Hikayat Cantoi: Cantoi Tetaplah Cantoi
Oleh: Asril Muchtar, pemerhati seni Pertunjukan, pengajar STSI Padangpanjang
Terinspirasi PMTOH Sulaiman Juned sebagai Sutradara
menjadi realita pertunjukan oleh Azhadi Akbar sebagai aktor
menghadirkan Hikayat Cantoi ke atas panggung resitasi atau monolog?
“Aku ingin tetap menjadi Cantoi. Cantoi tubuhku-pikiranku. Maka Cantoilah namaku-tak lebih tak kurang. Namun bila mencari duri dalam tumpukan jerami kenapa ladang yang harus dibakar. Cantoi tetap tidak sepakat, sekali Cantoi tetap Cantoi”
Sepenggal teks di atas dibawakan dalam logat Aceh dengan sangat kocak, mengelitik dan ekspresif oleh Azhadi Akbar, nahasiswa jurusan teater Sekolah Tinggi Seni Indonesia Padangpanjang. Azhadi yang berasal dari Aceh memerankan tokoh imajiner Cantoi, karya/sutradara Sulaiman Juned (Soel) yang dipentaskan awal agustus lalu, di Gedung teater Mursal Esten STSI Padangpanjang. Karya yang dipersiapkan untuk tugas akhir S-2 Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta ini, menyuguhkan sebuah tawaran kreativitas yang terinspirasi dari seni resitasi PMTOH Aceh.
Panggung tertata demikian: sebuah jambo (pos ronda) di tengah bagian belakang pentas. Di kiri dan kanan depan panggung terdapat dua layar putih berukuran 2 X 1 meter yang berfungsi sebagai layar siluet. Di belakang jambo juga terpasang sebuah layar lebar. Sementara di lantai panggung di taburi tanah dan sekam, seperti hendak menggambarkan areal sawah-ladang di tanah rencong . Karya ini dicitrakan untuk waktu malam hari.
Di layar siluet bagian kanan duduk dua orang pemusik, sementara di layar kiri duduk seorang pemusik. Dan pada layar siluet belakang, duduk beberapa orang pemusik. Para pemusik ini sewaktu-waktu berperan sebagai mitra dialog tokoh utama.
Karya ini diawali dengan nyanyian prang sabi (perang suci). Kemudian dipertengahan cerita dilanjutkan dengan lagu Aceh Tanoh Loen Sayang yang dibawakan oleh pemusik di layar depan sambil melakukan gerak-gerak guel dan dilanjutkan dengan lagu sebuku (ratapan).
Azhadi Akbar sebagai pemeran utama, dengan kostum ala peronda malam, tampaknya sangat menjiwai naskah dan peran demi peran dengan karakter yang berbeda-beda. Ia melakoni dengan sangat baik dan “cair”, walaupun nafas agak tersenggal-senggal Azhadi mampu mengartikulasikan belasan karakter peran Cantoi, yang didukung oleh ekspresi dan akting yang kuat. Ekspresi dan akting yang kontras, seperti menangis-kecewa, marah-sedih, benci-sayang, dan sebagainya sering dilakukan tanpa antara, sehingga membangun sisi kontras yang tajam. Kemudian bloking atau movement mampu ia jelajahi di setiap lini ruang pentas. Disinilah sentuhan teater modern itu menyemburat.
Selain itu, Azhadi juga membawakan dengan kocak, sehingga kadang-kadang terkesan seperti komedian, kendatipun ia berperan sendirian. Untuk membangun suasana interaktif ia segaja “mengganggu” penonton dan pemusik yang berada di layar depan, sehingga terjadi semacam dialog-dialog pendek. Intonasi kata demi kata banyak diwarnai oleh logat Aceh. Cantoi itu seperti tokoh unik dibeberapa teater rakyat. Seperti peran Malanca dalam randai di Minangkabau, atau Kabayan di Jawa Barat. tokoh ini sebenarnya adalah orang cerdik, pintar tetapi berpura-pura bodoh. Ia tidak dapat dikatakan bodoh atau pandir.
Bermula dari DOM
Soel menyiapkan naskahnya sendiri. Idenya bermula dari realitas kehidupan yang melanda Aceh semasa dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Konflik vertikal dan horizontal tidak terhindarkan. Pemeran utamanya adalah militer RI dengan Gerakan Atjeh Merdeka (GAM). Korban dari kalangan rakyat sipil setiap saat dapat dijumpai di berbagai kawasan di Aceh. Efek psikologis dari peristiwa ini, memunculkan trauma yang mendalam bagi mereka yang masih hidup. Banyak keluarga yang sengsara, bahkan menjadi lepas kontrol. Namun di balik tekanan dan rasa takut itu, timbul semangat untuk melawan dengan berbagai cara. Salah satu diantaranya, berpura-pura bodoh untuk mengelabui pihak-pihak yang mencurigakan dan yang sedang melakukan patroli.
Untuk menyimbolisasikan peran seperti ini, Soel menghadirkan tokoh imajiner dengan nama cantoi. Agar Cantoi tidak dijadikan sasaran atau lawan oleh pihak-pihak yang berkonflik, maka ia harus mampu berperan multi-faces dengan berbagai karakter, jika perlu berpura-pura bodoh. Berbagai tindasan sosial yang terekam dari konflik di atas, dimunculkan lewat tokoh Cantoi.
Untuk menuang naskah ini, Soel mencoba mengombinasikan teater tutur PMTOH Aceh dengan teater modern. PMTOH sebagai teater monolog, biasanya membawakan naskah hikayat, dari Aceh, yang pengertian lebih luas dari batasan hikayat sesungguhnya. Selain itu, PMTOH lebih menitikberatkan pada aspek ekspresi yang beragam dan ditunjang oleh berbagai proferti yang sederhana, tidak memerlukan penataan panggung yang lebih artistik, serta pemeran utamanya lebih cenderung diam di tempat.
Sementara aspek teater modern dihadirkan antara lain melalui bloking dan movement aktor di pentas dan penajaman ekspresi serta kekuatan akting. Tokoh dapat menjelajahi semua lini yang ada diruangan pentas. Teks disampaikan dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa simbolik. Untuk memperkuat dan memperkaya aspek khazanah budaya Aceh. Di hadirkan gerak-gerak imitasi tari Seudati, didong, guel dan ketip jari. Dari aspek musikal, dimunculkan pula tepuk dada, tepuk perut, tepuk paha dan tepuk tangan.
Melalui Hikayat Cantoi, Soel telah mencoba menawarkan suatu pembaharuan terhadap PMTOH-teater tutur tradisional Aceh dengan sentuhan kreativitas teater modern.
g
PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com
Minggu, 25 Januari 2009
Kliping Sastra, Sisa Kebakaran Rumahku:
Kliping karya sastra/teater sisa dari puing-puing kebakaran:
Sesungguhnya banyak kliping-kliping koran semenjak saya mengawali pekerjaan sebagai penulis. Saya mulai aktif menulis sejak tahun 80-an. Sehingga kliping saya ada lima buah kliping yang masing-masing kliping bersisi 50 ribu lembar kertas HVS. Kalau dulu jika ada tulisan saya rajin membuat kliping. Maklum dahulu kan belum ada internet. Kami biasakan melakukan dokumentasinya melalui kliping untuk dapat membaca sejarah, dan ini diikuti oleh beberapa anggota sanggar Cempala karya seperti Ucok Kelana TB, J.kamar Farza, Deny Pasla, Hamzah Zaiby, Win Gemade, Tomy Fajar, Zab Bransah, jarwansah. Namun kliping saya terlengkap, baik tulisan saya maupun tulisan orang lain yang menuliskan tentang saya. Sayang kliping itu kini hangus terbakar ketika terjadi musibah kebakaran rumah kami di Pincuran Tinggi, Jumat, 18 Januari 2008, pukul 16.00 WIB, Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh buku, dokumentasiku habis dilalap si jago merah. Pakaianpun hanya tersisa di badan, waktu itu. aku bersyukur Iswanti “titin” istriku dan Soeryadarma Isman buah hati kami selamat dari maut. Hanya merekalah permata hatiku. Ini aku pungut sisa-sisa kliping dari rongsokan bara, adik-adik di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang membantu mengeringkan klipingku-sekaligus membantu mengetik ulang, juga keponakanku Ipunk (puji Nurani), terimakasih. Akhirnya aku masukkan ke blog agar tak hilang lagi, selamat membaca:
1). MENCIPTA KARYA SASTRA
Oleh: Sulaiman Juned
. BERBICARA masalah puisi atau karya sastra, sampai saat ini tak seorangpun dapat mendefinisikan secara mutlak. Proses kelahiran puisi bagaimana? Andai kita mau jujur, puisi atau karya sastra lahir karena manusia dan gagasannya pun tumbuh dan hidup di realitas sosial juga. Ia ada sebagaimana air yang dituangkan ke kolam yang berisi berbagai zat berwarna. Apabila air tersebut dituangkan ke dalam gelas yang berwarna merah akan merah pula hasilnya. Tentang mutu (kualitas) sebuah karya bergantung kepada penciptanya atau mood yang mampu direbutnya. Karya sastra merupakan manifestasi dari pemikiran manusia, karena itu pula menghasilkan warna yang berbeda-beda.
Manusia sebagai makhluk budaya, setiap saat dihadapkan dengan formulasi rasa, dari daya ciptanya yang kemudian menjadikan sikap terhadap lahirnya karya sastra. Disisi lain adapula pencipta karya sastra yang menyatakan proses kelahiran sebuah karya sastra adalah hasil ilham . Sastrawan bukan Nabi atau Rasul yang mungkin mendapatkan wahyu atau ilham dari Tuhan, sangatlah disayangkan jika pendapat ini dirujuk oleh sastrawan. Pencipta karya setiap hari haruslah merebut ide/gagasan bukan menunggu wahyu/ilham. Terlepas dari itu semua karya sastra memiliki sifat relatif, artinya tergantung penciptanya dalam meletakkan filosopi berkesenian. Jadi proses penciptaan karya sastra berasal dari akal pikiran, mematangkan diri dengan kontemplasi (perenungan) bukan semata-mata lewat hasil berhayal.
Kreativitas dari pencipta diharapkan untuk mampu melahirkan produk yang berkualitas. Sastrawan juga harus mampu memberikan sentuhan keindahan juga keselarasan makna melalui sintesis. Berkarya itu memang tidak gampang, tetapi juga tidak sulit. Tergantung bagaimana kita memacu diri, untuk menjadi penulis yang baik haruslah terlebih dahulu menjadi pembaca yang sangat baik. Jika kita menjadi pembaca yang sangat baik pasti mampu menjadi pembicara yang baik, yang muara akhirnya menjadi penulis terbaik. Jika tidak percaya mari kita coba. Terpenting cobalah menulis!
(tulisan ini dimuat di harian waspada, Rabu, 15 Mei 1991).
2). SASTRA BUKAN KEGIATAN KAUM PUBER
Oleh: Sulaiman Juned
SESUNGGUNHYA penulis sangat berbangga hati bila diantara seniman (sastrawan) sering berkumpul membicarakan masalah sastra. Penulis merasa nikmat apabila sedang melahap kupasan tentang sastra yang akhir-akhir ini semakin digandrungi oleh masyarakat Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya.
Namun ada sedikit rasa kecewa menyemburat ketika membaca tulisan dengan judul “penyair muda di kampus” buah pemikiran Tohans yang disiarkan (Harian Waspadan, 8/5/91). Saya melihat ada kesenjangan antara penyair muda (kampus menurut Tohans) dengan penyair tua (senior mungkin). Pada akhir tulisannya ia berucap mari kita simak: “mungkin penyair muda kita sedang mencari sesuatu. Maklumlah mereka belum tua” (baca Waspada).
Jika itu yang Tohans tekankan tentang keberadaan penyair kampus, sungguh ia telah membuat suatu kesalahan besar, karena beusaha untuk mengkotak-kotakkan penyair. Barangkali dalam benak seseorang akan timbul suatu tanda tanya. Saya kembalikan kepada Tohans, apakah benar faktor usia dapat menentukan ia menjadi penyair, atau faktor usia pula yang membuat sebuah karya sastra pasti berkualitas? Lalu pada usia berapakah seseorang itu dapat dis sebut penyair?. Siapa yang menabalkan nama penyair kepada penulis puisi?. Sungguh memalukan bila pertanyaan itu timbul. Sepertinya Tohans tidak berkenan mengakui bila seorang penyair itu masih berada di kampus atau masih anak SLTA. Pelekatan nama penyair bukanlah komunitas sastrawan tua yang harus memberi nama, kalau penyair tua sudah mengakui kepenyairan seseorang barulah sah seseorang menjadi penyair, bukan begitu. Masyarakat pencinta (penikmat) sastra juga dapat mengetahui sebuah karya sastra bermutu atau tidak, jika karya sastra yang kita hasilkan bermutu pastilah disenangi dan disukai oleh pembaca terlepas tua atau tidaknya penulis tersebut.
Andai dihadapkan pada kualitas sebuah tulisan, tak pernah terjadi dalam dunia sastra untuk mengapresiasi faktor usia. Analisis terhadap puisi yang pertama harus dilakukan adalah membedah unsur Instrinsiknya terlebih dahulu. Kemudian barulah unsur yang lainnya. Sebuah karya sastra bermutu atau tidak semuanya berangkat dari hasil kontemplasi penyairnya, sejauhmana ia mampu merekam realitas dilingkungannya untuk jadi gagasan/ide lalu lahirlah puisi. Hal ini tidak ada hubungannya dengan faktor usia agar harus menjadi tua terlebih dahulu barulah puisinya berkualitas. Tohans harus membaca sejarah, Chairil Anwar dalam usia yang relatif sangat muda telah menghasilkan karya sastra yang sangat berkualitas, jadi tidak harus menunggu untuk menjadi tua dahulu agar dapat disebut penyair. Penyair-penyair yang sudah berusia tua itu, belum tentu karya-karya berkualitas. Jangan munafiklah.
Sekarang atau pada masa yang akan datang, agaknya sastra modern Indonesia semakin mapan, kegiatan bersastra bukanlah kegiatan kaum puber. Siapapun orangnya bila sudah berani masuk ke dalam golongan kaum penyair maka ia akan bersungguh-sungguh. Penyair tidak ada yang gadungan, sebab para kaum penyair, ketika ingin menjadi penyair itu adalah pilihan nurani. Kegiatan menyair dianggap sebagai sebuah tuntutan dari bakatnya. Jadi anda tidak berhak untuk melarang bagi siapapun memilki keinginan untuk menjadi penyair.
“Karya yang baik adalah karya yang mampu berkomunikasi dengan penikmat, tentunya melalui intuisi dan sintetik yang di banguun sang penyair” (baca: Penyair dan Problematikanya, Anshor Tambunan, 8/5/91: Waspada). Dari ungkapan Anshor Tambunan itu, dapat kita gali maknanya, seorang penyair harus dapat memberikan yang terbaik kepada pembacanya. Saya rasa tidak ada seorang penyair pun yang membuat puisinya asal jadi. Kepada Tohans, semestinya tak perlu ada kecurigaan yang terlalu berlebihan kepada para penyair kampus yang katanya tidak mempunyai keberanian, kejujuran, dan seember kecurigaan lainnya. Seharusnya Tohans melihat dengan jeli, bukan dengan kaca mata yang rusak sehingga dia temui yang sebenarnya. Penyair-penyair yang telah ternama kini, awalnya berangkat dari penyair kampus. Saya juga berawal dari kampus, anda juga tentunya kan? Juga belajar di kampus?
Penyair sebagai mahasiswa tidak pernah merasa dirinya dipecundangi oleh rasa kemahasiswaannya. Tidak pula ingin di sebut hebat, tetapi penyair yang berada di kampus juga memiliki rasa yang sama dengan penyair di luar kampus. Ia hadir karena bakat, lalu mencintai sastra dengan sungguh-sungguh, mereka ingin bernafas dengan puisi, salahkah mereka?
Begitulah, siapapun di atas bumi Tuhan ini berhak menyandang nama penyair apabila dia mampu. Ini catatanku yang terakhir buatmu Tohans; janganlah sekali-kali mematahkan kaki anak-anakmu yang sedang belajar berjalan dan berlari. Sudah selayaknya kita yang menunjukkan kebenaran cara berlatih berjalan dan berlari karena kita sudah memiliki pengalaman empirik untuk itu. Atau Tohans takut kepada anak-anak yang sedang belajar berjalan dan berlari? Takut jangan-jangan Tohans akan dikalahkan oleh mereka, tak perlu takut karena cara berjalan dan berlari kita berbeda, tidak ada yang sama. Kenapa mesti takut. Mari kita tuntun mereka berjalan dulu, lalu kita bawa berlari. Toh akhirnya kesusasteraan kita yang berkembang, benarkan? (Tulisan ini telah pernah dimuat di Harian Waspada, 13 Mei 1991).
3). SEKILAS SASTRA DI RADIO AMATIR BANDA ACEH
Oleh: Sulaiman Juned
SEBUAH karya sastra walau ditempel di gedung-gedung, di tembok, di gubuk reot sekali pun masih tetap kita sebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan karya sastra yang dipublikasikan di radio-radio amatir di Banda Aceh. Karya yang dipuublikasikan di radio, di koran atau majalah yang membedakannya hanya kualitas dari karya itu, bukan tempat publikasinya yang menentukan kualitas karya.
Lintasan perkembangan yang berkumandang di radio-radio, selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatan masih tepat bertahan. Walau tidak semarak pada kisaran 1980-1989, tapi masih tetap membuat para pecinta sastra cukup senang dengan adanya ruang pembacaan puisi. Hal ini dapat membawa dampak positif bagi penyair-penyair pemula. Selain menjadikan radio amatir sebagai guru, juga tempat memacu kreativitas. Mereka dapat belajar banyak dari ulasan-ulasan yang disampaikan oleh pengasuh ruang sastra budaya.
Sebagai contoh, radio Roland Nuansa. Mereka mengudarakan acara sastra budaya pada setiap malam selasa dari pukul 22.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, memang radio amatir yang menyuarakan acara sastra dan budaya di Banda Aceh, sampai saat ini masih dapat dihitung dengan jari, seperti: Roland Nuansa, Kharisma 70, yang di asuh Cerpenis Nani HS mengudara setiap malam sabtu. Radio Baiturrahman yang berkoar-koar setiap malam Kamis, Duta Kencana yang mengisi lintasan buadaya dengan syair-syair Aceh, asuhan Bung Yan.
Memang ada yang sangat disayangkan. Dua tahun lalu, radio Flamboyan FM juga sempat mengudarakan acara sastra budaya tapi sekarang mandek. Entah apa sebabnya, selain itu acara sastra budaya disiarkan juga di radio Cindelaras, Nikoya, Bandar Jaya, bahkan UKM- radio kampus Universitas Syiah Kuala yang sastra dan budayanya digawangi oleh Sulaiman Juned.
Sementara beberapa radio amatir lain, bahkan tidak memperdulikan sama sekali tentang ruang lintasan budaya, sungguh disayangkan, seharusnya ini tidak terjadi di negeri yang memiliki kebudayaan tinggi. Aoalagi memasuki tahun 1992n ini, Gubernur Ibrahim Hasan ketika Coffe Morning dengan dengan para wartawan di Banda Aceh mengatakan, tahun monyet ini sebagai “tahun budaya” itu merupakan angin segar yang dihembuskan Gubernur Aceh kepada seniman Aceh. Atas dasar itu, kita berharap kepada radio amatir di seluruh Aceh hendaknya berkenan membuka ruang sastra budaya. Juga kepada Gubernur kita meminta agar memperhatikan nasib para seniman Aceh sekaligus mengeluarkan peraturan daerah agar seluruh radio amatir di Aceh wajib membuka ruang sastra dan budaya, sehingga tahun budaya yang digaungkan Pemerintah Daerah Aceh benar-benar terlaksana, beuek lageue su’um-su’um ek manok ciret. Semoga! (Tulisan ini dimuat diharian Serambi Indonesia, tanggal-bulan dan tahun tidak saya ketahui lagi, ini tulisan saya pungut dari puing-puing kebakaran rumah saya di Pincuran Tinggi, 18-1-2008. Banyak kliping tulisan saya di koran sudah tidak berbentuk lagi)
4). SENIMAN ACEH HARI INI DAN ESOK
Oleh: Sulaiman Juned
SENIMAN adalah manusia yang memiliki mata setajam mata elang. Wawasan berpikirnya luas tentang dunia kesenimanan. Seniman Aceh kini mempunyai prosfek yang cerah, betapa tidak! Baru-baru ini, ketika Coffe Morning dengan beberapa wartawan Banda Aceh, Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim hasan, MBA telah mencanangkan tahun monyet (1992) ini sebagai tahun budaya. Kini angin segar telah ditiupkan oleh orang nomor satu di Aceh, tinggal bagaimana cara seniman menyikapinya. Apakah mampu mempergunakan kesempatan tersebut. Wallahualam!
Menurut pantauan penulis selama ini, seniman Aceh mulai berbenah diri seperti baru-baru ini, diadakan pagelaran sastra dan seminar sastra yang dimotori oleh Lembaga Penulis Aceh (LEMPA). Jika mau bicara jujur, hal-hal seperti inilah yang diharapkan kehadirannya, apalagi di tanah rencong yang sejak dulu kala masyarakat Aceh sangat mengagungkan seni. Lebih-lebih rekan-rekan penyair muda atau penyair kampus sangat berharap kegiatan-kegiatan seperti ini dapat terus berlangsung.
Begitu juga dengan acara sastra di Pustaka Prof. A.Hasjmy. ada baca puisi, cerpen dan novel. Ada juga bedah karya sastra dan seminar. Hal-hal seperti ini yang harus diperbanyak untuk mengisi ruang intelektual bagi seniman-seniman Aceh. Pekerja sastra harus mengisi ruang pikir untuk menambah wawasannya. Mulai sekarang marilah kita galakkan dan budayakan ‘membaca dan diskusi’ di Aceh agar lahir pemikir-pemikir seperti masa kerajaan Aceh dahulu, semisal; Hamzah Fansury, Teungku Syik Pante Kulu, Nurruddin Ar-Raniry, Syeh Abdul Rauf dan Nurruddin As-Sumaterany dan banyak lagi yang lainnya.
Mulai sekarang hilangkan perseteruan pribadi antar seniman Aceh, tumbuhkan ruang-ruang diskusi untuk melahirkan konsepsi ideal berpikir kritis. Semoga Aceh mampu melahirkan kembali sastrawan-sastrawan besar. Semoga! (tulisan esai ini dimuat di SKM.Peristiwa, tempat saya mengasuh ruang sastra budaya namun tanggal-bulan dan tahunnya tidak diketahui lagi).
5). KINI GILIRAN PENYAIR SULAIMAN JUNED DIADILI
Oleh: Nani Hs
Pengadilan Penyair. Setelah M.Nurgani Asyik selesai “dipengadilankan” sekaligus puisi-puisinya di Laboratorium Seni FKIP Unsyiah. Kini (12/12) giliran penyair Sulaiman Juned masuk ke ruang pengadilan penyair ala Aceh.
Pada dasarnya, pengadilan penyair merupakan pertanggungjawaban konsep puitika puisi di hadapan para penyair lain dan partisipannya. Puisi-puisi tersebut, setelah di baca oleh penyairnya akan pula didiskusikan. Seperti kata penyair M.Nurgani Asyik, forum itu juga sebagai pembelajaran bagi penyair yang bersangkutan atau pun bagi penyair lainnya.
Dari kegiatan ini sebut Sulaiman Juned, diharapkan para penyair dapat memandang sejujur-jujurnya karya-karya penyair yang bersangkutan. Menurut rencana kegiatan ‘mengadili’ ini akan dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 1996 di Laboratorium Unsyiah Jalan Inong Balee (Diploma 3 Kesenian) Darussalam Banda Aceh.
Menurut rencana Penyair Sulaiman Juned akan membacakan sejumlah puisinya yang dibuat antara tahun 1993-1995. Sehubungan dengan itu, berita ini juga merupakan undangan resmi kepada penyair dan penikmat Kesusteraan di Daerah Istimewa Aceh.Penyair M.Nurgani Asyik dan Sulaiman Juned merupakan pelopor untuk kegiatan pengadilan penyair di Aceh (ni)
[tulisan ini dimuat di rubrik kantin, harian serambi indonesia, sabtu 30 Desember 1995]
.
6). ADA APA DENGAN PENYAIR MUDA ACEH
Oleh: Sulaiman Juned
KREATIVITAS, itulah yang selalu diinginkan oleh para makhluk yang menamakan dirinya penyair. Tetapi cukupkah dengan kreativitas saja? Tentu tidak, untuk dapat dikatakan karyanya berbobot harus ditunjang oleh faktor pengalaman, dan wawasan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penciptaan. Kita boleh bangga dengan hadirnya beberapa nama seperti; Nurdin F.Joes, NT. Fikar W.Eda, Wiratmadinata, dan lain-lain. Tetapi sunggung disayangkan penyair itu hilang setelah memperoleh pekerjaan tetap. Bahkan ada yang tidak pernah menerbitkan karyanya lagi, hanya Nurdin F.Joes kini masih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya. Terbukri dengan kumpulan puisinya “sengketa” yang diterbitkan tahun lalu, terlepas dengan tuduhan atas Nurdin puisi-puisi tidak berkembang, dan sengketa itu sendiri adalah sengketanya Nurdin, bukan sengketa para penikmat sastra. Seperti apa yang diungkapkan Hasyim Ks dalam Serambi Indonesia.
Di Aceh, para penikmat selalu dilanda problema “takut” , takut jika suatu ketika Adnan PMTOH atau To’et telah tiada, siapakah pengganti penjaga gawang terakhir kesenian tradisional kita, sementara kita tidak pernah mau membina generasi muda dapat mewarisi apa yang mereka miliki. Kita juga takut bila Hasbi Burman, Hasyim KS, Nurdin F.Joes, Maskirbi dan lain-lain, tidak produktif lagi, siapakah pengganti mereka?
Kita hanya bisa berkata “tidak ada” tapi di Jakarta maupun di tempat lainnya, mereka tidak takut kehilangan W.S. Renda, Sutardji, Taufik Ismail, dan juga sastrawan lainnya karena mereka memiliki seribu renda muda, tarji muda, taufik muda untuk menggantikan posisi mereka. Ini semua berkat kemauan membimbing dan membina para penyair-penyair muda.
Mari kita membuka mata, mengingat ke belakang. Tiongkok pada zaman Dinasty Tang (618-906) mereka mengawinkan lukisan dengan puisi, syair dibuat oleh penyair (sastrawan), lalu pelukis yang menuliskannya di bidang gambar.
Wang Wei, sastrawan yang juga pelukis itu mencoba melukis, ternyata lukisannya dahsyat, hingga banyak yang mengatakan karya Wang Wei ialah sastra yang dilukiskan. Rintisan Wang Wei ini lalu menyebar ke segala zaman, karena ia membina terus para generasinya sehingga sampai pada sastrawan yang juga pelukis Su Shi (1036-1101), Su Shi mengatakan dalam kata mutiara yang sangat berharga: “lukisan adalah syair yang digambarkan, dan syair adalah lukisan perkataan”. Nah, sekarang kalau kita mau melihat lukisan Cina, biasanya ada tulisan “Kanji” di sana, umumnya itulah syair dalam lukisan. Betapa hebatnya mereka, mempertahankan kesenian tradisional yang ditinggalakan para leluhurnya, dan setiap saat mereka dapat melahirkan beribu Wang Wei maupun Su Shi muda.
Kembali kepada kita, dimana para penyair muda dikalahkan oleh faktor kesempatan, akhirnya mengendorkan semangat mereka untuk berkarya. Banyak penyair-penyair muda kita setelah muncul, lalu menghilang tak tentu rimbanya, mereka seperti: C Harun Al-Rasyid, Burce Rialy, Pinta J.Sidiq, Anhar sabar, Ade Ibrahin Dy Kampi, Nurarly, Zab Bransah, dan banyak lagi yang lainnya. Bila sudah begini siapakah yang harus disalahkan, penyair yang tidak kreatif ataukah mereka tidak pernah di beri kesempatan untuk muncul, jawabannya ada pada hati nurani kita masing-masing.
Jadi faktor kesempatan yang menjadi problema, maka sampai kapanpun kesusasteraan di Aceh tak akan pernah maju, karena itu marilah mengoreksi diri kita masing-masing, siapa yang salah. Alangkah lebih baik antara senior dan yunior bahu membahu dalam membangun sastra dan budaya, sehingga sastra di Aceh akan bangkit kembali. Saya yakin beribu Hamzah Fansuri, Teungku Syik Pante Kulu muda ada di daerah kita. (tulisan ini dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu, 24 Pebruari 1991. tulisan ini pula menghadirkan polemik panjang antara penyair muda dengan penyair senior (tua). Sayang saya tidak dapat menghadirkan kliping tulisan polemik dari penulis lain karena kliping saya terbakar)
Sesungguhnya banyak kliping-kliping koran semenjak saya mengawali pekerjaan sebagai penulis. Saya mulai aktif menulis sejak tahun 80-an. Sehingga kliping saya ada lima buah kliping yang masing-masing kliping bersisi 50 ribu lembar kertas HVS. Kalau dulu jika ada tulisan saya rajin membuat kliping. Maklum dahulu kan belum ada internet. Kami biasakan melakukan dokumentasinya melalui kliping untuk dapat membaca sejarah, dan ini diikuti oleh beberapa anggota sanggar Cempala karya seperti Ucok Kelana TB, J.kamar Farza, Deny Pasla, Hamzah Zaiby, Win Gemade, Tomy Fajar, Zab Bransah, jarwansah. Namun kliping saya terlengkap, baik tulisan saya maupun tulisan orang lain yang menuliskan tentang saya. Sayang kliping itu kini hangus terbakar ketika terjadi musibah kebakaran rumah kami di Pincuran Tinggi, Jumat, 18 Januari 2008, pukul 16.00 WIB, Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh buku, dokumentasiku habis dilalap si jago merah. Pakaianpun hanya tersisa di badan, waktu itu. aku bersyukur Iswanti “titin” istriku dan Soeryadarma Isman buah hati kami selamat dari maut. Hanya merekalah permata hatiku. Ini aku pungut sisa-sisa kliping dari rongsokan bara, adik-adik di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang membantu mengeringkan klipingku-sekaligus membantu mengetik ulang, juga keponakanku Ipunk (puji Nurani), terimakasih. Akhirnya aku masukkan ke blog agar tak hilang lagi, selamat membaca:
1). MENCIPTA KARYA SASTRA
Oleh: Sulaiman Juned
. BERBICARA masalah puisi atau karya sastra, sampai saat ini tak seorangpun dapat mendefinisikan secara mutlak. Proses kelahiran puisi bagaimana? Andai kita mau jujur, puisi atau karya sastra lahir karena manusia dan gagasannya pun tumbuh dan hidup di realitas sosial juga. Ia ada sebagaimana air yang dituangkan ke kolam yang berisi berbagai zat berwarna. Apabila air tersebut dituangkan ke dalam gelas yang berwarna merah akan merah pula hasilnya. Tentang mutu (kualitas) sebuah karya bergantung kepada penciptanya atau mood yang mampu direbutnya. Karya sastra merupakan manifestasi dari pemikiran manusia, karena itu pula menghasilkan warna yang berbeda-beda.
Manusia sebagai makhluk budaya, setiap saat dihadapkan dengan formulasi rasa, dari daya ciptanya yang kemudian menjadikan sikap terhadap lahirnya karya sastra. Disisi lain adapula pencipta karya sastra yang menyatakan proses kelahiran sebuah karya sastra adalah hasil ilham . Sastrawan bukan Nabi atau Rasul yang mungkin mendapatkan wahyu atau ilham dari Tuhan, sangatlah disayangkan jika pendapat ini dirujuk oleh sastrawan. Pencipta karya setiap hari haruslah merebut ide/gagasan bukan menunggu wahyu/ilham. Terlepas dari itu semua karya sastra memiliki sifat relatif, artinya tergantung penciptanya dalam meletakkan filosopi berkesenian. Jadi proses penciptaan karya sastra berasal dari akal pikiran, mematangkan diri dengan kontemplasi (perenungan) bukan semata-mata lewat hasil berhayal.
Kreativitas dari pencipta diharapkan untuk mampu melahirkan produk yang berkualitas. Sastrawan juga harus mampu memberikan sentuhan keindahan juga keselarasan makna melalui sintesis. Berkarya itu memang tidak gampang, tetapi juga tidak sulit. Tergantung bagaimana kita memacu diri, untuk menjadi penulis yang baik haruslah terlebih dahulu menjadi pembaca yang sangat baik. Jika kita menjadi pembaca yang sangat baik pasti mampu menjadi pembicara yang baik, yang muara akhirnya menjadi penulis terbaik. Jika tidak percaya mari kita coba. Terpenting cobalah menulis!
(tulisan ini dimuat di harian waspada, Rabu, 15 Mei 1991).
2). SASTRA BUKAN KEGIATAN KAUM PUBER
Oleh: Sulaiman Juned
SESUNGGUNHYA penulis sangat berbangga hati bila diantara seniman (sastrawan) sering berkumpul membicarakan masalah sastra. Penulis merasa nikmat apabila sedang melahap kupasan tentang sastra yang akhir-akhir ini semakin digandrungi oleh masyarakat Indonesia umumnya dan Sumatera khususnya.
Namun ada sedikit rasa kecewa menyemburat ketika membaca tulisan dengan judul “penyair muda di kampus” buah pemikiran Tohans yang disiarkan (Harian Waspadan, 8/5/91). Saya melihat ada kesenjangan antara penyair muda (kampus menurut Tohans) dengan penyair tua (senior mungkin). Pada akhir tulisannya ia berucap mari kita simak: “mungkin penyair muda kita sedang mencari sesuatu. Maklumlah mereka belum tua” (baca Waspada).
Jika itu yang Tohans tekankan tentang keberadaan penyair kampus, sungguh ia telah membuat suatu kesalahan besar, karena beusaha untuk mengkotak-kotakkan penyair. Barangkali dalam benak seseorang akan timbul suatu tanda tanya. Saya kembalikan kepada Tohans, apakah benar faktor usia dapat menentukan ia menjadi penyair, atau faktor usia pula yang membuat sebuah karya sastra pasti berkualitas? Lalu pada usia berapakah seseorang itu dapat dis sebut penyair?. Siapa yang menabalkan nama penyair kepada penulis puisi?. Sungguh memalukan bila pertanyaan itu timbul. Sepertinya Tohans tidak berkenan mengakui bila seorang penyair itu masih berada di kampus atau masih anak SLTA. Pelekatan nama penyair bukanlah komunitas sastrawan tua yang harus memberi nama, kalau penyair tua sudah mengakui kepenyairan seseorang barulah sah seseorang menjadi penyair, bukan begitu. Masyarakat pencinta (penikmat) sastra juga dapat mengetahui sebuah karya sastra bermutu atau tidak, jika karya sastra yang kita hasilkan bermutu pastilah disenangi dan disukai oleh pembaca terlepas tua atau tidaknya penulis tersebut.
Andai dihadapkan pada kualitas sebuah tulisan, tak pernah terjadi dalam dunia sastra untuk mengapresiasi faktor usia. Analisis terhadap puisi yang pertama harus dilakukan adalah membedah unsur Instrinsiknya terlebih dahulu. Kemudian barulah unsur yang lainnya. Sebuah karya sastra bermutu atau tidak semuanya berangkat dari hasil kontemplasi penyairnya, sejauhmana ia mampu merekam realitas dilingkungannya untuk jadi gagasan/ide lalu lahirlah puisi. Hal ini tidak ada hubungannya dengan faktor usia agar harus menjadi tua terlebih dahulu barulah puisinya berkualitas. Tohans harus membaca sejarah, Chairil Anwar dalam usia yang relatif sangat muda telah menghasilkan karya sastra yang sangat berkualitas, jadi tidak harus menunggu untuk menjadi tua dahulu agar dapat disebut penyair. Penyair-penyair yang sudah berusia tua itu, belum tentu karya-karya berkualitas. Jangan munafiklah.
Sekarang atau pada masa yang akan datang, agaknya sastra modern Indonesia semakin mapan, kegiatan bersastra bukanlah kegiatan kaum puber. Siapapun orangnya bila sudah berani masuk ke dalam golongan kaum penyair maka ia akan bersungguh-sungguh. Penyair tidak ada yang gadungan, sebab para kaum penyair, ketika ingin menjadi penyair itu adalah pilihan nurani. Kegiatan menyair dianggap sebagai sebuah tuntutan dari bakatnya. Jadi anda tidak berhak untuk melarang bagi siapapun memilki keinginan untuk menjadi penyair.
“Karya yang baik adalah karya yang mampu berkomunikasi dengan penikmat, tentunya melalui intuisi dan sintetik yang di banguun sang penyair” (baca: Penyair dan Problematikanya, Anshor Tambunan, 8/5/91: Waspada). Dari ungkapan Anshor Tambunan itu, dapat kita gali maknanya, seorang penyair harus dapat memberikan yang terbaik kepada pembacanya. Saya rasa tidak ada seorang penyair pun yang membuat puisinya asal jadi. Kepada Tohans, semestinya tak perlu ada kecurigaan yang terlalu berlebihan kepada para penyair kampus yang katanya tidak mempunyai keberanian, kejujuran, dan seember kecurigaan lainnya. Seharusnya Tohans melihat dengan jeli, bukan dengan kaca mata yang rusak sehingga dia temui yang sebenarnya. Penyair-penyair yang telah ternama kini, awalnya berangkat dari penyair kampus. Saya juga berawal dari kampus, anda juga tentunya kan? Juga belajar di kampus?
Penyair sebagai mahasiswa tidak pernah merasa dirinya dipecundangi oleh rasa kemahasiswaannya. Tidak pula ingin di sebut hebat, tetapi penyair yang berada di kampus juga memiliki rasa yang sama dengan penyair di luar kampus. Ia hadir karena bakat, lalu mencintai sastra dengan sungguh-sungguh, mereka ingin bernafas dengan puisi, salahkah mereka?
Begitulah, siapapun di atas bumi Tuhan ini berhak menyandang nama penyair apabila dia mampu. Ini catatanku yang terakhir buatmu Tohans; janganlah sekali-kali mematahkan kaki anak-anakmu yang sedang belajar berjalan dan berlari. Sudah selayaknya kita yang menunjukkan kebenaran cara berlatih berjalan dan berlari karena kita sudah memiliki pengalaman empirik untuk itu. Atau Tohans takut kepada anak-anak yang sedang belajar berjalan dan berlari? Takut jangan-jangan Tohans akan dikalahkan oleh mereka, tak perlu takut karena cara berjalan dan berlari kita berbeda, tidak ada yang sama. Kenapa mesti takut. Mari kita tuntun mereka berjalan dulu, lalu kita bawa berlari. Toh akhirnya kesusasteraan kita yang berkembang, benarkan? (Tulisan ini telah pernah dimuat di Harian Waspada, 13 Mei 1991).
3). SEKILAS SASTRA DI RADIO AMATIR BANDA ACEH
Oleh: Sulaiman Juned
SEBUAH karya sastra walau ditempel di gedung-gedung, di tembok, di gubuk reot sekali pun masih tetap kita sebut sebagai karya sastra. Begitu pula dengan karya sastra yang dipublikasikan di radio-radio amatir di Banda Aceh. Karya yang dipuublikasikan di radio, di koran atau majalah yang membedakannya hanya kualitas dari karya itu, bukan tempat publikasinya yang menentukan kualitas karya.
Lintasan perkembangan yang berkumandang di radio-radio, selama beberapa tahun belakangan ini boleh dikatan masih tepat bertahan. Walau tidak semarak pada kisaran 1980-1989, tapi masih tetap membuat para pecinta sastra cukup senang dengan adanya ruang pembacaan puisi. Hal ini dapat membawa dampak positif bagi penyair-penyair pemula. Selain menjadikan radio amatir sebagai guru, juga tempat memacu kreativitas. Mereka dapat belajar banyak dari ulasan-ulasan yang disampaikan oleh pengasuh ruang sastra budaya.
Sebagai contoh, radio Roland Nuansa. Mereka mengudarakan acara sastra budaya pada setiap malam selasa dari pukul 22.00 WIB sampai dengan 24.00 WIB, memang radio amatir yang menyuarakan acara sastra dan budaya di Banda Aceh, sampai saat ini masih dapat dihitung dengan jari, seperti: Roland Nuansa, Kharisma 70, yang di asuh Cerpenis Nani HS mengudara setiap malam sabtu. Radio Baiturrahman yang berkoar-koar setiap malam Kamis, Duta Kencana yang mengisi lintasan buadaya dengan syair-syair Aceh, asuhan Bung Yan.
Memang ada yang sangat disayangkan. Dua tahun lalu, radio Flamboyan FM juga sempat mengudarakan acara sastra budaya tapi sekarang mandek. Entah apa sebabnya, selain itu acara sastra budaya disiarkan juga di radio Cindelaras, Nikoya, Bandar Jaya, bahkan UKM- radio kampus Universitas Syiah Kuala yang sastra dan budayanya digawangi oleh Sulaiman Juned.
Sementara beberapa radio amatir lain, bahkan tidak memperdulikan sama sekali tentang ruang lintasan budaya, sungguh disayangkan, seharusnya ini tidak terjadi di negeri yang memiliki kebudayaan tinggi. Aoalagi memasuki tahun 1992n ini, Gubernur Ibrahim Hasan ketika Coffe Morning dengan dengan para wartawan di Banda Aceh mengatakan, tahun monyet ini sebagai “tahun budaya” itu merupakan angin segar yang dihembuskan Gubernur Aceh kepada seniman Aceh. Atas dasar itu, kita berharap kepada radio amatir di seluruh Aceh hendaknya berkenan membuka ruang sastra budaya. Juga kepada Gubernur kita meminta agar memperhatikan nasib para seniman Aceh sekaligus mengeluarkan peraturan daerah agar seluruh radio amatir di Aceh wajib membuka ruang sastra dan budaya, sehingga tahun budaya yang digaungkan Pemerintah Daerah Aceh benar-benar terlaksana, beuek lageue su’um-su’um ek manok ciret. Semoga! (Tulisan ini dimuat diharian Serambi Indonesia, tanggal-bulan dan tahun tidak saya ketahui lagi, ini tulisan saya pungut dari puing-puing kebakaran rumah saya di Pincuran Tinggi, 18-1-2008. Banyak kliping tulisan saya di koran sudah tidak berbentuk lagi)
4). SENIMAN ACEH HARI INI DAN ESOK
Oleh: Sulaiman Juned
SENIMAN adalah manusia yang memiliki mata setajam mata elang. Wawasan berpikirnya luas tentang dunia kesenimanan. Seniman Aceh kini mempunyai prosfek yang cerah, betapa tidak! Baru-baru ini, ketika Coffe Morning dengan beberapa wartawan Banda Aceh, Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim hasan, MBA telah mencanangkan tahun monyet (1992) ini sebagai tahun budaya. Kini angin segar telah ditiupkan oleh orang nomor satu di Aceh, tinggal bagaimana cara seniman menyikapinya. Apakah mampu mempergunakan kesempatan tersebut. Wallahualam!
Menurut pantauan penulis selama ini, seniman Aceh mulai berbenah diri seperti baru-baru ini, diadakan pagelaran sastra dan seminar sastra yang dimotori oleh Lembaga Penulis Aceh (LEMPA). Jika mau bicara jujur, hal-hal seperti inilah yang diharapkan kehadirannya, apalagi di tanah rencong yang sejak dulu kala masyarakat Aceh sangat mengagungkan seni. Lebih-lebih rekan-rekan penyair muda atau penyair kampus sangat berharap kegiatan-kegiatan seperti ini dapat terus berlangsung.
Begitu juga dengan acara sastra di Pustaka Prof. A.Hasjmy. ada baca puisi, cerpen dan novel. Ada juga bedah karya sastra dan seminar. Hal-hal seperti ini yang harus diperbanyak untuk mengisi ruang intelektual bagi seniman-seniman Aceh. Pekerja sastra harus mengisi ruang pikir untuk menambah wawasannya. Mulai sekarang marilah kita galakkan dan budayakan ‘membaca dan diskusi’ di Aceh agar lahir pemikir-pemikir seperti masa kerajaan Aceh dahulu, semisal; Hamzah Fansury, Teungku Syik Pante Kulu, Nurruddin Ar-Raniry, Syeh Abdul Rauf dan Nurruddin As-Sumaterany dan banyak lagi yang lainnya.
Mulai sekarang hilangkan perseteruan pribadi antar seniman Aceh, tumbuhkan ruang-ruang diskusi untuk melahirkan konsepsi ideal berpikir kritis. Semoga Aceh mampu melahirkan kembali sastrawan-sastrawan besar. Semoga! (tulisan esai ini dimuat di SKM.Peristiwa, tempat saya mengasuh ruang sastra budaya namun tanggal-bulan dan tahunnya tidak diketahui lagi).
5). KINI GILIRAN PENYAIR SULAIMAN JUNED DIADILI
Oleh: Nani Hs
Pengadilan Penyair. Setelah M.Nurgani Asyik selesai “dipengadilankan” sekaligus puisi-puisinya di Laboratorium Seni FKIP Unsyiah. Kini (12/12) giliran penyair Sulaiman Juned masuk ke ruang pengadilan penyair ala Aceh.
Pada dasarnya, pengadilan penyair merupakan pertanggungjawaban konsep puitika puisi di hadapan para penyair lain dan partisipannya. Puisi-puisi tersebut, setelah di baca oleh penyairnya akan pula didiskusikan. Seperti kata penyair M.Nurgani Asyik, forum itu juga sebagai pembelajaran bagi penyair yang bersangkutan atau pun bagi penyair lainnya.
Dari kegiatan ini sebut Sulaiman Juned, diharapkan para penyair dapat memandang sejujur-jujurnya karya-karya penyair yang bersangkutan. Menurut rencana kegiatan ‘mengadili’ ini akan dilaksanakan pada tanggal 7 Januari 1996 di Laboratorium Unsyiah Jalan Inong Balee (Diploma 3 Kesenian) Darussalam Banda Aceh.
Menurut rencana Penyair Sulaiman Juned akan membacakan sejumlah puisinya yang dibuat antara tahun 1993-1995. Sehubungan dengan itu, berita ini juga merupakan undangan resmi kepada penyair dan penikmat Kesusteraan di Daerah Istimewa Aceh.Penyair M.Nurgani Asyik dan Sulaiman Juned merupakan pelopor untuk kegiatan pengadilan penyair di Aceh (ni)
[tulisan ini dimuat di rubrik kantin, harian serambi indonesia, sabtu 30 Desember 1995]
.
6). ADA APA DENGAN PENYAIR MUDA ACEH
Oleh: Sulaiman Juned
KREATIVITAS, itulah yang selalu diinginkan oleh para makhluk yang menamakan dirinya penyair. Tetapi cukupkah dengan kreativitas saja? Tentu tidak, untuk dapat dikatakan karyanya berbobot harus ditunjang oleh faktor pengalaman, dan wawasan sebagai bahan pertimbangan dalam proses penciptaan. Kita boleh bangga dengan hadirnya beberapa nama seperti; Nurdin F.Joes, NT. Fikar W.Eda, Wiratmadinata, dan lain-lain. Tetapi sunggung disayangkan penyair itu hilang setelah memperoleh pekerjaan tetap. Bahkan ada yang tidak pernah menerbitkan karyanya lagi, hanya Nurdin F.Joes kini masih aktif dan produktif dalam menghasilkan karya. Terbukri dengan kumpulan puisinya “sengketa” yang diterbitkan tahun lalu, terlepas dengan tuduhan atas Nurdin puisi-puisi tidak berkembang, dan sengketa itu sendiri adalah sengketanya Nurdin, bukan sengketa para penikmat sastra. Seperti apa yang diungkapkan Hasyim Ks dalam Serambi Indonesia.
Di Aceh, para penikmat selalu dilanda problema “takut” , takut jika suatu ketika Adnan PMTOH atau To’et telah tiada, siapakah pengganti penjaga gawang terakhir kesenian tradisional kita, sementara kita tidak pernah mau membina generasi muda dapat mewarisi apa yang mereka miliki. Kita juga takut bila Hasbi Burman, Hasyim KS, Nurdin F.Joes, Maskirbi dan lain-lain, tidak produktif lagi, siapakah pengganti mereka?
Kita hanya bisa berkata “tidak ada” tapi di Jakarta maupun di tempat lainnya, mereka tidak takut kehilangan W.S. Renda, Sutardji, Taufik Ismail, dan juga sastrawan lainnya karena mereka memiliki seribu renda muda, tarji muda, taufik muda untuk menggantikan posisi mereka. Ini semua berkat kemauan membimbing dan membina para penyair-penyair muda.
Mari kita membuka mata, mengingat ke belakang. Tiongkok pada zaman Dinasty Tang (618-906) mereka mengawinkan lukisan dengan puisi, syair dibuat oleh penyair (sastrawan), lalu pelukis yang menuliskannya di bidang gambar.
Wang Wei, sastrawan yang juga pelukis itu mencoba melukis, ternyata lukisannya dahsyat, hingga banyak yang mengatakan karya Wang Wei ialah sastra yang dilukiskan. Rintisan Wang Wei ini lalu menyebar ke segala zaman, karena ia membina terus para generasinya sehingga sampai pada sastrawan yang juga pelukis Su Shi (1036-1101), Su Shi mengatakan dalam kata mutiara yang sangat berharga: “lukisan adalah syair yang digambarkan, dan syair adalah lukisan perkataan”. Nah, sekarang kalau kita mau melihat lukisan Cina, biasanya ada tulisan “Kanji” di sana, umumnya itulah syair dalam lukisan. Betapa hebatnya mereka, mempertahankan kesenian tradisional yang ditinggalakan para leluhurnya, dan setiap saat mereka dapat melahirkan beribu Wang Wei maupun Su Shi muda.
Kembali kepada kita, dimana para penyair muda dikalahkan oleh faktor kesempatan, akhirnya mengendorkan semangat mereka untuk berkarya. Banyak penyair-penyair muda kita setelah muncul, lalu menghilang tak tentu rimbanya, mereka seperti: C Harun Al-Rasyid, Burce Rialy, Pinta J.Sidiq, Anhar sabar, Ade Ibrahin Dy Kampi, Nurarly, Zab Bransah, dan banyak lagi yang lainnya. Bila sudah begini siapakah yang harus disalahkan, penyair yang tidak kreatif ataukah mereka tidak pernah di beri kesempatan untuk muncul, jawabannya ada pada hati nurani kita masing-masing.
Jadi faktor kesempatan yang menjadi problema, maka sampai kapanpun kesusasteraan di Aceh tak akan pernah maju, karena itu marilah mengoreksi diri kita masing-masing, siapa yang salah. Alangkah lebih baik antara senior dan yunior bahu membahu dalam membangun sastra dan budaya, sehingga sastra di Aceh akan bangkit kembali. Saya yakin beribu Hamzah Fansuri, Teungku Syik Pante Kulu muda ada di daerah kita. (tulisan ini dimuat di Harian Serambi Indonesia, Minggu, 24 Pebruari 1991. tulisan ini pula menghadirkan polemik panjang antara penyair muda dengan penyair senior (tua). Sayang saya tidak dapat menghadirkan kliping tulisan polemik dari penulis lain karena kliping saya terbakar)
Jumat, 23 Januari 2009
Teater Tutur Aceh: Adnan P.M.T.O.H
TEATER TUTUR ACEH:
Adnan P.M.T.O.H ‘troubador yang menulis di atas angin’
Oleh: Sulaiman Juned*)
Prolog
Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia) dua tahun yang lalu belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semaca bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan anak-anak, serta kostum. Proferti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set dan alinasi. Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat merubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton.
Teungku Adnan bermain sendiri, namun mampu menghadirkan beratus-ratus tokoh, dengan ekspresi dan karakter vokal yang berubah-ubah. Inilah kelebihan yang dimiliki Teungku Adnan-ia bermain sendiri di atas pentas, tetapi penonton laksana menyaksikan ratusan aktor sedang berada di pentas. Hal ini yang membuat Teungku Adnan dijuluki “Traubadoe dunia” oleh Prof. Dr. Jhon Smith seorang peneliti dari Amerika Serikat.
Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat penduk
ungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Lalu dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba , Blang Pidie-Aceh Seletan)., dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya tirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti rame, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H” Tutur Teungku Adnan. ( Wawancara dengan Teungku H. Adnan, 14 April 1999, di Blang Pidie-Aceh Selatan)
Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H.
Hikayat Sebagai Teks dalam Teater Tutur Aceh
Andai membicarakan teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutaradara menuju realita teater (pertunjukan).
Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’. Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sanjak (puisi). (Budiman Sulaiman, 1983:78).
Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat . Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya, “adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheu.t Dua Ploh. Tentang adat istiadat; Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, 1988: 38).
Teungku Adnan P.M.T.O.H Sang Traubador
Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan ysng menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau Dangderia . Ia sanggup menghafal 9 buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 malam berturut-turut. Tuhan memang maha kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama ditempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Proferti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee, lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.
Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke Sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi” (Wawancara, Teungku Adnan P.M.T.O.H, 20 januari 1989).
Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Benar Teungku Adnan, bukan hanya Aceh yang kehilangan “Traubadur Dunia” Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian diseluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang “traubadur dunia” yakni Teungku Adnan, tapi sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Wah, payah ini. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang “traubadur” lagi. Kalau Pemerintah Aceh berkenan dan menerima masukan Teungku Adnan waktu itu, mungkin sekarang ini Aceh sudah memiliki pengganti Teungku Adnan. Kita sudah kehilangan, untuk itu sekarang saya mengusulkan kepada Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam agar berkenan mendirikan Lembaga pendidikan Tinggi Seni, terserah apakah bernama Akademi Seni Aceh atau Sekolah Tinggi Seni, bahkan Institut Seni Aceh. Semuanya sangat memungkinkan untuk kita lakukan agar kesenian-kesenian Aceh yang bermuara dari seni islami tidak akan hilang. Jika ada lembaga pendidikan tinggi seni, yakinlah kesenian Aceh akan terdokumentasikan dengan baik karena Pendidikan Tinggi Seni dapat menjadi laboratorium pembelajaran seni Aceh. Mari kita berpikir keras untuk mendirikan itu, jika kita bersama pasti bisa. ‘satu untuk semu, semua untuk satu’ tak ada yang tak dapat kita lakukan kalau dilakukan secara bersama-sama. Atau tidak usah kita pikirkan sekaligus kita biarkan saja satu persatukan Maestro-maestro seni Aceh hilang dijemput sang Maha Kuasa. Lalu etnis Aceh melupakan kesenian-kesenian yang luar biasa itu . kesenian yang mampu menjadi transformasi moral bagi masyarakat Aceh. Mari kita renungkan bersama. Salam Meuchen.
@ Rumah Kontrakan, Paadangpanjang Sumatera barat
*) Penulis Penyair, Dramawan, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatrera Barat, juga Dosen jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.
Adnan P.M.T.O.H ‘troubador yang menulis di atas angin’
Oleh: Sulaiman Juned*)
Prolog
Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan P.M.T.O.H berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia) dua tahun yang lalu belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semaca bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapa’i, pedang, suling (flute), bansi (block flute) dan mempergunakan proferti mainan anak-anak, serta kostum. Proferti dan alat musik serta kostum memperkaya tekhnik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set dan alinasi. Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat merubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton.
Teungku Adnan bermain sendiri, namun mampu menghadirkan beratus-ratus tokoh, dengan ekspresi dan karakter vokal yang berubah-ubah. Inilah kelebihan yang dimiliki Teungku Adnan-ia bermain sendiri di atas pentas, tetapi penonton laksana menyaksikan ratusan aktor sedang berada di pentas. Hal ini yang membuat Teungku Adnan dijuluki “Traubadoe dunia” oleh Prof. Dr. Jhon Smith seorang peneliti dari Amerika Serikat.
Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat penduk
ungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan P.M.T.O.H oleh Teungku Adnan. “Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering menaiki bus P.M.T.O.H ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Lalu dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba , Blang Pidie-Aceh Seletan)., dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya tirukan bunyi klakson bus P.M.T.O.H, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti rame, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan P.M.T.O.H. setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah P.M.T.O.H” Tutur Teungku Adnan. ( Wawancara dengan Teungku H. Adnan, 14 April 1999, di Blang Pidie-Aceh Selatan)
Ternyata nama teater tutur P.M.T.O.H itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970-an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan P.M.T.O.H.
Hikayat Sebagai Teks dalam Teater Tutur Aceh
Andai membicarakan teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh ‘hikayat’ yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutaradara menuju realita teater (pertunjukan).
Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu ‘kisah’. Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sanjak (puisi). (Budiman Sulaiman, 1983:78).
Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat . Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya, “adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheu.t Dua Ploh. Tentang adat istiadat; Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa” (Muhammad Nur, 1988: 38).
Teungku Adnan P.M.T.O.H Sang Traubador
Adnan P.M.T.O.H melakukan pengembangan ysng menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau Dangderia . Ia sanggup menghafal 9 buah hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan P.M.T.O.H satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 malam berturut-turut. Tuhan memang maha kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang sama ditempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa.
Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Proferti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee, lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur P.M.T.O.H, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri.
Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentifikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkifli, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun.
Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur P.M.T.O.H adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman ‘Traubador Dunia’ meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; “Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor P.M.T.O.H, setelah itu kita sebarkan ke Sekolah dasar. Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan P.M.T.O.H, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan P.M.T.O.H. kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi” (Wawancara, Teungku Adnan P.M.T.O.H, 20 januari 1989).
Sekarang Teungku Adnan P.M.T.O.H telah meninggalkan kita tanpa mewariskan P.M.T.O.H kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Benar Teungku Adnan, bukan hanya Aceh yang kehilangan “Traubadur Dunia” Seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian diseluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang “traubadur dunia” yakni Teungku Adnan, tapi sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Wah, payah ini. Sekarang sang “traubadur” benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang “traubadur” lagi. Kalau Pemerintah Aceh berkenan dan menerima masukan Teungku Adnan waktu itu, mungkin sekarang ini Aceh sudah memiliki pengganti Teungku Adnan. Kita sudah kehilangan, untuk itu sekarang saya mengusulkan kepada Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam agar berkenan mendirikan Lembaga pendidikan Tinggi Seni, terserah apakah bernama Akademi Seni Aceh atau Sekolah Tinggi Seni, bahkan Institut Seni Aceh. Semuanya sangat memungkinkan untuk kita lakukan agar kesenian-kesenian Aceh yang bermuara dari seni islami tidak akan hilang. Jika ada lembaga pendidikan tinggi seni, yakinlah kesenian Aceh akan terdokumentasikan dengan baik karena Pendidikan Tinggi Seni dapat menjadi laboratorium pembelajaran seni Aceh. Mari kita berpikir keras untuk mendirikan itu, jika kita bersama pasti bisa. ‘satu untuk semu, semua untuk satu’ tak ada yang tak dapat kita lakukan kalau dilakukan secara bersama-sama. Atau tidak usah kita pikirkan sekaligus kita biarkan saja satu persatukan Maestro-maestro seni Aceh hilang dijemput sang Maha Kuasa. Lalu etnis Aceh melupakan kesenian-kesenian yang luar biasa itu . kesenian yang mampu menjadi transformasi moral bagi masyarakat Aceh. Mari kita renungkan bersama. Salam Meuchen.
@ Rumah Kontrakan, Paadangpanjang Sumatera barat
*) Penulis Penyair, Dramawan, Sutradara dan Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatrera Barat, juga Dosen jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang-Sumatera Barat.
Milleniart: Keragaman Budaya
MILLENIART: KERAGAMAN BUDAYA MENGALIR
DARI TAMAN SARI TIRTAGANGGA, BALI
Oleh: Sulaiman Juned
Di Tirtagangga, seniman mencoba menciptakan ruang
Pertukaran pengalaman dan gagasan untuk pencarian, memandang
Wacana kebudayaan baru.
Prolog
Festival dan temu ilmiah Masyarkat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) yang mengacu pada nilai-nilai seni dan keragaman budaya pertunjukan Indonesaia diselenggarakan di suatu tempat suci orang Bali yang di sebut Taman Air Tirtagangga yang membelah kawasan timur Bali. Tirtagangga mempunyai arti secara leksikal yaitu “air (sungai suci) Gangga”, Anak Agung Ang Lurah Ketut Karangasem yang merupakan raja Karangasem terakhir (sekitar tahun 1948) sebagai arsitek taman itu, terilhami oleh tempat suci umat Hindu semacam sungai Gangga di India. Bangunan ini bergaya arsitektur Bali, China dan Erofa.
Sungai suci itu, mempunyai tiga kawasan (kompleks), bagian yang pertama yag terendah ada kolam dan sebuah menara air bersusun sembilan menjadi land mark taman ini. sementara bagian tengah terdapat kolam wanita. Bagian atas terdapat pura air yang berdiri megah sebagai tempat peristirahatan keluarga. Hal yang membuat kita berdecak kagum, bila sepasang mata tertuju ke sudut-sudut taman menyaksikan proferti patung-patung hewan mitologis seperti; lembu, naga, singa, garuda dalam bentuk raksasa yang mengeluarkan air tak henti dari mulutnya. Menara air yang bersusunsembilan tersebut menambah keunikannya dengan mengalirkan air semakin jauh tanpa di bantu alat generator.
Pola perkampungan (desa) dan arsitekturnya mengingatkan kita pada abad XVI, desa tua dengan kelompok-kelompok bangunan rumah lewat tataan lingkungan mengikuti aturan adat. Itulah yang kita temui di Tirtagangga desa Ababi, Kecamatan Abang Karangasem, Bali. Disitulah diadakakan ‘perayaan asal, penghargaan pada keragaman budaya’ yang dimotori oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dari tanggal 9 s/d 14 September 1999. Di Tirtagangga seniman mencoba mencipatakan ‘ruang’ pertukaran pengalaman dan gagasan untuk pencarian atau memandang wacana kebudayaan baru.
Pluralitas Budaya Berorientasi Relasi Budaya
Penegasan hidup dalam pluralitas budaya berorientasi pada nilai, sikap, dan tingkah laku. Berbagai bentuk ekspresi budaya dalam menghadapi millenium ketiga, sebagai seniman harus mempersoalkan masalah eksistensi dan segala pendukungnya di tengah keberagaman budaya. ‘perbenturan’ budaya dalam ruang dan waktu seakan menjadi pertukaran dan saling mengisi ke dalam budaya masing-masing etnis yang terlibat pada event itu, sehingga tidak terjadi perasaan etnosentris yang menagung-agungkan nilai budaya satu etnis saja. Kesadaran akan pluralitas budaya dianggap mampu menciptakan pemikiran keberadaan masa depan seni pertunjukan Indonesia, dan selain itu dapat pula mendorong para pemikir seni, memikirkan pengkajian lintas budaya (cross culture) dengan studi multi disiplin ilmu yang akhirnya melahirkan para etnomusikolog, etnolog tari, dramatug teater, kritikus seni pertunjukan dan lain sebagainya.
Indonesia dikenal dengan kekayaan ragam budaya, karena itu pula dalam relasi antar budaya hendaknya harus menghindarkan diri dari pemutlakan orientasi lokal yang mengutamakan warna suatu kebudayaan tanpa menghargai eksistensi tradisi seni etnis lain. Tradisi seni suatu etnis yang sangat kecil sekalipun tak boleh dilecehkan oleh suatu kebudayaan yang lebih besar. Itulah yang harus didasariuntuk dihindarkan sebagai cerminan demokrasi dalam kebudayaan manusia, hal ini harus diperjuangkan untuk kebersamaan oleh para pemerhati, ahli dan praktisi seni yang hidup dialam pluralistik.
Kajian dan Temu Ilmiah
Pertemuan yang menyikapi secara bijak masa transisi yang krusial untuk menuju era Indonesia baru. Melalui kesadaran ruang dan waktu antara komunitas kesenian dalam mencari kemungknan baru persentuhan budaya. Disamping itu, kajian tentang teater yang lebih tepatnya tentang ekologi teater Indonesia, tentu mengarah kepada pergolakan teks pertunjukan untuk membuat apresiasi dalam era kehidupan berkesenian (teater) dalam konteks saling membutuhkan.
Menyaksikan pertunjukan dan memahami sesuatu yang ditawarkan agar teater tidak lagi mengikat pada konvensi pertunjukan teater modern (Barat), tetapi dapat dilihat dan dinikmati pertunjukan yang kembali ke zaman Yunani Kuno, kecenderungan teater diaktualisasikan dengan isu-isu kekinian. Tentu kita akan berharap bahwa, kajian teater Indonesia benar-benar dapat menjadi teater Indonesia bukan meng-Indonesiakan teater Barat. Berangkat dari pemahaman itulah, teater Indonesia perlu berakar ke teater tradisi (Rakyat) yang bukan dalam arti mentransformasikan langsung ke dalam jiwa teater modern Indonesia. Inilah fenomena kesenian yang dianggap dapat memperluas kemungkinan baru dalam sebuah pengungkapan seni yang berada dalam frame global dan lokal. Hidup dalam pluralitas budaya menambah wawasan dan orientasi nilai, sikap, tingkah laku secara terus-menerus harus saling menghargai dan menghormati warna kebudayaan lain dengan tidak mengutamakan warna kebudayaan tertentu kepada orang lain.
@ TIRTAGANGGA-BALI, 1999
DARI TAMAN SARI TIRTAGANGGA, BALI
Oleh: Sulaiman Juned
Di Tirtagangga, seniman mencoba menciptakan ruang
Pertukaran pengalaman dan gagasan untuk pencarian, memandang
Wacana kebudayaan baru.
Prolog
Festival dan temu ilmiah Masyarkat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) yang mengacu pada nilai-nilai seni dan keragaman budaya pertunjukan Indonesaia diselenggarakan di suatu tempat suci orang Bali yang di sebut Taman Air Tirtagangga yang membelah kawasan timur Bali. Tirtagangga mempunyai arti secara leksikal yaitu “air (sungai suci) Gangga”, Anak Agung Ang Lurah Ketut Karangasem yang merupakan raja Karangasem terakhir (sekitar tahun 1948) sebagai arsitek taman itu, terilhami oleh tempat suci umat Hindu semacam sungai Gangga di India. Bangunan ini bergaya arsitektur Bali, China dan Erofa.
Sungai suci itu, mempunyai tiga kawasan (kompleks), bagian yang pertama yag terendah ada kolam dan sebuah menara air bersusun sembilan menjadi land mark taman ini. sementara bagian tengah terdapat kolam wanita. Bagian atas terdapat pura air yang berdiri megah sebagai tempat peristirahatan keluarga. Hal yang membuat kita berdecak kagum, bila sepasang mata tertuju ke sudut-sudut taman menyaksikan proferti patung-patung hewan mitologis seperti; lembu, naga, singa, garuda dalam bentuk raksasa yang mengeluarkan air tak henti dari mulutnya. Menara air yang bersusunsembilan tersebut menambah keunikannya dengan mengalirkan air semakin jauh tanpa di bantu alat generator.
Pola perkampungan (desa) dan arsitekturnya mengingatkan kita pada abad XVI, desa tua dengan kelompok-kelompok bangunan rumah lewat tataan lingkungan mengikuti aturan adat. Itulah yang kita temui di Tirtagangga desa Ababi, Kecamatan Abang Karangasem, Bali. Disitulah diadakakan ‘perayaan asal, penghargaan pada keragaman budaya’ yang dimotori oleh Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) dari tanggal 9 s/d 14 September 1999. Di Tirtagangga seniman mencoba mencipatakan ‘ruang’ pertukaran pengalaman dan gagasan untuk pencarian atau memandang wacana kebudayaan baru.
Pluralitas Budaya Berorientasi Relasi Budaya
Penegasan hidup dalam pluralitas budaya berorientasi pada nilai, sikap, dan tingkah laku. Berbagai bentuk ekspresi budaya dalam menghadapi millenium ketiga, sebagai seniman harus mempersoalkan masalah eksistensi dan segala pendukungnya di tengah keberagaman budaya. ‘perbenturan’ budaya dalam ruang dan waktu seakan menjadi pertukaran dan saling mengisi ke dalam budaya masing-masing etnis yang terlibat pada event itu, sehingga tidak terjadi perasaan etnosentris yang menagung-agungkan nilai budaya satu etnis saja. Kesadaran akan pluralitas budaya dianggap mampu menciptakan pemikiran keberadaan masa depan seni pertunjukan Indonesia, dan selain itu dapat pula mendorong para pemikir seni, memikirkan pengkajian lintas budaya (cross culture) dengan studi multi disiplin ilmu yang akhirnya melahirkan para etnomusikolog, etnolog tari, dramatug teater, kritikus seni pertunjukan dan lain sebagainya.
Indonesia dikenal dengan kekayaan ragam budaya, karena itu pula dalam relasi antar budaya hendaknya harus menghindarkan diri dari pemutlakan orientasi lokal yang mengutamakan warna suatu kebudayaan tanpa menghargai eksistensi tradisi seni etnis lain. Tradisi seni suatu etnis yang sangat kecil sekalipun tak boleh dilecehkan oleh suatu kebudayaan yang lebih besar. Itulah yang harus didasariuntuk dihindarkan sebagai cerminan demokrasi dalam kebudayaan manusia, hal ini harus diperjuangkan untuk kebersamaan oleh para pemerhati, ahli dan praktisi seni yang hidup dialam pluralistik.
Kajian dan Temu Ilmiah
Pertemuan yang menyikapi secara bijak masa transisi yang krusial untuk menuju era Indonesia baru. Melalui kesadaran ruang dan waktu antara komunitas kesenian dalam mencari kemungknan baru persentuhan budaya. Disamping itu, kajian tentang teater yang lebih tepatnya tentang ekologi teater Indonesia, tentu mengarah kepada pergolakan teks pertunjukan untuk membuat apresiasi dalam era kehidupan berkesenian (teater) dalam konteks saling membutuhkan.
Menyaksikan pertunjukan dan memahami sesuatu yang ditawarkan agar teater tidak lagi mengikat pada konvensi pertunjukan teater modern (Barat), tetapi dapat dilihat dan dinikmati pertunjukan yang kembali ke zaman Yunani Kuno, kecenderungan teater diaktualisasikan dengan isu-isu kekinian. Tentu kita akan berharap bahwa, kajian teater Indonesia benar-benar dapat menjadi teater Indonesia bukan meng-Indonesiakan teater Barat. Berangkat dari pemahaman itulah, teater Indonesia perlu berakar ke teater tradisi (Rakyat) yang bukan dalam arti mentransformasikan langsung ke dalam jiwa teater modern Indonesia. Inilah fenomena kesenian yang dianggap dapat memperluas kemungkinan baru dalam sebuah pengungkapan seni yang berada dalam frame global dan lokal. Hidup dalam pluralitas budaya menambah wawasan dan orientasi nilai, sikap, tingkah laku secara terus-menerus harus saling menghargai dan menghormati warna kebudayaan lain dengan tidak mengutamakan warna kebudayaan tertentu kepada orang lain.
@ TIRTAGANGGA-BALI, 1999
11 TAHUN KOMUNITAS SENI KUFLET
BINCANGKAN MELAYU YANG IDEAL
(Padang Ekspres, 11 Mei 2008).
Memperingati ulang tahun ke 11, komunitas seni Kuflet Padangpanjang menggelar seminar sehari, acara akan diadakan hari Minggu, 11 Mei 2008.
Ketua Panitiai , Syarief Hayatullah yang didampingi Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn sebagai pimpinan Komunitas Seni Kuflet mengatakan, “seminar ini diangkat untuk mencari solusi terpisahnya estetika seni dari masyarakat. Ini membuat generasi muda lebih melirik kebudayaan asing” ujar staf pengajar STSI Padangpanjang ini.
Tema y ng diangkat kali ini adalah “Konsepsi ideal sastra dan Budaya Melayu Nusantara”. Meski kata “ideal” amat sulit diwujudkan, namun Soel menegaskan namun itu bukanlah hal mustahil.
Dalam pers release, panitia akan menghadirkan Walikota Padangpanjang, Dr. H. Suirsyam dalam pembukaan. Selain itu ada dua sesi seminar, worshop dan diskusi seni, penampilan seni dan bedah buku mewarnai acara seminar yang berlangsung mulai pukul 09.00-24.00 WIB.
Prof. Dr. mahdi Bahar tampil dalam sesi pertama dengan su -tema “Sastra Melayu menghadapi Globalisasi”. Sementara Sub-Tema “Aspek Melayu dalam drama Minangkabau” menjadi bahasan Drs. Zulfardi Darussalam, M.Pd. Buku Catatan Perang Karya Wiko Antoni, S.Sn akan dikupas habis oleh Asril Mukhtar, S.Kar., M.Hum dan Sulaiman Juned. Tengah malam nanti akan ada birth ceremony.
Sasaran kegiatan ini ditujukan siswa, tenaga pengajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Pembaca yang berminat langsung saja mendaftar ke lokasi acara di Gedung Auditorium STSI Padangpanjang. Setiap peserta dikenakan biaya acara yang berbeda. Untuk guru dan tenaga pengajar Rp. 20.000,- mahasiswa Rp. 15.000,- dan pelajar cukup dengan membayar Rp. 10.000,- biaya ini ditujukan untuk perlengkapan seminar dan konsumsi.
BINCANGKAN MELAYU YANG IDEAL
(Padang Ekspres, 11 Mei 2008).
Memperingati ulang tahun ke 11, komunitas seni Kuflet Padangpanjang menggelar seminar sehari, acara akan diadakan hari Minggu, 11 Mei 2008.
Ketua Panitiai , Syarief Hayatullah yang didampingi Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn sebagai pimpinan Komunitas Seni Kuflet mengatakan, “seminar ini diangkat untuk mencari solusi terpisahnya estetika seni dari masyarakat. Ini membuat generasi muda lebih melirik kebudayaan asing” ujar staf pengajar STSI Padangpanjang ini.
Tema y ng diangkat kali ini adalah “Konsepsi ideal sastra dan Budaya Melayu Nusantara”. Meski kata “ideal” amat sulit diwujudkan, namun Soel menegaskan namun itu bukanlah hal mustahil.
Dalam pers release, panitia akan menghadirkan Walikota Padangpanjang, Dr. H. Suirsyam dalam pembukaan. Selain itu ada dua sesi seminar, worshop dan diskusi seni, penampilan seni dan bedah buku mewarnai acara seminar yang berlangsung mulai pukul 09.00-24.00 WIB.
Prof. Dr. mahdi Bahar tampil dalam sesi pertama dengan su -tema “Sastra Melayu menghadapi Globalisasi”. Sementara Sub-Tema “Aspek Melayu dalam drama Minangkabau” menjadi bahasan Drs. Zulfardi Darussalam, M.Pd. Buku Catatan Perang Karya Wiko Antoni, S.Sn akan dikupas habis oleh Asril Mukhtar, S.Kar., M.Hum dan Sulaiman Juned. Tengah malam nanti akan ada birth ceremony.
Sasaran kegiatan ini ditujukan siswa, tenaga pengajar, mahasiswa dan masyarakat umum. Pembaca yang berminat langsung saja mendaftar ke lokasi acara di Gedung Auditorium STSI Padangpanjang. Setiap peserta dikenakan biaya acara yang berbeda. Untuk guru dan tenaga pengajar Rp. 20.000,- mahasiswa Rp. 15.000,- dan pelajar cukup dengan membayar Rp. 10.000,- biaya ini ditujukan untuk perlengkapan seminar dan konsumsi.
Sandiwara Gelanggang Labu
KONFLIK DI ACEH:
SANDIWARA KELILING GELANGGANG LABU TERANCAM PUNAH
Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn
Pemain sandiwara keliling gelanggang labu
tidak pernah belajar dramaturgi, ilmu pemeranan, ilmu penyutradaraan
secara formal, mereka memperoleh keahlian secara non-formal
namun mampu mensugestif penonton.
Gelanggang Labu meruapakan sandiwara keliling tradisional Aceh. Sandiwara keliling sudah ada sejak tahun 1950-an. Sandiwara ini mulai tumbuh dari sebuah desa di Aceh Utara, tapatnya di Panton labu. Ketika teater ini mulai merakyat, dan diterima ditengah-tengah masyarakat lalu dijulukilah dengan istilah Gelanggang Labu. Awal tahun 70-an mulai menjamur grup-grup sandiwara di seluruh Aceh, diantaranya yang terkenal, seperti; Benteng Harapan, Jeumpa Aceh, Sinar Jeumpa, Sinar Desa, Sinar Harapan, Mutiara Jeumpa, Seulanga Dara, Cakradonya, dan Geunta Aceh.
Ciri-ciri pertunjukan Gelanggang Labu memiliki kesamaan yang kontras dengan ‘Komedi Stamboel’ yang dilakukan August Mahieu (1860-1906). Hal ini dapat dilihat dari reportoar yang dipilih, sama-sama mengangkat cerita 1001 malam dari hikayat-hikayat Aceh (haba), seperti; Buloeh Peurindu, bawang mirah ngoen bawang puteh, Ahmad Rhangmanyang, Putroe Ijoe, dan lain-lain. Ciri-ciri yang mendasar, sebelum permainan dimulai para aktornya memperkenalkan diri sekaligus dengan peran apa yang dia mainkan. Pembagian babak atau episode dilakukan sangat longgar dengan adanya selingan antar babak yang diisi dengan nyanyian (band), lawak, serta tari-tarian. Adegan-adengan gembira atau sedih dalam gelanggng labu memang dilakukan dengan dialog bukan dengan opera (nyanyian) seperti dalam komedi stamboel. Cerita-cerita yang akan dimainkan oleh pelakonnya hanya diceritakan secara garis besarnya saja kepada pemain (wos), dan lebih banyak pemain yang melakukan improvisasi. Sebagai aktor dipentas sandiwara keliling harus mampu menjadi penyanyi, pelawak dan penari sekaligus.
Sementara bentuk pemanggungannya, sandiwara keliling Gelanggang Labu sangat sederhana dengan konstruksi panggung berukuran 9X6 meter didirikan menggunakan drum kosong yang di atasnya diletakkan papan, seng sebagai atap, batang kayu sebagai penyangga, triplrk untuk dinding, kain yang dilukis sebagai dekorasi sesuai tuntutan cerita dan lampu reflektor kecil untuk penerang dan pengubah suasana. Lokasi pertunjukan biasanya dlakukan di tanah lapang, ditengah areal sawah setelah usai panen padi. Grup sandiwara ini hidup dan beranak-pinak di dalam panggung tersebut (berumah), mereka melakukan keliling ke seluruh Aceh, dan berdiam (melakukan pertunjukan) di suatu daerah minimal dua bulan setelah melakukan perjalanan dan menetap didaerah lain.
Umumnya pemain sandiwara keliling Gelanggang Labu tidak pernah memiliki atau mempelajari dramaturgi secara formal. Semuanya mengalir begitu saja dengan pengetahuan otodidak yang mereka miliki. Rata-rata latar belakang pendidikan mereka hanya sampai Sekolah Dasar. Maka tidak heran bila siang hari mereka bergaul dengan masyarakat dimana mereka melakukan pertunjukan, bahkan ada yang menjadi buruh kasar di tempat itu. Ibnu Arhas (Sekarang mantan Anggota DPRD Kabupaten Pidie), seorang aktor yang pernah melakukan pertunjukan di Takengon, waktu itu siang hari ia berperan sebagai buruh pemetik kopi dengan pakaian kumal. Namun pada malam hari dia tampil sebagai maha bintang di atas panggung, dipuja-puji oleh penonton, setiap dia muncul selalu saja mendapat aplous dari penonton. Keterbatasan ilmu tentang bermain drama bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap terus bertahan. Umar Abdi, Ahmad harun, Yusuf Syam, serta Idawati merupakan tokoh-tokoh teater keliling yang sadar betul atas kekurangan mereka, lalu melakukan pembaharuan agar masyarakat penonton tidak bosan. Mereka menciptakan tema-tema cerita baru yang digemari masyarakat, seperti tragedi rumah tangga, pengkhianatan, kemunafikan, masalah ambisiusnya manusia. Ide atau gagasan untuk memperolehnya bagi mereka (sutradara) teater keliling tidaklah sulit, mereka dekat dengan masyarakat sehingga tahu persis tentang peristiwa yang muncul ditengah masyarakat. Sutradara mengangkat realitas sosial yang tumbuh dan hidup dimana mereka melakukan pementasan, lalu diadopsi menjadi cerita yang menarik lewat kekuatan improvisasi para aktornya.
Keunggulan inilah yang membuat teater keliling ini mampu bertahan hidup dan memperoleh sambutan hangat dari penonton di seluruh Aceh. Cerita yang ditampilkan selalu aktual dan kontekstual dengan daerah dimana mereka melakukan pertunjukan. Misalnya, cerita Cut Maruhoi diperankan Ahmad harun (lelaki yang menjadi wanita) mengisahkan tentang seorang ibu mertua yang cerewet, jahat dan sadis. Ahmad Harun benar-benar mampu masuk ke dalam penokohan Cut Maruhoi, sehingga nama tersebut begitu melekat dan populer di tengah masyarakat Aceh. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari Ahmad harun sering di panggil Cut maruhoi.
Sengketa Tak Berujung: Kesenian Jadi Saksi
Gangguan keamanan di Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD) yang mulai pecah pada tahun 1989, sangat terasa dampaknya bagi perkembangan insan seni untuk m elakukan kreatifitas berkesenian. Aceh yang memiliki teater tradisional atau teater tutur, seperti; P.M.T.O.H, Dangderia, Dalupa, Didong, Guel dan Sandiwara keliling Gelanggang Labu mulai terusik untuk berproses. Kemandekan kehidupan panggung keliling sangat terasa karena sering di cekal oleh Pemda dengan cara tidak memberi izin pertunjukan, alasannya gangguan keamanan. Seruan ini dikeluarkan PEMDA Aceh karena beberapa pertunjukan sebelumnya di daerah-daerah rawan konflik sering terjadi. Pertunjukan sirkus di Lhoekseumawe pada tahun 1989 sempat menimbulkan kekacauan, dan panggung artis ibukota Dina Mariana pada tahun 1990 sempat di bakar oleh gerombolan tak di kenal. Mengigat hal itulah pertunjukan sandiwara keliling ‘Geunta Aceh’ pimpinan Umar Abdi pada pertengahan tahun 1991 di desa Blang Malu Kecamatan Mutiara Pidie, batal melakukan pertunjukan karena izinnya dicabut, juga karena ada operasi militer malam. Maka, banyak panggung sandiwara keliling pada dekade 90-an terpaksa tutup sehingga pemaiannya banyak yang menganggur. Sebagian terpaksa pulang kampung menjadi petani atau buruh kasar.
Awal dekade 1992, kondisi keamanan agak sedikit kondusif, empat tokoh seniman teater keliling; Umar Abdi, Yusuf Syam, Ahmad Harun, dan Idawati mencoba kembali membangun panggung keliling. Situasi semakin membaik, dan pertunjukan di beberapa kota Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Tengah dan Sabang mulai diizinkan untuk melakukan aktivitasnya kembali.
Suasana seperti itu, ternyata tidak bertahan lama. Tahun 1998 dengan berhasilnya gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk menumbangkan Orde Baru, kenyataannya menjadi lain. Daerah Istimewa Aceh kembali bergolak, dan GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) kembali bergerak, mahasiswa serta ulama dayah se-Aceh menuntut referendum . TNI dan POLRI kembali menjalankan operasi. Kondisi Aceh kembali mencekam dan tak menentu, suasana yang tak menentukan itulah menyebabkan izin pertunjukan tidak dapat diberikan kepada sandiwara keliling Gelanggang labu, lagi-lagi dengan dalih keamanan. Nah, menurut amatan penulis dari tahun 1998 hingga sekarang 2009, tidak pernah terdengar di Aceh ada pertunjukan Sandiwara keliling Gelanggang Labu dipentaskan. Grup-Grup yang pernah jaya, seperti hilang di telan bumi, seniman-seniman panggung terpaksa beralih profesi, seperti; menjadi penjual ikan, petani, buruh kasar dan lain sebagainya demi menghidupi keluarganya. Kemandekan kehidupan panggung y ang disebabkan oleh gangguan keamanan betul-betul membuat para pelakon, kru panggung dengan seluruh awaknya kehilangan pekerjaan tetap yang telah diyakininya berpuluh-puluh tahun pekerjaan itu mampu menghidupi keluarganya.
Sementara disisi lain, daerah Aceh secara tidak langsung telah memusnahkan kekayaan kseniannya. Betapa tidak, bila hal ini terjadi terus-menerus teater keliling Aceh hanya tinggal nama sebab tak ada lagi pewarisnya. Bila tak ada pemanggungannya secara otomatis para aktor panggung keliling semakin lanjut usia dan tak ada yang mampu mewarisinya untuk melanjutkan grup-grup sandiwara keliling. Sengketa yang terjadi di tanah rencong tidak hanya menelan korban manusia, namun yang lebih menyedihkan dapat menelan sisi kebudayaan dan kesenian.jangankan sandiwara keliling Gelanggang Labu, denyut nadi Taman Budaya Aceh juga ikut terkena imbasnya. Taman Budaya Aceh sejak tahun 1970-an sampai 1997 aktif melaksanakan pertunjukan teater modern Indonesia di Aceh tiap bulan, seperti; Teater Mata pimpinan Almarhum Maskirbi, Teater Bola pimpinan Almarhum Junaidi Yacob, Teater Gita Pimpinan Junaidi Bantasyam, Teater Kuala Pimpinan Yun Casalona, Teater Peduli Pimpinan Almarhum Nurgani Asyik, Teater Alam Pimpinan Din Saja, Sanggar Cempala Karya Pimpinan Sulaiman Juned, Teater Kosong Pimpinan T.Yanuarsyah. Namun awal 1998 pertunjukan teater Modern Indonesia di Aceh mulai hilang denyutnya. Hal ini disebabkan karena gangguan keamanan.
Denyut nadi kesenian Aceh seperti terhenti. Taman Budaya sepi pertunjukan. Orang-orang tak lagi membicarakan kesenian, orang-orang lebih banyak membicarakan politik, kematian dan keadilan. Hanya seniman sastra (penyair) dn pelukis yang masih terus melakukan prosesnya. Para pekerja teater banyak yang beralih profesi, ada yang menjadi penyair, dan cerpenis. Sampai kapan hal ini terus terjadi. Andaikan situasi Aceh dibiarkan larut tanpa penyelesaian akhir, maka Aceh secara global akan kehilangan seni budayanya yang sangat kaya tersebut. Kita rindu tokoh Cut Maruhoi muncul di atas panggung, rindu lawakan yang menggelitik dari si Ma’e (Ismail) yang mampu melahirkan derai tawa. Rindu Idawati Sri panggung sandiwara keliling yang mampu menjadi aktris, penyanyi sekaligus pelawak bahkan mampu menari. Namun kini dimana mereka para punggawa sandiwara keliling Gelanggang Labu bermuara. Apakah mereka ikut terkena imbas konflik panjang di Aceh, atawa mereka tergerus air raya (Tsunami) beberapa tahun yang lalu pada 26 Desember 2004. Konfliks-Tsunami-sengketa tak pernah reda mengancam seni budaya Aceh pada nadir kepunahan.
Pasca konflik dan tsunami, apakah seni-seni tradisional yang maha agung itu akan hidup, atau seni Aceh tersebut akan ikut terkubur bersama ratusan ribu rakyat Aceh yang entah dimana makamnya. Generasi muda Aceh sekarang ini pasti banyak yang tidak kenal lagi; Dangderia, Peugah Haba, Poh Tem, Dalupa, Pho dan lain-lain. Rekan-rekan seniman, pihak yang terkait, para intelektual seni, PEMDA NAD mari duduk bersama; bicarakan tentang pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni di Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh meusyuhu (dikenal) di Mancanegara karena senibudayanya, seperti; Didong, Saman, Seudati, tari Pho, Rapa’i Geleng, P.M.T.O.H dan lain-lain. Kenapa masyarakat Aceh sendiri enggan untuk mempertahankan budaya bangsa. Ini buat kita renungkan bersama. Mari!
@ Rumah kontrakan, Padangpanjang-Sumatera Barat
SANDIWARA KELILING GELANGGANG LABU TERANCAM PUNAH
Oleh: Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn
Pemain sandiwara keliling gelanggang labu
tidak pernah belajar dramaturgi, ilmu pemeranan, ilmu penyutradaraan
secara formal, mereka memperoleh keahlian secara non-formal
namun mampu mensugestif penonton.
Gelanggang Labu meruapakan sandiwara keliling tradisional Aceh. Sandiwara keliling sudah ada sejak tahun 1950-an. Sandiwara ini mulai tumbuh dari sebuah desa di Aceh Utara, tapatnya di Panton labu. Ketika teater ini mulai merakyat, dan diterima ditengah-tengah masyarakat lalu dijulukilah dengan istilah Gelanggang Labu. Awal tahun 70-an mulai menjamur grup-grup sandiwara di seluruh Aceh, diantaranya yang terkenal, seperti; Benteng Harapan, Jeumpa Aceh, Sinar Jeumpa, Sinar Desa, Sinar Harapan, Mutiara Jeumpa, Seulanga Dara, Cakradonya, dan Geunta Aceh.
Ciri-ciri pertunjukan Gelanggang Labu memiliki kesamaan yang kontras dengan ‘Komedi Stamboel’ yang dilakukan August Mahieu (1860-1906). Hal ini dapat dilihat dari reportoar yang dipilih, sama-sama mengangkat cerita 1001 malam dari hikayat-hikayat Aceh (haba), seperti; Buloeh Peurindu, bawang mirah ngoen bawang puteh, Ahmad Rhangmanyang, Putroe Ijoe, dan lain-lain. Ciri-ciri yang mendasar, sebelum permainan dimulai para aktornya memperkenalkan diri sekaligus dengan peran apa yang dia mainkan. Pembagian babak atau episode dilakukan sangat longgar dengan adanya selingan antar babak yang diisi dengan nyanyian (band), lawak, serta tari-tarian. Adegan-adengan gembira atau sedih dalam gelanggng labu memang dilakukan dengan dialog bukan dengan opera (nyanyian) seperti dalam komedi stamboel. Cerita-cerita yang akan dimainkan oleh pelakonnya hanya diceritakan secara garis besarnya saja kepada pemain (wos), dan lebih banyak pemain yang melakukan improvisasi. Sebagai aktor dipentas sandiwara keliling harus mampu menjadi penyanyi, pelawak dan penari sekaligus.
Sementara bentuk pemanggungannya, sandiwara keliling Gelanggang Labu sangat sederhana dengan konstruksi panggung berukuran 9X6 meter didirikan menggunakan drum kosong yang di atasnya diletakkan papan, seng sebagai atap, batang kayu sebagai penyangga, triplrk untuk dinding, kain yang dilukis sebagai dekorasi sesuai tuntutan cerita dan lampu reflektor kecil untuk penerang dan pengubah suasana. Lokasi pertunjukan biasanya dlakukan di tanah lapang, ditengah areal sawah setelah usai panen padi. Grup sandiwara ini hidup dan beranak-pinak di dalam panggung tersebut (berumah), mereka melakukan keliling ke seluruh Aceh, dan berdiam (melakukan pertunjukan) di suatu daerah minimal dua bulan setelah melakukan perjalanan dan menetap didaerah lain.
Umumnya pemain sandiwara keliling Gelanggang Labu tidak pernah memiliki atau mempelajari dramaturgi secara formal. Semuanya mengalir begitu saja dengan pengetahuan otodidak yang mereka miliki. Rata-rata latar belakang pendidikan mereka hanya sampai Sekolah Dasar. Maka tidak heran bila siang hari mereka bergaul dengan masyarakat dimana mereka melakukan pertunjukan, bahkan ada yang menjadi buruh kasar di tempat itu. Ibnu Arhas (Sekarang mantan Anggota DPRD Kabupaten Pidie), seorang aktor yang pernah melakukan pertunjukan di Takengon, waktu itu siang hari ia berperan sebagai buruh pemetik kopi dengan pakaian kumal. Namun pada malam hari dia tampil sebagai maha bintang di atas panggung, dipuja-puji oleh penonton, setiap dia muncul selalu saja mendapat aplous dari penonton. Keterbatasan ilmu tentang bermain drama bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap terus bertahan. Umar Abdi, Ahmad harun, Yusuf Syam, serta Idawati merupakan tokoh-tokoh teater keliling yang sadar betul atas kekurangan mereka, lalu melakukan pembaharuan agar masyarakat penonton tidak bosan. Mereka menciptakan tema-tema cerita baru yang digemari masyarakat, seperti tragedi rumah tangga, pengkhianatan, kemunafikan, masalah ambisiusnya manusia. Ide atau gagasan untuk memperolehnya bagi mereka (sutradara) teater keliling tidaklah sulit, mereka dekat dengan masyarakat sehingga tahu persis tentang peristiwa yang muncul ditengah masyarakat. Sutradara mengangkat realitas sosial yang tumbuh dan hidup dimana mereka melakukan pementasan, lalu diadopsi menjadi cerita yang menarik lewat kekuatan improvisasi para aktornya.
Keunggulan inilah yang membuat teater keliling ini mampu bertahan hidup dan memperoleh sambutan hangat dari penonton di seluruh Aceh. Cerita yang ditampilkan selalu aktual dan kontekstual dengan daerah dimana mereka melakukan pertunjukan. Misalnya, cerita Cut Maruhoi diperankan Ahmad harun (lelaki yang menjadi wanita) mengisahkan tentang seorang ibu mertua yang cerewet, jahat dan sadis. Ahmad Harun benar-benar mampu masuk ke dalam penokohan Cut Maruhoi, sehingga nama tersebut begitu melekat dan populer di tengah masyarakat Aceh. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari Ahmad harun sering di panggil Cut maruhoi.
Sengketa Tak Berujung: Kesenian Jadi Saksi
Gangguan keamanan di Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD) yang mulai pecah pada tahun 1989, sangat terasa dampaknya bagi perkembangan insan seni untuk m elakukan kreatifitas berkesenian. Aceh yang memiliki teater tradisional atau teater tutur, seperti; P.M.T.O.H, Dangderia, Dalupa, Didong, Guel dan Sandiwara keliling Gelanggang Labu mulai terusik untuk berproses. Kemandekan kehidupan panggung keliling sangat terasa karena sering di cekal oleh Pemda dengan cara tidak memberi izin pertunjukan, alasannya gangguan keamanan. Seruan ini dikeluarkan PEMDA Aceh karena beberapa pertunjukan sebelumnya di daerah-daerah rawan konflik sering terjadi. Pertunjukan sirkus di Lhoekseumawe pada tahun 1989 sempat menimbulkan kekacauan, dan panggung artis ibukota Dina Mariana pada tahun 1990 sempat di bakar oleh gerombolan tak di kenal. Mengigat hal itulah pertunjukan sandiwara keliling ‘Geunta Aceh’ pimpinan Umar Abdi pada pertengahan tahun 1991 di desa Blang Malu Kecamatan Mutiara Pidie, batal melakukan pertunjukan karena izinnya dicabut, juga karena ada operasi militer malam. Maka, banyak panggung sandiwara keliling pada dekade 90-an terpaksa tutup sehingga pemaiannya banyak yang menganggur. Sebagian terpaksa pulang kampung menjadi petani atau buruh kasar.
Awal dekade 1992, kondisi keamanan agak sedikit kondusif, empat tokoh seniman teater keliling; Umar Abdi, Yusuf Syam, Ahmad Harun, dan Idawati mencoba kembali membangun panggung keliling. Situasi semakin membaik, dan pertunjukan di beberapa kota Aceh Utara, Aceh Besar, Aceh Tengah dan Sabang mulai diizinkan untuk melakukan aktivitasnya kembali.
Suasana seperti itu, ternyata tidak bertahan lama. Tahun 1998 dengan berhasilnya gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk menumbangkan Orde Baru, kenyataannya menjadi lain. Daerah Istimewa Aceh kembali bergolak, dan GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) kembali bergerak, mahasiswa serta ulama dayah se-Aceh menuntut referendum . TNI dan POLRI kembali menjalankan operasi. Kondisi Aceh kembali mencekam dan tak menentu, suasana yang tak menentukan itulah menyebabkan izin pertunjukan tidak dapat diberikan kepada sandiwara keliling Gelanggang labu, lagi-lagi dengan dalih keamanan. Nah, menurut amatan penulis dari tahun 1998 hingga sekarang 2009, tidak pernah terdengar di Aceh ada pertunjukan Sandiwara keliling Gelanggang Labu dipentaskan. Grup-Grup yang pernah jaya, seperti hilang di telan bumi, seniman-seniman panggung terpaksa beralih profesi, seperti; menjadi penjual ikan, petani, buruh kasar dan lain sebagainya demi menghidupi keluarganya. Kemandekan kehidupan panggung y ang disebabkan oleh gangguan keamanan betul-betul membuat para pelakon, kru panggung dengan seluruh awaknya kehilangan pekerjaan tetap yang telah diyakininya berpuluh-puluh tahun pekerjaan itu mampu menghidupi keluarganya.
Sementara disisi lain, daerah Aceh secara tidak langsung telah memusnahkan kekayaan kseniannya. Betapa tidak, bila hal ini terjadi terus-menerus teater keliling Aceh hanya tinggal nama sebab tak ada lagi pewarisnya. Bila tak ada pemanggungannya secara otomatis para aktor panggung keliling semakin lanjut usia dan tak ada yang mampu mewarisinya untuk melanjutkan grup-grup sandiwara keliling. Sengketa yang terjadi di tanah rencong tidak hanya menelan korban manusia, namun yang lebih menyedihkan dapat menelan sisi kebudayaan dan kesenian.jangankan sandiwara keliling Gelanggang Labu, denyut nadi Taman Budaya Aceh juga ikut terkena imbasnya. Taman Budaya Aceh sejak tahun 1970-an sampai 1997 aktif melaksanakan pertunjukan teater modern Indonesia di Aceh tiap bulan, seperti; Teater Mata pimpinan Almarhum Maskirbi, Teater Bola pimpinan Almarhum Junaidi Yacob, Teater Gita Pimpinan Junaidi Bantasyam, Teater Kuala Pimpinan Yun Casalona, Teater Peduli Pimpinan Almarhum Nurgani Asyik, Teater Alam Pimpinan Din Saja, Sanggar Cempala Karya Pimpinan Sulaiman Juned, Teater Kosong Pimpinan T.Yanuarsyah. Namun awal 1998 pertunjukan teater Modern Indonesia di Aceh mulai hilang denyutnya. Hal ini disebabkan karena gangguan keamanan.
Denyut nadi kesenian Aceh seperti terhenti. Taman Budaya sepi pertunjukan. Orang-orang tak lagi membicarakan kesenian, orang-orang lebih banyak membicarakan politik, kematian dan keadilan. Hanya seniman sastra (penyair) dn pelukis yang masih terus melakukan prosesnya. Para pekerja teater banyak yang beralih profesi, ada yang menjadi penyair, dan cerpenis. Sampai kapan hal ini terus terjadi. Andaikan situasi Aceh dibiarkan larut tanpa penyelesaian akhir, maka Aceh secara global akan kehilangan seni budayanya yang sangat kaya tersebut. Kita rindu tokoh Cut Maruhoi muncul di atas panggung, rindu lawakan yang menggelitik dari si Ma’e (Ismail) yang mampu melahirkan derai tawa. Rindu Idawati Sri panggung sandiwara keliling yang mampu menjadi aktris, penyanyi sekaligus pelawak bahkan mampu menari. Namun kini dimana mereka para punggawa sandiwara keliling Gelanggang Labu bermuara. Apakah mereka ikut terkena imbas konflik panjang di Aceh, atawa mereka tergerus air raya (Tsunami) beberapa tahun yang lalu pada 26 Desember 2004. Konfliks-Tsunami-sengketa tak pernah reda mengancam seni budaya Aceh pada nadir kepunahan.
Pasca konflik dan tsunami, apakah seni-seni tradisional yang maha agung itu akan hidup, atau seni Aceh tersebut akan ikut terkubur bersama ratusan ribu rakyat Aceh yang entah dimana makamnya. Generasi muda Aceh sekarang ini pasti banyak yang tidak kenal lagi; Dangderia, Peugah Haba, Poh Tem, Dalupa, Pho dan lain-lain. Rekan-rekan seniman, pihak yang terkait, para intelektual seni, PEMDA NAD mari duduk bersama; bicarakan tentang pentingnya mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni di Aceh. Nanggroe Aceh Darussalam. Aceh meusyuhu (dikenal) di Mancanegara karena senibudayanya, seperti; Didong, Saman, Seudati, tari Pho, Rapa’i Geleng, P.M.T.O.H dan lain-lain. Kenapa masyarakat Aceh sendiri enggan untuk mempertahankan budaya bangsa. Ini buat kita renungkan bersama. Mari!
@ Rumah kontrakan, Padangpanjang-Sumatera Barat
Kamis, 22 Januari 2009
Tragedi Cantoi: Sulaiman Juned
“TRAGEDI CANTOI” SULAIMAN JUNED:
EKSTERNALISASI AGROPHOBIA
Oleh : Wiko Antoni S.Sn*)
Pendahuluan
Struktur lakon adalah partitur bagi seorang sutradara dalam `konser` peristiwa yang akan dipentaskan. Sebagai seorang penulis lakon tanggungjawab utama yang terpenting adalah membangun konsep dasar yang menjadi tempat berdiru teguhnya struktur pertunjukan, dari drama yang baik lahirlah pertunjukan yang luar biasa. Memang seorang sutradara mestilah kreatif dalam membangun realitas panggung namun drama yang baik akan menjadi pijakan kreatifitas yang baik bagi seorang sutradara dalam mempersiapkan pertunjukan berkualitas.
`Cantoi` berbicara dengan bahasa estetis tentang peristiwa yang mencengkram rasa cinta Sulaiman juned kepada Aceh. Kenyataan demikianlah yang banyak dicoba ungkap oleh teori-teori sosial. Berbagai cara ditempuh untuk menganalisa fenomena karya seni. Teori social selama ini bagai `senjata` pamungkas yang bisa mengatasi segala persoalan tersembunyi dalam karya-karya seni. Menafikan kenyataan bahwa bahasa seni adalah bahasa jiwa yang universal. Semisal membicarakan `Cantoi`, selama ini akan segera dibahas sosiologi karya, sosiologi pengarang, dan sosiologi latar penciptaan karya. Memang sebagian fenomena akan terjawab, mungkin saja ada indikasi sebuah karya akan ipengaruhi oleh keadaan lingkungan terciptanya. Yang kerap dilupakan adalah karya seni sebagai arkhetipe yang di eksternalisasikan secara sublim.
Bila karya seni sebagai arkhetpe yang muncul sebagai proyeksi jiwa, teori social akan kehilangan kekeuatan mengungkap fenomena sebuah karya. Mustahil sekali menyimpulkan pribadi seniman yang sangat spesifik dalam kerangka regional budaya. Memang kita terlalu lama mempercayai antropologi mampu menjawab banyak hal dalam persoalan analisis seni padahal seiring semakin kompleksnya persoalan yang muncul dalam karya-karya seni saat ini sudah saatnya melirik ilmu jiwa bawah sadar sebagai factor terpenting dalam aktualisasi proyektif sebuah karya seni.
`Cantoi` bukan penggambaran sikap masyarakat Aceh terhadap fenomena sebuah perang saudara, barangkali kaum sosiolog akan bersikeras untuk menghubung-hubungkan imajinasi Sulaiman Juned dengan antropologi Aceh. Padahal kenyataan `si Cantoi` ini bisa saja menimpa setiap manusia di seluruh dunia dalam kondisi ketertekanan yang serupa. Selama bertahun-tahun drama yang monumental hadir dalam lingkungan transisi dengan ketidakjelasan konvensi. Misalnya masa peralihan dari kekuasaan kaum borjuasi menuju zaman realisme. Saat itulah A Doll House mendobrak ketertekanan kaum-kaum yang merasa tertindas haknya. Memang banyak gaya yang muncul dalam mengekspresikan ketertekanan tersebut. Kadang-kadang agresif, romantis (misalnya gaya Shakespeare) bahkan komedi seperti `Cantoi` Sulaiman Juned. Disini perlu ditegaskan bahwa teori social tidak sepenuhnya mampu menjawab `misteri` terciptanya sebuah `karya emas` seorang seniman. Saatnya mempertimbangkan materi symbol yang dikemukakan oleh Freud dan Jung. Freud sangat percaya inspirasi gemilang muncul dari pengalaman yang tersimpan dalam ketidaksadaran, ketidaksadaran bukan hanya gudang-gudang peristiwa masa lalu tetapi juga penuh dengan benih-benih situasi ide-ide yang akan terjadi…kita menemukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari, dimana dilema-dilema kadang-kadang dipeca\hkan oleh gagasan baru yang sangat mengherankan; banyak seniman, filoshof dan ilmuan dianugerahi inspirasi berupa ide-ide terbaik yang tiba-tiba muncul dari ketidaksadaran . (Sigmound Freud, 2000: 63).
`Cantoi` Ekternalisasi Agrophobia dalam Diri Sulaiman Juned
Ilmu Psikologi ketidaksadaran merupakan cabang ilmu yang selama ini digunakan untuk mendeteksi berbagai macam ganguan jiwa. Sejauh ini psikologi ketidaksadaran hanya berbicara seputar kelainan perilaku menyimpang yang terjadi padapenderita neurosis. Setelah semiotic menjadi cabang ilmu dalam ilmu analisis sastra terbuktilah bahwa symbol-simbol yang disepakati merupakan arkhetipe yang berawal dari ketidaksadaran. Simbol muncul bila ikon-ikon mendapat kesepakatan umum. Namun dalam banyak hal ikon-ikon yang muncul di seluruh dunia hamper sama dengan makna yang hamper sama pula. Pada dasarnya ikon muncul bersamaan dengan kebutuhan psikologis. Ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi sangat potensial melahirkan ikon baru. Pada banyak kasus pasien jiwa ikon dibangun dari ketertekanan. Bila ini dikaitkan dengan prosesi penciptaan karya seni maka fenomena depresif ini dapat dikatakan eksternalisasi agrophobia.
Istilah agrophobia digunakan untuk ketakutan yang berlebihan. Pada tingkat demikian akan muncul sikap depresif atau agresif. Pada beberapa kasus yang muncul justru peristiwa sublimatif. Penderita agrophobia tidak semata-mata mengarah kepada kemerosotan jiwa yang membawa efek negatif adakalanya justru individu ini akan menjadi tegar dan tabah dalam melanjutkan kehidupan (Sigmound Freud, 2000:438). Ketertekan akan memiliki efek berbeda bagi setiap individu walaupun jenisnya sama, dalam hal ini psikologi memandang sebuah karya seni sebagai `benda` yang spesifik yang terlahir dari individu yang spesifik pula. Kolektifitas budaya bukan hal yang penting untuk menganalisa sebuah karya seni. Individunya yang penting, masa lalu, pendidikan, pengalaman estetis, romantis bahkan tekanan-tekanan hidup yang dialami. Fenomena jiwa milik semua orang sedangkan kebudayaan terkotak-kotak dalam sebuah lingkungan primordial.Sartre menungkapkan dalam menemukan analogis kesadaran imajinatif akan muncul kasus berikut, (1) Korelatif analogis dari pengetahuan imajinatif berupa objek afektif, (2) Imaji yang lengkap mencakup analog afektif yang menghadirkan objek dalam sifatnya yang mendasar dalam sebuah analog kisnetis yang mengeksternalkan objek dan memberikan tersebut realitas visual. (Sartre, 2000 : 192). Realitas visual berupa proyeksi imaji ini di eksternalkan kedalam realitas karya setelah disusun menjadi realitas estetis. Maka yang hadir adalah karya seni yang memukau. Ekternalisasi adalah prosesi ritual alam bawah sadar menjelmakan dirinya kepada kesadaran. Keseimbangan kimia tubuh menciptakan kekuatan bagi jiwa melalukan kompensasi yang sublim dengan proyeksi kreatif. Bagaimanapun kekuatan masa lalu tidaklah hilang. Ia tersimpan rapi di gudang data dalam serabut syaraf neurotic yang jumlahnya demikian banyak. Sadar atau tidak hadirlah ia keproyeksi masa sekarang yang dieksternalkan menjadi proyeksi kekecewaan atau kebahagiaan. Proses selanjutnya adalah kreativitas sublim dan pengolahan estetis yang rumit untuk dieksternalisasikan kedalam bentuk visualisasi kreatif dan indah. Lahirlah karya seni yang kadang-kadang mencengangkan banyak orang. (Sartre, 2000 : 194)
Disini yang menjadi kasus adalah `Cantoi` karya Sulaiman Juned, mari kita berandai-andai. Seumpama kita adalah seorang yang berada di Aceh saat konflik NKRI-GAM dalam keadaan kritis. Menjadi saksi atas kematian sudara-saudara atau orang-orang dicinta dalam tenggang waktu berdekatan. Dalam beberapa kasus ketertekanan yang berkepanjangan melahirkan stress. Kita tahu, banyak orang di daerah konflik mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Bahkan sampai saat ini konflik korban-korban perang selalu menjadi masalah tak kunjung usai antara Negara korban perang melawan Negara aggressor. Sampai saat ini Jerman dan Jepang selalu menjadi korban hujatan, padahal dalam kondisi konflik semua orang depresi. Dalam keadaan demikian `Cantoi` bicara dengan tegas bahwa `peranglah yang bersalah`. Bukan `Pendekar atau maling`, karena kedua belah fihak tidak mengerti bagaimana cara mendapatkan ketenangan. Dalam kondisi yang tidak jelas bila berakhirnya. Kondisi jiwa kedua belah fihak sama-sama tertekan. Selanjutnya Sulaiman juned menjelaskan kenyataan ini melalui `si Cantoi` bahwa yang paling menderita rakyat yang tidak mengerti sama sekali, karena kedua belah fihak menaruh curiga pada mereka, mascot yang digambarkan adalah tokoh `cantoi`. Berikut petikan dialog tentang hal ini/…kami orang kamping mana tahu maling. Pekerjaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling disini itu pasti pelarian dari kampong lain./ dibagian lain berbunyi/Ah cantoi tak pernah jadi maling, tapi kalau maling jadi Cantoi itu diluar kemampuanku/. Sulaiman Juned sebenarnya `bermain-main` dengan kematian. Jelas sekali ketololan `Cantoi` adalah kenaifan yang tidak disadari. Penggambaran yang jelas bahwa tokoh yang digambarkannya adalah sisi lain dari kecerdasannya sebagai homocreator yang dikungkung frustasi melihat keadaan kampong halaman yang dicintainya. Seolah tak ada solusi untuk Aceh sementara kematian terus terjadi. Kecurigaan meningkat tajam, orang-orang tak berdosa diterkam oleh ketakutan karena dua sisi yang bertikai kerap salah sasaran. Rakyat yang tak mengerti apa-apa menjadi korban keberingasan para pendekar dan Maling. Dilog-dialog ini bukan hanya milik orang Aceh, ribuan pengungsi di perbatasan Lebanon juga mengalami ketertekanan yang sama saat Israel dan Palestina saling menyalahkan atas terror yang diperbuat kaum gerilyawan Intifadah. Perang selalu memberikan terror kepada rakyat. Peluang terbesar untuk menjadi korban salah sasaran, salah tembak, salah tangkap, salah bombardier. Musuh yang dicari sangat lihai melarikan diri sementara rakyat tak pernah belajar taktik menyelamatkan diri.
Tema sentral yang diusung lakon `Cantoi` memang bukan hal yang baru. Semua orang tahu bahwa perang menimbulkan depresi namun tema-tema lain menarik pula untuk dikaji, renungan filosifis tentang seorang ustadz misalnya, yang berani mengungkapkan kebenaran di atas mimbar namun dalam kenyataan asyik menghitung tasbih saat mayat rakyat dituduh sebagai `maling` terbujur dihadapannya. Ini kenyataan estetis yang dibangun Sulaiman Juned untuk `menelanjangi` kemunafikan kita. Logikanya pada saat terancam semua orang memilih jalan selamat. Kebenaran akan tersembunyi. Seorang Ustadzpun lebih memilih diam daripada harus berurusan dengan `pendekar`. Tema lain tak kalah menarik adalah kritik tajam terhadap gelar bangsawan yang dibangga-banggakan. Di awal-awal teks drama `Cantoi` dijelaskan bahwa “Darah kita semuanya merah” jadi, tidak layak mengaku " darah biru” atau lainnya.
Empirisme, Frustasi menuju Sublimasi Estetis Lakon `Cantoi`
Kini marilah kita bahas perjalanan kreatif bawah sadar Sulaiman Juned menuju terciptanya lakon `Cantoi`. Di atas sudah dijelaskan eksternalisasi agrophobia sebagai latar yang menjadi stimulus kelahiran drama `Cantoi`. Kini proses tersebut akan dijabarkan disini. Secara sederhana factor yang melatar belakangi terciptanya karya seni dari sisi psikologi adalah unsure intern dan ekstern. Unsur intern adalah kepribadian seniaman secara instrinsik sedangkan factor ekstern adalah stimulus yang muncul dari luar atau realita sehari-hari yang bersentuhan dengan si seniman. Pertama proses realitas verbal menjadi realitas seni selalu diiringi oleh penafsiran kenyataan oleh imajinasi, kedua pengalaman yang dialami seniman baik yang disadari maupun tidak disadari akan berpengaruh dalam sebuah karya seni yang tercipta. Ketiga penciptaan karya yang cerdas selalu melibatkan pertimbangan filoshopis yang bersifat edukatif. Keempat seniman yang baik adalah seorang ilmuan yang berusaha mencari solusi bagi persoalan sekitarnya yang terakhir, seniman yang baik bersikap sebagai penengah dalam segala persoalan disekitarnya.
Melihat empat sisi diatas maka pertarungan emosinal akan melahirkan kegelisahan estetis dalam diri seorang seniman. Lima elemen di atas dibenturkan dengan kegamangan jiwa seorang Sulaiman Juned. Bagaimanapun sebagai seorang yang berdarah Aceh ada rasa kecewa dalam dirinya melihat kampong halaman yang dicintainya berada dalam kondisi serba tidak jelas. Kekecewaan ini jelas bila kita membahas teks demi teks yang digambarkan dalam drama `cantoi`. Sebagai pertimbangan dialog berikut./korban berjatuhan. Mayat-mayat bergelimpangan. Disawah, diladang, dalam rimba bahkan dikeramaian pasarpun mayat-mayat berserakan./…barang siapa yang meratapi kematian para maling sudah pasti maling…/Peristiwa berdarah di kampong ini tidak ada lagi yang menangisi…/. Sulaiman Juned meratap dan menghiba dalam hatinya. Bagaimana tidak, sebagai orang Aceh tentulah ada keberfihakan tersembunyi dihatinya, hatinya pilu melihat saudara-saudara yang sekampung yang terbunuh tanpa jelas kesalahan. Yang jelas mereka divonis sebagai `maling`. Keresahan ini mula-mula disublimasi kedalam lakon “Jambo, Luka Tak Teraba” (di muat di Horison No 11 TH XXXVII/2003). jelas sekali penokohan dalam drama `Jambo Luka Tak Teraba` bertolak belakang dengan karakter `Cantoi`. Dalam `Jambo Luka Tak Teraba` tokoh-tokoh heroic hadir dengan persepsi bertolak belakang menyikapi keadaan. Lakon `Cantoi` justru mencibirkan heroisme tersebut. `Cantoi` sampai pada taraf bahwa heroisme Cuma kata-kata sempalan yang sama sekali tak berarti. Hanya lipstick yang menipu. Kecurigaan Sulaiman Juned memuncak dalam `Cantoi`, rupanya Pasukan Upah dan Kaum Ateuh (lihat teks `Jambo Luka Tak Teraba`) sama saja. Sama-sama tidak mempertimbangkan penderitaan rakyat.
Bagan psikologis terciptanya drama `Cantoi` dapat digambarkan seperti berikut ini:
Keterangan:
1. R = Realitas
2. I = Intelektual/kecerdasan
3. FE = Frustasi Estetik
4. RI =Realitas Imajinatif
5. EA = Eksternalisasi Agrophobia
Realitas merupakan stimulus yang merangsang pemikiran seorang seniman gelisah. Realitas yang dianggap buruk sangat memungkinkan frustasi. Frustasi itu memicu sublimasi hingga proyeksi yang tersusun dalam kerangka karya. Inilah yang disebut frustasi estetis. Seniman kreatif kemudian mewujudkan kegelisahan ini menjadi karya yang benar-benar nyata. Realitas hadir menjadi kenyataan seni. Kenyataan seni ini wujudnya bermacam-macam, diantaranya, Agresif, melankolis, ataupun romantis. Pada Lakon `Jambo Luka Tak Teraba` bentuk aktualisasinya adalah Agresif. Sulaiman dengan ber api-api mencerca kenyataan, begitu agresif bahkan cenderung emosional dan provokatif (Lihat Horison No 11/2003). Pada lakon `Cantoi` Perwujudan frustasi estetiknya berbentuk melankolis aktualisasinya adalah style lakon. Menertawakan kematian perwujudan kepedihan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Penutup
Lakon `Cantoi` adalah perwakilan orang-orang yang berada dalam ketidakjelasan situasi. Ketertekanan berkepanjangan melahirkan kefrustasian. Walaupun tokoh ini digambarkan dengan seting Aceh, peristiwa `Cantoi` akan menimpa siapa saja. Ketertekanan jiwa dapat menimpa setiap orang. Ada kalanya ketertekanan ini sampai pada kondisi sesorang kehilangan kendali psikis dan menjadi abnormal`. Kondisi tidak normal ini dalam ilmu jiwa disebut neurosis sesuai tempat yang menjadi sebabnya yaitu syaraf-syaraf penyimpan data bawah sadar.
Kenyataan adalah sumber utama bahan baku karya seni, selebihnya pengalaman estetis yang berkonfigurasi dengan ketidaksadaran. Karya yang besar kerap muncul dari ketertekanan yang memicu syaraf bawah sadar berkontraksi. Ide-ide cemerlang muncul menjadi karya yang luar biasa. Latar emosional demikian yang mendasari kreatifitas psikologis dalam diri Sulaiman Juned `sang bapak si Cantoi`. Dari realitas Aceh `Cantoi` bicara soal kemanusian secara universal dan menyentuh persoalan jiwa manusia di seluruh dunia. Berawal dari konflik Aceh, manusia-manusia yang dicengkram perang di seluruh dunia bersuara. Keputus asaan tak kunjung selesai menyekap jiwa-jiwa malang yang terjebak dalam perang.
Sosiologi memang telah banyak berjasa menyingkap demikian banyak fenomena karya seni. Namun dewasa ini seiring perkembangan ilmu pengetahuan sudah saatnya mempertimbangkan cabang ilmu lain yang lebih menyentuh substansi manusia secara objektif. Psikologi ketidaksadaran sudah lama mengkaji symbol-simbol kejiwaan yang menguasai manusia sejak manusia itu ada. Dalam bannyak kasus karya seni aspek psikislah yang berpengaruh besar selain aspek social. Maka saatnya psikologi ketidaksadaran menunaikan `tugas baru`, sebagai pemberi penjelasan bagi karya-karya besar para seniman.
Biodata Penulis
Penulis adalah pengarang drama, skenario, dramaturg, aktor, penulis kritik seni budaya, pencipta lagu, Salah seorang pendiri Komunitas seni `kuflet` Padangpanjang. Salah seorang Pendiri kelompok kerja seni `gonjong Tujuh` Padang Panjang. Pernah menjadi asisten pengajar di jurusan teater STSI Padangpanjang saat masih kuliah di STSI Padangpanjang. Pengalaman sebagai guru adalah mengajar Ekstra di SMU Sore Padang Panjang. Pengajar kesenian di SMU Negeri 2 Tabir, kabupaten Merangin. Propinsi Jambi, (semenjak 10 Januari 2006). Pengajar KTK serta Kebudayaan Daerah di SMP 2 Tabir Selatan kabupaten Merangin, Propinsi Jambi (Semenjak 6 Agustus 2006). Mengajar di SD 07 Limbur Merangin, Kabupaten Merangin Propinsi Jambi (semenjak 11 Juli 2007). Saat ini non aktif sebagai guru untuk menempuh program D4 di Fakultas Ilmu Pendidikan UMSB “Kauman” Padangpanjang. Pengalaman jurnalistik, menulis untuk Jurnal “Ekspresi Seni” STSI Padangpanjang dengan judul “ Teater Impilikasi Realitas Sastera”. Menulis untuk Jurnal “Palanta Seni Budaya” dengan judul “Mempertanyakan Sebuah Rumah : Sebuah Analisis Multidisipliner terhadap Karya Toni Aryadi”.
EKSTERNALISASI AGROPHOBIA
Oleh : Wiko Antoni S.Sn*)
Pendahuluan
Struktur lakon adalah partitur bagi seorang sutradara dalam `konser` peristiwa yang akan dipentaskan. Sebagai seorang penulis lakon tanggungjawab utama yang terpenting adalah membangun konsep dasar yang menjadi tempat berdiru teguhnya struktur pertunjukan, dari drama yang baik lahirlah pertunjukan yang luar biasa. Memang seorang sutradara mestilah kreatif dalam membangun realitas panggung namun drama yang baik akan menjadi pijakan kreatifitas yang baik bagi seorang sutradara dalam mempersiapkan pertunjukan berkualitas.
`Cantoi` berbicara dengan bahasa estetis tentang peristiwa yang mencengkram rasa cinta Sulaiman juned kepada Aceh. Kenyataan demikianlah yang banyak dicoba ungkap oleh teori-teori sosial. Berbagai cara ditempuh untuk menganalisa fenomena karya seni. Teori social selama ini bagai `senjata` pamungkas yang bisa mengatasi segala persoalan tersembunyi dalam karya-karya seni. Menafikan kenyataan bahwa bahasa seni adalah bahasa jiwa yang universal. Semisal membicarakan `Cantoi`, selama ini akan segera dibahas sosiologi karya, sosiologi pengarang, dan sosiologi latar penciptaan karya. Memang sebagian fenomena akan terjawab, mungkin saja ada indikasi sebuah karya akan ipengaruhi oleh keadaan lingkungan terciptanya. Yang kerap dilupakan adalah karya seni sebagai arkhetipe yang di eksternalisasikan secara sublim.
Bila karya seni sebagai arkhetpe yang muncul sebagai proyeksi jiwa, teori social akan kehilangan kekeuatan mengungkap fenomena sebuah karya. Mustahil sekali menyimpulkan pribadi seniman yang sangat spesifik dalam kerangka regional budaya. Memang kita terlalu lama mempercayai antropologi mampu menjawab banyak hal dalam persoalan analisis seni padahal seiring semakin kompleksnya persoalan yang muncul dalam karya-karya seni saat ini sudah saatnya melirik ilmu jiwa bawah sadar sebagai factor terpenting dalam aktualisasi proyektif sebuah karya seni.
`Cantoi` bukan penggambaran sikap masyarakat Aceh terhadap fenomena sebuah perang saudara, barangkali kaum sosiolog akan bersikeras untuk menghubung-hubungkan imajinasi Sulaiman Juned dengan antropologi Aceh. Padahal kenyataan `si Cantoi` ini bisa saja menimpa setiap manusia di seluruh dunia dalam kondisi ketertekanan yang serupa. Selama bertahun-tahun drama yang monumental hadir dalam lingkungan transisi dengan ketidakjelasan konvensi. Misalnya masa peralihan dari kekuasaan kaum borjuasi menuju zaman realisme. Saat itulah A Doll House mendobrak ketertekanan kaum-kaum yang merasa tertindas haknya. Memang banyak gaya yang muncul dalam mengekspresikan ketertekanan tersebut. Kadang-kadang agresif, romantis (misalnya gaya Shakespeare) bahkan komedi seperti `Cantoi` Sulaiman Juned. Disini perlu ditegaskan bahwa teori social tidak sepenuhnya mampu menjawab `misteri` terciptanya sebuah `karya emas` seorang seniman. Saatnya mempertimbangkan materi symbol yang dikemukakan oleh Freud dan Jung. Freud sangat percaya inspirasi gemilang muncul dari pengalaman yang tersimpan dalam ketidaksadaran, ketidaksadaran bukan hanya gudang-gudang peristiwa masa lalu tetapi juga penuh dengan benih-benih situasi ide-ide yang akan terjadi…kita menemukan hal ini dalam kehidupan sehari-hari, dimana dilema-dilema kadang-kadang dipeca\hkan oleh gagasan baru yang sangat mengherankan; banyak seniman, filoshof dan ilmuan dianugerahi inspirasi berupa ide-ide terbaik yang tiba-tiba muncul dari ketidaksadaran . (Sigmound Freud, 2000: 63).
`Cantoi` Ekternalisasi Agrophobia dalam Diri Sulaiman Juned
Ilmu Psikologi ketidaksadaran merupakan cabang ilmu yang selama ini digunakan untuk mendeteksi berbagai macam ganguan jiwa. Sejauh ini psikologi ketidaksadaran hanya berbicara seputar kelainan perilaku menyimpang yang terjadi padapenderita neurosis. Setelah semiotic menjadi cabang ilmu dalam ilmu analisis sastra terbuktilah bahwa symbol-simbol yang disepakati merupakan arkhetipe yang berawal dari ketidaksadaran. Simbol muncul bila ikon-ikon mendapat kesepakatan umum. Namun dalam banyak hal ikon-ikon yang muncul di seluruh dunia hamper sama dengan makna yang hamper sama pula. Pada dasarnya ikon muncul bersamaan dengan kebutuhan psikologis. Ketidakmampuan menjelaskan fenomena yang terjadi sangat potensial melahirkan ikon baru. Pada banyak kasus pasien jiwa ikon dibangun dari ketertekanan. Bila ini dikaitkan dengan prosesi penciptaan karya seni maka fenomena depresif ini dapat dikatakan eksternalisasi agrophobia.
Istilah agrophobia digunakan untuk ketakutan yang berlebihan. Pada tingkat demikian akan muncul sikap depresif atau agresif. Pada beberapa kasus yang muncul justru peristiwa sublimatif. Penderita agrophobia tidak semata-mata mengarah kepada kemerosotan jiwa yang membawa efek negatif adakalanya justru individu ini akan menjadi tegar dan tabah dalam melanjutkan kehidupan (Sigmound Freud, 2000:438). Ketertekan akan memiliki efek berbeda bagi setiap individu walaupun jenisnya sama, dalam hal ini psikologi memandang sebuah karya seni sebagai `benda` yang spesifik yang terlahir dari individu yang spesifik pula. Kolektifitas budaya bukan hal yang penting untuk menganalisa sebuah karya seni. Individunya yang penting, masa lalu, pendidikan, pengalaman estetis, romantis bahkan tekanan-tekanan hidup yang dialami. Fenomena jiwa milik semua orang sedangkan kebudayaan terkotak-kotak dalam sebuah lingkungan primordial.Sartre menungkapkan dalam menemukan analogis kesadaran imajinatif akan muncul kasus berikut, (1) Korelatif analogis dari pengetahuan imajinatif berupa objek afektif, (2) Imaji yang lengkap mencakup analog afektif yang menghadirkan objek dalam sifatnya yang mendasar dalam sebuah analog kisnetis yang mengeksternalkan objek dan memberikan tersebut realitas visual. (Sartre, 2000 : 192). Realitas visual berupa proyeksi imaji ini di eksternalkan kedalam realitas karya setelah disusun menjadi realitas estetis. Maka yang hadir adalah karya seni yang memukau. Ekternalisasi adalah prosesi ritual alam bawah sadar menjelmakan dirinya kepada kesadaran. Keseimbangan kimia tubuh menciptakan kekuatan bagi jiwa melalukan kompensasi yang sublim dengan proyeksi kreatif. Bagaimanapun kekuatan masa lalu tidaklah hilang. Ia tersimpan rapi di gudang data dalam serabut syaraf neurotic yang jumlahnya demikian banyak. Sadar atau tidak hadirlah ia keproyeksi masa sekarang yang dieksternalkan menjadi proyeksi kekecewaan atau kebahagiaan. Proses selanjutnya adalah kreativitas sublim dan pengolahan estetis yang rumit untuk dieksternalisasikan kedalam bentuk visualisasi kreatif dan indah. Lahirlah karya seni yang kadang-kadang mencengangkan banyak orang. (Sartre, 2000 : 194)
Disini yang menjadi kasus adalah `Cantoi` karya Sulaiman Juned, mari kita berandai-andai. Seumpama kita adalah seorang yang berada di Aceh saat konflik NKRI-GAM dalam keadaan kritis. Menjadi saksi atas kematian sudara-saudara atau orang-orang dicinta dalam tenggang waktu berdekatan. Dalam beberapa kasus ketertekanan yang berkepanjangan melahirkan stress. Kita tahu, banyak orang di daerah konflik mengalami gangguan jiwa ringan sampai berat. Bahkan sampai saat ini konflik korban-korban perang selalu menjadi masalah tak kunjung usai antara Negara korban perang melawan Negara aggressor. Sampai saat ini Jerman dan Jepang selalu menjadi korban hujatan, padahal dalam kondisi konflik semua orang depresi. Dalam keadaan demikian `Cantoi` bicara dengan tegas bahwa `peranglah yang bersalah`. Bukan `Pendekar atau maling`, karena kedua belah fihak tidak mengerti bagaimana cara mendapatkan ketenangan. Dalam kondisi yang tidak jelas bila berakhirnya. Kondisi jiwa kedua belah fihak sama-sama tertekan. Selanjutnya Sulaiman juned menjelaskan kenyataan ini melalui `si Cantoi` bahwa yang paling menderita rakyat yang tidak mengerti sama sekali, karena kedua belah fihak menaruh curiga pada mereka, mascot yang digambarkan adalah tokoh `cantoi`. Berikut petikan dialog tentang hal ini/…kami orang kamping mana tahu maling. Pekerjaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling disini itu pasti pelarian dari kampong lain./ dibagian lain berbunyi/Ah cantoi tak pernah jadi maling, tapi kalau maling jadi Cantoi itu diluar kemampuanku/. Sulaiman Juned sebenarnya `bermain-main` dengan kematian. Jelas sekali ketololan `Cantoi` adalah kenaifan yang tidak disadari. Penggambaran yang jelas bahwa tokoh yang digambarkannya adalah sisi lain dari kecerdasannya sebagai homocreator yang dikungkung frustasi melihat keadaan kampong halaman yang dicintainya. Seolah tak ada solusi untuk Aceh sementara kematian terus terjadi. Kecurigaan meningkat tajam, orang-orang tak berdosa diterkam oleh ketakutan karena dua sisi yang bertikai kerap salah sasaran. Rakyat yang tak mengerti apa-apa menjadi korban keberingasan para pendekar dan Maling. Dilog-dialog ini bukan hanya milik orang Aceh, ribuan pengungsi di perbatasan Lebanon juga mengalami ketertekanan yang sama saat Israel dan Palestina saling menyalahkan atas terror yang diperbuat kaum gerilyawan Intifadah. Perang selalu memberikan terror kepada rakyat. Peluang terbesar untuk menjadi korban salah sasaran, salah tembak, salah tangkap, salah bombardier. Musuh yang dicari sangat lihai melarikan diri sementara rakyat tak pernah belajar taktik menyelamatkan diri.
Tema sentral yang diusung lakon `Cantoi` memang bukan hal yang baru. Semua orang tahu bahwa perang menimbulkan depresi namun tema-tema lain menarik pula untuk dikaji, renungan filosifis tentang seorang ustadz misalnya, yang berani mengungkapkan kebenaran di atas mimbar namun dalam kenyataan asyik menghitung tasbih saat mayat rakyat dituduh sebagai `maling` terbujur dihadapannya. Ini kenyataan estetis yang dibangun Sulaiman Juned untuk `menelanjangi` kemunafikan kita. Logikanya pada saat terancam semua orang memilih jalan selamat. Kebenaran akan tersembunyi. Seorang Ustadzpun lebih memilih diam daripada harus berurusan dengan `pendekar`. Tema lain tak kalah menarik adalah kritik tajam terhadap gelar bangsawan yang dibangga-banggakan. Di awal-awal teks drama `Cantoi` dijelaskan bahwa “Darah kita semuanya merah” jadi, tidak layak mengaku " darah biru” atau lainnya.
Empirisme, Frustasi menuju Sublimasi Estetis Lakon `Cantoi`
Kini marilah kita bahas perjalanan kreatif bawah sadar Sulaiman Juned menuju terciptanya lakon `Cantoi`. Di atas sudah dijelaskan eksternalisasi agrophobia sebagai latar yang menjadi stimulus kelahiran drama `Cantoi`. Kini proses tersebut akan dijabarkan disini. Secara sederhana factor yang melatar belakangi terciptanya karya seni dari sisi psikologi adalah unsure intern dan ekstern. Unsur intern adalah kepribadian seniaman secara instrinsik sedangkan factor ekstern adalah stimulus yang muncul dari luar atau realita sehari-hari yang bersentuhan dengan si seniman. Pertama proses realitas verbal menjadi realitas seni selalu diiringi oleh penafsiran kenyataan oleh imajinasi, kedua pengalaman yang dialami seniman baik yang disadari maupun tidak disadari akan berpengaruh dalam sebuah karya seni yang tercipta. Ketiga penciptaan karya yang cerdas selalu melibatkan pertimbangan filoshopis yang bersifat edukatif. Keempat seniman yang baik adalah seorang ilmuan yang berusaha mencari solusi bagi persoalan sekitarnya yang terakhir, seniman yang baik bersikap sebagai penengah dalam segala persoalan disekitarnya.
Melihat empat sisi diatas maka pertarungan emosinal akan melahirkan kegelisahan estetis dalam diri seorang seniman. Lima elemen di atas dibenturkan dengan kegamangan jiwa seorang Sulaiman Juned. Bagaimanapun sebagai seorang yang berdarah Aceh ada rasa kecewa dalam dirinya melihat kampong halaman yang dicintainya berada dalam kondisi serba tidak jelas. Kekecewaan ini jelas bila kita membahas teks demi teks yang digambarkan dalam drama `cantoi`. Sebagai pertimbangan dialog berikut./korban berjatuhan. Mayat-mayat bergelimpangan. Disawah, diladang, dalam rimba bahkan dikeramaian pasarpun mayat-mayat berserakan./…barang siapa yang meratapi kematian para maling sudah pasti maling…/Peristiwa berdarah di kampong ini tidak ada lagi yang menangisi…/. Sulaiman Juned meratap dan menghiba dalam hatinya. Bagaimana tidak, sebagai orang Aceh tentulah ada keberfihakan tersembunyi dihatinya, hatinya pilu melihat saudara-saudara yang sekampung yang terbunuh tanpa jelas kesalahan. Yang jelas mereka divonis sebagai `maling`. Keresahan ini mula-mula disublimasi kedalam lakon “Jambo, Luka Tak Teraba” (di muat di Horison No 11 TH XXXVII/2003). jelas sekali penokohan dalam drama `Jambo Luka Tak Teraba` bertolak belakang dengan karakter `Cantoi`. Dalam `Jambo Luka Tak Teraba` tokoh-tokoh heroic hadir dengan persepsi bertolak belakang menyikapi keadaan. Lakon `Cantoi` justru mencibirkan heroisme tersebut. `Cantoi` sampai pada taraf bahwa heroisme Cuma kata-kata sempalan yang sama sekali tak berarti. Hanya lipstick yang menipu. Kecurigaan Sulaiman Juned memuncak dalam `Cantoi`, rupanya Pasukan Upah dan Kaum Ateuh (lihat teks `Jambo Luka Tak Teraba`) sama saja. Sama-sama tidak mempertimbangkan penderitaan rakyat.
Bagan psikologis terciptanya drama `Cantoi` dapat digambarkan seperti berikut ini:
Keterangan:
1. R = Realitas
2. I = Intelektual/kecerdasan
3. FE = Frustasi Estetik
4. RI =Realitas Imajinatif
5. EA = Eksternalisasi Agrophobia
Realitas merupakan stimulus yang merangsang pemikiran seorang seniman gelisah. Realitas yang dianggap buruk sangat memungkinkan frustasi. Frustasi itu memicu sublimasi hingga proyeksi yang tersusun dalam kerangka karya. Inilah yang disebut frustasi estetis. Seniman kreatif kemudian mewujudkan kegelisahan ini menjadi karya yang benar-benar nyata. Realitas hadir menjadi kenyataan seni. Kenyataan seni ini wujudnya bermacam-macam, diantaranya, Agresif, melankolis, ataupun romantis. Pada Lakon `Jambo Luka Tak Teraba` bentuk aktualisasinya adalah Agresif. Sulaiman dengan ber api-api mencerca kenyataan, begitu agresif bahkan cenderung emosional dan provokatif (Lihat Horison No 11/2003). Pada lakon `Cantoi` Perwujudan frustasi estetiknya berbentuk melankolis aktualisasinya adalah style lakon. Menertawakan kematian perwujudan kepedihan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.
Penutup
Lakon `Cantoi` adalah perwakilan orang-orang yang berada dalam ketidakjelasan situasi. Ketertekanan berkepanjangan melahirkan kefrustasian. Walaupun tokoh ini digambarkan dengan seting Aceh, peristiwa `Cantoi` akan menimpa siapa saja. Ketertekanan jiwa dapat menimpa setiap orang. Ada kalanya ketertekanan ini sampai pada kondisi sesorang kehilangan kendali psikis dan menjadi abnormal`. Kondisi tidak normal ini dalam ilmu jiwa disebut neurosis sesuai tempat yang menjadi sebabnya yaitu syaraf-syaraf penyimpan data bawah sadar.
Kenyataan adalah sumber utama bahan baku karya seni, selebihnya pengalaman estetis yang berkonfigurasi dengan ketidaksadaran. Karya yang besar kerap muncul dari ketertekanan yang memicu syaraf bawah sadar berkontraksi. Ide-ide cemerlang muncul menjadi karya yang luar biasa. Latar emosional demikian yang mendasari kreatifitas psikologis dalam diri Sulaiman Juned `sang bapak si Cantoi`. Dari realitas Aceh `Cantoi` bicara soal kemanusian secara universal dan menyentuh persoalan jiwa manusia di seluruh dunia. Berawal dari konflik Aceh, manusia-manusia yang dicengkram perang di seluruh dunia bersuara. Keputus asaan tak kunjung selesai menyekap jiwa-jiwa malang yang terjebak dalam perang.
Sosiologi memang telah banyak berjasa menyingkap demikian banyak fenomena karya seni. Namun dewasa ini seiring perkembangan ilmu pengetahuan sudah saatnya mempertimbangkan cabang ilmu lain yang lebih menyentuh substansi manusia secara objektif. Psikologi ketidaksadaran sudah lama mengkaji symbol-simbol kejiwaan yang menguasai manusia sejak manusia itu ada. Dalam bannyak kasus karya seni aspek psikislah yang berpengaruh besar selain aspek social. Maka saatnya psikologi ketidaksadaran menunaikan `tugas baru`, sebagai pemberi penjelasan bagi karya-karya besar para seniman.
Biodata Penulis
Penulis adalah pengarang drama, skenario, dramaturg, aktor, penulis kritik seni budaya, pencipta lagu, Salah seorang pendiri Komunitas seni `kuflet` Padangpanjang. Salah seorang Pendiri kelompok kerja seni `gonjong Tujuh` Padang Panjang. Pernah menjadi asisten pengajar di jurusan teater STSI Padangpanjang saat masih kuliah di STSI Padangpanjang. Pengalaman sebagai guru adalah mengajar Ekstra di SMU Sore Padang Panjang. Pengajar kesenian di SMU Negeri 2 Tabir, kabupaten Merangin. Propinsi Jambi, (semenjak 10 Januari 2006). Pengajar KTK serta Kebudayaan Daerah di SMP 2 Tabir Selatan kabupaten Merangin, Propinsi Jambi (Semenjak 6 Agustus 2006). Mengajar di SD 07 Limbur Merangin, Kabupaten Merangin Propinsi Jambi (semenjak 11 Juli 2007). Saat ini non aktif sebagai guru untuk menempuh program D4 di Fakultas Ilmu Pendidikan UMSB “Kauman” Padangpanjang. Pengalaman jurnalistik, menulis untuk Jurnal “Ekspresi Seni” STSI Padangpanjang dengan judul “ Teater Impilikasi Realitas Sastera”. Menulis untuk Jurnal “Palanta Seni Budaya” dengan judul “Mempertanyakan Sebuah Rumah : Sebuah Analisis Multidisipliner terhadap Karya Toni Aryadi”.
KUFLET ADAKAN DIKLAT KARYA TULIS ILMIAH: Meningkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru
KUFLET ADAKAN DIKLAT KARYA TULIS ILMIAH:
Meningkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru
Komunitas seni kuflet Padangpanjang beberapa waktu lalu ( Mei 2008 ) dalam ulang tahunnya ke 11, digedung Hoerijah Adam STSI Padangpanjang – Sumatera Barat, sukses melaksanakan seminar nasional dan bedah buku dengan tema “Konsepsi Ideal Sastra Budaya Melayu Nusantara“. Panitia menghadirkan narasumber, Prof. Dr. Mahdi Bahar (Guru Besar STSI Padangpanjang) yang membincangkan “Seni Melayu Seni Yang Islami“, Zulfardi Darussalam, M.Pd (Dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB) yang merumuskan “Aspek Melayu Dalam Drama Indonesia“, dan Asril Mucktar, S.Kar, M.Hum (Kritikus Seni) membedah buku biografi tentang Sulaiman Juned yang ditulis Wiko Antoni, S.Sn, berjudul: “Catatan Perang Seorang Seniman Aceh di Padangpanjang“.. Komunitas yang bergerak dibidang Teater, Musik, Artistik dan Sastra kali ini mengadakan Diklat Karya Tulis Ilmiah pada tanggal 7 – 9 Nopember 2008. Kegiatan tersebut bertajuk “Aktualisasi Semangat Kepahlawanan Kita Tingkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru“. Tutur Ketua Panitia Pelaksana Anggra Putra (4/9) saat ditemui disekretariat panitia.
Program ini bertujuan terhadap pematangan wawasan dibidang karya tulis ilmiah, dan apresiasi seni bagi guru sebagai media alternatif dalam mengemas wacana. Tenaga pendidik menjadi perioritas keilmuan. Guru merupakan wadah transaksi ilmu secara universal dan menyeluruh untuk mewujudkan generasi penerus yang berkualitas. Atas dasar itu, kuflet ingin menciptakan proses kreatifitas yang berarti bagi guru. Guru selayaknya menjadi tonggak untuk di gugu dan di tiru bukan menjadi orang yang di buru. Jadi andai profesi ini sebagai pilihan hidup tentu harus mempersiapkan diri menjadi manusia ‘super’, serba bisa dalam bidang ilmu.
Dorongan inilah menggerakkan Kuflet melaksanakan Diklat Karya Tulis Ilmiah. Bentuk kegiatannya, seminar, workshop dan pameran seni instalasi dengan sasaran peserta; mahasiswa, guru, dosen dan khalayak umum. Narasumber akan dihadirkan: Zulmasyah (Pimpinan Redaksi Riau Post) dengan materi “Gampangkah Menulis Itu”, Asril Mucktar (Dosen STSI Padangpanjang) makalahnya berjudul “Menulis Kreatif Itu Mengasyikkan”, dan S. Metron (Wartawan Padang Ekspres Padang) judul makalahnya “Jurnalistik Seni Pertunjukan”. Melalui kegiatan ini diharapkan guru mampu meningkatkan kualitas intelektualnya, khusus dalam bidang menulis. Tutur Sekretaris Panitia Wessy Sri Azweni mantap. Bravo! Kuflet, maju terus.
Kuflet: Sambut Ramadhan dengan Touring Budaya
Sejumlah 20-an anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (24/8) yang lalu mengadakan touring budaya dengan sepeda motor. Kegiatan ini untuk mempererat silaturrahmi sesama anggota, sekaligus memperkenalkan kuflet kepada masyarakat Sumatera Barat. Touring kali ini melewati rute; Padangpanjang-Bukittinggi-Maninjau-Lubuk Basuang-Pariaman, dan kembali ke Padangpanjang. Tutur Ketua Panitia Fikar Aceh.
Fikar Aceh menambahkan, touring yang dilakukan Kuflet bukan untuk hura-hura, tetapi untuk mengaktualisasi para anggota baru agar berani melakukan kreativitas seni dengan ,masyarakat umum. Kegiatan ini juga sebagai media dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan. Dakwah tidak hanya dilakukan oleh para Ulama, seniman sesungguhnya lebih tepat menggunakan pertunjukan seni menjadi media dakwah terhadap masuyarakat penonton. Perjalanan yang mengasyikkan ini, disetiap daerah seperti Bukittinggi, Kelok 44 Maninjau, Muko-Muko Maninjau Kabupaten Agam, di pusat Kota Lubuk Basuang dan Kota Pariaman melakukan pertunjukan baca puisi dan opening art di jalan-jalan. Masyarakat setempat menyambutnya dengan sangat antusias,
Muhammad Subhan penonton di Muko-Muko mengatakan, selama hidup saya belum pernah menyaksikan kegaiatan pentas seni di alam seperti ini. Baru Kuflet yang melakukan pertama sekali di Sumatera Barat, entah kalau di daerah lain. Pertunjukan baca puisi dan seni lainnya itu menyampaikan pesan-pesan moral, ini membuat kami baik
generasi muda maupun tua tergugah ketika menonton pertunjukan tersebut, kami sangat senang dan terharu. Mudah-mudahan tahun depan Kuflet mau hadir lagi, dan untuk kegiatan ini kami berharap Kuflet mau melakukannya untuk seluruh Indonesia, Semoga! Tuturnya. (sai): Sulaiman Juned, Padang-Sumatera Barat.
Usai pertunjukan baca puisi dan opening art di Muko-Muko Maninjau
Kabupaten Agam Sumatera Barat, seluruh Anggota Kuflet yang ambil
Bagian dalam Touring Budaya photo bersama. (Photo: Humas Kuflet).
Jalan Kehidupan: Syarief dan Ira Kuflet pentaskan opening art, memvisualkan
Sisi gelap dan terang perjalanan kehidupan, di Danau Maninjau Sumatera Barat,
(Photo/teks: Sulaiman Juned)
STSI PADANGPANJANG:
Buka Program Pascasarjana Tahun Depan, Siapkah (?)
Mutu pendidikan akan ditingkatkan dengan menghasilkan lulusan berkualitas. Out put yang mumpuni tentu ditentukan oleh intelegensi dosen. Para dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang harus memiliki wawasan budaya Melayu bukan budaya Minangkabau saja. Jadi para dosen akan dimagangkan sesuai dengan kebutuhan jurusan masing-masing ke seluruh wilayah Melayu. Setiap peneliti, pakar seni budaya yang akan berbicara tentang Melayu agar datanya valid harus datang dulu ke STSI Padangpanjang. Tutur Ketua STSI Padangpanjang, Prof. Dr. Daryusti, M.Hum (4/9) saat ditemui di ruang kerjanya.
STSI akan membuka jenjang pendidikan Pascasarjana (S-2) dengan program studi Penciptaan Seni dan Pengkajian Seni. Tahun depan insyaallah kita sudah menerima mahasiswa, bila perlu tahun 2008 ini. Sebenarnya kita sudah siap, tinggal ,menunggu Surat Keputusan dari DIKTI. STSI Padangpanjang berkemungkinan menjadi lebih maju dan berkembang di masa datang, sebab satu-satunya Lembaga Pendidikan Tinggi Seni yang mengkaji seni Melayu. Disamping itu dalam waktu dekat (sekitar tahun 2009/2010) akan berubah status menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Tambahnya.
Lazuardi, Pembantu Ketua Bidang Adminitrasi dan Keuangan, ketika dijumpai diruang kerjanya menyatakan, optimis terhadap perubahan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni menuju ke arah yang lebih maju. Apalagi dengan dibukanya Program Pascasarjana serta perubahan status dari STSI ke ISI, kita tunggu saja. Tuturnya.
Lembaga Pendidikan STSI Padangpanjang, merupakan satu-satunya yang mengkaji seni Melayu. Kehidupan Melayu sebagai langkah awal untuk berkembang. Kita harus mempersiapkan diri untuk menjadikan Laboratorium Melayu di Nusantara, agar para ilmuwan mencari informasi, dokumentasi, material dan penelitian tentang Melayu ke STSI Padangpanjang. Bicara Melayu ya harus dating ke Padangpanjang, ingin mengkaji P.M.T.O.H dan Didong kesenian dari Aceh, di Padangpanjang ada data yang lengkap. Ingin mendata tari Zapin di Padangpanjang tempatnya. Ungkap Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan, Martarosa, S.Sn., M.Hum.
Tujuh Program Studi yang ada di STSI, hendaknya mampu merumuskan tentang ilmu dan pengetahuan Melayu. STSI dengan kajian itu memang harus melalui proses panjang. Apalagi membuka Program Pascasarjana harus dipersiapkan secara matang baik tenaga pengajar, fasilitas pustaka dan administrasi. Jika sudah siap kenapa tidak. Sementara untuk aktifitas kemahasiswaan walaupun tidak ada dana kreativitas mahasiswa harus jalan. Tekannya.
Jurusan Teater Prioritaskan Sekolah Binaan dan Desa Binaan
Sebelas tahun sudah usia jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang yang didirikan pada 5 September 1997. Sampai hari ini sudah meluluskan enam angkatan. Lulusannya ada yang bekerja jadi seniman, pekerja di Televisi, guru, dosen dan aktivis seni. Namun jurusan teater STSI Padangpanjang masih belum di kenal dan dicintai secara luas oleh masyarakat, jangankan masyarakat Sumatera dalam wilayah Sumatera Barat saja masih ada yang belum mengenal jurusan seni teater.
Tak kenal maka tak sayang, ungkapan inilah yang membuat jurusan teater melakukan program pengenalan teater ke masyarakat melalui apresiasi. Selama ini dalam pentas teater mahasiswa maupun dosen kita selalu mengundang penonton. Sekarang tekhnisnya dirubah dengan menjemput penonton lewat sekolah binaan dan membuat desa binaan di Sumatera Barat, bahkan bila seluruh sumatera. Ungkap Ketua Jurusan Seni Teater Yusril, S.S., M.Sn
Masyarakat Sumatera sudah sangat kenal dengan sandiwara atau tonil. Teater rakyat ini sudah berkembang di Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Lampung, Medan. Teater modern ketika masuk ke wilayah pedesaan di Sumatera haruslah dalam pemahaman masyarakat. Sebenarnya tradisi berteater sudah biasa dan sering dilakukan oleh masyarakat di seluruh Sumatera, kini tinggal kita melakukan pengembangan menuju pembaharuan. Jadi dengan program ini yang berujung pada mencetak lulusan yang bermamfaat di tengah masyarakat. Teater dewasa ini sudah menjadi profesi bukan lagi hobi, hanya lewat pendidikanlah teater di wilayah Sumatera berkualitas. Tambah Yusril.
Tatang R. Macan, Sekretaris Jurusan Teater menimpali, teater miniature dari kehidupan. Kampung seni untuk memberdayakan masyarakat agar tidak tertutup terhadap perkembangan jaman. Sekaligus melakukan pengembangan pola berpikir, sehingga tercipta silaturrahmi seni. Jurusan teater selain fokus pada dua kegiatan jangka panjang itu, juga memprogramkan kegiatan worsksop, diskusi dengan mendatangkan tokoh-tokoh seperti Wisran Hadi (Sastrawan/Sutradara), Radhar Panca Dahana (Dramatug), Toni brur (Aktor), dalam bulan Desember juga mengundang Goethe Istitut untuk membongkar habis tentang konsepsi Brechtian. Tegasnya (sai)
Trimks! Salam
Sulaiman Juned.
Meningkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru
Komunitas seni kuflet Padangpanjang beberapa waktu lalu ( Mei 2008 ) dalam ulang tahunnya ke 11, digedung Hoerijah Adam STSI Padangpanjang – Sumatera Barat, sukses melaksanakan seminar nasional dan bedah buku dengan tema “Konsepsi Ideal Sastra Budaya Melayu Nusantara“. Panitia menghadirkan narasumber, Prof. Dr. Mahdi Bahar (Guru Besar STSI Padangpanjang) yang membincangkan “Seni Melayu Seni Yang Islami“, Zulfardi Darussalam, M.Pd (Dosen FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia UMSB) yang merumuskan “Aspek Melayu Dalam Drama Indonesia“, dan Asril Mucktar, S.Kar, M.Hum (Kritikus Seni) membedah buku biografi tentang Sulaiman Juned yang ditulis Wiko Antoni, S.Sn, berjudul: “Catatan Perang Seorang Seniman Aceh di Padangpanjang“.. Komunitas yang bergerak dibidang Teater, Musik, Artistik dan Sastra kali ini mengadakan Diklat Karya Tulis Ilmiah pada tanggal 7 – 9 Nopember 2008. Kegiatan tersebut bertajuk “Aktualisasi Semangat Kepahlawanan Kita Tingkatkan Kecintaan Menulis Bagi Guru“. Tutur Ketua Panitia Pelaksana Anggra Putra (4/9) saat ditemui disekretariat panitia.
Program ini bertujuan terhadap pematangan wawasan dibidang karya tulis ilmiah, dan apresiasi seni bagi guru sebagai media alternatif dalam mengemas wacana. Tenaga pendidik menjadi perioritas keilmuan. Guru merupakan wadah transaksi ilmu secara universal dan menyeluruh untuk mewujudkan generasi penerus yang berkualitas. Atas dasar itu, kuflet ingin menciptakan proses kreatifitas yang berarti bagi guru. Guru selayaknya menjadi tonggak untuk di gugu dan di tiru bukan menjadi orang yang di buru. Jadi andai profesi ini sebagai pilihan hidup tentu harus mempersiapkan diri menjadi manusia ‘super’, serba bisa dalam bidang ilmu.
Dorongan inilah menggerakkan Kuflet melaksanakan Diklat Karya Tulis Ilmiah. Bentuk kegiatannya, seminar, workshop dan pameran seni instalasi dengan sasaran peserta; mahasiswa, guru, dosen dan khalayak umum. Narasumber akan dihadirkan: Zulmasyah (Pimpinan Redaksi Riau Post) dengan materi “Gampangkah Menulis Itu”, Asril Mucktar (Dosen STSI Padangpanjang) makalahnya berjudul “Menulis Kreatif Itu Mengasyikkan”, dan S. Metron (Wartawan Padang Ekspres Padang) judul makalahnya “Jurnalistik Seni Pertunjukan”. Melalui kegiatan ini diharapkan guru mampu meningkatkan kualitas intelektualnya, khusus dalam bidang menulis. Tutur Sekretaris Panitia Wessy Sri Azweni mantap. Bravo! Kuflet, maju terus.
Kuflet: Sambut Ramadhan dengan Touring Budaya
Sejumlah 20-an anggota Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang (24/8) yang lalu mengadakan touring budaya dengan sepeda motor. Kegiatan ini untuk mempererat silaturrahmi sesama anggota, sekaligus memperkenalkan kuflet kepada masyarakat Sumatera Barat. Touring kali ini melewati rute; Padangpanjang-Bukittinggi-Maninjau-Lubuk Basuang-Pariaman, dan kembali ke Padangpanjang. Tutur Ketua Panitia Fikar Aceh.
Fikar Aceh menambahkan, touring yang dilakukan Kuflet bukan untuk hura-hura, tetapi untuk mengaktualisasi para anggota baru agar berani melakukan kreativitas seni dengan ,masyarakat umum. Kegiatan ini juga sebagai media dakwah untuk menyampaikan pesan-pesan kebajikan. Dakwah tidak hanya dilakukan oleh para Ulama, seniman sesungguhnya lebih tepat menggunakan pertunjukan seni menjadi media dakwah terhadap masuyarakat penonton. Perjalanan yang mengasyikkan ini, disetiap daerah seperti Bukittinggi, Kelok 44 Maninjau, Muko-Muko Maninjau Kabupaten Agam, di pusat Kota Lubuk Basuang dan Kota Pariaman melakukan pertunjukan baca puisi dan opening art di jalan-jalan. Masyarakat setempat menyambutnya dengan sangat antusias,
Muhammad Subhan penonton di Muko-Muko mengatakan, selama hidup saya belum pernah menyaksikan kegaiatan pentas seni di alam seperti ini. Baru Kuflet yang melakukan pertama sekali di Sumatera Barat, entah kalau di daerah lain. Pertunjukan baca puisi dan seni lainnya itu menyampaikan pesan-pesan moral, ini membuat kami baik
generasi muda maupun tua tergugah ketika menonton pertunjukan tersebut, kami sangat senang dan terharu. Mudah-mudahan tahun depan Kuflet mau hadir lagi, dan untuk kegiatan ini kami berharap Kuflet mau melakukannya untuk seluruh Indonesia, Semoga! Tuturnya. (sai): Sulaiman Juned, Padang-Sumatera Barat.
Usai pertunjukan baca puisi dan opening art di Muko-Muko Maninjau
Kabupaten Agam Sumatera Barat, seluruh Anggota Kuflet yang ambil
Bagian dalam Touring Budaya photo bersama. (Photo: Humas Kuflet).
Jalan Kehidupan: Syarief dan Ira Kuflet pentaskan opening art, memvisualkan
Sisi gelap dan terang perjalanan kehidupan, di Danau Maninjau Sumatera Barat,
(Photo/teks: Sulaiman Juned)
STSI PADANGPANJANG:
Buka Program Pascasarjana Tahun Depan, Siapkah (?)
Mutu pendidikan akan ditingkatkan dengan menghasilkan lulusan berkualitas. Out put yang mumpuni tentu ditentukan oleh intelegensi dosen. Para dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang harus memiliki wawasan budaya Melayu bukan budaya Minangkabau saja. Jadi para dosen akan dimagangkan sesuai dengan kebutuhan jurusan masing-masing ke seluruh wilayah Melayu. Setiap peneliti, pakar seni budaya yang akan berbicara tentang Melayu agar datanya valid harus datang dulu ke STSI Padangpanjang. Tutur Ketua STSI Padangpanjang, Prof. Dr. Daryusti, M.Hum (4/9) saat ditemui di ruang kerjanya.
STSI akan membuka jenjang pendidikan Pascasarjana (S-2) dengan program studi Penciptaan Seni dan Pengkajian Seni. Tahun depan insyaallah kita sudah menerima mahasiswa, bila perlu tahun 2008 ini. Sebenarnya kita sudah siap, tinggal ,menunggu Surat Keputusan dari DIKTI. STSI Padangpanjang berkemungkinan menjadi lebih maju dan berkembang di masa datang, sebab satu-satunya Lembaga Pendidikan Tinggi Seni yang mengkaji seni Melayu. Disamping itu dalam waktu dekat (sekitar tahun 2009/2010) akan berubah status menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Tambahnya.
Lazuardi, Pembantu Ketua Bidang Adminitrasi dan Keuangan, ketika dijumpai diruang kerjanya menyatakan, optimis terhadap perubahan Lembaga Pendidikan Tinggi Seni menuju ke arah yang lebih maju. Apalagi dengan dibukanya Program Pascasarjana serta perubahan status dari STSI ke ISI, kita tunggu saja. Tuturnya.
Lembaga Pendidikan STSI Padangpanjang, merupakan satu-satunya yang mengkaji seni Melayu. Kehidupan Melayu sebagai langkah awal untuk berkembang. Kita harus mempersiapkan diri untuk menjadikan Laboratorium Melayu di Nusantara, agar para ilmuwan mencari informasi, dokumentasi, material dan penelitian tentang Melayu ke STSI Padangpanjang. Bicara Melayu ya harus dating ke Padangpanjang, ingin mengkaji P.M.T.O.H dan Didong kesenian dari Aceh, di Padangpanjang ada data yang lengkap. Ingin mendata tari Zapin di Padangpanjang tempatnya. Ungkap Pembantu Ketua III Bidang Kemahasiswaan, Martarosa, S.Sn., M.Hum.
Tujuh Program Studi yang ada di STSI, hendaknya mampu merumuskan tentang ilmu dan pengetahuan Melayu. STSI dengan kajian itu memang harus melalui proses panjang. Apalagi membuka Program Pascasarjana harus dipersiapkan secara matang baik tenaga pengajar, fasilitas pustaka dan administrasi. Jika sudah siap kenapa tidak. Sementara untuk aktifitas kemahasiswaan walaupun tidak ada dana kreativitas mahasiswa harus jalan. Tekannya.
Jurusan Teater Prioritaskan Sekolah Binaan dan Desa Binaan
Sebelas tahun sudah usia jurusan Seni Teater STSI Padangpanjang yang didirikan pada 5 September 1997. Sampai hari ini sudah meluluskan enam angkatan. Lulusannya ada yang bekerja jadi seniman, pekerja di Televisi, guru, dosen dan aktivis seni. Namun jurusan teater STSI Padangpanjang masih belum di kenal dan dicintai secara luas oleh masyarakat, jangankan masyarakat Sumatera dalam wilayah Sumatera Barat saja masih ada yang belum mengenal jurusan seni teater.
Tak kenal maka tak sayang, ungkapan inilah yang membuat jurusan teater melakukan program pengenalan teater ke masyarakat melalui apresiasi. Selama ini dalam pentas teater mahasiswa maupun dosen kita selalu mengundang penonton. Sekarang tekhnisnya dirubah dengan menjemput penonton lewat sekolah binaan dan membuat desa binaan di Sumatera Barat, bahkan bila seluruh sumatera. Ungkap Ketua Jurusan Seni Teater Yusril, S.S., M.Sn
Masyarakat Sumatera sudah sangat kenal dengan sandiwara atau tonil. Teater rakyat ini sudah berkembang di Aceh, Minangkabau, Riau, Jambi, Lampung, Medan. Teater modern ketika masuk ke wilayah pedesaan di Sumatera haruslah dalam pemahaman masyarakat. Sebenarnya tradisi berteater sudah biasa dan sering dilakukan oleh masyarakat di seluruh Sumatera, kini tinggal kita melakukan pengembangan menuju pembaharuan. Jadi dengan program ini yang berujung pada mencetak lulusan yang bermamfaat di tengah masyarakat. Teater dewasa ini sudah menjadi profesi bukan lagi hobi, hanya lewat pendidikanlah teater di wilayah Sumatera berkualitas. Tambah Yusril.
Tatang R. Macan, Sekretaris Jurusan Teater menimpali, teater miniature dari kehidupan. Kampung seni untuk memberdayakan masyarakat agar tidak tertutup terhadap perkembangan jaman. Sekaligus melakukan pengembangan pola berpikir, sehingga tercipta silaturrahmi seni. Jurusan teater selain fokus pada dua kegiatan jangka panjang itu, juga memprogramkan kegiatan worsksop, diskusi dengan mendatangkan tokoh-tokoh seperti Wisran Hadi (Sastrawan/Sutradara), Radhar Panca Dahana (Dramatug), Toni brur (Aktor), dalam bulan Desember juga mengundang Goethe Istitut untuk membongkar habis tentang konsepsi Brechtian. Tegasnya (sai)
Trimks! Salam
Sulaiman Juned.
Puisi-Puisi Sulaiman Juned
Antologi Puisi
MENJILAT BULAN
Karya: Sulaiman Juned
@ Pengantar Penyair menjilat bulan---------------------------------------menjilat bulan, i
MENULIS PUISI;
Saya Berangkat dari Realitas Sosial Menjadi Realitas Sastra
Sastra dalam pehamaman saya adalah potret buram kehidupan masyarakat, baik sikap-moralitas-sosiologis-psikologis yang berkembang dan berjangkit di tengah lingkungan sosial. Jadi penyair menangkap potret tersebut, merekamnya lalu menciptakan dengan formulasi rasa, dari daya cipta menuju terciptanya karya yang monumental. Proses penciptaan karya sastra selalu berasal dari ide (akal pikiran, dilihat, dirasakan, dilakukan dalam kehidupan sosial tempat si penyair itu hidup)-lalu diproses dalam tatanan kreatifitas si penyair, sejauhmana penyair sebagai makhluk sosial mampu membaca realita sosial menjadi realitas sastra. Hal ini, jelas menambah aura, puitikal, dan bahasa puisi menjadi ternikmati. Atas dasar itu, penulis menuliskan realitas sosial yang penulis lihat- rekam-rasakan- nikmati lalu terendap menjadi judul antologi ini menjilat bulan.
Hampir seluruh puisi yang ada dalam antologi bersentuhan dengan kata, kalimat bulan . Kata ini memang menjadi medium penciptaan, mungkin bulan indah, jorok, senang, sakit, bahagia, luka. Siapapun kita di atas bumi ini sangat merindukan bulan, terlepas bulan ini-itu-kemarin-besok-lusa dapat menjadikan bulan-bulan yang ideal dalam hidup. Manusia dewasa ini sudah sangat sering mengotori bulan atau memanjakan bulan. Berangkat dari filosofi inilah penulis memilih judul antologi puisi ‘Menjilat Bulan’ terlebih atas kurang dan lebih.
Demikian, salam kreatif. Mudah-mudahan antologi ini jadi tempat kita berkaca diri, minimal bagi diri penulis. Salam.
Padangpanjang, 1 Januari 2008
Salam Kreatif,
Sulaiman Juned
@Pengantar Menjilat bulan----Prof.Dr. Mahdi Bahar-----------------menjilat bulan, ii
PENGANTAR MENJILAT BULAN
IQRA’;… bacalah,… bacalah;…demikian Sang Malaikat itu atas perintah Yang Maha Kuasa langit dan bumi beserta isinya sejak tahun 610 masehi menyuruh sosok manusia ‘al-Amin’ dan insan sesudahnya menggunakan pikir. Apakah kamu tidak memperhatikan, merenungkan, memikirkan, atau mengambil i’tibar atas ayat-Nya; tidak ada yang sia-sia Ku ciptakan. Demikian Sang Maha Kuasa berkata… .
Kejadian yang tidak mengenakkan di bumi nusantara pada akhir milenium dua dan awal milenium tiga melalui kedahsyatan muncratan perut bumi, gempa, tsunami, atau air bah yang meluluhlantakkan negeri Lampung, Flores, Aceh, Nias, Sumatera Barat, Sidoarjo, Jawa Tengah, Jakarta adalah ciptaan-Nya. Biarkan manusia yang tidak mengesakan-Nya mengatakan geliat itu adalah karena alam sudah tua atau memang begitulah maunya alam, tetapi dalam ‘Kita’, semua itu adalah sunatullah. Telah Ku tunjukkan kejadian serupa pada kaum sebelum kamu; lihat bangsa atau kaum Saba, Tsamud, ‘Aad, umat Nuh, atau Luth yang telah melampaui batas, … Ku … hancurkan. Sekali lagi potret itu adalah sunatullah, bukan fatamorgana b-e-l-a-k-a. Bacalah, … bacalah…… dan bacalah. Aduh …, termasuk tindakan manusia di belakang topeng-topeng mereka.
Kejadian yang merupakan sunatullah dan tidak mengenakkan itu, di samping berbagai ulah tangan manusia, telah jadi ayat bagi Sulaiman Juned. Tilikan sanubarinya atas ayat-ayat tersebut melampaui kejadian yang sesungguhnya. Semua diperuntukkan santapan rohani. Buah pemikiran, renungan, yang merupakan sari pati fenomena tragedi alam atau kemanusiaan yang teramat dahsyat demikian, dibungkusnya dalam sentuhan estetika ucap. Latar belakang pribadinya sebagai penulis dan seniman yang ditempa oleh budaya Aceh, ternyata memberinya peluang untuk lebih jauh merasakan betapa hebat tragedi alam dan kemanusiaan itu dirasakan oleh orang Aceh. Kekentalan makna yang dalam atas ayat-ayat tersebut dikemasnya dalam bingkai-bingkai ekspresif. Manifestasi kejadian itulah yang diekspresikannya dalam karya Antologi Puisi Menjilat Bulan, dengan kejiwaannya tersendiri.
Dalam situasi begini tepatlah agaknya penyair Amerika Robert Frost yang memenangkan Pulitzer Prize untuk karya puisi sebanyak empat kali pada tahun 1924, 1931, 1937, dan 1943 berkata di hadapan Presiden John F. Kennedy pada saat pelantikannya di bulan Januari tahun 1961. Frost berkata, bahwa puisi “makes you remember what you didn’t know you knew”. Ungkapan ini memuat kesadaran ada orang yang tidak tahu bahwasanya ia tahu. Puisi dapat mengingatkan kembali orang-orang yang tahu atau bahkan manusia yang pura-pura lupa terhadap apa yang diketahuinya. Apa yang diungkapkan Sulaiman Juned dalam kemasan puisinya, tentu dapat memainkan peran seperti yang dimaksud Frost, ialah memberi tahu bagi yang tidak tahu atau mengingatkan kembali insan yang pura-pura tidak tahu akan apa yang seharusnya ia perbuat.
Menjilat Bulan sebagai bingkai pemikiran yang bersumber dari realitas sosial dan tragedi alam yang menimpa segenap insan, patut dibaca sebagai sumber pelajaran dan pencerahan. Sejumlah pemikiran yang termuat dalam beberapa judul dan sarat dengan ekspresi kemanusiaan (humanisme) serta dikemas dalam kalimat puitis dalam antologi ini merupakan kekayaan. Ia adalah gambaran kekayaan perjalanan spritualitas yang tampaknya sebesar kuku, tetapi dikembang selebar alam.
Akhir kata patut disampaikan bahwa antologi puisi karya Sulaiman Juned ini dapat dijadikan bahan kajian untuk penyadaran atau pengayaan spritual, terutama bagi peminat karya seni sastra di samping sebagai bahan studi kemanusiaan dengan segala harapannya, “Menjilat Bulan”.
Terimakasih
Kampung Jambak, PdPj. 16 Maret 2008
Salam,
Prof. Dr. Mahdi Bahar
Guru Besar pada
Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Padangpanjang
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 1
RINDU BULAN
tuhan
aku rindu ikan di kolam.
-Padangpanjang, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 2
BERLABUH
setiap
teluk titip rindu. Anak
sampan telusuri laut
: kapan berlabuh
ah!
-Banda Aceh, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 3
BULAN BENCANA
kampung-kampung
masih terkepung sepi. Gerimis
berkelahi di halaman. Kadang
meruncing menembus dada
menyaksikan bencana tak mau pergi.
kampung-kampung
masih terkepung luka. Gerimis
tempias ke wajah semesta. Tersekap
amnesia sejarah mengeram diingatan. Aku
hanya mampu mencatat keping duka-tercecer
senyap untuk di kenang
ah!
-Solo, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 4
BULAN DUKA
samudera hindia mengirim
maut. Masih lekat di jiwa tentang Aceh
dilipat air raya-Yogya diluluhlantakkan
gempa-Sidoarjo berenang lumpur panas. Pesisir
selatan Jawa digulung tsunami. Aroma
kematian menyekap
pikiran.
samudera hindia mengirim
maut. Tuhan menegur
kita menunggu
giliran-siapkan
diri
ah!
-Solo, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 5
NEGERI BULAN
seperti rentak tari di sunyi pagi
berkabut. Tanah Yogya bergetar
memendam pilu di dada pengembara. Aku
mencium mawar-durinya mengurung ruang
kepala. Menyaksikan Bantul-Sleman-Klaten tinggal
puing. Orang-orang berkelahi pikiran dikelap-kelip
waktu pada wajah penderitaan. Aku
hanya mampu melukis luka dilangit
ungu Yogyakarta bawa pulang ke kamar cinta
(biarkan sebentar semedi menyucikan kalbu).
-Yogyakarta, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 6
NYERI BULAN
aku
gendong peradaban luka
dalam babakan sejarah merindui
peruntungan jiwa di sudut hening
: bergelut memungut wajah kita
terpasung ritus topeng.
aku
gendong peradaban duka
dalam sansai nyeri di sukma
: menghitung di timbun tanah
sementara kita saling memangsa
ah!
-Solo, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 7
BULAN AIR MATA
aku
ziarahi negeri air mata. Terpenjara
keterasingan melawan kemerdekaan
jiwa. Ruang hening mengoyak derita
ribuan nyawa diceraiberaikan gempa. Aku
dirikan kemah pengungsi di hati.
aku
ziarahi negeri duka dengan cinta. Menikam
kecemasan-ketakutan. Sejarah ditangan raja
mengidungkan lagu puja-mengukir keabadian
mengobral gelisah; Aceh masih lekat dalam ingatan
Tuban seperti baru kemarin dilanda nestapa-kini
Yogya di beri peringatan dengan gempa. Ah!
apalagi yang tersisa-dirikan tugu di hati
agar tak menuhankan diri.
-Yogyakarta, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 8
LUKA BULAN
entah
tangan siapa
menoreh luka menjilat bulan. Pucat
pasi di panah matahari terkulai jadi debu.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 9
KEMATIAN BULAN
mengintip
bulan sunyi dipikiran
nyanyian kematian mengurung
ruang kepala. Aku hanya debu
mampir di kening.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 10
ZIKIR BULAN
terlambat
menghitung tasbih pada bibir
angkuh. Menyekap jejak tubuh
di zikir-pikir meluruh
(api meluluhkan isi kepala).
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 11
MERAKIT BULAN
merakit
hati di padang senja. Suit
angin. Meneguk lara-semiris
ini dalam diri mengais angan pada riak.
merakit
luka menderu. Bulan
di atas teluk berlayar. Angin
menampar-nampar pelepah kalbu
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 12
JIWA BULAN: 181-4 LALU DEBU
181-4 lalu debu
mata nanar-rabun
hati sansai. Sembilu
aku baca tanda di pucuk daun
durinya tertancap di jiwa.
-Pincuran Tinggi, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 13
BULAN API
aku
mengenang catatan
luka dengan renyai mata. Di atas
tungku jiwa terjerang jadi arang
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 14
PERADUAN BULAN
terkubur
ingatan jadi debu-arang
berguguran di perdu waktu
bersama debur ombak di dada
(aku bangun peraduan di hati)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 15
MAKAM BULAN
aku tanam bulan
di hati agar rindu terisi.
-Padangpanjang, 2008-
Sulaiman Juned----------------------------------------------------------------menjilat bulan, 16
KERAJAAN BULAN
aku
berkaca pada air mata
rakyat melarat-sekarat.
-Banda Aceh, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 17
NYANYIAN BULAN
kabut
mengental. Bulan
diperkosa penyamun.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 18
KERAJAAN SUNYI
aku
berkaca pada gigil
pulang-pergi menjenguk negeri
bernama kematian
; penyamun memperkosa bulan.
aku
bercermin pada kabut
pergi-pulang ziarahi makam
seluas samudera menjenguk mukim
di gerus air raya
(aku tabur wangi mawar di hati)
-Banda Aceh, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 19
KERAJAAN MATA
di koyak
sepi. Menghitung ombak
dimata-Mu-rindu menyusup
membelai pucuk rambut
(aku sunyi dalam keramaian)
-Jakarta, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 20
KERAJAAN MAWAR
aku
ingin sebuah rumah berisi
mawar. Menyebar harum pada
setiap pendatang-bukan renyai
luka di senja hati
ah!
-Jakarta, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 21
KERAJAAN MALAM
siapa
luka. Memahat
rindu-dendam tersisa.
-Jakarta, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 22
KERAJAAN ANGIN
membaca
isyarat gerimis. Sepucuk
hati jatuh dalam kabut
terkubur di sunyi-senyap kegelapan.
membaca
isyarat angin. Polusi
berbaur kolusi menyebar sesak
ruang kepala hilang bentuk
(kita belum mampu memaknai petuah-Nya)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 23
KERAJAAN MIMPI
memapah
kegelapan mata
air. Ada luka terkubur
di liang angan-memeluk ujung
malam tanpa bulan
(angin menjilat pucuk rambut merakit harap)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 24
AH
rindu
terjaring di kulit daun.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 25
SEPI
lebih
mengerikan dari maut.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 26
LIDAH BULAN
angin
melukiskan malam
di hati pengembara. Laut
menjilat bulan di meja pemujaan
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 27
MUSEUM BULAN
selangit
derit bujuk rayu
menyaru peradaban sejarah
bulan. Ruang bencana terkurung
ritual batu
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 28
LAGU BULAN
senja hampir selesai
begini jauh perjalanan. Aku
berangkat melukiskan hujan di halaman
berbaur sekerat rindu sepanjang rambut
meski harumnya tak sempat kunikmati.
senja hampir selesai
begitu jauh perjalanan. Aku
berangkat memahat keraguan di gugur
daun. Angin mengisi keranda dengan manyat
tanpa kafan-mengeja luka dalam kamar cinta.
senja hampir selesai
alangkah jauh perjalanan. Aku
habiskan malam di senyum-beku
waktu. Sekalung tasbih-secangkir
kesedihan berganyut di langit jiwa
sembunyikan getir
(sepi lebih mengerikan dari maut)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 29
JIWA BULAN
tak ada waktu menggantungkan hidup pada
impian. Aku lawan segala getir-keluar dari
kubangan
duka
lara.
tak ada waktu menggantungkan hidup pada
impian. Aku naiki kenderaan siang melalui
matahari-malam lewat bulan menuju kasih sayang
ukir masa depan di jejak masa silam
terbang menuju tuhan dengan sayap
kerinduan.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 30
BUNGA API
aku
mamah luka menyesak di jiwa
bunga api memercik kenikmatan jadi
debu. Tanggal kesedihan sambut senyum
airi kegelapan dalam penjara getir
(harum mawar semerbak jua di hati)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 31
ALAMAT BULAN
aku
pahami mendung menggantung
atas kepala-rahasia jiwa. Sayatan
belati berhulu di dada-terima perihnya
alamat penentu arah-tuju.
aku
pahami gerimis tempias
wajah-penyejuk bukan getir
antar perjalanan ke batas tuju.
aku
pahami hujan membanjiri riol
di hati. Basuh debu melekat di pikiran
rubuh dalam asma-Mu
ah!
-Banda Aceh, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 32
: 43 TAHUN DEBU BULAN AKU SAMBUT;
GETIR-PAHIT-SAKIT-SENANG-DERITA DENGAN
CINTA
ah!
ditepian
mana duduk menguliti hati.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 33
MATA BULAN
menyaksikan
luka bersimaharaja di hati.
-Padangpanjang, 2008-
Biodata Penyair…………………………………………………………..menjilat bulan
Sulaiman Juned, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy
Lahir di Gampong (desa) kecil Usi Dayah Kecamatan Mutiara Kab
Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 12 Mei 1965. Kini memiliki istri
dan seorang putra laki-laki. Menetap di Padangpanjang, menekuni
pekerjaan sebagai Seniman, dosen tetap jurusan seni teater di STSI Padangpanjang Sumatera Barat, Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan
Sastra Indonesia Daerah di Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat,
Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat, Guru
teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang Sumatera Barat, Guru Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sore Padangpanjang. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih belajar di SLTP. Karya puisi, cerpen, esai, drama, reportase budaya, artikel, kolom di muat di media seperti; Santunan, Serambi Indonesia, Kiprah, Aceh Post, Peristiwa, Kalam, Ceurana, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Aceh Ekspres, Aceh Kita, Rakyat Aceh (ACEH). Analisa, Dunia Wanita, Waspada (MEDAN). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Majalah Saga, Laga-laga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (SUMATERA BARAT). Riau Post (RIAU). Indefendent (JAMBI). Lampung Post (LAMPUNG). Kedaulatan Rakyat (YOGYAKARTA). Solo Pos dan Jawa Pos (JAWA TENGAH). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Bahasa dan Sastera (MALASYIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Antologi puisi tunggal berjudul ‘Riwayat’ mendapat Juara III dalam Lomba Penulisan buku pengayaan sastra tingkat nasional oleh Pusat Perbukuan Dinas Pendidikan Nasional (2007). Lelaki berkumis ini menyelesaikan studi S-1 di jurusan seni teater STSI Padangpanjang dengan yudisium Cumlaude, juga menyelesai Program Pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta dengan yudisium Cumlaude.
Puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama; Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta 1991), HU (Teater Kuala, Banda Aceh 1994), TTBBIJ (Medan, 1995), Ole-Ole (Cempala Karya Aceh, 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum UNSYIAH, 1995), Surat (Kuflet Padangpanjang, 1998), Dalam Beku Waktu (NGO HAM-Aceh, 2002), Takdir-Takdir Fansuri (kumpulan esai, DKB Aceh 2002), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB Jassin Jakarta, 2005), Syair Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Remuk (ASA-Japan, 2005), Riwayat (PUSBUK-DIKNAS, Jakarta 2007), 181-4 Lalu Debu (Kuflet Padangpanjang, 2007). Antologi Cerpen ‘Joglo’ (Solo, 2006), Tiga Drama Jambo (antologi naskah lakon, 2005). Sementara naskah lakon yang ditulisnya; Desah Nafas Mahasiswa (1989), Pulang (1990), Warisan (1991), Orang-orang Marjinal (1992), Ikrar Para Penganggur (1999), Jambo “Luka Tak Teraba” (1999), Jambo “Beranak Duri Dalam Daging’ (1999), Jambo “Bunga Api Bunga Hujan” (2000), Jambo “Ayam Jantan’ (2000), Hikayat Cantoi (2000), Orang-orang Rantai (2001), Polan (2002), Berkabung (2004), Asalku Benar dari Hulu (2004), Sebut Aku Polan (2005), Hikayat Pak Leman (2005). Sering mengikuti seminar sastra, teater dan jurnalistik; Pertemuan Sastrawan Kampus se- Indonesia di Universitas Diponegoro (1989), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Cendrawasih Irian Jaya (1991), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Indonesia Jakarta (1993), Temu Sastrawan Sumatera di Bengkulu (1992), Temu Sastrawan Sumatera di Nusantara di Langsa Aceh (1995), Pertemuan Sastrawan Nasional dan Nusantara IX di Kayutanam-Sumatera Barat (1997), Pertemuan Teater Indonesia di Pekan Baru (1997), Pertemuan dan latihan jurnalistik tingkat nasional di Jakarta (1990).
Ia juga sering terlibat dalam dunia musik, sebagai pemusik dan pembaca puisi dalam ‘Desain Struktur’ Komposer; Drs. Wisnu Mintargo, di Teater kecil STSI Surakarta (1998), ‘Signal Lima’ Komposer IDN. Supenida,S.Skar di Gedung Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang (2004), Skenografi dalam Orkestra ‘Simarantang Karya/Komposer Drs. Yoesbar jailani (Festival Kesenian Indonesia III, Surabaya 2004). Soel juga aktif dalam organisasi seni dan pers; sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Penulis Aceh (1995-2000), Ketua Bidang Pengkaderan Federasi Teater Banda Aceh (1995-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Pendiri/pimpinan Sanggar Seni Cempala Karya Banda Aceh (1989), Ketua UKM. Kesenian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1986-1988), Pendiri UKM-Teater Nol Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1989), Pendiri Teater Kosong Banda Aceh (1993), Pendiri Teater Alam Banda Aceh (1995), Pendiri/Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatera Barat (1997-Sekarang). Pemimpin Redaksi Bulettin Ceurana (1986-1989), Redaktur Budaya/Sekretaris Redaksi Warta Unsyiah (1987-1995), Redaktur Budaya SKM. Peristiwa (1989-1995), Redaktur Budaya Majalah Kiprah (1990-1997), Redaktur/editor jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2000), Redaktur/editor jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2000-2005), Ketua Ukm-Pers STSI Padangpanjang (1997-1999), Pemimpin Redaksi Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (19977-1999).
Soel sangat aktif dalam dunia teater, baik ketika masih di Aceh maupun ketika bermukim di Padangpanjang, ia sudah memainkan 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri, ia berperan jadi aktor menjadi tokoh yang tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penulis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya di komunitas Kuflet. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia; Aceh-Medan-Padang-Riau-Jambi-Palembang-Bengkulu-Lampung-Jakarta-Yogyakarta-Solo-Jawa Timur-Bali-Sulawesi-Kalimantan-Irian Jaya. Menjadi seniman memang sudah pilihan hidupnya, kalau mengenang Soel pasti menyebutnya si Penyair-Dramawan-Teaterawan dan Jurnalis. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 18 Januari 2008 pukul 16.00 Wib rumah kontrakannya terbakar di Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh dokumentasi pribadi; baik buku-kliping koran tentang proses kreatifnya menjadi seniman- CD pertunjukan teater beserta barang berharga lainnya ikut terbakar, tak ada yang selamat, namun Sulaiman Juned itu tetap kuat menjalaninya bersama istri dan anak serta seluruh keluarga besar Komunitas Seni Kuflet. ‘Semuanya yang saya miliki milik Allah, jadi kita harus siap dan redha kalau Allah mengambilnya kembali, diri kitapun sebenarnya kan milik-Nya jua’ tuturnya. (Wiko Antoni)
MENJILAT BULAN
Karya: Sulaiman Juned
@ Pengantar Penyair menjilat bulan---------------------------------------menjilat bulan, i
MENULIS PUISI;
Saya Berangkat dari Realitas Sosial Menjadi Realitas Sastra
Sastra dalam pehamaman saya adalah potret buram kehidupan masyarakat, baik sikap-moralitas-sosiologis-psikologis yang berkembang dan berjangkit di tengah lingkungan sosial. Jadi penyair menangkap potret tersebut, merekamnya lalu menciptakan dengan formulasi rasa, dari daya cipta menuju terciptanya karya yang monumental. Proses penciptaan karya sastra selalu berasal dari ide (akal pikiran, dilihat, dirasakan, dilakukan dalam kehidupan sosial tempat si penyair itu hidup)-lalu diproses dalam tatanan kreatifitas si penyair, sejauhmana penyair sebagai makhluk sosial mampu membaca realita sosial menjadi realitas sastra. Hal ini, jelas menambah aura, puitikal, dan bahasa puisi menjadi ternikmati. Atas dasar itu, penulis menuliskan realitas sosial yang penulis lihat- rekam-rasakan- nikmati lalu terendap menjadi judul antologi ini menjilat bulan.
Hampir seluruh puisi yang ada dalam antologi bersentuhan dengan kata, kalimat bulan . Kata ini memang menjadi medium penciptaan, mungkin bulan indah, jorok, senang, sakit, bahagia, luka. Siapapun kita di atas bumi ini sangat merindukan bulan, terlepas bulan ini-itu-kemarin-besok-lusa dapat menjadikan bulan-bulan yang ideal dalam hidup. Manusia dewasa ini sudah sangat sering mengotori bulan atau memanjakan bulan. Berangkat dari filosofi inilah penulis memilih judul antologi puisi ‘Menjilat Bulan’ terlebih atas kurang dan lebih.
Demikian, salam kreatif. Mudah-mudahan antologi ini jadi tempat kita berkaca diri, minimal bagi diri penulis. Salam.
Padangpanjang, 1 Januari 2008
Salam Kreatif,
Sulaiman Juned
@Pengantar Menjilat bulan----Prof.Dr. Mahdi Bahar-----------------menjilat bulan, ii
PENGANTAR MENJILAT BULAN
IQRA’;… bacalah,… bacalah;…demikian Sang Malaikat itu atas perintah Yang Maha Kuasa langit dan bumi beserta isinya sejak tahun 610 masehi menyuruh sosok manusia ‘al-Amin’ dan insan sesudahnya menggunakan pikir. Apakah kamu tidak memperhatikan, merenungkan, memikirkan, atau mengambil i’tibar atas ayat-Nya; tidak ada yang sia-sia Ku ciptakan. Demikian Sang Maha Kuasa berkata… .
Kejadian yang tidak mengenakkan di bumi nusantara pada akhir milenium dua dan awal milenium tiga melalui kedahsyatan muncratan perut bumi, gempa, tsunami, atau air bah yang meluluhlantakkan negeri Lampung, Flores, Aceh, Nias, Sumatera Barat, Sidoarjo, Jawa Tengah, Jakarta adalah ciptaan-Nya. Biarkan manusia yang tidak mengesakan-Nya mengatakan geliat itu adalah karena alam sudah tua atau memang begitulah maunya alam, tetapi dalam ‘Kita’, semua itu adalah sunatullah. Telah Ku tunjukkan kejadian serupa pada kaum sebelum kamu; lihat bangsa atau kaum Saba, Tsamud, ‘Aad, umat Nuh, atau Luth yang telah melampaui batas, … Ku … hancurkan. Sekali lagi potret itu adalah sunatullah, bukan fatamorgana b-e-l-a-k-a. Bacalah, … bacalah…… dan bacalah. Aduh …, termasuk tindakan manusia di belakang topeng-topeng mereka.
Kejadian yang merupakan sunatullah dan tidak mengenakkan itu, di samping berbagai ulah tangan manusia, telah jadi ayat bagi Sulaiman Juned. Tilikan sanubarinya atas ayat-ayat tersebut melampaui kejadian yang sesungguhnya. Semua diperuntukkan santapan rohani. Buah pemikiran, renungan, yang merupakan sari pati fenomena tragedi alam atau kemanusiaan yang teramat dahsyat demikian, dibungkusnya dalam sentuhan estetika ucap. Latar belakang pribadinya sebagai penulis dan seniman yang ditempa oleh budaya Aceh, ternyata memberinya peluang untuk lebih jauh merasakan betapa hebat tragedi alam dan kemanusiaan itu dirasakan oleh orang Aceh. Kekentalan makna yang dalam atas ayat-ayat tersebut dikemasnya dalam bingkai-bingkai ekspresif. Manifestasi kejadian itulah yang diekspresikannya dalam karya Antologi Puisi Menjilat Bulan, dengan kejiwaannya tersendiri.
Dalam situasi begini tepatlah agaknya penyair Amerika Robert Frost yang memenangkan Pulitzer Prize untuk karya puisi sebanyak empat kali pada tahun 1924, 1931, 1937, dan 1943 berkata di hadapan Presiden John F. Kennedy pada saat pelantikannya di bulan Januari tahun 1961. Frost berkata, bahwa puisi “makes you remember what you didn’t know you knew”. Ungkapan ini memuat kesadaran ada orang yang tidak tahu bahwasanya ia tahu. Puisi dapat mengingatkan kembali orang-orang yang tahu atau bahkan manusia yang pura-pura lupa terhadap apa yang diketahuinya. Apa yang diungkapkan Sulaiman Juned dalam kemasan puisinya, tentu dapat memainkan peran seperti yang dimaksud Frost, ialah memberi tahu bagi yang tidak tahu atau mengingatkan kembali insan yang pura-pura tidak tahu akan apa yang seharusnya ia perbuat.
Menjilat Bulan sebagai bingkai pemikiran yang bersumber dari realitas sosial dan tragedi alam yang menimpa segenap insan, patut dibaca sebagai sumber pelajaran dan pencerahan. Sejumlah pemikiran yang termuat dalam beberapa judul dan sarat dengan ekspresi kemanusiaan (humanisme) serta dikemas dalam kalimat puitis dalam antologi ini merupakan kekayaan. Ia adalah gambaran kekayaan perjalanan spritualitas yang tampaknya sebesar kuku, tetapi dikembang selebar alam.
Akhir kata patut disampaikan bahwa antologi puisi karya Sulaiman Juned ini dapat dijadikan bahan kajian untuk penyadaran atau pengayaan spritual, terutama bagi peminat karya seni sastra di samping sebagai bahan studi kemanusiaan dengan segala harapannya, “Menjilat Bulan”.
Terimakasih
Kampung Jambak, PdPj. 16 Maret 2008
Salam,
Prof. Dr. Mahdi Bahar
Guru Besar pada
Sekolah Tinggi Seni Indonesia
Padangpanjang
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 1
RINDU BULAN
tuhan
aku rindu ikan di kolam.
-Padangpanjang, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 2
BERLABUH
setiap
teluk titip rindu. Anak
sampan telusuri laut
: kapan berlabuh
ah!
-Banda Aceh, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 3
BULAN BENCANA
kampung-kampung
masih terkepung sepi. Gerimis
berkelahi di halaman. Kadang
meruncing menembus dada
menyaksikan bencana tak mau pergi.
kampung-kampung
masih terkepung luka. Gerimis
tempias ke wajah semesta. Tersekap
amnesia sejarah mengeram diingatan. Aku
hanya mampu mencatat keping duka-tercecer
senyap untuk di kenang
ah!
-Solo, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 4
BULAN DUKA
samudera hindia mengirim
maut. Masih lekat di jiwa tentang Aceh
dilipat air raya-Yogya diluluhlantakkan
gempa-Sidoarjo berenang lumpur panas. Pesisir
selatan Jawa digulung tsunami. Aroma
kematian menyekap
pikiran.
samudera hindia mengirim
maut. Tuhan menegur
kita menunggu
giliran-siapkan
diri
ah!
-Solo, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 5
NEGERI BULAN
seperti rentak tari di sunyi pagi
berkabut. Tanah Yogya bergetar
memendam pilu di dada pengembara. Aku
mencium mawar-durinya mengurung ruang
kepala. Menyaksikan Bantul-Sleman-Klaten tinggal
puing. Orang-orang berkelahi pikiran dikelap-kelip
waktu pada wajah penderitaan. Aku
hanya mampu melukis luka dilangit
ungu Yogyakarta bawa pulang ke kamar cinta
(biarkan sebentar semedi menyucikan kalbu).
-Yogyakarta, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 6
NYERI BULAN
aku
gendong peradaban luka
dalam babakan sejarah merindui
peruntungan jiwa di sudut hening
: bergelut memungut wajah kita
terpasung ritus topeng.
aku
gendong peradaban duka
dalam sansai nyeri di sukma
: menghitung di timbun tanah
sementara kita saling memangsa
ah!
-Solo, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 7
BULAN AIR MATA
aku
ziarahi negeri air mata. Terpenjara
keterasingan melawan kemerdekaan
jiwa. Ruang hening mengoyak derita
ribuan nyawa diceraiberaikan gempa. Aku
dirikan kemah pengungsi di hati.
aku
ziarahi negeri duka dengan cinta. Menikam
kecemasan-ketakutan. Sejarah ditangan raja
mengidungkan lagu puja-mengukir keabadian
mengobral gelisah; Aceh masih lekat dalam ingatan
Tuban seperti baru kemarin dilanda nestapa-kini
Yogya di beri peringatan dengan gempa. Ah!
apalagi yang tersisa-dirikan tugu di hati
agar tak menuhankan diri.
-Yogyakarta, 2007-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 8
LUKA BULAN
entah
tangan siapa
menoreh luka menjilat bulan. Pucat
pasi di panah matahari terkulai jadi debu.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned-------------------------------------------------------menjilat bulan, 9
KEMATIAN BULAN
mengintip
bulan sunyi dipikiran
nyanyian kematian mengurung
ruang kepala. Aku hanya debu
mampir di kening.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 10
ZIKIR BULAN
terlambat
menghitung tasbih pada bibir
angkuh. Menyekap jejak tubuh
di zikir-pikir meluruh
(api meluluhkan isi kepala).
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 11
MERAKIT BULAN
merakit
hati di padang senja. Suit
angin. Meneguk lara-semiris
ini dalam diri mengais angan pada riak.
merakit
luka menderu. Bulan
di atas teluk berlayar. Angin
menampar-nampar pelepah kalbu
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 12
JIWA BULAN: 181-4 LALU DEBU
181-4 lalu debu
mata nanar-rabun
hati sansai. Sembilu
aku baca tanda di pucuk daun
durinya tertancap di jiwa.
-Pincuran Tinggi, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 13
BULAN API
aku
mengenang catatan
luka dengan renyai mata. Di atas
tungku jiwa terjerang jadi arang
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 14
PERADUAN BULAN
terkubur
ingatan jadi debu-arang
berguguran di perdu waktu
bersama debur ombak di dada
(aku bangun peraduan di hati)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 15
MAKAM BULAN
aku tanam bulan
di hati agar rindu terisi.
-Padangpanjang, 2008-
Sulaiman Juned----------------------------------------------------------------menjilat bulan, 16
KERAJAAN BULAN
aku
berkaca pada air mata
rakyat melarat-sekarat.
-Banda Aceh, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 17
NYANYIAN BULAN
kabut
mengental. Bulan
diperkosa penyamun.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 18
KERAJAAN SUNYI
aku
berkaca pada gigil
pulang-pergi menjenguk negeri
bernama kematian
; penyamun memperkosa bulan.
aku
bercermin pada kabut
pergi-pulang ziarahi makam
seluas samudera menjenguk mukim
di gerus air raya
(aku tabur wangi mawar di hati)
-Banda Aceh, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 19
KERAJAAN MATA
di koyak
sepi. Menghitung ombak
dimata-Mu-rindu menyusup
membelai pucuk rambut
(aku sunyi dalam keramaian)
-Jakarta, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 20
KERAJAAN MAWAR
aku
ingin sebuah rumah berisi
mawar. Menyebar harum pada
setiap pendatang-bukan renyai
luka di senja hati
ah!
-Jakarta, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 21
KERAJAAN MALAM
siapa
luka. Memahat
rindu-dendam tersisa.
-Jakarta, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 22
KERAJAAN ANGIN
membaca
isyarat gerimis. Sepucuk
hati jatuh dalam kabut
terkubur di sunyi-senyap kegelapan.
membaca
isyarat angin. Polusi
berbaur kolusi menyebar sesak
ruang kepala hilang bentuk
(kita belum mampu memaknai petuah-Nya)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 23
KERAJAAN MIMPI
memapah
kegelapan mata
air. Ada luka terkubur
di liang angan-memeluk ujung
malam tanpa bulan
(angin menjilat pucuk rambut merakit harap)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 24
AH
rindu
terjaring di kulit daun.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 25
SEPI
lebih
mengerikan dari maut.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 26
LIDAH BULAN
angin
melukiskan malam
di hati pengembara. Laut
menjilat bulan di meja pemujaan
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 27
MUSEUM BULAN
selangit
derit bujuk rayu
menyaru peradaban sejarah
bulan. Ruang bencana terkurung
ritual batu
ah!
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 28
LAGU BULAN
senja hampir selesai
begini jauh perjalanan. Aku
berangkat melukiskan hujan di halaman
berbaur sekerat rindu sepanjang rambut
meski harumnya tak sempat kunikmati.
senja hampir selesai
begitu jauh perjalanan. Aku
berangkat memahat keraguan di gugur
daun. Angin mengisi keranda dengan manyat
tanpa kafan-mengeja luka dalam kamar cinta.
senja hampir selesai
alangkah jauh perjalanan. Aku
habiskan malam di senyum-beku
waktu. Sekalung tasbih-secangkir
kesedihan berganyut di langit jiwa
sembunyikan getir
(sepi lebih mengerikan dari maut)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 29
JIWA BULAN
tak ada waktu menggantungkan hidup pada
impian. Aku lawan segala getir-keluar dari
kubangan
duka
lara.
tak ada waktu menggantungkan hidup pada
impian. Aku naiki kenderaan siang melalui
matahari-malam lewat bulan menuju kasih sayang
ukir masa depan di jejak masa silam
terbang menuju tuhan dengan sayap
kerinduan.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 30
BUNGA API
aku
mamah luka menyesak di jiwa
bunga api memercik kenikmatan jadi
debu. Tanggal kesedihan sambut senyum
airi kegelapan dalam penjara getir
(harum mawar semerbak jua di hati)
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 31
ALAMAT BULAN
aku
pahami mendung menggantung
atas kepala-rahasia jiwa. Sayatan
belati berhulu di dada-terima perihnya
alamat penentu arah-tuju.
aku
pahami gerimis tempias
wajah-penyejuk bukan getir
antar perjalanan ke batas tuju.
aku
pahami hujan membanjiri riol
di hati. Basuh debu melekat di pikiran
rubuh dalam asma-Mu
ah!
-Banda Aceh, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 32
: 43 TAHUN DEBU BULAN AKU SAMBUT;
GETIR-PAHIT-SAKIT-SENANG-DERITA DENGAN
CINTA
ah!
ditepian
mana duduk menguliti hati.
-Padangpanjang, 2008-
Karya: Sulaiman Juned------------------------------------------------------menjilat bulan, 33
MATA BULAN
menyaksikan
luka bersimaharaja di hati.
-Padangpanjang, 2008-
Biodata Penyair…………………………………………………………..menjilat bulan
Sulaiman Juned, pernah memakai nama pena Soel’s J. Said Oesy
Lahir di Gampong (desa) kecil Usi Dayah Kecamatan Mutiara Kab
Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 12 Mei 1965. Kini memiliki istri
dan seorang putra laki-laki. Menetap di Padangpanjang, menekuni
pekerjaan sebagai Seniman, dosen tetap jurusan seni teater di STSI Padangpanjang Sumatera Barat, Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan
Sastra Indonesia Daerah di Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat,
Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat, Guru
teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang Sumatera Barat, Guru Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sore Padangpanjang. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih belajar di SLTP. Karya puisi, cerpen, esai, drama, reportase budaya, artikel, kolom di muat di media seperti; Santunan, Serambi Indonesia, Kiprah, Aceh Post, Peristiwa, Kalam, Ceurana, Warta Unsyiah, Ar-Raniry Post, Aceh Ekspres, Aceh Kita, Rakyat Aceh (ACEH). Analisa, Dunia Wanita, Waspada (MEDAN). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Majalah Saga, Laga-laga, Jurnal Palanta, Jurnal Ekspresi Seni (SUMATERA BARAT). Riau Post (RIAU). Indefendent (JAMBI). Lampung Post (LAMPUNG). Kedaulatan Rakyat (YOGYAKARTA). Solo Pos dan Jawa Pos (JAWA TENGAH). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Bahasa dan Sastera (MALASYIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Antologi puisi tunggal berjudul ‘Riwayat’ mendapat Juara III dalam Lomba Penulisan buku pengayaan sastra tingkat nasional oleh Pusat Perbukuan Dinas Pendidikan Nasional (2007). Lelaki berkumis ini menyelesaikan studi S-1 di jurusan seni teater STSI Padangpanjang dengan yudisium Cumlaude, juga menyelesai Program Pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta dengan yudisium Cumlaude.
Puisinya juga terkumpul dalam antologi bersama; Podium (Aceh, 1990), Bunga Rampai Pariwisata (Pustaka Komindo, Jakarta 1991), HU (Teater Kuala, Banda Aceh 1994), TTBBIJ (Medan, 1995), Ole-Ole (Cempala Karya Aceh, 1995), Teriak Merdeka (Fak. Hukum UNSYIAH, 1995), Surat (Kuflet Padangpanjang, 1998), Dalam Beku Waktu (NGO HAM-Aceh, 2002), Takdir-Takdir Fansuri (kumpulan esai, DKB Aceh 2002), Mahaduka Aceh (Pusat Dok. HB Jassin Jakarta, 2005), Syair Tsunami (Pustaka Jaya, Jakarta 2005), Ziarah Ombak (Lapena Aceh, 2005), Remuk (ASA-Japan, 2005), Riwayat (PUSBUK-DIKNAS, Jakarta 2007), 181-4 Lalu Debu (Kuflet Padangpanjang, 2007). Antologi Cerpen ‘Joglo’ (Solo, 2006), Tiga Drama Jambo (antologi naskah lakon, 2005). Sementara naskah lakon yang ditulisnya; Desah Nafas Mahasiswa (1989), Pulang (1990), Warisan (1991), Orang-orang Marjinal (1992), Ikrar Para Penganggur (1999), Jambo “Luka Tak Teraba” (1999), Jambo “Beranak Duri Dalam Daging’ (1999), Jambo “Bunga Api Bunga Hujan” (2000), Jambo “Ayam Jantan’ (2000), Hikayat Cantoi (2000), Orang-orang Rantai (2001), Polan (2002), Berkabung (2004), Asalku Benar dari Hulu (2004), Sebut Aku Polan (2005), Hikayat Pak Leman (2005). Sering mengikuti seminar sastra, teater dan jurnalistik; Pertemuan Sastrawan Kampus se- Indonesia di Universitas Diponegoro (1989), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Cendrawasih Irian Jaya (1991), Temu Sastrawan Kampus se-Indonesia di Universitas Indonesia Jakarta (1993), Temu Sastrawan Sumatera di Bengkulu (1992), Temu Sastrawan Sumatera di Nusantara di Langsa Aceh (1995), Pertemuan Sastrawan Nasional dan Nusantara IX di Kayutanam-Sumatera Barat (1997), Pertemuan Teater Indonesia di Pekan Baru (1997), Pertemuan dan latihan jurnalistik tingkat nasional di Jakarta (1990).
Ia juga sering terlibat dalam dunia musik, sebagai pemusik dan pembaca puisi dalam ‘Desain Struktur’ Komposer; Drs. Wisnu Mintargo, di Teater kecil STSI Surakarta (1998), ‘Signal Lima’ Komposer IDN. Supenida,S.Skar di Gedung Boestanoel Arifin Adam STSI Padangpanjang (2004), Skenografi dalam Orkestra ‘Simarantang Karya/Komposer Drs. Yoesbar jailani (Festival Kesenian Indonesia III, Surabaya 2004). Soel juga aktif dalam organisasi seni dan pers; sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Aceh (1998-2000), Ketua Bidang Humas Lembaga Penulis Aceh (1995-2000), Ketua Bidang Pengkaderan Federasi Teater Banda Aceh (1995-2000), Sekretaris Umum Lembaga Seni Aceh (1990-1997), Pendiri/pimpinan Sanggar Seni Cempala Karya Banda Aceh (1989), Ketua UKM. Kesenian Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1986-1988), Pendiri UKM-Teater Nol Universitas Syiah Kuala Banda Aceh (1989), Pendiri Teater Kosong Banda Aceh (1993), Pendiri Teater Alam Banda Aceh (1995), Pendiri/Pimpinan Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang-Sumatera Barat (1997-Sekarang). Pemimpin Redaksi Bulettin Ceurana (1986-1989), Redaktur Budaya/Sekretaris Redaksi Warta Unsyiah (1987-1995), Redaktur Budaya SKM. Peristiwa (1989-1995), Redaktur Budaya Majalah Kiprah (1990-1997), Redaktur/editor jurnal Palanta STSI Padangpanjang (1999-2000), Redaktur/editor jurnal Ekspresi Seni STSI Padangpanjang (2000-2005), Ketua Ukm-Pers STSI Padangpanjang (1997-1999), Pemimpin Redaksi Majalah Laga-Laga STSI Padangpanjang (19977-1999).
Soel sangat aktif dalam dunia teater, baik ketika masih di Aceh maupun ketika bermukim di Padangpanjang, ia sudah memainkan 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri, ia berperan jadi aktor menjadi tokoh yang tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penulis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya di komunitas Kuflet. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia; Aceh-Medan-Padang-Riau-Jambi-Palembang-Bengkulu-Lampung-Jakarta-Yogyakarta-Solo-Jawa Timur-Bali-Sulawesi-Kalimantan-Irian Jaya. Menjadi seniman memang sudah pilihan hidupnya, kalau mengenang Soel pasti menyebutnya si Penyair-Dramawan-Teaterawan dan Jurnalis. Beberapa waktu lalu tepatnya tanggal 18 Januari 2008 pukul 16.00 Wib rumah kontrakannya terbakar di Padangpanjang-Sumatera Barat. Seluruh dokumentasi pribadi; baik buku-kliping koran tentang proses kreatifnya menjadi seniman- CD pertunjukan teater beserta barang berharga lainnya ikut terbakar, tak ada yang selamat, namun Sulaiman Juned itu tetap kuat menjalaninya bersama istri dan anak serta seluruh keluarga besar Komunitas Seni Kuflet. ‘Semuanya yang saya miliki milik Allah, jadi kita harus siap dan redha kalau Allah mengambilnya kembali, diri kitapun sebenarnya kan milik-Nya jua’ tuturnya. (Wiko Antoni)
Langganan:
Postingan (Atom)