KOMUNITAS SENI KUFLET: “RUMAH BARU“ SULAIMAN JUNED
Oleh: Asril Muchtar *)
Sejak 11 tahun yang lalu (April 1997), tepatnya saat pertama kali Sulaiman Juned (Soel) menginjakkkan kaki di kampus STSI Padangpanjang, ia memutuskan memilih belajar secara akademis di jurusan Teater kampus itu. Meskipun kala itu ia sempat ditawari oleh Prof. Dr. Mursal Esten (Alm) ketua STSI Padangpanjang yang juga sastrawan itu untuk mengajar di jurusan Teater, bukan sebagai mahasiswa. Tetapi Soel menolak dan memilih menjadi mahasiswa.
Sebagai seorang seniman (penyair) dan teaterawan khususnya, ia sejatinya sudah melakoni dunia itu dan sudah berpentas keberbagai daerah di Indonesia. Berbagai event festival dan ajang pertemuan teater sudah diikutinya. Namun panggilan berkesenian melalui institusi akademis membuat ia bergeming dan meninggalkan Aceh. Sekarang ia sudah menjadi dosen tetap dialmamaternya.
Selang satu bulan berada di padangpanjang, tepatnya 12 Mei 1997, didorong oleh Mursal Esten dan beberapa rekan barunya, soel mendiriakan sebuah wadah berkreativitas yang diberi nama, “Komunitas Seni Kuflet“ (KSK). Bersama komunitas ini, ia menuangkan berbagai gagasan, pikiran, dan konsep kekaryaan pada naskah dan pementasan teater. Pada (12/5/08) yang lalu, KSK bersama Soel menapaktilasi 11 tahun ’mengabdi’ pada seni.
Untuk membangun semangat ke depan, KSK menggelar “ Seminar Sehari dan Bedah Buku“ dengan topik: Sastra Melayu Menghadapi Globalisasi dan Aspek Melayu dalam Drama Minangkabau. Bertindak sebagai pembicara antara lain: Prof. Dr. Mahdi Bahar ( STSI), Zulfardi Darussalam, Spd.,Mpd. Kemudian salah seorang bekas “Murid“ dan teman Soel di KSK Wiko Antoni menukilkan ’sepenggal’ biografi Soel melalui buku kecil dengan judul, Catatan Perang Seoarang Seniman Aceh (Perbenturan Konsep dan Ideologi Seniman Aceh di Padangpanjang). Sebagai penutup acara disajikan dramatisasi puisi oleh anggota KSK yang berasal dari STSI dan mahasiswa Bahasa dan Satra Indonesia FKIB UMSB.
Dari buku biografi itu, agaknya cukup menarik juga mengintip proses kreatifitas, pertarungan pemikiran, dan ideologi berkesenian Soel bersama komunitasnya. Secara khusus juga bagaimana pula Soel memposisikan diri dengan para anggotanya. Dan sejauh mana Wiko dapat memotret Soel.
KSK bagi Soel tidak saja sebagai wadah di dalam berkreatifitas melahirkan naskan dan karya-karya baru, tetapi juga sudah menjadi semacam ’rumahnya’ sendiri. Diluar aktivitas kesenian, Soel bersama anggota KSK melakukan penjelajahan imajinasi, memperkaya batin dengan perenungan-perenungan, dan mengasah pemikiran melalui berbagai diskusi dengan pakar dan seniman dari luar. Sebagai sebuah komunitas, Soel mencoba membangun perspektif dari berbagai dimensi dan lini dalam kesetaraan yang egaliterian. Ia menyadari karena anggota KSK berasal dari berbagai etnis atau daerah di Indonesia. Misalnya: Aceh, Minang, Jambi, Riau, Jawa, Bali, dan dari mana saja. Namun dalam aspek tertentu ia dapat memposisiskan diri dengan pendekatan faternalistik bagi kalangan anggota yang muda.
Selama berkiprah di bidang seni teater di Sumatera Barat dengan KSK nya, Soel telah menuliskan berbagai naskah teater dengan background sosial kultural masyarakat Aceh dalam perspektif kekinian. Bagi Soel melihat Aceh dari jauh sangat berbeda spirit dan emosional yang dirasakannya dibandingkan ketika berada di kampung halaman sendiri. Jambo, sebagai ikon masyarakat pedesaan Aceh, telah menginspirasinya melahirkan beberapa naskah. Misalnya: “Jambo, Luka Tak Teraba“ (2001), “ Jambo Beranak Duri dalam Daging“ (2002), “Jambo Bunga Api-Bunga Hujan“ (2003), “Jambo Ayam Jantan“ (2004), dan “Hikayat Cantoi: Sekali Cantoi Tetap Cantoi“ (2007) yang menggunakan jambo sebagai Setting utamanya. Naskah tersebut sudah dipentaskan dalam berbagai festival di Sumatera Barat dan di daerah lainnya. Khusus untuk naskah “Hikayat Cantoi: Sekali Cantoi Tetap Cantoi“, telah dipentaskan 5 Agustus 2007 yang lalu, sebagai tugas akhir penciptaan (untuk Magister Seni) di Program Pasca Sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Juga dipentaskan di Taman Budaya Sumatera Barat pada 6 Juni 2008 yang mendapat respon luar biasa dari seniman Sumatera Barat. Lalu pertunjukan ini pula yang rencana diusung untuk pertunjukan keliling pulau Jawa-Bali-Aceh dan Sulawesi. Luar biasa.
Selain naskah di atas, Soel juga telah menulis dan mementaskan karya yang terinspirasi oleh sosial-kultural dan alam minangkabau, seperti “Orang-orang Rantai“ di Sawahlunto. Untuk menjaga kontuinitas eksistensi komunitas dan proses kreativitas, di luar naskahnya sendiri, Soel bersama KSK juga mementaskan karya-karya teaterawan Indonesia, seperti: “Kemerdekaan“ (Wisran Hadi), “Selingkuh“ (Benny Yohanes), “Marsinah“ (Ratna Sarumpaet), serta sejumlah teaterawan Sumatera Barat. Bahkan bersama KSK juga di pentaskan karya-karya adaptasi dari naskah asing. Misalnya: “Ambisi“ (Wolfman Kovitch), “Seteru“ (Sir Kenneth W. Goodman), “Piramus dan Tysbi“, “Hamlet“, “Machbet“, “Romeo dan Juliet“ (Willam Sakeaspeare).
Tentang KSK dan ideologi seni yang dianut serta sistem sosialisasi dalam komunitas, secara panjang lebar, diulas oleh wiko pada bab III bukunya. Meskipun Wiko belum melakukan komparasi pandangan, pendapat, dan kesan dari beberapa komunitas teater yang ada di Padangpanjang (khususnya STSI) dan di berbagai kota di Sumatera Barat. Atau pendapat dari rekan sesama seniman dari berbagai lintas seni, termasuk rekan-rekan seniman yang pro atau kontra dengan Soel ketika di Aceh. Pandangan dari luar ini pada dasarnya dapat memberikan “barometer“ eksistensi sebuah komunitas dan secara khusus terhadap Soel sendiri.
Apabila dilihat dari perspektif buku biografi, sejatinya perjalanan karir kesenimanan Soel bukan saja pada bidang teater, tetapi juga di bidang kepenyairan. Sepanjang 25 tahun lebih, Soel meretas kesenimanan khususnya ketika masih berada dikampung halamannya Aceh, tak terpublikasikan dalam buku tersebut. Kecuali hanya informasi selintas terhadap event-event sastra dan teater yang di ikutinya (bab I). Padahal lebih dari separuh masa karir kesenimanan Sulaiman Juned justru dilakukannya di Aceh.
Melihat kepada catatan aktivitas berkesenian ketika Soel masih berada di Aceh, tampak bahwa ia memiliki daya kreativitas dan produktivitas yang lebih tinggi, di bandingkan dengan ketika berada di Sumatera Barat, khususnya di Padangpanjang. Ketika ia berada di Aceh, Soel bukan saja sebagai kreator seni, tetapi juga pelaku jurnalistik khususnya di bidang budaya. Posisi ini memberikan ruang gerak kreativitas, percaturan ide, dan pemikiran tertantang serta terasah secara lebih tajam.
Begitu pula dengan ruang gerak membangun relasi, dengan mudah dirajud oleh Soel tidak saja untuk Aceh, tetapi dalam kawasan yang lebih luas. Paling tidak dapat dilihat dari event-event pertemuan sastra dan pertunjukan teater yang dilakukannya sudah merambah wilayah Indonesia yang luas ini. Track-record yang di capai oleh Soel itu, tentu belum sebanding dengan apa yang dilakukannya ketika sepuluh tahun lebih berada di daerah perantauannya, Padangpanjang.
Soel juga pernah menjadi lokomotif pendobrak “kemapanan“ yang di tasbihkan oleh seniman-seniman “senior“ Aceh, yang membuat jurang antara seniman muda dan seniman tua. Bagi dia, kesenioran seniman tidak hanya ditentukan oleh umur dan pengalaman berkesenian saja, tetapi dapat saja dari produktivitas dan pengakuan kekaryaan secara lebih luas. Gerakan yang dilakukan oleh Soel itu dapat mencairkan kebekuan antar seniman di Aceh. Paling tidak sudah terjadi “islah“ antar seniman.
Di sinilah barangkali, kesempatan bagi Wiko untuk lebih dalam menyelami kiprah kesenimanan Soel. Kalau itu tidak atau belum dilakukan, akan terjadi missing link kesenimanan Soel. Bagi orang lain yang membaca buku tersebut melihat Soel hanya sepenggal saja. Bagi soel sendiri yang menjadi subjek penulisan buku itu, dapat saja menghilangkan “kredit point“ terhadap prestasinya. Buku itu akan sangat berguna bagi masyarakat Aceh sendiri dan terhadap kiprah kesenimanan Soel di Aceh dan di Padangpanjang (Sumatera Barat). Dikalangan internal sendiri, selayaknya juga dilakukan, bagaimana pengalaman dan proses berkesenian bagi anggota komunitas yang ada dan yang telah pergi. Artinya, kian luas dan dalam tentang Soel ditulis tentu makin berbobot pula buku dan subjek yang di tulis.
Apa yang telah dilakukan oleh Wiko melalui buku kecil ini, paling tidak telah memberikan sumbangan terekam dalam catatan, terhadap sepenggal kiprah kesenimanan Sulaiman Juned. Wiko telah membuat langkah maju yang berarti. Banyak fakta yang kita lihat, seniman-seniman yang berprestasi luar biasa melakukan karya-karyanya dalam berbagai event secara luas, tetapi tidak ada yang menuliskan secara serius. Kemudian mereka hilang begitu saja, bersamaan dengan surutnya produksi karya. Atau masih ada yang enggan untuk menuliskannya, karena dihadapkan kepada kepantasan atau belum seorang seniman ditulis.
Padangpanjang, 13 Mei 2008
*) Adalah Dosen STSI Padangpanjang, Pemerhati Seni Pertunjukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar