Cerita Pendek:
SELAMAT TINGGAL
Karya: Sulaiman Juned
Setelah beberapa kurun waktu kita saling bahagia dalam merajut tali kasih dan telah berikrar untuk tidak saling mengkhianati, namun apa hendak di kata seperti kata pepatah manusia boleh saja berencana tetapi Tuhan lah yang menentukannya.
Di awal April, bulan yang membawa bencana dalam hidupku, entah badai darimana datangnya hingga pertengkaran demi pertengkaran berlanjut dan membawa ke suatu kemelut berkepanjangan dalam perjalanan cinta kami.
Juwita kekasihku yang sangat aku cintai sepenuh hati, mengkhianati cintaku yang hakiki. Dia berpaling dan mencari tambatan hati yang lebih segala-galanya dariku serta memiliki materi yang tidak aku miliki. Aku yakin dia tidak memiliki cinta sejati seperti yang ada dalam sisi jantung merahku. Ah! Kasihku tak sadar akan itu.
Dihancurkannya seluruh yang ada pada diriku sehingga terjungkal dalam menggapainya. Di suatu senja, waktu hujan rintik-rintik selalu setia menemaniku yang di landa sunyi, dia hadir ke gebuk reot kepunyaanku. Satu-satunya warisan yang diturunkan oleh kedua orangtuaku, hanya inilah kebanggaanku.
“Assalammualaikum?”
“Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh” Tersentak aku menjawab.
Dia berdiri di pintu dengan selendang biru melilit ditubuhnya, membuat ia bertambah anggun dan menarik.
“Mari, silakan masuk!” Seruku.
“Terimakasih” Tukasnya.
“Marlin! Kedatanganku ke sini, ingin membicarakan hal mengenai hubungan kita yang telah lapuk di makan usia. Apakah engkau punya waktu untuk itu?” Tanyanya.
“Ya. Jika itu perlu untuk dibicarakan. Aku siap berunding tuan putri” Jawabku melucu.
“Ini bukan saatnya bercanda” Tukasnya.
Aduh! Lagi-lagi aku salah tafsir.
“Ya, baiklah. Aku coba untuk tidak bercanda” Jawabku.
“Dalam mengarungi masa-masa berpacaran, saat ini sedang dilanda erosi cinta yang hendak mengikis habis seluruh yang ada dalam jiwa kita. Perang dingin ini tak akan pernah berhenti apabila kita tidak meredakannya” Ungkapnya lancer.
“Begitulah kira-kira. Engkau selalu lari dari sisiku apabila aku hendak membicarakan sesuatu kau selalu menghindar dengan dalih banyak pekerjaan. Dari itu terpaksa aku berdiam diri” Jawabku mengeluh.
“Marlin, sekarang bagaimana dengan hubungan kita yang telah di ambang kehancuran?”
“Juwita, sebenarnya aku yang harus bertanya kepadamu. Pilih antara dua aku atau dia. Memang, aku cinta sangat akan dikau namun apabila dalam sanubariku tiada lagi tertinggal sisa-sisa cintaku karena telah terkikis habis oleh kemegahan si Eddy yang hartawan itu, apalah arti aku ini seorang anak manusia yang hidup bergelimang dalam sengsara. Bila engkau menyintainya, aku rela melepaskanmu demi kebahagianmu” Ungkapku.
“Jangan berkata begitu” Terbata-bata ia sambil menyeka air matanya dengan ujung selendang biru.
“Memang kenyataannya begitu” Jawabku ketus.
“Aku tak sanggup menerima kenyataan ini” Serunya memelas, dan ia pun berlalu tanpa keputusan apa-apa. Tinggallah aku sendiri dengan berlaksa problema yang menggunung dalam benak dan di alam pemikiranku.
“Ah! Wanita susah di tebak kemauannya” Ketus dalam hati.
Terkadang, aku ingin menjerit untuk melepaskan derita batin yang telah menganga dalam jiwaku. Juga, terkadang aku ingin tertawa sepuas-puasnya untuk meringankan beban pikiran. Terkadang aku berpikir pula, apakah aku telah stress atas kejadian ini, cepat-cepat aku bertasbih untuk memohon perlindungan-Nya. Di sana kutemui kebahagian jiwa dalam tafakurku.
Kuhempaskan tubuhku di atas tikar yang telah usang dan menjadi teman setia dalam tidur malam. Kala aku terjaga, fajar telah menyingsing di ufuk timur dan kicauan burung menghanar anak manusia, mencari sesuap nasi sebagai bekal untuk hidup. Aku pun berkemas untuk melangkah menuju kampusku dengan mata yang merah dan cekung. Kumasuki ruang kuliah. Di sana telah menanti dosen Filsafat Pendidikan, memberikan beberapa ulasan tentang para filsuf.
Aku tertidur pulas di bangku kuliah, karena semalaman kurang tidur. Aku terjaga kala bahuku diguncang-guncang.
“Marlin! Marlin! Bangun, mari kita pulang” Seru Ade salah seorang sahabat kentalku.
“Ah! Apa sudah selesai kuliahnya” Sambil menggeliatkan tubuh.
“Asyik saja kamu tidur. Prof. Darwis sudah keluar” Sambil meraup wajahku.
Aku bangkit. Sama-sama keluar dari Ruang Kuliah Umum, langsung mencuci muka. Berjalan gontai menelusuri lorong di kampusku, aku berpas-pasan dengan Juwita kekasihku.
“Marlin!” Dia menyodorkan surat bersampul kepadaku.
Aku sambut dengan tangan gemetaran. Aku tahu ini pasti surat perpisahan, buru-buru aku naik lobor (bus kampus) menuju ke Jambo Tape. Setelah sampai di gubuk, kubuka dan kubaca satu persatu suku kata yang tertera dalam surat merahnya.
“Marlin, sebenarnya aku masih menyintaimu tetapi ada sesuatu hal yang membuat aku harus berpisah darimu. Kedua orangtuaku telah menjodohkan aku dengan pilihannya dan aku dipaksa untuk menerima pinangan tersebut. Harapanku kau dapat mengerti kekasihku” Begitulah isi suratnya, seluruh persendianku terasa lunglai.
Selamat aku ucapkan untukmu kasih, walau derita yang harus kuterima. Aku rela demi kebahagianmu dan selamat merajut kasihmu yang baru. Semoga damai dan tenteram dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Selamat tingal! Selamat tinggal kasihku, biarlah aku berkelana mencari kedamaian hati karena aku tahu cinta tak mesti harus bersatu. Selamat malam cinta.
Tamat
(Banda Aceh, 1990)
Catatan: Dipublikasikan di SKM. Peristiwa
Banda Aceh,Januari 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar