KONKLUSI
Dari buku CATATAN “PERANG” SEORANG SENIMAN ACEH
KENANGAN PAHIT TENTANG TEMAN YANG LUPA PERSAHABATAN
Perjalanan manusia memang tak selamanya ‘mulus’ dalam hidup, ada kalanya kita kecewa dengan kenyataan. Proses dalam berkesenian kerab orang-orang yang kita percayai ternyata bukanlah pribadi sesuai dengan pemikiran kita. Persahabatan yang ditinggikan dalam pergaulan seni, dapat saja menjadi sempalan. Bila suatu ketika menemukan orang yang ternyata tak mengerti makna persahabatan janganlah berduka, karena itu pasti terjadi pada setiap makhluk bernama manusia. Hal ini terjadi pula dalam proses kreatif Sulaiman Juned di Padangpanjang.
Tanggal 15 Maret 2002, sebuah kejadian yang tak terbayangkan dialami Sulaiman Juned. Dua orang anggota “kuflet” yang sudah menjalin persahabatan bertahun-tahun dalam sebuah “Keluarga” melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika seorang sahabat. Eko Prayitno dan Muzdar adalah dua teman sekaligus ‘adik’ yang telah bersama Sulaiman Juned sejak tahun 1998. Berdasarkan kebutuhan casting Sulaiman Juned mempercayakan mereka berdua sebagai tokoh penting dalam lakon “Jambo” Luka Tak Teraba. Selama satu tahun proses latihan mendapatkan hasil maksimal. Pertunjukan yang dipersiapkan ini merupakan proses penting pula bagi Sulaiman Juned, karena menyangkut dengan Tugas Akhir di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang.
Sebelum kejadian ini, telah terjadi pula ‘perpecahan’ serius di “Kuflet” sebagian anggota memahami “kuflet” dengan pemahaman yang lain dari visi Sulaiman Juned tentang komunitas teater. Beberapa oknum anggota menggunakan sekretariat untuk bermesra-mesraan (padahal bukan muhrim atau suami istri). Sulaimann Juned dengan tegas tidak menyetujui hal ini, oknum-oknum tersebut tersinggung karena Sulaiman dianggap mencampuri urusan pribadi mereka. Akhirnya Sulaiman Juned bersama teman-teman yang berpandangan sama tentang eksistensi sebuah komunitas teater ‘memecat’ mereka dari keanggotaan, walaupun diantara oknum tersebut banyak yang terlibat sebagai pemain atau tim produksi “Jambo” Luka Tak Teraba” yang didesak ded line harus segera pentas.
Kejadian tak terduga yang ‘mencoreng’ nama baik orang-orang teater ini, terjadi seminggu sebelum pertunjukan dilaksanakan. Akhirnya Sulaiman Juned harus mengcasting ulang pemain-pemain baru, padahal pertunjukan semakin dekat, bila pertunjukan batal artinya Sulaiman Juned gagal ujian akhir dan harus menunggu enam bulan lagi untuk dapat ujian ditambah membayar SPP satu semester lagi. Hal yang paling rumit adalah waktu untuk mendaftarkan diri sebagai Dosen di STSI Padangpanjang, karena usia Sulaiman yang sudah 37 tahun, sementara kesempatan menjadi Pegawai negeri untuk sarjana S-1 adalah usia 35 tahun. Perjuangan Mursal Estenlah yang memungkinkan Sulaiman Juned didaftarkan menjadi Dosen di STSI, waktu itu beliau sudah sakit-sakitan, andai Mursal Esten tidak ada maka gagallah Sulaiman jadi dosen. Hal ini terbukti setelah enam bulan Sulaiman Juned diangkat menjadi Pegawai negeri beliau benar-benar menghadap yang Kuasa.
Syukurlah kejadian buruk dapat diatasi dengan “menyulap” aktor baru, yang kemudian bermain dengan proses latihan hanya satu minggu. Mulai reading hingga pentas. Berkat pertolongan Tuhan dan keseriusan teman-teman di “Kuflet” pertunjukan tersebut jauh dari kata gagal, bahkan termasuk ke dalam kategori pertunjukan yang baik.
Kenangan tersebut sampai sekarang masih menjadi catatan pahit dalam memaknai persahabatan, namun Sulaiman Juned menganggap itu sudah berlalalu. Apa yang dilakukan Muzdar dan Eko Prayitno adalah ‘kebodohan’ mereka dalam mengartikan persahabatan, Sulaiman Juned hanya berharap suatu ketika ‘kebodohan’ musnah dalam diri mereka sehingga Tuhan menunjuki makna sakral sebuah persahabatan.
SEMAI ITUPUN “BERKECAMBAH” SUDAH
Perjuangan Sulaiman Juned ‘mengkaderkan’ seniman muda di Padangpanjang mulai menampakkan hasil. Walau diantara teman-teman ada yang ‘datang dan pergi’ namun saat ini dari beberapa seniman muda yang ‘menempa diri’ di “kuflet” mulai nampak eksistensinya. Ajaran untuk ‘menjadi diri sendiri’ telah melahirkan seniman muda berbakat yang berjalan dengan kepribadian dan pola kesenimanan sendiri. Kalau di “Cempala Karya” ia disebut “Pawang” di “kuflet” Soel disebut ‘tukang sulap’ yang mampu membina orang-orang yang belum mengerti teater menjadi ‘orang kuat’ dalam berkreativitas dalam waktu singkat.
Walau dalam usia relatif singkat “Kuflet” mampu melahirkan seniman-seniman muda yang berkarya cukup baik misalnya Arnaldoriko, yang pada tahun 2000 menciptakan drama berjudul “Persimpangan”. Naskah lakon ini melukiskan pertarungan batin dua tokoh tentang hakekat hidup, seks, cinta dan Tuhan. Drama ini seolah digambarkan bahwa Tuhan sebenarnya ada dalam diri manusia. Penolakan terhadap eksistensi Tuhan artinya penolakan terhadap diri sendiri. Selain menulis drama ia juga dikenal sebagai aktor dan sutradara yang cukup baik. Kemudian Ika Trisnawati, seorang aktris muda dan sutradara berbakat. Muzdar seorang aktor yang memiliki talenta luar biasa walaupun akhir meninggalkan “kuflet’ dengan cara yang kurang baik, Eko Prayitno seorang seniman muda yang pernah di bina A.A. Linde, menjadikan “kuflet” sebagai persinggahan dan pergi dengan cara tidak terhormat akhirnya berhasil menjadi seorang sutradara di Batam. Rustam Efendi aktor yang kuat yang juga seorang perupa, Leni Efendi aktris dan sutradara yang lumayan bagus, Azhadi Akbar aktor yang sangat pandai bermain monolog. Zulfikar, sutradara berbakat yang banyak tidur, juga ahli dalam tata cahaya, ahli-ahli desain panggung yang muncul dari “kuflet” adalah Adriyandi, Zulfikar, Mahruzal. Orang-orang muda inilah yang diharapkan menjadi seniman-seniman ‘besar’ dimasa mendatang. Ilmu yang diperoleh saat menempa diri di ‘kuflet’ ditambah kemauan untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan bereksplorasi dimasa mendatang, mereka-mereka ini menjadi penerus tongkat estafet keseniman baik di dalam maupun di luar “kuflet”. Dimanapun mereka berada tetap bertanggungjawab untuk terus dan terus belajar, berkesenian dan semakin arif dalam berpikir. Sulaiman Juned tentu saja membanggakan mereka semua, bagaimanapun selama di “kuflet” ia telah menguras tenaga dan pikiran untuk membina ‘yunior’ yang rela ‘berpayah-payah’ bersamanya untuk melakukan berbagai eksplorasi kesenimanan. Namun pada suatu kesempatan ia pernah berkata “Mereka yang berhasil menjadi seniman di ‘kuflet’ adalah orang yang menikmati hasil atas kerja keras terhadap usaha menempa diri dan menimba ilmu selama di ‘kuflet’. Sementara mereka yang gagal adalah sang pemalas, menggunakan “kuflet” sekedar tempat singgah atau pula punya niat terselubung tentang sebuah komunitas teater”. Demikianlah Sulaiman Juned memandang ‘adik-adik’ nya yang mulai beranjak ‘dewasa’ dibelantika kesenimanan. Harapan terbesar dalam dirinya adalah suatu ketika diantara para kawula muda “Kuflet” tersebut benar-benar muncul seniman yang handal dimasa datang. Memiliki kematangan konsep, keterampilan memadai, dan cara berpikir yang mantap, sehingga mereka dikenal sebagai seniman baik ditingkat lokal, bahkan kalau mungkin tingkat internasional. Mengapa tidak, pintu sudah terbuka, para insan muda harus berusaha menggali potensi dalam diri. Mereka semakin mantap menggeluti seni.
Semoga ajaran yang di dapat di ‘kuflet’ bahwa manusia tidak boleh berhenti belajar, serta pemahaman tanggungjawab seniman yang harus terus berlatih seumur hidup tidak pernah mereka lupakan. Sulaiman Juned dan “kuflet” menunggu karya brilian ‘mengguncang’ pentas dunia teater dan menjadi pembicaraan kalangan para seniman dan kritikus. Tidak ada guru yang tak mencintai muridnya dan kebahagiaan terbesar seorang guru adalah ketika muridnya berhasil melebihinya dalam pemahaman keilmuan. Itulah filosopi seorang guru. Membukakan pintu dunia untuk semua orang, kemudian menunggu apa yang di dapat orang dalam pergulatannya dengan ilmu. Saat orang itu berhasil mendapat banyak darinya ia tidak akan iri bahkan gembira melihat keberhasilan orang yang dibukakannya pintu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar