REMBULAM DALAM PELUKAN
Karya: Sulaiman Juned
Minggu itu selaksa peristiwa telah terjadi dalam perjalanan kisah kasih kita. Laut, pasir dan panasnya mentari di tepi pantai Cemara telah menanamkan sekian perasaan saling percaya dalam diri. Lima bulan telah jalinan asmara yang membumbung dalam sukma. Sekian lingkar-lingkar rindu tumbuh bersemi. Wangi itu selalu menyelinap masuk dalam bilikku yang membuat ingatanku tertuju selalu padamu. Kesahajaannya, penampilannya yang lugu dan sederhana membuta pilihan jatuh pada Titin kekasihku kini.
Minggu itu adalah minggu terakhir. Minggu terakhir untuk menyambut bulan suci Ramadhan, muda-mudi selalu saja beramai-ramai mengadakan acara di tepi pantai semalam suntuk. Sebenarnya kegiatan seperti ini bukanlah budaya Aceh yang diwariskan oleh para leluhur, entah darimana dan sejak kapan kegiatan ini mentradisi dalam kehidupan muda-mudi Aceh, namun yang jelas dia telah ada dan hidup dalam lingkungan masyarakat. Akupun tak ketinggalan dalam menyambut bulan yang diberkahi Allah. Dalam pertengahan Maret itu aku menyisir pantai bersama Titin kekasihku.
Catatan dan cerita yang terjadi dalam minggu itu tak pernah kulupakan, mungkin juga sampai kita punya anak duhai Titinku jika Allah mengizinkan untuk kita bersanding di atas pelaminan, tujuan akhir dari percintaan kita.
Minggu itu pula, diaryku dipenuhi oleh segala catatan kecil yang selalu kugoreskan bila kalbu mengajak untuk merinduimu. Pun tentang perjalanan di tepi 0-pantai itu, ditemani oleh nyanyian camar laut, tentang kita serasa tak kan pernah lapar apabila duduk berdua, juga tak akan pernah lupa tentang kejadian kejadian di simpang mesjid itu yang membuat aku tersenyum di kulum bila mengenang kejdian yang menggelitik itu.
“Ah! Minggu pertengahan Maret, melahirkan sekian cerita buat kita” Gumamku dalam hati. Lalu aku berbisik ke telinganya.
“Apakah engkau mendengar tentang genderang yang bertalu dalam kalbu”
“Aku tahu gejolak yang bergelinjang dikabumu dan aku sangat memahami tentang kesucian cintamu” Tuturnya sambil makan kacang, duduk di atas bebatuan sekaligus menikmati keindahan laut lepas.
Aku bahagia. Minggu itu, membenamkan aku pada cerita diri. Terkadang aku malu, disertai bahagia berbaur menjadi satu.
“Tin, inilah diriku yang mungkin masih sangat kurang…” Cepat ia memotong perkataanku sambil menutup mulutku dengan jemarinya yang lentik.
“Seeeet! Aku menyintaimu sekaligus melihat dan menerima kurang dan lebih. Jadi apapun resiko yang kudapati dalam perjalanan cinta kasih kita, harus kuhadapi” Ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar