Cerita Pendek:
SEUNTAI MENEMBUS MALAM
Karya : Sulaiman Juned
Kala senja mulai menapak, kabut menyelimuti bumi. Burung camar berarak terbang pulang kekandang. Tetapi yang sangat menyedihkan, di tanah Serambi Mekkahh ini masih ada seuntai kupu-kupu malam yang berterbangan mencari dan mencari, barangkali ada yang hendak melampiaskan nafsu birahi di atas kemolekan –perbukitan itu.
Sungguh, aku tiada dapat berkata apa-apa dalam menelusuri jembatan Pante Pirak lalu menelusuri Taman Sari, adalah tempat yang penuh kenangan bagi setiap remaja di kota ini. Di Taman Sari ada tugu proklamasi kemerdekan republik ini. Aku tak dapat membayangkan bagaimana wajah negeri ini apabila dipenuhi oleh penjaja cinta dan si hidung belang. Moral generasi muda telah diporakporandakan. Setiap kulewati jalan dan taman itu, batinku teriris pedih karena kesucian taman telah dinodai dengan jarah-jarah yang hina.
“Ah! Negeri leluhur yang indah rupawan, ternoda seuntai makhluk yang hanya ingin melepaskan nafsu birahi. Sungguh keterlaluan” Gumamku lirih.
Taman Sari tempat melepaskan lelah, bagi siapa pun yang dikuasai penat oelh kesibukan sehari-hari. Mahasiswa, bapak dan ibu serta Tante-tante yang bekerja baik diperkantoran swasta maupun pemerintah, di taman sari yang terletak di tengah kota menjadi tempat peristirahatan setiap minggu. Juga tempat anak-anak balita bermain-main bersama ibu dan ayahnya melepaskan segala kesal di hati. Namun saying, di sini pula para kupu-kupu malam melaksanakan fungsinya sebagai wanita penghibur yang butuh akan uang. Apapun mau dilakukan asalkan mendapatkan biaya hidupnya.
Tersayat kalbuku melihat kotaku yang dulu di setiap rumah selalu menggema kalam Ilahi, walaupun berdinding tepas dan beratapkan rumbia alunan puja-puji terhadap Ilahi tak pernah hilang. Kini apa lacur, nyanyian suci itu sangat jarang dilantunkan. Pergeseran nilai budaya telah terjadi di kotaku. Menyambut hadirnya malam selalu terdengar bunyi-bunyi kecil, tak tik tuk dan permainan pekak. Itulah mainan dan makanan para generasiku yang telah berlumur noda dan nista.
Aku pun terkesima melihat kenyataan yang terjadi kini, negeriku! Negeri leluhur yang sangat kuat pada agama, dan adat istiadat, sekarang telah berubah. Pergeseran budaya yang telah merubah sikap dan prilaku masyarakat.
Begitu juga ketika aku kembali ke kampung tempat aku dilahirkan dan dibesarkan, di sana pula aku dapati perubahan yang sama seperti di kota. Di beuluko selalu saja terjadi permainan yang tabu dalam agama, banyak juga para lelaki duduk bersama lalu menghitung mistik angka. Pikiran mereka telah dipenuhi oleh keinginan untuk cepat kaya namun melalui kegiatan yang tak mengeluarkan keringat, seperti judi toto gelap. Luar biasa perubahan yang terjadi dikampungku.
“Ahmad, ayo kita main pekak. Kita taruhan nasi goreng, siapa yang kalah dialah yang membayarnya” Ajak mereka serentak. Teman sebayaku.
“Aku…aku tidak bisa main” Jawabku.
“Ah! Masak orang kota tidak bisa main ini, ini kan memalukan” Seru mereka sambil mengejek.
Aku hanya diam seribu bahasa menyaksikan kejadian itu. Sakit memang, apabila tidak mau main dikatakan memalukan. Sejauh itukah perubahan yang terjadi dikampungku atau inikah yang dikatakan zaman modern sehingga kemajuan salah dimaknai. Ini kemajuan yang salah kaprah, bukan modernitas tetapi laknatullah.
Sungguh sayang, kampungku dulu selalu diiringi oleh Aleh Ba Tsa. Kini indahnya nyanyian itu tak pernah terdengar lagi. Negeri leluhur, tempat para datu bermukim telah di sulap oleh nenek sihir yang sangat keji. Mungkin suatu ketika para datu akan murkadan menghukum si pembuat malapetaka yang telah merajalela. Sungguh keterlaluan memang, budaya sendiri dikatak kuno, budaya Barat katanya modern yang berjingkrak-jingkrak bagai insan kemasukan syetan.
“Wahai anak negeri, kita generasi para ulama. Mari kita jalin serat-serat di atas meunasah yang sederhana ini untuk memercikkan seutas sinar kedamaian dan kebahagian. Walau di atas dayah yang beratap rumbia dan beralas bamboo. Mungkin para datu yang telah mendahului kita akan selalu berdoa untuk keselamatan para cicitnya” Gumanku lirih.
Wahai anak negeri yang keturunan para Kiyai, mari lepaskan jubah hitam, gantikan dengan yang putih agar bersinar baik dalam lumpur sekalipun. Jangan munafik, tinggalkan pekerjaan yang bergumul dengan nista dan dosa. Mari kembali ke asal, bersujud dihadapan yang maha Agung, mungkin segalanya akan berubah menjadi indah dan damai sebab Allah maha pengampun dan selalu menerima permohonan hambanya.
Wahai para penjaja cinta, si hidung belang, rampok, judi, penghayal mistik dan koruptor di negeri ini, lepaskan baju yang hina itu basuh dengan air suci lalu menghadap kepadaNya. Mohon petunjuk dan syufaat. Semua kita adalah sama, datang dari tiada menjadi ada. Ketiadaan juga yang menjelma dalam jasad senja. Mari bersujud menyerahkan segala hati baik yang kelu, luka, kotor, bersih, suci, indah kepada pemilik yang abadi. Lepaskan segala kenistaan ganti dengan pancaran putih yang bersinar dari ufuk timur.
Tamat
(Usi dayah-Banda Aceh, 1989 )
Catatan: Dipublikasikan di Majalah Santunan, Aceh
Edisi September 1990.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar