabdianmu kami perlukan. ***

*) Penulis adalah penyair, tinggal di Padangpanjang-Sumatera Barat.

Catatan :
Musibah longsor (orang Minang sering menyebutnya galodo—pen) yang terjadi di Pasie Laweh, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar terjadi pada tanggal 30 Maret 2009, empat hari paska musibah Situ Gintung di Tanggerang. Puluhan rumah masyarakat hancur, begitu juga dengan sejumlah fasilitas umum, seperti jalan, rumah ibadah, sekolah, dan pasar. Satu orang warga meninggal dunia, dan belasan lainnya mengalami luka-luka. Longsor Pasie Laweh bukan saja mendatangkan air bah dan tanah dari kaki Gunung Merapi, namun juga batu-batu gunung yang ukurannya cukup besar.

1 komentar:

yopi sugiyanto mengatakan...

hebat......hebat.....mantap deh
indonesia sudah merindukan orang2 sepertimu teman......
lanjutkan perjuangan mu.....