PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Sabtu, 22 September 2007

PERBATASAN

Cerita Pendek:



PERBATASAN

Karya: Sulaiman Juned



Dalam guyuran hujan beserta badai selatan yang berhembus dan memporakporandakan dedaunan akasia yang terpancang indah di lorong-lorong kampusku, kutetap berdiri kaku diantara kisi-kisis belahan pohon akasia itu, kadang aku berpikir hujan dan badai begitu kejam, merenggut dedaunan muda yang saling berjatuhan dari kemegahan tangkai sebelum saatnya tiba. Namun kala aku berisitiqamah tidakkah aku salah tuduh? Mungkin! Aku salah karena aku terlalu emosi sebab yang kunanti belum juga tampak batang hidungnya. Ya Allah ampunilah aku yang telah berani menuduh-Mu.

Penat kumenanti, hanya ocehan sesumbar keluar dari mulutku sendiri. Ah! Beginikah bila insan sedang jatuh cinta, duniapun ingin dijungkirbalikkannya. Seperti apa yang kurasakan saat ini. Betapa terkejutnya aku ketika suara manis yang mendayu-dayu mampir di anak telingaku.

“Arman! Lama menunggu, ya?” Ungkapnya.

“Ah! Tidak..tidak, hampir dua jam” Tukasku.

“Ada apa engkau memanggilku” Tanyanya singkat.

Der, rasanya jantungku mau pecah. Gimana, ya? Darimana aku harus memulai pembicaraan ini. Kutatap matanya yang indah, bersinar. Serasi dengan namanya Syamsinar. Aku takut kalau-kalau cintaku di tolak.

“Tampaknya perlu sekali” Tukasnya lagi.

“Bagiku, pertemuan ini sangat perlu karena menyangkut tentang diriku dan dirimu” Jawabku pelan.

“Tentang apa itu?”

“Coba tebak” Jawabku.

“Ah! Aku tak bisa, bahkan tidak mau menebak-nebak” Jawabnya memelas.

“Oya Syam, mari kita ke kantin, di sini kan tidak enak ngobrol” Ujarku mengalihkan perhatiannya.

Setelah kami berada di dalam kantin Cempala milik koperasi Kampus FKIP UNSYIAH yang terkenal sangat ramai pengunjungnya. Namun saat kami masuk tidak ada seorangpun mahasiswa dan mahasiswi karena ketika kami berada di kantin para mahasiswa sedang berada di ruangan, kuliah jam kedua. Maka dari itu, bebaslah kami duduk dengan tenang untuk mengutarakan isi hatiku yang bergelora tanpa ada gangguan cuaca, alias celotehan dari teman-teman se-Fakultas.

“Mau minum apa?” Tanyaku memecah kebisuan.

“Biasa, teh manis saja” Jawabnya dingin.

Aku melangkah memesan teh dan kopi, lalu kembali duduk dihadapannya. Kupandangi lagi bola matanya yang bersinar itu, dimata itu kutemui berlaksa rasa, rasa ingin memiliki dan hatiku telah ditumbuhi bunga-bunga cinta.

“Begini, Syam. Aku ingin mengutarakan sebersit kata hati yang telah lama beku dalam jiwa. Ia ingin melonjak dan keluar dari dadaku yang telah penuh dengan berlaksa cairan yaitu cinta. Inilah saat yang tepat untuk mengutarakan isi kalbu yang bergulung, bergolak bagai ombak nan membawa aku kea lam nirwana yang penuh khayal. Semoga pernyataanku ini cukup membuatmu mengerti” Sambil menarik nafas dalam-dalam.

“Aku belum mengerti maksudmu” Ungkapnya datar.

“Baiklah jika engkau ingin aku berterus terang. Aku, Arman! Telah lama menyintaimu, walau itu terjadi secara diam-diam dan rasa itu telah memenuhi ruang dadaku. Nah dari itu, aku mohon jawaban darimu, hanya itu. Kurasa tidak sulit untuk menjawabnya bukan? Hanya butuh dua kata ya atau tidak, plus semuanya lunas” Tegasku.

“O…itu, tak sulit memang. Namun sangat membutuhkan pemikiran yang matang untuk sebuah kata, walau ia hanya terdiri dari sebuah suku kata. Aku minta waktu untuk sebuah suku kata, bolehkan?” Ungkapnya.

“Boleh, tapi jangan lama-lama” Tukasku memelas.

“Tidak lama. Arman! Jangan bergembira bila jawabanku mengena hatimu dan jangan bersedih seandainya ungkapanku kurang membahagiakan kalbu” Tegasnya.

“Tak apa. Apapun yang engkau paparkan telah menjadi resiko bagi diriku, dan aku selalu menanti jawaban darimu sampai kapanpun. Namun yang perlu kau camkan dalam benakmu ialah apa yang telah kuutarakan itu semua terlahir dari sisi jantung merahku. Ini serius bukan gombal” Jawabku, menyakinkannya.

“Baiklah! Aku permisi dan terimakasih santapannya”

“Kembali kasih” Jawabku melucu.

Kunantikan saat-saat yang paling menebarkan bagi setiap insane yang sedang dilanda asmara. Sang surya bagai lambat berjalan dari peredarannya, dan sang malam begitu lama berputar untuk menyambut fajar, aku menanti sehari bagaikan setahun. Kududuk terlongo di atas kursi yang hampir lapuk di makan usia, terlena dalam penantian. Tiba-tiba jantungku berdetak mencari makna, seulas senyum terukir dibalik bibir yang ranum menawarkan wewangian ke dalam kalbuku yang kusut.

Ah! Aku berpikir apa gerangan hukuman yang aku terima. Tak dapat menebaknya. Kulihat gadis idamanku itu berjalan di lorong Ruang Kuliah Umum (RKU) menuju ke tempat aku duduk menyendiri di bawah pohon akasia.

“Sudah lama menunggu?” Ungkapnya.

“Tidak!” Jawabku, sambil menatap indahnya bola matanya.

“Sudah dua jam, kan?” Desaknya lagi.

Aku tertawa terbahak-bahak. Dia pun ikut tertawa. Namun jantungku berdetak kencang, apa gerangan keputusannya. Apakah ia menerimaku atau malah menolaknya karena aku seorang penyair yang miskin.

“Melamun, ya?” Sambil menepuk tangannya ke pundakku.

“Ah! Ti…..ti…ti…dak!” Aku terkejut oleh pertanyaan dan tepukan dipundakku.

“Lalu, kalau bukan melamun apa juga namanya” Desaknya.

“Ah! Sudahlah. Sekarang coba kau ungkapkan dengan jelas tentang pertanyaanku beberapa waktu yang lalu. Apakah engkau menerima cintaku atau tidak” Desahku.

Suasana hening seperti diperkuburan saja. Hanya mata kami saling berbicara. Sesekali terdengar lenguhan nafas kami masing-masing. Aku sangat tersiksa waktu itu, rasanya seperti berada di pengadilan ketika sedang menerima ketukan palu dari Hakim ketua.

“Arman!” Menatapku dengan air mata berlinang.

“Ayo katakan saja?” Cetusku.

“Baiklah, sebenarnya bukan aku tak butuh kasih sayang, namun telah lama aku menganggap engkau sebagai sahabat. Moga tak kecewa dengan ungkapan tulus dariku, dan persahabatan kita lebih erat lagi hendaknya” Tak menunggu jawabanku, ia langsung berlari.

Bumi tempatku berpijak bagaikan bergoncang. Langit tempatku berteduh bagaikan runtuh, hatiku remuk redam karena cinta di tolak. Ah! Selama ini aku tak pernah berpikir sejauh itu. Namun ini adalah resiko yang harus kuterima walau pahit kenyataannya. Aku terhempas kalah di perbatasan itu dan aku tak kuasa bergelut dengan nuraniku yang kian terpuruk. Gunung kuterjang, aku berlari membawa luka diri. Luka yang barangkali tak tersembuhkan. Biarlah kuterjerembab dalam kelam dan pekatnya malam di negeri tak bertuan.

(Banda Aceh, 1987

Tidak ada komentar: