Cerita Pendek:
U S I A
Karya: Sulaiman Juned
Malam ini berpuluh juta mata menyemarakkan keberangkatan sesuatu dari tiada ketakberangkatan. Telah menjadi tradisi dunia dalam menyemarakkan suasana peringatan diri tentang kelahiran selalu saja dimeriahkan. Malam ini angka terus bertambah dalam hitungan waktu. Malam ini pula adalah malam sebelumnya yang memimpikan insane dalam lelap tidurnya, merupakan suatu kesalahan pula andaikan malam tidak hadir dengan mimpi bagi yang telah sering dininabobokkan oleh mimpi-mimpi dalam melanjutkan perjalanan hidup ini. Suatu tangis yang tragis mengiris pedih karena terlambat menjalinkan kasih jadi sahabat setia. Inipun terjadi karena ketiadaan sesuatu untuk dapat menyambut sesuatu. Dalam kalbu yang terhimpit derita, sengsara, luka sebenarnya tetap ada bahagia, suka dan cinta tapi ia tak berani meyembulkan rasa itu karena takut dipersaksikan, rasa ingin memiliki juga tersembul dari sinar matanya. Matanya berbicara banyak tentang keinginan-keinginan sementara mulutnya terkatup rapat untuk mengutarakan huruf menjadi kalimat, sehingga ia terpaksa membunuh rasa yang tumbuh dalam sukmanya.
Malam ini, sekian rindu layaknya tertumpah pada dada yang jernih. Namun rindu itu harus dikalahkan oleh perasaan ketiadaan yang selalu datang menyerang.
“Lihat! Rembulan itu indah” Pekik suara itu.
“Aku tak melihatnya, yang terlihat hanya dansa rege” Jawab suara lain.
“Memang kamu tak akan pernah melihat rembulan itu, sebab ia hanya hadir untukku” Serang suara itu lagi.
“Ah! Peduli amat, silakan rampok bulan itu aku tak butuh” Ketus suara lain lagi.
Uklis pada mala itu telah menghabiskan lima bungkus rokok, kini kebingungan sebebah semua kreteknya kini tinggal putingnya saja. Puting rokok itu pun di hisabnya dengan nikmat, asapnya bergulung-gulung terbang ke angkasa sama seperti pikirannya yang sedang berkelana kemana-mana. Malam ini semestinya tak perlu menyendiri karena malam ini adalah malam penambahan usia bagi yang bernama hidup. Tetapi begitulah Uklis, ia siap menghimpit diri karena memang hidupnya selalu terjepit.
“Ah! Pada siapa membagi rasa” Desah Uklis gundah sambil menarik nafas panjang.
“Jangan kuatir, mari kita berbagi rasa, bercerita tentang rembulan dan kasih sayang” Terdengar lagi suara itu.
“Siapa Kamu!!!” Uklis membentak.
“Jangan membentak. Apalagi terhadap saudara tuamu, nanti bisa kualat” Jawab suara itu.
“Saudara tua apa-apaan?” Ketusku semakin tak mengerti.
“Jangan pura-pura dungu, masak tidak tahu tentang saudara tua” Ejek suara itu lagi.
Pusing. Aku semakin tak mengerti, semalam suntuk kerjaanku mondar-mandir di ruang sepmit yang penuh asap rokok. Sementara di luar sana orang-orang di mabuk rasa, begadang semalam suntuk untuk menyambut sesuatu serta mensyukuri nikmat pemberianNya. Aku semakin tak mengerti dengan permainan itu, ada yang tua, muda bahkan anak-anak mereka seperti dihipnotis sehingga menurut saja kemanapun arus membawanya. Sungguh mengerikan.
“Saudaraku, adalah suatu keharusan untuk mempermainkan itu” Suara itu datang lagi untuk yang kesekian.
“Apa itu termasuk adat istiadat atau budaya” Tanyaku.
“begitulah kira-kira” Jawabnya sambil mencibirku.
Malam yang menawarkan seribu mimpi sedangkan aku terkunci pada dinding mati karena tak sanggup mengumpulkan angka-angka. Dalam hidup duniawi banyaknya angka menjadi ukuran. Malam itu bermalam pada kemeriahan sementara aku tak mau limbung dalam kemeriahan itu sebab banyak saudara, kerabat dan anak bangsa ini yang tak mampu menyaksikan kemeriahan itu. Malam-malam seperti ini, pikiran dan hatiku tertuju pada sepotong rahasia yang tidak seorangpun sempat menjamah dan menerjemahkannya sebab mereka telah lelap dengan mimpi-mimpi malam yang menawarkan rindu. Namun dalam mimpi malam celoteh syair mencair tentang usia yang menua, tentang rupa juga tentang jarak yang semakin jarak dalam perputaran waktu.
Kecemasan itu nyata adanya. Kemeriahanlah yang merisaukannya sehingga hilang cinta di hati, malam telah menggulungnya dalam rumah-rumah kardus di bawah jembatan antara Pante Pirak dan Lamnyong mereka mempertaruhkan nyawa. Menyedihkan.
“Uklis, jangan berpikir untuk orang lain. Tapi yang harus kamu pikirkan adalah dirimu sendiri” Suara itu memberi petuah.
“Pergi!!! Pergi kau dari sisiku” Teriakku sambil menggeretakkan rahang.
“Mana mungkin aku pergi, dimanapun engkau berada aku tetap disisimu, walau usia menua dan uban memenuhi kepala aku tetap pengikut setia” Ejek suara itu lagi.
Terkadang aku ingin menyapu malam bersama nafas yang tersentak satu-satu. Namun angin malam membelai dada yang membuat rasa dari perasaanku muncul kembali. Malam itu, kuurungkan segala niatku karena aku takut pada usia. Usia telah memberi aku pelajaran baik dalam mengarungi lautan yang penuh riak dan gelombang mematikan. Usia pula yang membuat aku tak berani mengucapkan sepatah kata cinta yang dulu sering kuucapkan.
Kini kata itu hanya terucap dalam kalbu, dan tak kuasa untuk memuntahkannya menjadi suatu arena yang mengasyikkan. Kini tahukah kau kasih usiaku genap 45 tahun.
“Selamat tahun baru” Desisku dalam hati.
Selamat jalan usia.
Tamat
(Banda Aceh, 1990)
Catatan: Dipublikasikan di Majalah Santunan, Aceh
Edisi Pebruari 1991.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar