Drama Monolog
HIKAYAT CANTOI
Karya: Sulaiman Juned
Hikayat Cantoi------------------------Sinopsis----------------------------------------------------
aku
ingin tetap jadi cantoi. Cantoi
tubuhku-pikiranku-cantoilah namaku tak lebih
tak kurang. Tapi cantoi tetap tidak sepakat bila mencari
duri dalam duri tumpukan kenapa ladang yang harus dibakar.
-----------------------------------------Catatan Filosofi----------------------------------------------
peristiwa berdarah tak ada lagi yang menangisi.Sebab air mata sudah habis di peras. Maklumat-maklumat tentang daftar dosa memuat pernyataan; barangsiapa meratapi kematian maling-sama dengan bersimpatai kepada maling. Jadi mulai sekarang siapapun yang mati di kampung kita adalah maling- yang mati harus maling.
LELAKI BERUSIA 35 TAHUN DENGAN BEKAS LUKA DISERUDUK KERBAU DI KENINGNYA, TERTIDUR LELAP DI ATAS POS JAGA KAMPUNG.
PERUMAH-RUMAH DI KAMPUNG ITU SUDAH MENJADI ABU DIBAKAR ORANG-ORANG YANG TAK DIKENAL. KAMPUNG MENJADI DAERAH DARURAT PERANG ANTARA MALING DAN MILITER. SAYUP-SAYUP TERDENGAR LAGU ATJEH LOEN SAYANG. TERDENGAR DERAP SEPATU SEMAKIN KERAS. CANTOI TERUSIK.
(TERKEJUT) Sesungguhnya aku protes dengan panggilan itu. Namun apa daya, sejak lahir nama itu telah ditabalkan oleh orang tuaku. Sampai sekarang akupun tetap Cantoi. Tak lebih tak kurang. Cantoi tubuhku, Cantoi pikiranku, Cantoilah namaku. Sebenarnya aku mau ceritakan kepada kalian tentang konflik Aceh dulu, ya ini cerita waktu dulu. Tak ada maksud untuk memprovokasi penonton, tak ada. Aku hanya ingin mengenangnya sebagai catatan sejarah, warisan buat anak cucu. Para cucu kita nanti pasti mengingat peristiwa berdarah di negeri ini yang sangat memilukan pernah terjadi, tapi sekali lagi bukan untuk menghasut, betul bukan menghasut hanya untuk diingat jadi pengalaman yang berharga agar tidak terulang lagi. Hanya itu tak lebih tak kurang.(MEMERIKSA SEKELILING DENGAN WAS-WAS. KEPADA PENONTON) Kalian mau tahu, bahkan harus tahu. Sebenarnya orang tuaku bukan keturunan raja-raja yang berdarah biru, bukan pula keturunan orang patut-patut yang namanya ditulis dalam buku sejarah. Darah mereka merah, darahku juga merah. Maka hanya Cantoi yang keluar dari mulut bapakku ketika pertama sekali mulutku disumpal dengan asam dan garam. Jadilah aku Cantoi yang sejak kecil diajarkan bapak menanam padi agar dewasa kelak dapat mencari makan, lalu ia carikan istri setelah cukup umur supaya tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat. (LAGU ATJEH TANOEH LOEN SAYANG BERGEMA. TERDENGAR BENTAKAN DARI PARA PENDEKAR YANG MENANYAKAN TENTANG KEBERADAAN PARA MALING)
(PENDEKAR MEMBENTAK CUMA HABIBAH) Kamu tahu tidak dimana maling-maling itu bersembunyi? (CUMA HABIBAH DENGAN TERBATA-BATA MENJAWAB) Kami orang kampung mana tahu tentang maling. Pekerjaaan kami hanya bertani, kalaupun ada maling berkeliaran di sini pasti pelarian dari kampung lain.
(PENDEKAR MURKA) kamu jangan bohong nanti saya sekolahkan kamu baru tahu rasa (MENUNJUK SEORANG LELAKI) Ini kampung, sarangnya para maling kan?
(TEUNGKU SUMAN LUTUTNYA GEMETAR MENDENGAR GERTAKAN ITU) Bukan. Kampung ini bukan sarang maling, di sini tempat para pendiri Nangroe dilahirkan. (PENDEKAR MEMUKUL DAN MENENDANG) Pembohong kamu. Ayo ikut saya ke kantor, kamu harus diintrogasi terlebih dulu. (TEUNGKU DISERET PARA PENDEKAR. TEUNGKU SUMAN MENJERIT). (CANTOI MEMANDANG PENONTON) Ah! Tak usah heran, hal seperti ini sudah biasa terjadi di sini. Anak saya yang berumur lima tahun tidak takut pada ledakan GLM. Juga tidak pernah takut pada suara rentetan dari moncong senjata F-16 atawa AK-47 (MENUTUP MULUT DENGAN JARI).
Aduh aku keceplosan bicara. (KEPADA PENONTON). Kalian jangan beri tahu pendekar ya? Tentang yang barusan aku katakan. Bila ada salah satu pendekar yang mendengar pasti mampus aku dibuatnya. Oh ya saudara-saudara tak usah heran, bila selama ini namaku disebut-sebut warga kampung. Bukan aku sudah berubah menjadi orang besar, Bukan. Namun karena usahaku sesempurna mungkin sebagai Cantoi. Andaikan di kampung ada gotong royong, aku datang lebih awal. Sebenarnya aku yakin, bilapun aku sedikit terlambat pak kheuchik tak pernah marah. Aku hanya Cantoi, tak lebih, tak kurang. (MENIRUKAN SUARA PAK KHEUCIK ). Petik kelapa suruh Cantoi, betulkan atap mesjid yang bocor itu urusan Cantoi, gali parit jemput Cantoi, gali sumur cari Cantoi, bahkan ketika ada anjing gila mati sembilan hari yang lalu aku juga yang menguburkannya. (TERMENUNG) tak ada yang bayar, aku senang dengan pekerjaan itu dan sejak itu seisi kampung tidak lagi bau bangkai. (MENARIK NAFAS DALAM-DALAM LALU MEMILIN ROKOK DAUN, MENYULUT DAN MENGHISAP SERTA MENGELUARKAN ASAP DALAM BENTUK LINGKARAN) Aku senang jadi Cantoi, cita-citaku hanya satu tetap Cantoi. Bukan toke cantoi, Keuchik Cantoi, camat Cantoi, bupati cantoi, gubernur Cantoi, Mentri Cantoi, Presiden Cantoi, apalagi Ustad Cantoi. Kuakui memang, hatiku berdebar-debar bila bertemu Ustad besar yang dihormati serta disegani di kampung. Kalau bersalaman tangan beliau pasti kucium lama-lama, sama seperti yang dilakukan orang lain. Aku kagum dengan kehidupan beliau. Orang yang menghormatinya banyak. Sedekah yang didapatkannya pun banyak, bisalah menambah sepetak sawah lagi warisan untuk anak cucunya kelak. Namun benar, sungguh! Aku tak pernah berniat jadi Ustad, membayangkan saja aku tak berani. Aku tidak mampu manghafal ayat-ayat di luar kepala, belum lagi hadis-hadis yang kitabnya tebal sekali. Bagaimana nanti jika aku salah dalam menyikapinya. Aku biar jadi ummat, jadi pengikut sajalah yang selalu manut dan nurut. Aku berusaha mengingat dengan baik pesan Ustad besar, menjalankan yang disuruh serta meninggalkan yang dilarang. Terus terang aku juga sama seperti yang lain. (BERPIKIR) ya sama, ingin masuk surga sesudah mati kelak. Masalah surga aku memang tak mau muluk-muluk, misalnya mesti di surga ke delapan yang kata Ustad besar tempatnya para nabi dan Aulia. Aku rela dimana saja yang penting di surga. Kan sama saja. Menurut Ustad besar (MENIRUKAN SUARA DAN WIBAWA SEORANG USTAD) untuk masuk surga harus banyak pahala daripada dosa, berbuat kebajikan bagi ketentraman ummat manusia. Ustad besar pernah berpesan kepadaku, begini katanya; kamu harus rajin tanam padi, supaya istri dan anakmu tidak kelaparan dan tidak mencuri. Harus banyak menolong orang lain. Jangan sekali-kali menyakiti orang, jangan dengki, iri, serta jangan pernah kamu berbohong. Begitu ia bilang ketika aku duduk didangaunya setelah membersihkan air parit sawahnya. (TERDENGAR LAGU MAJU TAK GENTAR DINYANYIKAN OLEH PARA PENDEKAR. CANTOI SIBUK MEMBERI HORMAT DENGAN PARANG DIKIRI DAN CANGKUL DI KANAN, DIANGKAT SEPERTI MILITER YANG SEDANG MEMBERIKAN HORMAT SENJATA. JUGA TERDENGAR HELIKOPTER).
Tuan-tuan (MENDEKATI PARA PENDEKAR) maaf, aku harus jujur sebenarnya aku tak terganggu sedikitpun ketika maling-maling mulai bermunculan dikampung. Saat para maling gentayangan, aku juga tidak was-was. Aku yakin dengan keyakinanku, para maling tak cari Cantoi, tak akan merampok Cantoi, tak mau membunuh Cantoi. Cantoi tak punya harta, tak punya pangkat, apalagi masalah politik negeri ini yang penuh dengan trik-trik. Cantoi tidak pernah mengerti. Cantoi punya nama ya Cantoi. Namun aku setuju-setuju saja ketika turun titah untuk jaga malam dengan senjata parang butut yang sehari-hari sebagai alat pembabat rumput. Padahal para Maling menurut kabar angin memiliki senjata GLM, Bom rakitan dan senjata AK-47. Aku juga manut dan nurut ketika diwajibkan gembira dan tepuk tangan saat pendekar dari negeri seberang tiba dikampung untuk menghabisi maling-maling. Sudah aku bilang aku hanya Cantoi, tidak lebih tidak kurang. Cantoi tidak pernah menentukan Cantoi hanya ditentukan. Maling-maling mulai dihalau, diteriaki dimana-mana. Dikampung di buru, di hutan di serbu, (BERSIKAP SEPERTI KEPALA PENDEKAR YANG SEDANG BERPIDATO DI SEBUAH LAPANGAN KAMPUNG). Saudara-saudaraku, mereka telah mengganggu ketentraman, para maling bukan hanya mencuri harta kita, juga menginginkan diri kita bahkan nasib anak cucu kita. Maka dari karena itulah mereka harus kita kejar, kita hajar, kita tumpas, kita basmi sampai ke buyut-buyutnya.
Para malingpun semakin beringas. Pendekar kian tegas. Penjagaan diperketat, daftar dosa di susun. Barangsiapa yang terdaftar namanya di sana mereka di sebut para maling dan secara otomatis akan disekolahkan oleh para pendekar. Hebat! Benar-benar hebat! Bersaudara dengan maling itu dosa besar. Berkenalan dengan maling pasti melarat, kalau berjumpa dengan maling itupun bakal kiamat. Genderang perang telah di tabuh, perburuan dimulai. Aku tak tahu lagi anak panah siapa yang lebih sering berdesing dan melesat (MENANGIS). Korban berjatuhan. Mayat-mayat bergelimpangan. Di sawah, diladang, dalam rimba, bahkan ditengah keramaian pasarpun kita menemukan mayat-mayat berserakan. Ada yang hilang tangannya, matanya dicongkel, tubuhnya disayat-sayat, anehnya pelakunya di sebut orang-orang tak dikenal. Sementara aku sendiri tidak pernah kenal dengan orang-orang tak dikenal itu. Aduh! Aku harus bagaimana. Peristiwa berdarah dikampung ini takk ada lagi yang menangisi, sebab air mata sudah habis diperas. Apalagi maklumat tentang daftar dosa memuat pernyataan; barangsiapa meratapi kematian para maling, sama dengan bersimpati kepada maling. Jadi mulai sekarang siapapun yang mati dikampung ini adalah maling. Yang mati harus maling (CENGAR-CENGIR). Ya, kalau sudah begitu aku dapat tugas lagi. “Cantoiiii…..kuburkan” (MENIRUKAN DIALEK PENDEKAR). Perintah itu yang selalu aku dapatkan, tak lebih tak kurang karena namaku hanya Cantoi. Selanjutnya adalah diam, tak ada kenduri, tak ada takziah, tak ada nyala petromaks di rumah kematian untuk mengumandangkan ayat pengantar kepergian yang abadi. Orang-orang memilih keselamatan dengan diam.
Aku Cantoi, selalu setia dan siap sebagai Cantoi. Tak lebih tak kurang, tak tahu lagi harus menghindar. Secara membabi buta para pendekar yang gagah memakai seragam serba hitam menggeledah isi kampung. Penduduk kampung semuanya diminta keluar dan berkumpul di lapangan sepakbola. Semua tertunduk risau. Pemandangan seperti ini sudah sering terulang dan entah kapan berakhir. Setiap ada maling yang mati, semua cemas. Siapa tahu yang mati itu saudara, kerabat atau kenalan. Hal ini biasanya membawa bencana. Ya, dulu si Anu kena, kemudian si Pulen, seminggu yang lalu si pulan. Sekarang entah giliran siapa lagi. (CANTOI MENGANGKAT KEPALANYA SEDIKIT). Aduh, terlihat jelas mayat itu terbujur kaku dirumput lapangan yang ditutupi selembar tikar tua. Kulirik wajah-wajah gelisah disekelilingku. Aku menebak-nebak siapa lagi hari ini yang kena, siapa yang bakal dihukum lagi lantaran bersaudara dengan maling, pasti mereka pasti dihukum berat, bahkan ada yang langsung kembali menjadi mayat. Aku melihat salah seorang pendekar maju dengan pedang berkilauan di tangan menyibak tikar. Mayat maling terlihat dalam posisi telentang. (CANTOI PUCAT PASI) giliranku sekarang. (GAGAP) giliranku. Aku kenal mayat itu. Ya, Tuhan (SAMBIL MENGUCEK-NGUCEK MATANYA) aku sangat mengenalnya. (DIAM SEJENAK, MERABA-RABA KAIN SARUNG). Kain sarung yang dibelikan istriku lima tahun yang lalu, ia juga memakainya. Lalu baju sapari pembelian pak keuchik yang sudah kumal dan sedikit robek dipunggung, itu juga melekat ditubuhnya. Aku pelototi tubuh mayat itu dari kaki sampai ke kepala, aku juga melihat bekas luka dikening sama denganku. Luka ketika di seruduk kerbau Abua Ali setahun yang lalu. (DIAM. SEDIH. BERFIKIR). Mayat itu aku, tak salah lagi mayat itu.
(SUARA PENDEKAR KEPALA MENGGELEGAR. KAKIKU SEPERTI TAK MENGINJAK BUMI LAGI). Ayo siapa yang kenal dengan mayat ini.
Hari ini habislah riwayatku. Semua orang di sini pasti kenal dengan Cantoi. Masyarakat kampung semuanya tertunduk. Aneh, mereka semuanya menggeleng. Dua puluh orang sudah mengeleng, itu artinya mereka tak kenal Cantoi. Ah, tak mungkin Cantoi jadi maling, pasti maling itu yang telah jadi aku. Tetapi kenapa aku. Kenapa bukan orang lain saja. Aku tak mau jadi maling, tak mau.
(TUBUH CANTOI GEMETAR KETIKA PENDEKAR MEMANGGIL NAMANYA) Cantoiiii…kamu kenal dengan maling ini, kamu kenal?
Aku tahu sekarang giliranku. Biarlah mereka bohong, dusta. Biarlah tak ada seorang pun lagi yang berani berkata jujur. Aku tak bisa bohong. Cantoilah kejujuran. Aku akan bilang, akulah mayat itu. Mereka telah menipu, mereka telah berani bilang tak kenal Cantoi. Semua akan mati, Cantoi telah berani jadi…. Ah, tidak. Cantoi tak pernah jadi maling. Cantoi tak mau mati, tak mau semua mati. Apa jadinya kalau semua isi kampung tinggal anak-anak yatim dan para janda. Aku juga harus bohong sama seperti mereka. Aku harus kompak dengan mereka, harus. Tidak, aku tidak boleh bohong. Aku harus cari jalan. Aku harus cari perlindungan dari persoalan yang rumit ini. Aku lirik pak Keuchik orang yang dituakan dikampung, sayang ia menunduk saja. Kulihat Udtad besar, beliau asyik sendiri menghitung tasbih. Aku tak mungkin mengganggu kekhusukannya. (DIAM, RESAH). Tak ada pilihan lain, aku harus menghadapinya sendiri. Bukankah lahirku, matiku juga sendiri. Tidak pendekar, aku tak mau jawab. (BERFIKIR).
Cantoi tak pernah jadi maling, kalau maling jadi Cantoi itu diluar kemampuanku (MENANTANG) aku ingatkan kepada pendekar kepala, bila mencari duri dalam tumpukan jerami janganlah ladang yang di bakar. Ya, Cantoilah namaku, tak lebih tak kurang. (CANTOIPUN DISERET PENDEKAR KEPALA) Tidak Aku bukan Maling.
TERDENGAR LAGU DAERAH ATJEH TANOEH LOEN SAYANG, DINYANYIKAN DENGAN KHIDMAT. PANGGUNG GELAP.
TAMAT
Banda Aceh-Solo, 2000-2006
Sulaiman Juned
Tidak ada komentar:
Posting Komentar