PADANGPANJANG-SUMATERA BARAT
Sekretariat: Jln. Bundo kanduang No.35 Padangpanjang HP.081393286671 Email:sjdoesy@gmail.com

Sabtu, 22 September 2007

R U P I A H

R U P I A H

Karya: Sulaiman Juned



“Pengumuman, diumumkan kepada masyarakat desa Nurani. Tadi subuh usai shalat berjamaah telah ditemukan uang sebanyak Tujuh Juta Lima Ratus Lima Puluh Lima Ribu Lima Ratus Lima Puluh Rupiah” Terdengar suara serak dan parau yang keluar dari kerongkongan Kiyai Ali melalui pengeras suara dari Masjid Jihad. Setelah menarik nafas dalam-dalam Kiyai Ali menyambung kata-katanya yang terputus. “Barangsiapa yang merasa dirinya kehilangan uang, mohon menjumpai kami di Masjid”

Masyarakat desa Nurani setelah mendengar pengumuman itu saling membicarakan perihal uang tersebut, siapakah pemiliknya. Bahkan mereka membicarakan juga tentang kejujuran Kiyai Ali yang tiada tandingannya.

“Kiyai Ali merupakan orang yang sangat teguh imannya” Tutur Bagong.

“Beliau juga sangat bijaksana, serta tahu mana yang baik dan mana yang batil” Timpal Jumaidi.

Pembicaraan mereka terhenti ketika pengeras suara Masjid Jihad mengumandangkan suara serak dan parau yang tak asing lagi di telinga masyarakat desa.

“Setelah kemarin kami menemukan uang dalam jumlah Tujuh Juta Lima Ratus Lima Puluh Lima Ribu Lima Ratus Lima Puluh Rupiah itu. Tadi seusai shalat Tarawih, kami menemukan kembali uang sebanyak Satu Juta Seratus Lima Puluh Tiga Ribu Rupiah, dilokasi yang sama. Dari itu, kami menghimbau kepada masyarakat, bagi yang merasa kehilangan uang harap segera menjumpai kami” Suara Kiyai Ali terdengar jelas walau ada getaran-getaran ketuaan dari warna karakter vokalnya.

Suara serak Kiyai Ali mengisi keheningan malam, menghentikan kesibukan masyarakat Nurani. Masyarakat desa menjadi riuh, di rumah dan di warung-warung mereka selalu membicarakan masalah uang yang ditemukan Kiyai Ali. Siapakah pemiliknya? Tak ada seorangpun dari masyarakat desa itu yang merasa kehilangan uang. Ajaib.

Waktu berlalu, tak terasa bulan Ramadhan yang bagi orang Islam diyakini sebagai bulan suci, bulan seribu bulan untuk memohon hidayah dan makfirah ingin mengucapkan selamat tinggal, sudah sampai pada penghujung Ramadhan yakni malam yang ke dua puluh tujuh. Dua puluh tujuh hari juga Kiyai Ali menyimpan uang tersebut dengan rapi. Ia menunggu dengan harap-harap cemas namun sampai pada saat ini tak ada seorang manusiapun yang datang mengaku kehilangan uang. Kiyai Ali merasa resah dan gelisah, ia takut memegang uang yang bukan haknya. Namun ia tidak tahu kepada siapa layaknya uang tersebut diberikan. Shalat zhuhur baru saja selesai, Kiyai Ali tidak langsung pulang. Begitulah kebiasaannya, ia melakukan shalat sunnah setiap usai shalat fardhu, ia selalu berzikir dan berdoa mohon petunjuk dari Allah SWT. Lalu ia bergerak untuk pulang.

“Astagfirullah! Ya, Allah. Cobaan apa lagi yang Engkau berikan kepadaku?” Desis Kiyai Ali dalam hati. Buru-buru ia pungut setumpuk uang di tempat yang pernah ia temukan dulu, lalu cepat-cepat kembali ke dalam Masjid.

“Beberapa waktu yang lalu, kami telah menemukan uang dan uang tersebut masih berada pada kami. Siang ini kami kembali menemukan uang sebanyak satu juta empat ratus dua puluh lima rupiah. Barangsiapa yang merasa kehilangan uang harap menjumpai kami” Begitu suara Kiyai Ali kembali berkumandang lewat pengeras suara. Kali ini suaranya agak tersendat-sendat dan gemetar.

Kiyai Ali tidak hanya memberi tahu masyarakat desa melalui pengeras suara perihal uang yang tak bertuan itu, tetapi penduduk desa didatangi satu persatu namun tidak ada seorang pun yang mengakui uang tersebut miliknya. Masyarakat desa Nurani memang terkenal taat beribadah serta memiliki sikap jujur. Ini semua juga karena Kiyai Ali, masyarakat Nurani belajar dan mencontohkan suri tauladan dari Kiyai sejuta umat tersebut. Lalu malam hari seusai shalat tarawih berjamaah dalam masjid Jihat diadakan musyawarah para perangkat desa untuk membicarakan masalah uang tersebut. Dalam rapat itu dapat dipetik kesimpulan, dan Bapak Wem sebagai Kepala Desa pimpinan tertinggi di desa Nurani memutuskan sekaligus memerintahkan sekretarisnya agar mengundang seluruh masyarakat desa agar sama-sama memecahkan perihal yang rumit ini.

Masjid Jihad merupakan masjid yang sangat agung dimata masyarakat Nurani. Masjid itu pula dikenal sampai ke pemerintahan pusat. Hal ini, bukan karena masjidnya tetapi karena masjid Jihad peninggalan seorang ulama yang sangat disegani, baik oleh kawan maupun lawan dimasa penjajahan Belanda dahulu, yakni Kiyai Bukhari Al Jauhari ayah kandung dari Kiyai Ali yang sekarang menjadi Khatib di masjid itu. Masjid Jihad sepeninggal Kiyai Bukhari keadaannya memang sangat memprihatinkan. Namun baru sekaranglah Kiyai Ali bersama masyarakat desa melakukan perbaikan atau memperluas secara besar-besaran dengan mengandalkan dana sumbangan baik dari pemerintah maupun masyarakat lain.

“Pengumuman, kepada seluruh masyarakat desa Nurani baik yang muda maupun yang tua, selesai shalat subuh nanti kita berkumpul di masjid untuk membicarakan persoalan uang yang ditemukan Kiyai Ali” Sekretaris desa menyebarkan pengumuman sebelum adzan subuh dikumandangkan.

Subuh yang sejuk. Kabut turun menyelimuti desa Nurani. Dipucuk menara masjid terdengar merdu suara muadzin Cahyo memanggil umat untuk menunaikan shalat subuh. Penduduk desa berbondong-bondong meringankan langkah ke masjid Jihad. Selain ingin menunaikan kewajibannya sebagai umat Islam sekaligus ingin tahu bagaimana permasalahan uang yang ditemukan Kiyai Ali. Usai shalat Kepala Desa langsung berdiri dihadapan rakyatnya.

“Hadirin, penduduk desa Nurani yang saya cintai. Kalian Sudah tahu masalah yang akan dibicarakan” Ungkap Pak Wem dengan penuh wibawa. Sekilasan matanya yang tajam menatap satu persatu rakyatnya. Lalu menyambung; “Dari itu, saya selaku pimpinan desa ingin memecahkan masalah ini sampai tuntas. Kita sama-sama mengetahui bahwa sampai saat ini tak ada seorangpun yang berkenan mengakui telah kehilangan uang. Disinilah letak kendalanya saudara-saudara….”

“Serahkan saja ke Panti Asuhan, Pak!” Fajar Satriadi memotong pembicaraan kepala desa.

“Jangan! Kita serahkan saja uang itu kepada pihak kepolisian” Menyahut Mustafa Ismail dengan suara lantang.

“Bapak-bapak yang terhormat, izinkan saya berbicara” Pinta Efyuhardi.

“Silakan! Di sini siapapun bebas mengeluarkan pendapat” Ungkap Pak Wem.

“Terimakasih! Kalaulah pendapat saya bisa diterima, uang tersebut alangkah lebih baik dipergunakan untuk perbaikan masjid ini. Kita sedang membangun, apa salahnya uang tersebut kita pakai. Barangkali itu rahmat Allah yang datang untuk desa Nurani” Tutur Efyuhardi, anak muda yang baru satu bulan pulang dari perantauan.

Suasana rapat menjadi hangat dengan masuknya usulan dan gagasan dari Efyuhardi. Ada juga terdengar nada mengejek atas usulan tersebut dari beberapa pemuda sebayanya. Mereka beranggapan uang itu tidak baik bila dijadikan untuk membangun masjid.

“He, Ef! Apa-apaan kamu ini, uang yang tidak jelas asal-usulnya tidak pantas dipergunakan untuk pembangunan masjid” Timpal Jumaidi dengan nada mencibir.

“Begini kawan! Maksudku, uang tersebut bisa saja sedekah dari dermawan yang tidak mau disebut atau dikenal namanya. Bukankah dalam beramal, agama kita menyarankan agar tangan kiri tidak boleh tahu apa dan berapa yang diberikan oleh tangan kanan” Timpal Ef mempertahankan idenya.

Fajar mulai menyingsing, suasana di masjid Jihad memang sedikit tegang. Kiyai Ali merasa perlu untuk angkat bicara. Namun sebelum suaranya keluar, terdengar salam dari arah pintu masuk. Semua mata memandang ke arah pintu utama masjid Jihad, sembari menyambut salam dari peria tegap yang muncul diambang pintu. Suasana menjadi hening, sunyi seperti berada diperkuburan. Masing-masing hadirin mungkin sedang memutarkan pikirannya. Salah seorang tamu angkat bicara.

“Maaf, bapak-bapak dan ibu-ibu. Bila kedatangan kami menganggu jalannya rapat. Saya Letnan Paulus, komandan Tim Buru Sergap Polda Metro Jaya. Kami dari pihak kepolisian ingin menangkap buronan perampokan Bank di Jakarta…”

“Maaf juga dari saya pak polisi, penduduk desa kami adalah manusia yang alim dan jujur” Potong Pak Wem kepala desa Nurani.

“Begini, Pak! Menurut informan kami, saudara Efyuhardi bersembunyi di desa ini” Tegas Letnan Paulus.

Seluruh penduduk desa Nurani menatap ke arah Efyuhardi, dengan tenang perlahan ia bangkit menyerahkan kedua tangannya kepada polisi untuk di borgol. Berpuluh ribu pasang mata mengantarnya pergi menaiki mobil patroli polisi.


Tamat


-Solo, 20 April 2006-















Tidak ada komentar: