PEMBASISAN KESENIMANAN SEKALIGUS KEIMANAN
A. INDENTITAS DAN PONDASI KREATIVITAS YANG DIBANGUN SULAIMAN JUNED DI KOMUNITAS SENI “KUFLET”
By Wiko Antoni,S.Sn
Sulaiman menatap masa depan komunitas yang dibangun dalam segala aspek, termasuk bagaimana seniman yang akan muncul ke depan dalam komunitas tersebut. Visi ini dirumuskan bersama teman-teman yang segaris dan sepandangan terhadap kader yang akan muncul. Proses ‘pendidikan seniman’ di “Kuflet” pondasi pendirian komunitas sebagai dasar melakukan pergerakan ke depan.
Pondasi kreativitas merupakan sebuah ideologi, walaupun sebenarnya tak layak orang teater bicara ideologi sebab ini ‘bibit ungggul’ untuk menyuburkan ego dalam diri seniman. Bicara ideologi sama dengan bicara dagangan. Seniman akan berlomba mengatakan ideologi mereka yang paling bagus, nah kalau sudah begini yang hadir adalah sinisme, padahal orang teaterlah notabene memperjuangkan persamaan harkat manusia. Ada baiknya juga dibahas tentang ideologi, yang penting dianut orang teater namun bukan memojokkan ideologi ini yang terbaik, sebab yang ter- itu bukan milik manusia. Bukankah kata Maha milik Tuhan, misalnya Maha Kuasa, Maha Tahu, Maha Suci dan sebagainya. Kalau manusia mendekati hal yang baik-baik sudah cukup, sebab kita hanya mampu berusaha untuk baik.
Sebaiknya orang teater beranjak dari kesederhanaan, berfikir sederhana menerima kenyataan dengan sederhana dan mengembangkan konsep pengharapan atas segala ikhtiar pada ketentuan Allah. Hidup adalah pertarungan kendati segala usaha adalah hak Tuhan dalam menentukan hasilnya. Berfikir perlu, bergerak tiada henti, latihan seumur hidup selama nyawa dibadan, tak ada kata pensiun dari pekerjaan seniman. Selagi masih sanggup berfikir dan berkreativitas pekerjaan sebagai seniman tetap dilakoni tanpa menyerah, tidak boleh cengeng menghadapi hidup karena hidup bukan tempat menangis tapi ajang perjuangan tak henti. Revolusi berfikir terus dan terus dilakukan. Kepekaan terhadap perkembangan, tidak ketinggalan oleh perkembangan zaman namun tak boleh tercerabut dari akar budaya bangsa Indonesia dan yang terpenting, anggota “kuflet” harus punya Tuhan dalam dirinya.
Teater bukan tempat opurtunis atau pemberontak yang mengacaukan kemapanan dan kedamaian berfikir, tapi merupakan komunitas yang setia memandang dunia dengan pandangan objektif dan berfihak kepada kemanusiaan secara global sesuai ajaran Nabi Muhammad SAW, ‘dan sampaikan olehmu walau satu ayat’, jadi dalam pandangan “kuflet” apa yang baik akan terungkap ditengah-tengah kerancuan keadaan sebagai refleksi visi terhadap kebenaran. Tidak mutlak pula teater terbuka dengan perbedaan visi terhadap persoalan tersebut, bukankah ilmu pengetahuan, kenyataan dan kebenaran rahasia Tuhan? Sedangkan manusia sebagai khalifah berusaha menterjemahkannya.
“Pengkaderan” yang dilakukan mengarah kepada pencarian hakekat hidup, bahwasannya hidup ini menuju satu titik yakni kematian. Mengutip Imam Al-Ghazali yang mengatakan hidup ini menuju keridhaan Tuhan maka sebaiknya dengan teater kita berusaha menanamkan jiwa pengabdian kepada Tuhan dan menggunakan Teater sebagai salah satu media pengabdian tersebut. Memang sangat muluk kedengarannya, namun sejauh pergulatan filosopis ini dapat dimaknai orang-orang teater dalam menggeluti teater itu sendiri. Akhirnya ‘perkelahian’ pikiran disebabkan perbedaan ideologi diantara teman seperjuangan, menolak karena tak setuju dihalangi kebebasan pribadi yakni persoalan moral. Sementara landasan ideal berkesenian, memuliakan nilai moral ajaran Nabi Muhammad melarang kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Bagi orang teater yang setia terhadap pandangan di atas, perbedaan wajar saja terjadi dalam hidup. Bukankah menjalani hidup bila tiada perbedaan malah tidak menarik? Memilih untuk tidak sepakat ‘direlakan’ karena memang tidak mungkin mereka bersama padahal secara substansi ideologi mereka bertolak belakang dengan kenyakinan Kuflet.
Konsep modern bukan menerima mentah-mentah apa yang dibaca dari literatur barat. Modern sebuah anggapan sesuatu yang baru, kemudian melakukan pemilihan terhadap kecocokan konsep dengan estetika, etika dan moralitas. Begitu pula dalam dekonstruksi teater misalnya penghembusan kancah Post modern, lebih baik memilih konsep mendokonstruksi kesenian tradisional menjadi konsep kekinian, artinya menyajikan wajah sendiri ditransformasi menjadi modern.
Maksudnya bukan prinsip yang statis dan anti perubahan, setiap perkembangan dalam dunia kesenian ditangkap melalui prinsip “moralitas dan ajaran agama”, bila bicara seni untuk seni, maka seni dapat menjadi kotor padahal seni adalah media ekspresi batin yang jujur, mengetengahkan sifat kebenaran tertanam dalam hati. Imam Al-Ghazali menyebutnya sifat Illahiyyah dalam diri manusia. Berkomunitas bukan untuk terkenal, bukan pula penyaluran libido seksual atau membebaskan naluri hedonis rendahan. Jadi wajar dilakukan penolakan perilaku immoral. Teater tempat berekspresi, berkreatifitas dan jadikan ladang amal sebagai media berdakwah. Banyak orang mengatakan, seniman selalu gelisah, berfikir, bergelut dan bergulat diantara konsep. Sekaligus mempertanyakan realitas menuju pandangan yang tajam dan kritis. Membolak-balik logika, mengintip kebenaran ke lubang tikus. Kegelisahan spiritual dan progresifitas kesenimanan memunculkan karya-karya dahsyat ‘mencengangkan’. Saat itulah kegelisahan seorang seniman tervisualkan.
Pandangan seniman selalu gelisah dan ‘harus gelisah’ perlu dipertimbangkan kembali, orang yang bergelut dengan keindahan sepantasnya menatap hidup dari sisi yang indah terhindar dari kegelisahan jiwa. Walaupun banyak orang mengatakan kegelisahan ekspresif adalah kegelisahan dalam tanda petik, namun tetap saja kegelisahan adalah penyakit, ini berbeda dengan kecemerlangan berfikir yang seharusnya menjadi pondasi utama seorang seniman. Gelisah tak sama dengan cerdas, kecerdasan tajam dan sensitif terhadap fenomena perubahan. Gelisah meruapakan penyakit sedangkan cerdas kekuatan menafsirkan dunia dan mampu bertindak tepat dalam segala situasi. Coba pertimbangkan, mulianya tugas yang diemban manusia teater. Mengungkap berbagai sisi tersembunyi dari kehidupan, mengkaji dan mendielektikakan kebenaran serta, mengolah filsafat menemukan cara berfikir baru lewat media teater. Namun semua itu akan musnah kemuliaannya andai menerapkan mentalitas hidup rendahan, kemudian terkurung dalam perilaku syetan, menyombongkan diri atau menikmati teater sebagai tempat memuaskan hasrat hidup hedonisme maka ingatlah sumpah syaitan dihadapan Allah: dan aku suruh mereka (merubah ciptaan Allah) lalu mereka benar-benar merubahnya. (Annisa-199) dalam pikiran yang cemerlang terbentang dua jalan, pertama logika kedua rasio. Maka dari keduanya sampai kepada dua hal. Bila logika diperturutkan, maka kerangka logikanya hidup akan mati dan setelah itu hilang. Begitulah fenomena shisipus yang digambarkan Albert Camus, bila rasio diperturutkan maka sangat rasional dibalik yang kasat mata ada yang ghaib yaitu Tuhan. Ilmu pengetahuan membuktikan segala yang ada di alam raya ini serba teratur, dalam aturan rasio segala keteraturan ada pula sang pengaturnya. Sementara dalam rabaan indera tidak logis sesuatu yang tak tanpak nyata selalui dipercayai.
Apa yang melandasi cara pikir berubah seperti keinginan syetan dalam diri kita, teater membenturkan logika dengan rasio. Saat logika membantah rasio, pada kenyataannya bahwa perbenturan sosial merupakan kekacauan tak dikendalikan oleh apapun. Jadi Tuhan tidak penting, mengutip Zainudin Mz saat seperti itu akal menjadi berhala yang dipertuhankan. Bila ini terus berlangsung maka niat suci teater terkontaminasi nafsu. Muhammad Al-Ghazali pernah berkata, bila nafsu diikutkan dalam sisi berkehidupan maka ia merusak sendi kehidupan itu. Jika teater menjadi media pengabdian estetis, kita berada dalam keadaan bening otomatis hawa nafsu dapat membawa ke puncak ambisi yang menodai niat tulus. Amsal latihan malam dengan perempuan cantik, maka iman di uji, niat tulus untuk latihan dipertanyakan, berteater dengan niat tulus atau mencari pacar mengobral perselingkuhan mumpung ada kesempatan. Perilaku ini untuk cepat dikenal sebagai seniman hebat yang diperbincangkan di seantero nusantara, wah hebat. Bila ingin cari pacar ke pub saja, di sana tempat berkumpul pencipta maksiat. Jika ingin lebih cepat terkenal kencingi saja sumur zam-zam, jadi teater bukan tempat yang tepat buat hal tersebut.
Teater menjanjikan kebahagiaan dengan cara sendiri, bukan seperti bayangan orang, teater dapat hidup bebas, membebaskan cara berfikir, cara hidup dan menolak kungkungan konvensi serta nilai etika. Ini cara mencari kebahagiaan yang salah. Andaikan ingin tempuh cara ini lebih baik menjauhkan diri dari teater, sebab akan mengotori kesucian teater. Berfikir tajam dan kritis dalam teater frame memperindah kehidupan melalui aturan memanusiakan manusia, bukan berkoar-koar melakukan penolakan konvensi dan moral pada jalan hidup ‘kebinatangan’, lalu dikampanyekan dengan baju teater. Jika hendak mendapatkan kedamaian di teater maka pelajarilah nilai-nilai “etika-estetika-moralitas”, hal ini mampu menjadi landasan berkarya secara kritis lewat ekspresi kebebasan kreatif. Mengungkapkan kebenaran tanpa rasa takut, serta jangan menyebarkan sikap immoral dengan alasan kebebasan ekspresi. Sesungguhnya syetan sangat dekat dengan orang cerdas juga suka kebodohan, maka jadilah orang yang berfikir positif dengan kekuatan iman. Panggung teater bukan tempat orang yang bergelimang dalam jalur ‘bebas hambatan’.
Menjadi orang teater bukan berarti menjadi selebritis, berlomba mencari sensasi dan popularitas. Bukan pula mengikuti filoshopi topeng, berpura-pura atau jadi politikus memasang seribu wajah. Menjadi orang teater harus mampu dan mau menghancurkan topeng kemunafikan untuk mengungkap kenyataan sebagai media akting. Berawal dari penciptaan naskah hingga menuju transformasi pentas harus tulus dan hati yang bersih.
Terlepas dari hasrat nafsu mengajak kepada keburukan duniawi. Kreativitas bagi manusia teater merupakan daya fikir dan kematangan jiwa, Menafikan nafsu jelek, membebaskan segala nafsu menuju kebenaran, mempresentasikan kerangka logis menggores ‘kaca kehidupan’ yang sudah kotor. Latihan yang dilakukan orang teater merupakan pemantapan empat hal sekaligus, (1) pelatihan tubuh, berguna untuk pemantapan keterampilan fisik, (2) Pelatihan sukma memurnikan penelusuran karakter untuk menuju laku (akting), (3) Pelatihan vokal menyampaikan dialog ke telinga penonton, (4) Pelatihan berfikir berorientasi terhadap pematangan kepribadian. Pelatihan teater sekaligus melakukan penyatuan keterampilan tak terlihat, terasa, terdengar dan terlihat. Melingkupi fisik dan psikologis manusia teater harus mampu memantapkan kepribadian setelah menggeluti teater ketimbang sebelumnya.
Teater, walaupun sebuah pertunjukan ‘pura-pura’ tetapi bukan berpura-pura. Sebenarnya implementasi kejujuran sedang diperjuangkan di atas panggung, kematangan berfikir mutlak harus dimiliki dalam menggeluti disiplin ini. Perjuangan ditempuh bukan dengan senjata melainkan lewat kekuatan ilmu dan akal, Pengagung teater harus memiliki wawasan keilmuan dasar kepribadian tentang kebenaran untuk menyampaikan haq dan menolak yang batil.
Teater sebagai tempat pematangan kepribadian, menjadi media ketenangan batin dan kedamaian ruhaniah. Artinya menggali sisi kenyataan yang tersembunyi dalam diri, memperoleh pemaknaan hidup hakiki. Pembenaran konsep riil berfihak kepada perwujududan kebenaran. Teater memberi ruang untuk mendialektikakan realitas diri dengan realitas diluar diri serta mengkaji dimensi hidup secara bijaksana. Hidup berasal dari sebab-menyebabkan yang lainnya hidup. Kehidupan setelah mati teramat panjang, atas dasar itu teater dapat dijadikan salah satu media menimba kebaikan dan kerilaan Allah SWT.
Berfikir positip, menjauhkan diri dari keinginan terselubung, misalnya ingin terkenal di teater, atau cari kaya di teater, cari perempuan, cari kehidupan bebas. Menjadikan teater ajang menjatuhkan sekelompok orang yang menjadi musuh. Ini merupakan penyakit menghilangkan kenikmatan dalam menggeluti teater. Keinginan terselubung itu bila tidak tercapai, maka yang muncul kekecewaan bukan kebahagiaan yang didamba saat melakoni kesenian.
Memburu popularitas dalam dunia teater adalah kesalahan, andai popularitas tak didapat kekecewaan berujung. Menginginkan uang di teater adalah mimpi, sebab dunia ini tak memberikan jalan untuk dapat kekayaan. Mengharapkan kehidupan bebas dan memperturutkan selera kehewanan dalam diri melalui teater, pekerjaan sesat karena meracuni niai-nilai suci dalam teater. Mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan serta menjadikan teater sebagai media mendulang kebaikan demi kemaslahatan ummat dan hanya mengharap imbalan kebaikan dari Tuhan. Teater ‘mendidik’ jiwa ‘rela’ menerima ketentuan Allah dengan semangat juang yang tak pernah padam. Teater adalah ekspresi sekaligus pembelajaran maka tiada hal terbaik bagi orang teater selain belajar seumur hidup. Militansi di atas melahirkan seniman yang kreatif, kritis namun tetap pada koridor moralitas ketuhanan. Cita-cita mulai inilah yang diharapkan Sulaiman Juned tumbuh di Komunitas teater Kuflet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar