Cerita Pendek:
REMBULAN DI SAPUT AWAN
Karya: Sulaiman Juned
Sore itu, gerimis menemani gundah-gulana kalbuku. Aku bertindah-tindih dalam melawan suara batin yang kian lama kian merobek-robek jantung. Telah sekian waktu aku menatap rembulan yang di saput awan, tak dapat berbuat banyak karena angin selalu saja mengumpulkan awan sehingga menutupi cahaya rembulan.
Sekian cerita tentang diri pecah dalam gundukan bening air suci yang mengalir dari muara kasih. Aku semakin tak kuasa dalam menahan irisan sembiluyang menyanyat kalbu.
“Bulan tembagaku mungkin akan tertusuk runcingnya ilalang dan dipingit dalam sebuah rumah gadang” Pekikku dalam hati.
Saat aku menggapai rembulan, kini ia tidak lagi sepurnama dulu. Sinarnya tak lagi memancarkan cahaya kedamaian, tetapi menyemburatkan ke kelaman, sungguh sulit aku menebaknya. Pada waktu yang kesekian mendatangi rembulan, kutemui bulan itu semakin absurd. Kalbuku semakin gundah. Ubun-ubun terasa ada beban yang sangat berat, laksana terkena godam yang maha dasyat.
Sebagai matahari, tak dapat menerima alasan yang sengaja dihembuskan angina sehingga dengan segaja pula awan itu menutupi bulan. Pernyataan demi pernyataan yang kuterima tak masuk logika. Sepertinya memang sengaja dicarikan celah agar aku dapat di tolak secara halus untuk tidak masuk dalam keluarga rembulan.
“Maaf nak, dengan terpaksa kukatakan ini. Aku tak ingin menyaksikan anakku nanti sengsara. Pertama usiamu telah lanjut, maka janganlah berkecil hati andaikan engkau tak dapat mendampingi rembulan. Kedua, kami tidak mengetahui asal-usulmu, dan juga menurut pandangan kami engkau berasal dari keluarga matahari yang kelam” Demikian ungkapan ibu rembulan, dan jantungku seperti disambar petir rasanya.
Jiwaku bagai di bedah dan di remas-remas oleh beribu pecahan kaca. Aku hanya menunduk, pedih, nyeri mendekam di ulu hati. aku matahari perantau yang berkelana di negferi lain untuk menuntut ilmu. Memang aku bukan berasal dari keluarga matahari yang terang-benderang, namun aku mempunyai asal-usul yang jelas, adat-istiadat juga aku miliki, sementara itu aku mempunyai keturunan layaknya matahari yang lain.
“Barangkali karena aku berasal dari keluarga miskin sehingga aku di tolak untuk masuk menjadi keluarga besarnya” Pikirku dalam hati.
Gerimis semakin mempercepat kelam. Membenamkan mentari dalam pelukan air yang berjatuhan dari genteng rumahnya. Aku hanya mampu duduk tertunduk, mematung di sudut ruang tamu tanpa suara. Hanya pikiran yang berkelana ke langit-langit lepas dan menjatuhkan bintang gemintang.
“Kuharap kanda tidak kecewa atas keputusan ini. Aku walau bagaimana pun masih menyintaimu, dan apapun resiko yang akan terjadi mari kita hadapi bersama” Tukasnya mantap.
“Rita, aku percaya atas kesetiaanmu” Jawabku serak.
“Biarkan saja mereka tidak setuju. Namun yang perlu kanda dengarkan adalah suara hatiku yang tak ingin engkau tinggalkan” Ungkapnya.
Kulihat matanya berkaca-kaca. Mulai berhamburan manik-manik panas yang keluar dari kelopak matanya, akupun larut dalam kesedihan panjang. Ingin aku berlari untuk membuang lukayang semakin menganga tapi aku tak dapat, sebab dialah kini yang dapat menghapuskan sekaligus mengobati luka lamaku.
Senja membungkuk, memeluk dan merobek segala kedamaian, kini kesetiaan sedang dipertaruhkan. Apakah memang sudah kodratku untuk selalu mendapatkan hinaan dari orang-orang yang menginginkan kehadiran dan keberadaanku. Menjalani hari-hari bagaikan di neraka yang memanggang hangus jasadku. Begitulah perjalanan cinta kasih yang ditentang orang tua. Tiada tempat mengadu, luka kian menanah. Namun bila teringat Rita, tak ingin selangkahpun meninggalkannya walau dunia ini pecah menjadi dua. Segala kesetiaan dan kasih sayang telah tercurahkan dalam bentuk asmara yang suci. Tersebab itulah hari-hari yang kutapaki penuh lubang dan mendaki. Apakah aku mampu mempertahankan cinta yang setiap waktu dihancurkan oleh orang tuanya. Tak ada cuaca tanpa cerita duka, selimut asmara sedang di bedah dan dijadikan sobekan yang tak berguna. Sementara aku dan dia tak ingin selimut itu berdarah.
“Andi! Biarpun selimut kita tercabik-cabik mari kita renda kembali bersama agar cinta kita punya sejarah” Tuturnya.
“Namun engkau harus patuh terhadap orang tuamu. Ia telah melahirkan dan membesarkanmu, maka dari itu kata-katanya wajib engkau patuhi” Aku berusaha menasehatinya walau sesungguhnya kalbuku didera derita.
“Tidak Andi! Tidak! Biarlah aku menderita dan sengsara asalkan bersamamu” Teriaknya.
Cicak-cicak ikut menggeleng kepala menyaksikan kami yang sedang di rundung nestapa. Hujan di luar belum teduh sementara aku harus mengemas hati yang banjir oleh hujan air mata untuk kubawa pulang. Ah! Kemana membawa penderitaan ini.
Kenyakinan untuk dapat bersatu yang membuat jiwa telah dari sekian luka. Semoga hujan yang sangat deras dalam kalbu tidak menghanyutkan kami ke negeri tak bertuan. Mungkin hujan membawa berkah, entahlah. Namun kini, aku sedang bergelut dengan pikiranku agar air keruh dapat kujernihkan.
Bungong jeumpa selalu kusimpan dalam peraduan, malam harus dapat kupetik bintangnya. Hari berganti hari, pikiran itulah yang berperang dalam benak.
“Hai rembulan, matahari tetap menanti. Suatu ketika engkau pasti kusunting jadi ibu anak-anakku. Percayalah!” Ratapku semalam suntuk sambil memandang bintang dan rembulan.
Tamat
(Banda Aceh, 1990)
Catatan: Dipublikasikan di Majalah Santunan, Aceh
Banda Aceh, April 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar